• Tidak ada hasil yang ditemukan

permasalahan utama yang menjadi fokus perhatian studi. Terjadinya genangan pada beberapa lokasi di wilayah studi secara pasti akan menimbulkan permasalahan berkelanjutan pada system interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan aspek interaksi masyarakat lainnya. Dari hasil inventarisasi terdapat 4 lokasi genangan di Kabupaten Kutai Barat. Tetapi biasanya genangan ini terjadi di saat musim penghujan saja. Data selengkapnya mengenai lokasi, parameter genangan, dampak, dan masalah atau penyebabnya dapat dilihat pada tabel serta gambar berikut.

Tabel 7.20

Wilayah Genangan di Kabupaten Kutai Barat

NO LOKASI LUAS

(ha)

LAMA GENANGAN

TINGGI

GENANGAN PENYEBAB KET.

IV KABUPATEN KUTAI BARAT

1 Kampung Blusuh ± 10 Maks. ½ Bln ± 1 Luapan Sungai Blusuh

2 Kecamatan Tering ± 20 Maks. ½ Bln ± 1,5

Luapan Sungai Mahakam

3 Kecamatan Melak ± 50 Maks. ½ Bln ± 1,5

Luapan Sungai Mahakam

4

Kec. Muara Pahu dan

Penyinggahan ± 60 Maks. ½ Bln ± 2

Luapan Sungai Mahakam.

Sumber : RPIJM Kabupaten Kutai Barat

Dari hasil inventarisasi serta informasi dari berbagai sumber, penyebab terjadinya genangan tersebut antara lain adalah :

Luapan dari beberapa sungai yang disebabkan oleh :

Kapasitas sungai yang ada tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi, biasanya banjir terjadi di saat musim penghujan;

penyumbatan oleh sampah;

Luapan akibat gorong – gorong, pintu pengatur tersumbat atau tidak berfungsi;

Inlet saluran tidak tepat posisinya, terlalu tinggi dan sering tersumbat oleh pasir/tanah dan sampah sehingga limpasan air hujan tidak bisa/kurang lancar masuk ke sistem saluran drainase yang ada, daerah yang sudah memiliki sistem drainase yang agak baik di Kabupaten Kutai Barat menurut pengamatan kami hanya berada kawasan Perkantoran Kabupaten Kutai Barat.

Akibat aliran permukaan (“debit run off”) pada saat hujan yang tidak bisa segera dibuang atau dialirkan ke sungai atau system pembuang yang ada, karena pada saat bersamaan sungai yang ada sudah penuh sehingga tidak mampu menampung tambahan debit dari aliran permukaan;

Tidak adanya areal resapan ataupun folder – folder yang bisa menampung sementara air hujan;

Kondisi fisik jaringan drainase yang ada sudah kurang memadai, sehingga sering terjadi kebocoran dan luapan pada tanggul saluran;

Tidak terdapatnya system (jaringan) drainase yang memadai pada kawasan atau lokasi rawan banjir, sehingga debit akibat aliran permukaan tidak bisa dibuang/dialirkan secara cepat.

Berikut ini gambar banjir yang terjadi di Kecamatan Melak di bulan Desember tahun 2008 di Kabupaten Kutai Barat.

Gambar 7.3 : Kondisi Genangan akibat banjir di Kec. Melak Kabupaten Kutai Barat Sumber : RPIJM Kabupaten Kutai Barat 2016

2. Kebijakan Pembangunan Antar Kawasan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penanganan permasalahan drainase harus merupakan suatu kegiatan yang berskala regional dan bersifat lintas wilayah maupun lintas sektoral. Penanganan permasalahan di Kabupaten Kutai Barat tanpa menangani permasalahan yang ada di kawasan hulu mahakam (Kec. M e l a k , Tering dan Long Iram) maupun kawasan hilir (Kec. Muara Pahu dan Penyinggahan) tidak akan memberikan solusi yang bersifat

jangka panjang.

Demikian juga kaitan antara infrastruktur drainase dengan infrastruktur lainnya harus mendapat perhatian yang seksama, sehingga penanganan yang dilakukan merupakan suatu kegiatan yang komprehensif. Dalam kaitan dengan topik ini, maka permasalahan yang terkait dengan kebijakan pembangunan antar kawasan antara lain adalah :

Belum adanya kebijakan yang terpadu antar wilayah kecamatan dan kabupaten di Kabupaten Kutai Barat untuk pengendalian kawasan resapan di daerah hulu sungai Mahakam.

