• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada saat itu, lakilaki muka ungu yang tadi lari memasuki bilik perahu, kini sudah keluar lagi bersama seorang kakek tinggi kurus yang bermuka hijau!

Akan tetapi memang demikianlah kenyataannya dan kini Suma Han mengerti

mengapa empat puluh orang gagah itu tertawan. Tentu Si Muka Hijau ini yang

memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada mereka semua. Dan hal itu

terbukti pula dari sikap jerih dan pandang mata penuh kekhawatiran dari para

tawanan ketika Si Muka Hijau ini keluar.

Suma Han dengan sikap tenang memandang. Warna hijau itu bukanlah kulitnya, melainkan seperti cahaya yang keluar dari dalam. Kini karena dalam keadaan tegang menghadapi pertentangan, para anak buah perahu juga sudah bersiap dan mereka mengatur barisan yang aneh karena warna-warna muka mereka. Ada kelompok muka hitam, muka merah, muka ungu, dan muka jambon. Akan tetapi yang bermuka hijau hanya ada seorang saja,

kakek tinggi kurus itulah.

Setelah berdiri saling pandang beberapa lamanya, agaknya kakek muka hijau itu dapat mengenal sinar mata yang aneh dan penuh kekuatan mujijat dari Suma Han. Dia segera membungkuk sambil merangkapkan kedua tangan dan berkata penuh hormat,

“Tidak kelirukah pelaporan anak buah kami bahwa Paduka adalah To-cu dari Pulau Es?” “Benar.” jawab Suma Han. “Akulah penghuni Pulau Es. Apakah engkau Ketua Pulau Neraka?”

“Aaaahh, hamba hanyalah murid tingkat rendahan saja. Hamba bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga untuk dikerjakan di pulau kami dan telah berhasil mengumpulkan empat puluh orang ini. Kami menangkapnya di daratan sana dan mereka adalah kaum pejuang yang menentang pemerintah Ceng. Akan tetapi tadi anak buah kami melapor bahwa To-cu mengakui mereka ini sebagai anak buah Pulau Es. Bagaimana ini?” Suma Han merasa malu kalau harus membohong, maka ia berkata, “Tadinya mereka bukan apa-apa, akan tetapi mulai saat ini menjadi anak buah Pulau Es. Karena itu, aku menuntut

agar mereka dibebaskan!”

Sepasang alis kakek tinggi kurus itu bergerak-gerak dan warna hijau di mukanya makin keruh. “Hamba sebagai murid tingkat rendah dari Pulau Neraka tentu saja tidak berani lancang menentang kehendak To-cu dari Pulau Es. Akan tetapi kalau hamba menurut begitu saja atas perintah To-cu, berarti hamba melalaikan tugas yang dibebankan kepada hamba. Karena itu, terpaksa hamba mematuhi peraturan dari Ketua kami, yaitu dengan kepandaian hamba mendapatkan empat puluh orang ini, dan hanya dengan kepandaian pula pihak lain

dapat merampasnya!”

Diam-diam Suma Han merasa heran. Sepak terjang orang-orang Pulau Neraka itu kadang-kadang keji dan liar, akan tetapi sikap mereka ternyata sopan dan seperti orang terpelajar, bahkan tahu aturan. Seperti apakah ketua mereka? Orang bermuka hijau yang sudah dapat mengalahkan empat puluh orang pejuang, bahkan termasuk Phoa Ciok Lin murid Toat-beng Ciu-sian-li, tentu saja memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi dia mengaku hanya seorang murid tingkat rendah dari Pulau Neraka. Bukan main! “Hemm, kiranya dengan ucapan halus engkau bermaksud menantangku?” Suma Han

bertanya, sikapnya dingin.

“Mana berani hamba menantang? Akan tetapi, kalau hamba pulang kehilangan para tawanan tanpa melawan, hamba akan dihukum mati sebagai orang hina. Sebaliknya, kalau hamba mempertahankan terhadap Paduka, hamba akan mati juga sebagai seorang petugas yang baik.”

