• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bun Beng menoleh ke kanan dan seketika ia terloncat bangun. Dari atas batu besar turun beberapa ekor binatang aneh yang kepalanya seperti kera!

Kiranya yang menyalaknyalak dan menggereng-gereng itu adalah binatang

yang aneh ini, setengah kera setengah anjing (kera baboon). Ketika melihat

binatang aneh itu merayap turun dengan gerakgerik seperti manusia,

moncong anjing mereka mengeluarkan suara anjing dan kera campur aduk,

melihat pinggul mereka berlengganglenggok, pinggul yang tidak berekor akan

tetapi ada dagingnya menonjol merah, mau tidak mau Bun Beng tertawa geli.

Lucu memang tampaknya binatangbinatang itu.

Akan tetapi kegelian hatinya segera berubah menjadi kemarahan ketika

binatangbinatang itu mengelilinginya kemudian merabaraba dan

merenggutkan pakaiannya yang basah sambil mengeluarkan bunyi

ngakngiknguk tidak karuan. Bun Beng melepaskan tangan seekor kera yang

menjambakjambak rambutnya. Kera itu mengeluarkan teriakan marah dan

Bun Beng dikeroyok! Lenganlengan yang panjang berbulu lebat itu

mengeroyoknya, merenggut pakaian dan menjambak rambut. Bun Beng jatuh

terduduk, seekor kera hendak menggigitnya dari depan. Ia mengayun tangan

menampar.

“Plakk! Nguuuuknguk!” Kera itu terpelanting dan memekik marah sekali,

sedangkan kerakera lain sudah menubruk Bun Beng dari belakang.

Terdengar bunyi kain robek dan setelah meronta-ronta dan membagibagi

pukulan ke kanan kiri, akhirnya Bun Beng berdiri dalam keadaan telanjang

bulat! Pakaiannya robekrobek tidak karuan diperebutkan oleh sekumpulan

kera itu. Marahlah Bun Beng dan ia lalu mengamuk, kaki tangannya bergerak

dan beberapa eker kera terpelanting terkena tendangan dan pukulannya.

Akan tetapi tubuh binatang-binatang ini kuat sekali dan mereka kini kini juga

marah, meloncat bangun dan mengeroyok Bun Beng.

Tibatiba terdengar pekik dahsyat dan kerakera baboon itu seketika

menghentikan pengeroyokan dan mundur. Bun Beng menengok dan seekor

kera yang lebih besar daripada sekumpulan kera yang mengeroyok dan

menelanjanginya. Kera itu dengan kedua lengan panjangnya, melangkah

maju menghampirinya, moncongnya mengeluarkan suara menggereng den

mendesis, matanya yang kecil memandangnya penuh amarah.

Gerak-geriknya seperti orang menantang. Kerakera lain melonjaklonjak den

bertepuk tangan, seperti sekumpulan anak-anak yang menjagoi kera besar

ini. Tahulah Bun Beng bahwa dia ditantang oleh kera besar, maka dia pun lalu

memasang kudakuda dan membentak.

“Kera anjing keparat! Majulah! Siapa takut padamu?”

Kera besar itu agaknya juga tahu bahwa Bun Beng marah kepadanya, karena ia segera meringis dan mengeluarkan bunyi marah. “Ngukk....! Kerr....!” “Monyet buruk! Majulah! Siapa takut padamu?” Bun Beng menantang dan dia telah melompat ke kiri, mencari tempat yang lebih rata karena dia maklum bahwa binatang kera amat lincah dan kalau harus bertanding di tempat berbatu sambil berloncatan, mana dia

mampu menang?

Kera itu menggereng lagi dan meloncat, sekaligus ia menyerang Bun Beng dengan ganas, menubruk sambil mencengkeram dan moncongnya dibuka lebar siap menggigit. Bun Beng sudah bersiap, cepat ia mengelak dengan meloncat ke kanan, sambil tidak lupa mengayun

kaki kirinya menendang ke arah perut kera.