Belum adanya peraturan untuk pengendalian luas lahan terbuka sebagai daerah resapan air.

Belum adanya koordinasi dari para pelaku pengelolaan dari setiap komponen infrastruktur dalam perencanaan maupun pembangunannya.

3. Koordinasi Pengawasan Pembangunan

Koordinasi pengawasan pembangunan diperlukan untuk mencegah terjadinya permasalahan yang menimbulkan dampak merugikan dari aspek drainase (termasuk mencegah terjadinya banjir di saat musim hujan). Sebagai contoh suatu kawasan dengan elevasi di bawah muka air banjir sungai terdekat, maka perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan tersebut harus sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya banjir, yaitu dengan melakukan penimbunan sampai batas peil banjir sebelum prasarana tersebut dibangun.

Pembangunan suatu jaringan drainase di suatu kawasan tidak bisa hanya didasarkan pada data masukan dari kawasan internal. Kapasitas saluran yang direncanakan harus memperhatikan kapasitas saluran yang sudah ada di kawasan lain, sehingga sistem yang dibangun tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan lain. Dengan koordinasi pengawasan yang efektif dampak negatif tersebut dapat dihindarkan.

Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan merupakan masalah yang sering terjadi dalam pembangunan wilayah Kalimantan Timur. Lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan dapat dilihat pada uraian berikut ini :

a. Perubahan Peruntukan Lahan

Pada dasarnya, peruntukan lahan pada suatu kawasan sudah ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah disyahkan oleh Bappeda. Namun pada prakteknya, ketentuan tersebut tidak selalu dipatuhi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan pembangunan di Wilayah Studi.

Hal yang paling sering terjadi adalah kawasan penampungan/resapan air atau kawasan hijau terbuka dirubah peruntukannya menjadi kawasan perumahan. Akibat dari perubahan peruntukan lahan tersebut, maka luasan dari kawasan ”parkir” air hujan akan berkurang secara sistematis dan pada akhirnya akan memperparah masalah banjir di wilayah studi.

b. Pelanggaran terhadap Rasio KDB

KDB atau Koefisien Dasar Bangunan adalah suatu rasio yang menunjukan perbandingan antara luas bangunan terhadap luas lahan yang tersedia. Sehingga untuk luas lahan yang sama, apabila rasio tersebut semakin besar maka bangunan yang boleh didirikan juga semakin luas. Rasio KDB mengacu pada kondisi dan peruntukan lahan pada lahan yang akan didirikan bangunan. Dengan demikian, rasio KDB merupakan batas maksimum yang diperbolehkan untuk mendirikan bangunan pada suatu wilayah.

Di Kabupaten Kutai Barat batas rasio tersebut belum menjadi suatu topik utama karena jumlah penduduk Kabupaten Kutai Barat dengan pertumbuhan perumahan dan rumah penduduk belum begitu pesat, dan untuk di wilayah kota Sendawar mungkin yang mengalami dampak migrasi adalah didaerah kecamatan Melak dan kecamatan Barong Tongkok.

c. Diabaikannya batas Peil Banjir

Sebagaimana dijelaskan pada sub bab sebelumnya, dimana salah satu penyebab banjir di wilayah studi adalah elevasi kawasan perumahan yang berada di bawah muka air banjir sungai maupun di bawah muka air normal, sehingga kawasan atau area perumahan tersebut menjadi kawasan yang rawan banjir.

Kondisi tersebut terjadi karena pelaksanaan pembangunan kawasan perumahan oleh Pengembang tidak memperhatikan peil banjir yang ada. Pengembang seharusnya melakukan penimbunan sampai pada batas peil banjir sebelum mulai melaksanakan pembangunan perumahan.

d. Pelanggaran Penggunaan Lahan Pada Kawasan Konservasi

Hal lain yang sering terlihat dari lemahnya koordinasi pengawasan pembangunan adalah terjadinya penebangan liar di lahan yang berada pada kawasan konservasi. Pelanggaran tersebut mengakibatkan berkurangnya luasan dari kawasan konservasi dan pada akhirnya akan mengurangi luasan dari kawasan resapan atau ruang hijau terbuka.