“Ah, kiranya ketua kalian memiliki orang-orang pandai yang amat setia. Bagus! Memang tidak semestinya aku mengambil tawananmu begitu saja. Nah, aku telah siap, mari kita menentukan tingkat kepandaian!” Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi sikap Suma Han sama sekali bukan sikap seorang yang hendak bertanding karena dia masih berdiri seenaknya di atas kaki kanannya, ditopang tongkatnya yang dipegang di tangan kiri. Hanya sepasang matanya yang tanpa diketahui siapapun juga, sejak tadi telah melancarkan serangan hebat! Suma Han mengerti bahwa kalau semua anak buah Pulau Neraka maju menggunakan kekerasan dan dia menyambut dengan ilmu silat pula, tentu dia akan terpaksa merobohkan mereka kalau tidak terluka berat, mungkin ada yang tewas. Dia tidak menghendaki terjadinya hal ini, maka dia mengambil keputusan untuk melawan dengan ilmunya yang aneh, mengandalkan kekuatan mujijat yang tersembunyi di dalam kemauannya

“Singgg....!” Sebatang pedang telah berada di tangan Si Muka Hijau. Cara mencabut pedang sampai mengeluarkan suara berdesing nyaring dan ujung pedang menggetar-getar itu saja sudah membuktikan bahwa Si Muka Hijau ini ternyata seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

“Maaf, To-cu. Harap suka mengeluarkan senjata dan maafkan hamba yang kurang ajar.” Biarpun kakek itu bersikap menghormat, akan tetapi di lubuk hatinya dia tidak memandang terlalu tinggi Majikan Pulau Es ini, melihat bahwa lawannya ini ternyata hanya seorang muda yang patut menjadi cucunya, berkaki buntung sebelah dan tidak memegang senjata. “Orang tua, apakah artinya senjata tajam dan runcing seperti pedangmu itu? Hanya dapat menggigitmu sendiri. Kauseranglah, aku telah siap!” kata Suma Han sambil mengerahkan

kekuatan mujijatnya melalui mata.

Para tawanan yang menyaksikan ini, terutama sekali Phoa Ciok Lin, merasa tegang dan khawatir. Mereka semua telah merasai kelihaian Si Muka Hijau dan mereka semua tidak ada yang dapat menandingi Si Muka Hijau. Sekarang Suma Han menghadapinya secara itu, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, sama sekali tidak menggunakan senjata, bahkan tongkat bututnya hanya dipegang dengan tangan kiri untuk membantu kakinya yang hanya sebuah!

Adapun Si Muka Hijau itu diam-diam menjadi penasaran dan marah sekali. Biarpun bocah buntung ini datang secara aneh, menunggang garuda, dan mengaku sebagai Majikan Pulau Es, dan dikabarkan memiliki kepandaian seperti setan sehingga berjuluk Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, namun tidak patut menghadapinya dengan sikap

merendahkan seperti itu.

“To-cu sambut pedang hamba!” Tiba-tiba tampak sinar putih berkelebat cepat sekali ketika pedang itu meluncur ke arah leher Suma Han. Memang hebat sekali gerakan Si Muka Hijau ini, pedang meluncur dengan suara berdesing dan dari jauh sudah menyambar hawa dingin ke arah leher Suma Han. Pendekar Siluman ini hanya berdiri tegak, sedikit pun tidak bergerak atau mengelak, bahkan tidak menangkis hanya memandang dengan mata seperti

mengeluarkan kilat.