“Bukkk!” Tendangan Bun Beng adalah tendangan seorang anak laki-laki yang sejak kecil terlatih, maka tidak dapat disebut lemah, namun ketika kakinya mengenai perut binatang itu, kakinya yang menendang terpental seperti menendang bola karet! “Monyet lutung! Kau kuat sekali!” Ia berseru marah dan kera itu seolah-olah tertawa, terkekeh sedangkan kera-kera lain tetap bertepuk tangan dan berjingkrak tidak teratur. Kera besar itu kembali sudah menubruk, bahkan kedua lengannya yang panjang tidak hanya membuat gerakan mencengkeram ngawur seperti lajimnya dilakukan oleh binatang kera yang tidak tahu akan seni bersilat, melainkan kedua tangan berjari panjang penuh bulu itu

melakukan pukulan dengan telapak tangan terbuka.

“Wuuut! Wuuuutt!” Kedua tangan itu menyambar berturut-turut dan hanya dengan kegesitannya mengelak saja Bun Beng dapat menghindarkan diri dari tamparan yang amat kuat itu. Dia mulai marah dan agaknya Bun Beng tidak akan patut mengaku sebagai murid mendiang Siauw Lam Hwesio kalau dia harus mengakui keunggulan seekor binatang kera. Akan percuma sajalah gemblengan yang dilakukan Kakek Siauw-lim-pai itu kepadanya beberapa tahun. Di samping latihan ilmu silat dan menghimpun tenaga serta rahasia penggunaan tenaga, juga Bun Beng menerima petunjuk-petunjuk yang mempertajam otaknya sehingga dalam menghadapi bahaya dan lawan tangguh dia dapat mempergunakan siasat. Dia mengerti bahwa dalam hal tenaga kasar dia tidak akan dapat mengimbangi kera yang lebih kuat daripada seorang manusia dewasa itu. Juga dari pengalamannya ketika menendang perut tadi dia maklum bahwa kera itu memiliki kulit yang tebal dan kuat serta

otot-otot yang membuat tubuhnya kebal. Dia tidak boleh sembarangan menyerang melainkan

harus menggunakan siasat mencari bagian yang lemah.

Namun, kini dia terdesak terus. Kera besar itu agaknya merasa penasaran. Dia dapat mengalahkan seekor harimau dengan mudah, masa kini tidak mampu merobohkan seorang manusia kecil yang lemah ini dalam waktu singkat? Akan percuma saja dia menjadi kera bangkotan, jagoan yang paling kuat dan paling ditakuti di antara rombongan kera baboon di situ! Maka sambil mendengus-dengus marah dia memperhebat serangannya, setiap kali tubrukannya luput disambung dengan terkaman lain yang cepat dan kuat, sedikit pun tidak memberi kesempatan kepada Bun Beng untuk membalas. Tak dapat dibantah bahwa memang Bun Beng terlatih ilmu silat namun dia sama sekali belum memiliki pengalaman bertempur tanpa aturan dan secara nekat itu. Dia terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana-sini, menangkis sedapatnya dan sudah dua kali ia terkena tamparan yang membuat pipinya merah membengkak dan matanya berkunang kepalanya pening! Melihat ini kera-kera yang lain mengeluarkan suara seperti sekumpulan bocah bersorak-sorak, dan kera

jagoan itu menjadi makin buas.

“Blekkkk!” Sebuah tamparan dengan lengan kanan berbulu yang amat keras dapat ditangkis oleh Bun Beng, akan tetapi karena dia kalah tenaga, tamparan itu masih menembus tangkisannya dan mengenai pundak kirinya. Bun Beng mengaduh, tulang pundaknya seperti remuk rasanya, kiut-miut nyeri bukan main dan dia roboh terjengkang tanpa dapat ditahan pula.