4. Tinjauan Terhadap Sistem Penyaluran Air Hujan Yang Ada

Tinjauan terhadap sistem penyaluran air hujan yang ada akan mencakup tinjauan terhadap sungai sebagai badan penerima air utama, dan sistem saluran sebagai badan pembawa.

a. Tinjauan Terhadap Sungai Induk

Perhitungan mengenai kapasitas sungai berdasarkan profil sungai yang ada untuk kemudian dibandingkan dengan debit banjir hasil perhitungan dengan periode ulang 10 tahun, akan memberikan gambaran mengenai kemungkinan terjadinya atau tidak terjadinya luapan pada sungai dimaksud. Sampai saat ini data profil sungai dan data debit banjir dari sungai –

b. Tinjauan Terhadap Saluran Yang Ada

Meliputi tinjauan dimensi, keadaan saluran, perlengkapan saluran yang ada, serta hal – hal lain yang dianggap perlu sehingga dapat diharapkan akan didapat dimensi saluran yang sesuai.

Hasil pengamatan lapangan adalah sebagai b erikut :

Tingkat pelayanan sistem yang ada masih rendah dalam konteks perbandingan antara luas yang harus dilayani dengan panjang sistem yang sudah terbangun/terpasang.

Kapasitas saluran belum di disain menurut sistem blok kawasan yang harus dilayani,sehingga ada beberapa saluran yang melayani suatu kawasan terlalu luas. Sedimentasi dan timbunan sampah menyebabkan kapasitas pengaliran saluran

berkurang, akibatnya terjadi luapan.

Genangan yang terjadi dari hasil pengamatan disebabkan oleh luapan SungaiMahakam, banjir terjadi di saat musim hujan.

Ukuran gorong – gorong yang terlalu kecil, kerusakan gorong – gorong maupun kerusakan pada saluran merupakan salah satu penyebab terjadinya luapan dan genangan.

Tabel 7 .21

K ondisi Jaringan/Saluran yang ada di Kabupaten Kutai Barat

No

Nama Jalan /

Lokasi Saluran Panjang (m)

Dimensi Luas Catchment

area (Ha)

Jumlah Penduduk

Konstruksi Saluran Kondisi Tinggi (m) Lebar (m) Permanen Saluran Tanah

Baik Sedang Rusak

1Jln. Sendawar 125,82 1.310 - -

-Sumber : RPIJM Kabupaten Kutai Barat

5. Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Drainase

Akibat keterbatasan dana, selama ini pemeliharaan prasarana/sarana drainase kurang mendapat perhatian yang cukup dari Instansi yang berwenang. Pemeliharaan prasarana/sarana tidak dilakukan menurut suatu pola yang teratur. Biasanya pemeliharaan akan dilakukan apabila kondisi kerusakan sudah parah atau untuk mengatasi kondisi darurat dan pemeliharaan tersebut dilakukan secara partial tidak secara menyeluruh. Akibat dari tidak teraturnya pemeliharaan yang dilakukan, maka :

 Prasarana/sarana drainase tidak berfungsi dengan optimal.

 Meningkatnya kerugian yang diderita oleh masyarakat.

 Meningkatnya biaya pemeliharaan.

kesehatan lingkungan juga merupakan salah satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian. Semua pihak paham bahwa membuang sampah di selokan akan dapat menimbulkan banjir karena kapasitas saluran menjadi berkurang. Namun faktanya hal – hal tersebut masih terus terjadi.

7.5.3.2 Sasaran Drainase

Jumlah titik genangan beberapa saat setelah hujan deras yang ada pada tahun 2010 direncanakan backlog penanganan genangan menjadi 10%.

7.5.3.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah menguraikan besaran masalah yang dihadapi dan tantangan yang harus diselesaikan dalam mengatasi persoalan sistem drainase yang ada dan dalam memenuhi basic need dan development need penanganan drainase kota. Rangkuman rumusan masalahan adalah sebagai berikut ini.

• Kecepatan peresapan rendah

• Cakupan layanan terbatas

• Sistem jaringan belum terintegrasi

• Manajemen aset lemah

• Kesadaran drainase masyarakat lemah

7.5.4 Analisis Permasalahan dan Rekomendasi 7.5.4.1 Analisis Kebutuhan

Analisis diperlukan untuk mencari akar permasalahan berdasarkan kondisi yang ada saat ini dari berbagai aspek teknis maupun non teknis, serta berbagai kendala yang dihadapi dalam rangka mencapai sasaran yang diinginkan. Analisis permasalahan dapat dilakukan dengan gap analisis yaitu suatu metoda yang membandingkan antara kebutuhan dan pengelolaan yang tersedia sehingga dapat direncanakan kapasitas penyediaan pengelolaan drainase lima tahun ke depan. Dari gap analisis di bawah terlihat gap genangan dan kapasitas drainase yang tersedia tiap tahun cukup besar sehingga perlu segera merencanakan program pengembangan drainase lima tahun ke depan. Gap analisisi dibawah mengasumsikan pertumbuhan genangan 5% pertahun.

7.5.4.2 Rekomendasi

Rekomendasi didasarkan pada komponen – komponen yang menjadi variabel dalam konsep penataan sistem drainase. Komponen-komponen yang perlu diperhatikan di dalam penataan sistem drainase antara lain pola aliran, normalisasi sungai-sungai dan saluran- saluran drainase, mengembalikan fungsi bantaran sungai, menerapkan garis sempadan sungai dan saluran, meningkatkan kapasitas dan pemanfaatan situ, pemeliharaan sarana drainase, penanggulangan erosi lahan, dan penanggulangan banjir.

1 Pola Aliran

Pola aliran harus dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi Rencana Tata Ruang Wilayah, baik dalam aneka ragam fasilitas yang direncanakan oleh tata ruang tersebut, maupun pentahapan pelaksanaan tata ruang tersebut. Proporsi pembagian daerah alirannya lebih ditentukan oleh kondisi topografi daerahnya, sedangkan penentuan arah alirannya ditentukan oleh lereng lahan yang dibuat drainasenya. Pola aliran dan jenis pengalirnya didesain sedemikian rupa sehingga mendukung prinsip desain saluran yang memerlukan pemeliharaan seminimum mungkin. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penentuan pola aliran adalah :

 Badan penerima air eksistin

Jaringan sungai yang ada dalam suatu wilayah perencanaan, merupakan titik akhir dari aliran air yang ada.

 Sistem drainase yang ada

Dalam perencanaan pola aliran, sedapat mungkin tidak merusak pola alami/buatan yang sudah ada sehingga pekerjaan yang dilaksanakan akan menjadi lebih ekonomis dan memungkinkan untuk menjangkau seluruh saluran di daerah tersebut.

 Topografi daerah aliran

Pola aliran yang mengikuti kemiringan lahan akan mempermudah pengaliran air dan selain itu pekerjaan akan menjadi lebih ekonomis dan mudah dalam pengoperasiannya.

 Jalur jalan yang ada

Jalur jalan yang ada sering dipergunakan dalam penentuan pola aliran sehingga pola aliran drainase akan dibuat mengikuti jalur jalan yang ada.

 Batas administratif daerah aliran

Batas administratif diperlukan untuk menentukan kapasitas dari air yang melimpas kedalam saluran dan menjadi beban bagi Instansi yang berwenang pada daerah administratif tersebut.

Pembenahan pola aliran untuk suatu daerah yang sudah lama berkembang terutama untuk daerah yang terletak di zona aliran pantai adalah sebagai berikut :

 Jika daerahnya cukup tinggi di atas elevasi air pasang, maka penataan drainasenya bisa menggunakan kanal-kanal yang bisa dialirkan ke sungai terdekat.

 Untuk daerah elevasinya lebih rendah dari air pasang maka harus dibuat polder yang dilengkapi dengan danau penampungan dan instalasi pompa. Untuk menekan besarnya kapasitas pompa yang dibutuhkan, sistem polder ini bisa dikombinasikan dengn pemakaian pintu-pintu klep.

Perencanaan sistem drainase pada suatu daerah reklamasi baru sebaiknya memakai sistem polder. Keuntungan dari sistem tersebut adalah menghindari pemakaian material tanah urug yang terlalu besar sehingga dampak negatif yang mungkin timbul pada lokasi sumber material urug dapat dihindarkan.

2. Sudetan

sungai yang mempunyai kapasitas aliran terbatas menuju sungai lain yang masih mampu menampung debit banjir tambahan dari daerah aliran sungai (DAS) lain. Mengingat aspek teknis mengenai saluran sudetan ini sangat luas maka dalam hal ini perlu dilakukan studi khusus. Konsep dasar perencanaan saluran sudetan adalah :

Sungai asal benar-benar mempunyai kapasitas aliran yang sangat terbatas dan rawan terhadap luapan banjir.

Sungai asal melewati daerah pusat-pusat kegiatan yang padat sehingga untuk usaha pelebaran sungai harus menyelesaikan terlebih dahulu masalah pembebasan tanah. Elevasi sungai tujuan harus lebih rendah dari elevasi sungai asal agar air dapat

disalurkan secara gravitasi.

Sungai tujuan harus mempunyai kapasitas lebih dan tidak melalui daerah yang mengharuskan dilakukannya pengamanan tinggi.

3. Normalisasi Sungai - sungai dan Saluran Drainase

Kapasitas pengaliran sungai mengalami penurunan akibat sedimentasi, endapan sampah dan berbagai bangunan yang berada di bantaran sungai serta akibat kegiatan manusia lainnya. Begitu juga yang dialami oleh saluran-saluran yang ada, sehingga daerah yang seharusnya masih tergolong aman banjir menjadi daerah yang rawan banjir. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diadakan normalisasi sungai-sungai dan saluran-saluran drainase. Normalisasi yang perlu dilakukan bergantung pada kondisi masing-masing sungai/jalur drainase.

4. Mengembalikan Fungsi Bantaran Sungai

Keberadaan bantaran bagi sungai adalah sangat penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sungai itu sendiri, karena bantaran berfungsi sebagai lahan cadangan sungai untuk menampung debit banjir yang besar. Pada sebagian sungai kondisi dan batas bantaran ini tidak jelas, sebaliknya ada yang mempunyai bantaran yang jelas dengan batas berupa tanggul alam dan bertanda bebas aliran air yang jelas pula. Tentu saja tidak seluruh sungai mempunyai bantaran karena lahan bantaran tersebut terbentuk secara alamiah dari sungai yang bersangkutan.

Untuk mengembalikan fungsi bantaran ini perlu dirintis dengan mengadakan pendataan/inventarisasi bantaran dengan batas-batasnya, diberi tanda dan memberikan penjelasan kepada masyarakat akan batas dan manfaat bantaran sungai tersebut.

Selain itu untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan yang pesat di masa mendatang, pemerintah hendaknya konsisten terhadap pemanfaatan daerah bantaran sungai ini, sehingga bantaran tetap berfungsi seperti yang dikehendaki.

5. Menetapkan Garis Sempadan Sungai dan Saluran.

Pemikiran untuk mengadakan perluasan masa mendatang dari sistem drainase yang dibangun dengan bertahap ini, mengharuskan Pemerintah Daerah untuk mengadakan cadangan lahan dan

melakukan pengaturan lahan sesuai dengan rencana pengelolaan kawasan lindung.

Hal ini akan mengarah diperkuatnya segi legalitas yang menyangkut pada pengadaan lahan, seperti misalnya perundangan garis sempadan sungai atau saluran, yang ditentukan menurut besarnya saluran atau sungai tersebut. Jika daerah aliran sungai tersebut memiliki kapasitas besar, maka lahan sempadan yang harus dicadangkan di tepi kanan dan kiri juga lebih besar daripada sungai kecil. Dengan demikian akan dapat dijamin adanya kemungkinan perluasan sistem saluran drainase di kemudian hari bilamana debit bertambah seiring dengan pertambahan kawasan terbangun perkotaan. Besarnya penetapan garis sempadan sungai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 7 .22 Garis Sempadan Sungai

No. Jenis Lebar Sempadan (m) Keterangan A 1. 2. 3. PASANG SURUT Situ / Danau

Sungai besar pasang surut Sungai kecil pasang surut

50 100

50

Dari batas muka air tertinggi. Dari tepi sungai atau pasang

tertinggi dan berfungsi sebagai jalur hijau.

Dari tepi sungai atau pasang tertinggi dan berfungsi sebagai jalur hijau.