“Hayaaaa....!” Tiba-tiba Si Muka Hijau memekik dan matanya terbelalak penuh kengerian karena ia melihat betapa pedang di tangannya itu tiba-tiba berubah menjadi seekor ular! Dia memegang ular itu dan kini ular itu membalik, membuka moncongnya yang merah menggigit ke arah lehernya sendiri! Tentu saja ia kaget setengah mati, memekik dan miringkan kepala berusaha mengelak, akan tetapi kurang cepat dan kulit lehernya sebelah kanan telah tergigit! Ia terpekik lagi kesakitan, melepaskan ekor “ular” dan terhuyung-huyung ke belakang memegangi lehernya dan matanya memandang “ular” yang jatuh ke atas lantai perahu. Bagi orang lain yang menonton, peristiwa itu lebih mengherankan lagi. Mereka tadi melihat betapa pedang itu sudah digerakkan oleh Si Muka Hijau, menusuk leher Suma Han. Mengapa sebelum ujung pedang mengenai leher orang yang sama sekali tidak mengelak itu, tiba-tiba Si Muka Hijau membalikkan pedang dan menusuk lehernya sendiri sampai terluka? Kini mereka melihat Si Muka Hijau terhuyung, melepaskan pedangnya yang terjatuh ke lantai

perahu, meraba leher yang mengucurkan darah!

berubah menjadi pedangnya sendiri! Mendengar ini, semua anak buah Pulau Neraka serentak maju, siap mengeroyok Suma Han. Pendekar buntung ini meloncat ke depan, menyapu mereka dengan sinar matanya lalu berkata,

“Siapa lagi berani melawan Pendekar Siluman Majikan Pulau Es?” Semua anak buah Pulau Neraka menjadi ngeri ketika melihat Suma Han kini berubah menjadi raksasa, tiga kali ukuran tubuh manusia, kepalanya menjadi tiga buah dan lengannya menjadi enam buah biarpun kakinya masih tetap satu! Melihat ini, mereka menggigil dan tak seorang pun di antara mereka berani berkutik, bahkan segera menjatuhkan diri berlutut ketika Si Muka Hijau mendahului mereka berlutut. “Mohon cu sudi mengampunkan hamba semua dan biarlah kami melaporkan kepada To-cu kami bahwa para tawanan terpaksa kami serahkan To-To-cu Pulau Es karena kami tak

sanggup melawannya.” kata Si Muka Hijau.

“Hemm, kalau begitu, mengapa kalian tidak lekas pergi? Ataukah menunggu aku turun

tangan melempar-lemparkan kalian ke laut?”

Si Muka Hijau melompat bangun, memberi isyarat dengan tangan. Sebuah perahu kecil diturunkan dan Si Muka Hijau bersama lima orang laki-laki muka ungu dan seorang wanita muka jambon melompat ke dalam perahu. Si Muka Hijau memegang sebatang tali yang ujungnya terpecah menjadi banyak dan kini dipegang oleh para anak buah perahu. Lima orang muka ungu dan seorang wanita muka jambon memegang dayung. Perahu kecil itu didayung cepat sekali, Si Muka Hijau berdiri di ujung belakang memegang tambang dan.... belasan orang anak buahnya meloncat ke air dan dapat berdiri lalu ditarik oleh perahu itu. Kiranya Si Muka Hijau itu demikian kuatnya, memegang tambang yang menarik enam belas orang dan ternyata para anak buah Pulau Neraka itu menggunakan kayu diikat dengan kaki mereka sehingga mereka dapat terapung (semacam ski air)! Memang hebat mereka itu. Hebat pula cara enam orang itu mendayung perahu karena sebentar saja, rombongan itu sudah jauh sekali menuju ke timur dan lenyap dihalangi ombak-ombak di belakang mereka!

Suma Han kagum sekali, maklum bahwa dia telah menanam bibit permusuhan dengan golongan yang amat kuat, yaitu Pulau Neraka. Akan tetapi dia tidak peduli, lalu menggunakan tongkatnya mematahkan semua belenggu para tawanan. Di antara mereka itu, termasuk kakek gendut, segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Suma Han. Akan tetapi, anak murid In-kok-san tidak berlutut. Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata

dengan suara dingin.

“Siapa yang suka menjadi anak buahku dan mengakui aku sebagai Majikan, harap berlutut.

Yang tidak mau, takkan dipaksa!”