“Gerrrr....!” Kera besar menggereng dan menubruk tubuh lawan yang sudah telentang tidak berdaya itu. Dalam keadaan penuh bahaya ini, keadaan Bun Beng sebagai manusia membuktikan keunggulannya. Dia memiliki akal dan dalam detik-detik berbahaya itu ia menggunakan akalnya. Ketika melihat kera besar menubruk, dia menggulingkan tubuhnya sampai tiga kali dan tidak lupa tangannya mencengkeram tanah dan berhasil menggenggam tanah. Pada saat kera menubruk lagi, tangannya bergerak dan tanah yang digenggamnya itu meluncur, menyambut muka si Kera yang tentu saja tidak memiliki akal untuk menduga serangan ini. Matanya tetap melotot penuh geram kemenangan sehingga kedua matanya merupakan sasaran tepat, kemasukan butiran-butiran pasir tanah. “Auurrghh....!” Kera itu memekik-mekik dan menggunakan kedua tangan menggosok matanya. Tentu saja karena cara menggosoknya kaku, pasir tanah itu makin dalam masuk ke mata dan makin nyeri rasanya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bun Beng. Dia sudah meloncat bangun dan menghujankan pukulan tendangan ke tubuh si Kera. Namun dia tidak memukul sembarangan, melainkan memilih tempat yang lemah, memukul ke arah hidung, mata, dan telinga sedangkan tendangannya mengarah sambungan lutut dan pusar. Tentu saja kera besar yang masih setengah mati menggosoki matanya, menjadi sasaran serangan dan tubuhnya terguling-guling. Ia mengeluarkan suara seperti menangis dan akhirnya ia berlutut di atas tanah, menutupi kepalanya dengan kedua matanya bercucuran air mata! Dari gerak-gerik ini Bun Beng dapat menduga bahwa lawannya sudah menyerah kalah, maka ia memandang dengan muka berseri, berdiri tegak dan bertolak pinggang, merasa gagah menjadi jagoan sampai dia lupa bahwa tubuhnya sama sekali tidak tertutup pakaian, telanjang bulat karena semua pakaiannya sudah habis terkoyak tangan-tangan jahil

rombongan kera tadi!

Kera-kera yang tadinya menonton pertandingan, kini berlarian datang dan Bun Beng sudah siap untuk “mengamuk” kalau dia dikeroyok. Akan tetapi, kera-kera itu kini tidak

menyerangnya, hanya memegang-megang lengannya, kakinya, rambutnya dan bahkan ada yang mencium-ciumnya dari kaki sampai kepala tanpa melewatkan sedikitpun bagian tubuhnya sehingga dia merasa girang akan tetapi geli dan jijik! Agaknya air mata yang banyak keluar dari sepasang mata kera besar telah mencuci bersih mata itu, kini kera besar dapat membuka matanya yang berubah merah dan dia pun merangkul dan menciumi Bun Beng! Mengertilah anak ini bahwa semenjak saat ia berhasil “mengalahkan” jagoan kera baboon, dia telah diaku sebagai “seekor” di antara mereka! Dia telah diterima menjadi

anggauta kera baboon.

Semenjak saat itu, mulailah penghidupan baru yang sama sekali asing bagi Bun Beng! Dia hidup di antara sekumpulan kera baboon, bertelanjang, bulat, mencari makan, bermain-main dan berayun-ayun di dahan-dahan pohon dan di batu-batu gunung persis seekor kera. Hanya bedanya, dan kadang-kadang timbul penyesalan di hatinya akan perbedaan ini bahwa dia tidak berbulu seperti “kawan-kawannya” sehingga sering kali dia menderita kedinginan. Namun, lambat laun ia dapat membiasakan diri dan tubuhnya menjadi kebal akan hawa dingin. Sebagai seorang mahluk yang berakal, dalam mencari makanan dan lain-lain tentu saja dia paling menang, sehingga tidak lama kemudian dia dicontoh oleh kera kera itu dan seolah-olah menjadi pemimpin mereka. Apalagi semenjak dia mengalahkan jagoan kera, dia dianggap paling kuat dan teman-temannya tidak ada yang berani mencoba-coba dengan dia!

Selama beberapa bulan hidup di antara sekumpulan kera, Bun Beng