B 1

2 3

NON PASANG SURUT Sungai Bertanggul

Di luar kawasan perkotaan Di dalam kawasan perkotaan

Sungai Tidak Bertanggul Di luar kawasan perkotaan a. Sungai besar b. Sungai kecil 5 3 100 50

Dari sisi luar kaki tanggul Dari sisi luar kaki tanggul

Dilakukan ruas per ruas dengan mempertimbangkan luas daerah tangkapan yang bersangkutan, serta dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

No. Jenis Lebar Sempadan (m) Keterangan 4 5 6 7 8 9 10 11

Di dalam kawasan perkotaan a. Sungai dgn kedalaman < 3 m b. Sungai dgn kedalaman 3 – 20 m c. Sungai dgn kedalaman > 20 m Drainase Utama

Di luar kawasan perkotaan

Di dalam kawasan perkotaan

Drainase Sekunder

Di luar kawasan perkotaan

Di dalam kawasan perkotaan

Drainase Tersier

Di luar kawasan perkotaan Di dalam kawasan perkotaan

10 15 30 10 10 5 5 3 3 dengan mempertimbangkan luas daerah tangkapan yang bersangkutan, serta dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

Dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

Dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

Dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

Dihitung dari tepi sungai rencana

Dihitung dari tepi sungai rencana

Dihitung dari tepi sungai rencana

Dihitung dari tepi sungai rencana

Dihitung dari tepi sungai rencana

Dihitung dari tepi sungai rencana

Sumber : RPIJM Kabupaten Kutai Barat

6. Pembuatan Tandon Air

Pembangunan tandon-tandon air buatan pada beberapa lokasi yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan retensi air hujan. Dengan adanya tandon – tandon air, maka debit air yang mengalir ke badan penerima air akhir (sungai) dapat dikurangi sebesar kapasitas embung atau tandon air tersebut. Untuk lebih jelasnya, contoh tandon air tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 7 .4 Tandon Banjir Dengan Sarana Penunjang

7. Pemeliharaan Sarana Drainase

Sarana drainase yang terbangun akan berfungsi sebagaimana yang diharapkan jika disertai dengan upaya pemeliharaan yang baik pula. Ada beberapa unsur yang diperlukan untuk menunjang suksesnya pemeliharaan ini, antara lain :

Tersedia badan/lembaga yang khusus menangani masalah tersebut Adanya peraturan yang mendukung

Penyediaan dana yang memadai Melibatkan peran serta masyarakat

Secara konsepsi kegiatan pemeliharaan ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tipe, dimana pengelompokkan ini dilakukan menurut maksud dan sasaran kegiatan pemeliharaan. Tipe pemeliharaan tersebut adalah :

dengan tujuan untuk menjaga kondisi prasarana drainase agar tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan rutin adalah kerusakan – kerusakan kecil, pembersihan sampah dan kegiatan pemeliharaan lain yang tidak memerlukan biaya besar. Pemeliharaan Berkala : pemeliharaan dilakukan secara berkala dalam periode waktu (3

bulan, 6 bulan) tertentu dengan tujuan untuk mengembalikan kondisi prasarana drainase agar kembali berfungsi sebagaimana mestinya. Sasaran pemeliharaan berkala adalah kerusakan – kerusakan yang cukup berat, dimana bila kerusakan tersebut tidak segera ditangani akan berkembang menjadi semakin besar atau membahayakan dan dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kegiatan pemeliharaan berkala memerlukan penanganan teknis yang detail dan biaya yang lebih besar.

Pemeliharaan Darurat : pemeliharaan darurat dilakukan untuk mengatasi kondisi –

kondisi darurat yang terjadi, yang memerlukan penanganan dengan segera. Sebagai contoh adalah tanggul yang jebol pada saat musim hujan yang segera memerlukan penanganan yang bersifat darurat.

8. Penanggulangan Erosi Lahan

Banyak upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah erosi lahan ini di antaranya dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu upaya penanggulangan secara fisik dan upaya penanggulangan secara non-fisik.

Upaya Penanggulangan Secara Fisik

Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengadakan inventarisasi jenis kerusakan lahan yang terjadi, dan mengadakan data tentang jenis tanah yang ada pada kawasan perbukitan serta menetapkan standar “Watershed management” yang akan ditetapkan sesuai dengan keadaan setiap lahan menurut kategori yang homogen.

Metodologi yang dapat diterapkan misalnya pembuatan “terassering” atau pengendalian dengan check dam, pada kawasan yang berlereng cukup terjal. Metoda penanaman rumput, perlu sampai ke penanaman pohon biasanya sering digunakan untuk mengatasi

Dokumen terkait