Namun wanita muda ini segera menekuk kedua lututnya dan berturut-turut para murid In-kok-san berlutut pula. Hanya dua orang murid In-kok-In-kok-san dan seorang laki-laki bermuka pucat tetap berdiri tidak mau berlutut. Suma Han memandang mereka dan Si Muka Pucat berkata, “Aku mengenal siapa engkau! Engkau dahulu adalah seorang pejuang, akan tetapi engkau telah berkhianat. Sebagai seorang pejuang, seorang patriot sejati, aku tidak sudi menjadi bujang seorang pengkhianat. Mau bunuh boleh bunuh, siapa yang takut mati?” Suma Han memandang Si Muka Pucat dan segera mengenalnya. Dia itu adalah seorang di antara pejuang-pejuang yang pernah bertemu dengannya di Se-cuan, kalau dia tidak salah ingat, bernama Lo Hoat dan murid dari Tok-gan Siu-cai Gu Cai Ek Si Ahli Totok Dengan Sepasang Sumpit! Pernah dia merobohkan Lo Hoat ini ketika dia memasuki gedung para pejuang dan disangka menantang pibu (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI). Hemm, orang ini pendendam sekali, amat tidak baik dijadikan teman. “Aku tidak mau membunuh orang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mau menjadi anak buahku, aku pun tidak memaksa. Nah, pergilah sekarang juga!” “Pergi ke mana? Tidak ada lagi perahu yang dapat kupakai.” Suma Han memandang tajam dengan alis berkerut. “Lo Hoat, aku tidak ada waktu untuk berdebat. Pilih satu di antara dua. Tinggal di perahu dan menjadi anak buah Pulau Es, atau

sekarang juga keluar dari perahu ini!”

“Engkau.... iblis siluman.... keji!” Lo Hoat memaki.

“Pergilah atau harus kulempar keluar?”

“Manusia rendah, coba kaulempar kalau....” Belum habis ucapan Lo Hoat ini, tangan kanan Suma Han bergerak sedikit dan.... tubuh itu terlempar keluar dari perahu dan jatuh tercebur

ke air!

“Apakah kalian berdua juga tidak sudi menjadi anak buah Pulau Es?” tanya Suma Han

kepada dua orang murid In-kok-san.

“Engkau adalah bekas sute kami, bagaimana kami dapat mengangkatmu menjadi majikan dan berlutut di depanmu?” seorang di antara mereka membantah. “Kami adalah orang-orang

yang memiliki kegagahan, bukan berjiwa rendah!”

“Orang yang tak dapat melihat kenyataan adalah orang-orang bodoh, bukan gagah! Aku bukan sute kalian, aku adalah Majikan Pulau Es dan kalian hanya mempunyai dua pilihan.

Tunduk kepadaku atau.... keluar dari perahu ini!”

“Lebih baik mati!” Dua orang itu meloncat keluar dari perahu dan kemba1i air laut muncrat ketika tubuh mereka menimpa air. Mereka yang berlutut memandang ke arah air dengan muka pucat, menyaksikan tiga orang itu berjuang dan bersitegang melawan air yang berombak dan yang hendak menggulung dan membunuh mereka. “Pasangkan layar, kita berangkat!” kata Suma Han tanpa mempedulikan tiga orang itu. “Aku menjadi penunjuk jalan dengan garudaku di atas perahu, ikuti ke mana garuda terbang!”

Mereka yang berlutut itu sudah tunduk dan kagum kepada Suma Han. Mereka telah diselamatkan dari nasib yang amat buruk. Baru menjadi tawanan saja mereka sudah disiksa, kalau sampai di Pulau Neraka, tentulah penghidupan mereka akan benar-benar seperti di neraka!

Tentu saja jauh lebih baik menjadi anak buah pendekar berkaki buntung ini biarpun pendekar ini dijuluki Pendekar Siluman! Apalagi, nama Pulau Es merupakan daya tarik besar sekali. Pulau Es adalah sebuah tempat yang selalu diidamkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, yang dianggap sebagai tempat keramat di mana terdapat pusaka dan ilmu-ilmu yang tinggi. Kini mereka dijadikan anak buah Pulau Es, tentu saja mereka menerimanya dengan hati girang. Perahu hitam itu bergerak, layar-layarnya terkembang ditiup angin dan dengan wajah gembira penuh harapan mereka mengemudikan perahu mengikuti garuda yang terbang perlahan di atas mereka. Phoa Ciok Lin dan para saudara seperguruan masih termangu-mangu, teringat akan nasib dua orang saudara seperguruan yang ditinggalkan dan bergulat dengan maut antara ombak laut itu. Mereka ini tidak dapat menyalahkan Suma Han, dan tidak dapat menganggap Majikan Pulau Es itu kejam. Tidak, orang muda buntung yang kini menjadi majikan mereka, menjadi ketua mereka itu, telah memberi kesempatan kepada tiga orang tadi. Tidak membunuh mereka sebaliknya mereka itulah yang seperti membunuh diri

sedangkan jalan hidup terbuka lebar.

Demikianlah tiga puluh orang gagah kini menjadi anak buah Pulau Es. Setelah berbulan-bulan tinggal di situ, mereka semua makin tunduk, makin hormat dan bahkan mulai menerima Suma Han sebagai majikan dan juga guru mereka! Suma Han mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan kepandaian dasar dan bakat mereka masing-masing sehingga kepandaian mereka meningkat secara hebat. Tentu saja yang merasa paling girang adalah Kwi Hong. Phoa Ciok Lin segera mengambil alih pekerjaan Suma Han mendidik Kwi Hong. Sungguh berbeda caranya mendidik, tidak dimanjakan seperti dahulu. Diajar membaca menulis dan kepandaian lain. Hanya dalam hal ilmu silat, Suma Han turun

tangan sendiri mengajar keponakannya.

Kini Pulau Es menjadi ramai, merupakan sebuah pulau yang berpenduduk. Bukan sembarang penduduk, melainkan orang-orang yang berilmu tinggi! Di antara mereka itu ada yang saling mencinta lalu menikah dengan upacara sederhana namun gembira. Dan mulailah semua orang, tidak ada kecualinya, juga Phoa Ciok Lin, memandang Suma Han bukan hanya sebagai penolong dan sebagai ketua, majikan, dan guru, akan tetapi juga sebagai seorang manusia mulia seperti dewa yang mereka hormati, taati dan juga cintai! Namun, Suma Han tetap menyembunyikan diri, lebih sering dia bersamadhi di dalam ruangan Istana Pulau Es di mana terdapat tiga buah patung guru-gurunya, yaitu patung Koai-lojin Kam Han Ki, Nenek Maya, dan Nenek Khu Siauw Bwee. Pekerjaan mencari bahan makanan tentu saja kini dilakukan oleh anak buahnya dan untuk mengatur semua urusan, ia mengangkat Phoa Ciok Lin sebagai kepala urusan dalam pulau, sedangkan Yap Sun, kakek yang gemuk, diangkat menjadi kepala urusan luar. Pengangkatan ini bukan hanya dinilai dari tingkat kepandaian, melainkan juga dari watak dan pribadi mereka. Tentu saja demi kewibawaan, Suma Han menurunkan ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepada dua orang wakilnya ini.

Demikianlah selama lima tahun telah terjadi perubahan hebat di Pulau Es yang sekarang dapat dianggap sebagai sebuah partai besar sehingga mulai terdengar namanya di dunia kang-ouw.

***

“Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?” Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan. Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar

melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.

“Muridku, apa kaukira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh

kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana.”

Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, “Terima kasih, Suhu. Terima kasih!” Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya. “Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan.” Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun, “Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kaupelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekalipun sama sekali tidak ada artinya.”

Bun Beng terbelalak,

tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu

seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari

gurunya ini? Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang

diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan

makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti

yang aneh itu

Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika

hendak pergi.

“Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku.” Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata, “Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu.” Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biarpun kini suhunya itu menemaninya. “Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah