• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: ASURANSI MENURUT WAHBAH AZ-ZUHAILI DAN

C. Landasan Asuransi Syariah di Indonesia

1. Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah

Dalam ketentuan umum fatwa DSN-MUI tentang pedoman asuransi syariah menentukan:

“asuransi syariah (ta’mi>n, taka>ful atau tadha>mun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.”

“akad yang sesuai syariah adalah yang tidak mengandung gharar

(penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat.”

Akad yang bisa digunakan dalam asuransi syariah, yaitu:

1. Akad tija>rah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.

2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Yang dimaksud dengan premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Sedangkan klaim adalah hak peserta aasuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

Ketentuan akad dalam asuransi syariah yaitu akad tija>rah adalah akad

mudha>rabah, sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. Dalam akad

sekurang-kurangnya harus disebutkan: (a) hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; (b) cara dan waktu pembayaran premi; (c) jenis akad tija>rah dan/atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Kedudukan para pihak dalam akad tija>rah (mudha>rabah), perusahaan bentindak sebagai mudha>rib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai sha>hib

al-ma>l (pemegang polis). Sedangkan dalam akad tabarru’ (hibah), peserta

memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, dan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Ketentuan dalam akad Tija>rah dan Tabarru’ adalah jenis akad tija>rah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya. Jenis akad tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad tija>rah.

59

Jenis Asuransi dan Akadnya dalam asuransi syariah adalah segi jenis asuransi terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudha>rabah dan hibah.

Ketentuan premi dalam asuransi syariah adalah:

a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tija>rah dan jenis akad tabarru’.

b. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel moralita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.

c. Premi yang berasal dari jenis akad mudha>rabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.

d. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru’ dapat diinvestasikan. Ketentuan dalam pemberian klaim dalam asuransi syariah adalah:

a. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

b. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.

c. Klaim atas akad tija>rah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.

d. Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Dalam melakukan investasi Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syariah.17

2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentang Ta’mi>n

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, peraturan asuransi dan reasuransi terdapat dalam bab XX tentang ta’mi>n pasal 548-568.

Asuransi (ta’mi>n) menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk menerima penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

Pasal 548 menyebutkan tentang akad yang dapat digunakan pada ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n adalah: Waka>>lah bil ujrah, Mudha>rabah, dan Tabarru’.

Pada pasal 549 menjelaskan tentang prinsip waka>lah bil ujrah pada ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n adalah:

1. Waka>lah bil ujrah boleh dilakukan antar perusahaan ta’mi>n, agen sebagai

bagian dari perusahaan dengan peserta.

61

2. Waka>lah bil ujrah dapat diterapkan pada produk ta’mi>n syariah yang

mengandung unsur tabungan maupun unsur nontabungan.

Objek waka>lah bil ujrah sebagaimana disebutkan dalam pasal 550 meliputi antara lain: kegiatan administrasi, pengelolaan dana, pembayaran klaim, dhaman ishdar/underwrutung, pengelolaan portofolio risiko, pemasaran, dan investasi.

Dalam akad waka>lah bil ujrah harus mencantumkan, antara lain (pasal 551):

1. Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan;

2. Besaran, cara dan waktu pemotongan ujrahfee dari premi;

3. Syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis ta’mi>n yang ditransaksikan. Kedudukan para pihak dalam waka>lah bil ujrah sebagaimana diatur dalam pasal 552.

1. Perusahaan bertindak sebagai wakil yang mendapat kuasa untuk mengelola dana;

2. Peserta/pemegang polis sebagai individu, dalam produk tabungan dan nontabungan bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana; 3. Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun nontabungan,

bertindak sebagai pemberi kuasa untuk mengelola dana;

4. Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin pemberi kuasa/pemegang polis;

5. Akad waka>lah bersifat amanah dan bukan tanggungan sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi

imbalan yang telah diterima oleh perusahaan ta’mi>n, kecuali karena kecerobohan, wanprestasi, dan perbuatan melawan hukum, di samping sifat akad pada umumnya;

6. Perusahaan ta’mi>n sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi apabila transaksi yang digunakan adalah pelaksanaan akad waka>lah.

Dalam menginvestasikan dananya sebagaimana dalam pasal 553, perusahaan sebagai pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah. Dalam pengelolaan dana investasi, baik tabungan maupun nontabungan, dapat digunakan akad waka>lah bil ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas atau akad mudha>rabah dengan mengikuti ketentuan mudha>rabah.

Selain akad waka>lah bil ujrah, asuransi dan reasuransi syariah juga dapat menggunakan akad mudha>rabah musytarakah. Pasal 554 menjelaskan tentang ketentuan hukum dari akad mudha>rabah musytarakah:

1. Akad yang digunakan adalah akad mudha>rabah musytarakah merupakan perpaduan akad mudha>rabah dengan transaksi musyarakah dengan ketentuan yang mengikat pada masing-masing transaksi.

2. Perusahaan ta’mi>n sebagai mudha>rib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama peserta.

3. Modal atau dana perusahaan ta’mi>n dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio.

63

Dalam Pasal 555menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam transaksi mudha>rabah musytarakah, besaran, cara, dan waktu pembagian hasil investasi, dan syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk ta’mi>n yang ditransaksikan.

Pasal 556 menjelaskan tentang ketentuan hukum dari transaksi mudha>rabah musytarakah pada ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n:

1. Mudha>rabah musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan ta’mi>n,

karena merupakan bagian dari hukum mudha>rabah.

2. Mudha>rabah musytarakah dapat diterapkan pada produk ta’mi>n dan

i’adah ta’mi>n yang menggunakan unsur tabungan maupun nontabungan. Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternativ sebagai yang terdapat dalam pasal 557 berikut:

1. Hasil investasi dibagi antara perusahaan sebagai pengelola modal dan peserta sebagai pemilik modal sesuai dengan nisbah yang disepakati, atau hasil investasi sesudah diambil oleh/dipisahkan untuk/disisihkan untuk perusahaan sebagai pengelola modal, dibagi antara perusahaan dengan para peserta sesuai dengan porsi masing-masing.

2. Hasil investasi dibagi secara proporsional atau bagian hasil investasi sesudah diambil/dipisahka/disishkan untuk perusahaan, dibagi antara perusahaan sebagai pengelola modal dengan peserta sesuai dengan

Pasal 558 menjelaskan tentang apabila terjadi kerugian maka lembaga keuangan syariah sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal yang disertakan.

Pasal 559 menjelaskan tentang perusahaan ta’mi>n selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul. Investasi sebagaimana dalam ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Ketentuan umum dari ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n nontabungan adalah sebagaimana disebutkan dalam pasal 560, yaitu:

1. Akad nontabungan harus melekat pada semua produk ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n.

2. Akad nontabungan pada ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n berlaku pada semua bentuk transaksi yang dilakukan antarpeserta pemegang polis.

3. Ta’mi>ndan i’adah ta’mi>n yang dimaksud pada huruf a adalah: 1) Ta’mi>n‘ala hayat / ta’mi>n jiwa;

2) Ta’mi>n‘ala khasarah / ta’mi>nkerugian.

Pasal 561 menjelaskan bahwa akad nontabungan pada ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n mengikat semua bentuk transaksi yang dilakukan dalam bentuk hibah

dengan tujuan tolong-menolong antarpeserta, bukan untuk tujuan komersial. Pasal 562 menjelaskan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak, tata cara pembayaran premi dan klaim serta syarat-syarat lain yang disepakati dalam transaksi.

Kedudukan para pihak dalam transaksi nontabungan dalam pasal 563 adalah:

65

1. Dalam transaksi nontabungan, peserta memberikan dana hibah yang digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang terkena musibah;

2. Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana nontabungan dan secara kolektif selaku penanggung; dan

3. Perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar transaksi

waka>lahdari para peserta di luar pengelolaan investasi.

Pasal 564 menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan dana nontabungan, yaitu:

1. Pengelola ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.

2. Pembukuan dana nontabungan harus terpisah dari dana lainnya.

3. Hasil investasi dari dana nontabungan menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun nontabungan.

4. Dari hasil investasi, perusahan ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan transaksi mudha>rabah atau transaksi

mudha>rabah musytarakah atau memperoleh upah berdasarkan transaksi

waka>lah bil ujrah.

Dalam pasal 565 dijelaskan tentang alternatif yang dapat digunakan apabila terjadi kelebihan dana nontabungan, yaitu:

1. Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun nontabungan;

2. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko; dan

3. Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.

Bilamana terjadi kekurangan dana tabarru’ sebagaimana disebutkan dalam pasal 566, maka perusahaan ta’mi>n dan i’adah ta’mi>n wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk pinjaman. Pengembalian dana pinjaman kepada perusahaan ditutup dari surplus dana nontabungan.

Pasal 567 menjelaskan tentang penyelenggaraan ta’mi>n haji yang dapat dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:

1. Berdasarkan prinsip-prinsip syariah;

2. Bersifat tolong-menolong antarsesama jemaah haji;

3. Transaksi bertujuan untuk menolong sesama jemaah haji yang terkena musibah kecelakaan atau kematian; dan

4. Transaksi dilakukan antara jemaah haji sebagai peserta ta’mi>n nontabungan dengan Lembaga Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana nontabungan.

Pasal 568 menjelaskan tentang ketentuan penyelenggaraan ta’mi>n haji, yaitu:

67

1. Dalam penyelenggaraan ta’mi>nhaji:

a. Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jamaah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Jemaah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana nontabungan yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).

2. Premi ta’mi>n haji yang diterima harus dipisahkan dari premi ta’mi>n lainnya.

3. Perusahaan ta’mi>ndapat menginvestasikan dana kebajikan.

4. Perusahaan ta’mi>n berhak memperoleh imbalan atas pengelolan dana nontabungan yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.

5. Perusahaan ta’mi>n berkewajiban membayar klaim kepada jamaah haji sebagai peserta ta’mi>n berdasarkan kesepakatan yang disepakati pada awal perjanjian.

6. Kelebihan biaya operasional haji adalah hak jamaah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.18

BAB IV ANALISIS

A. Analisis Terhadap Apa yang Melandasi Pemikiran Wahbah Az-Zuhaili Tentang Ketidaksetujuannya Terhadap Asuransi Bisnis

Dalam Islam istilah asuransi dikenal dengan ta’mi>n disebabkan pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman begitu mengikatkan dirinya sebagai anggota atau nasabah asuransi. Pengertian yang lain dari at-ta’mi>n adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar pemegang polis atau ahli warisnya mendapat sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang.

Kontrak asuransi dibuat berdasarkan prinsip ketidakpastian, kejadian yang tidak menentu yang meliputi spekulasi suatu risiko. Baik peserta asuransi maupun pengusaha asuransi menyepakati suatu kesepakatan untuk menanggung risiko, pihak pertama mengalihkan risiko kerugian dan pihak kedua memperoleh premi.

Dalam menentukan hukum asuransi, Wahbah az-Zuhaili menggelompokkan asuransi tersebut kedalam dua jenis asuransi, yaitu at-ta’mi>n

at-ta’awuni dan at-ta’mi>n bi qist sabit. At-ta’m>in at-ta’awuni atau asuransi kooperatif adalah sekelompok orang yang sepakat agar masing-masing dari mereka membayar saham uang dalam jumlah tertentu dengan tujuan memberi kompensasi bagi anggota yang terkena musibah tertentu. At-ta’mi>n at-ta’awuni

69

merupakan bentuk saling memikul resiko diantara sesama orang antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.

Kesediaan menanggung risiko pada hakikatnya merupakan wujud tolong-menolong atas dasar kebaikan (tabarru’) untuk meringankan beban penderitaan saudaranya yang tertimpa musibah. Dalam konteks kehidupan warga masyarakat yang saling memberikan pertolongan dan perlindungan maka akan terwujud kehidupan sosial yang stabil dan damai sebagai realisasi dari kesadaran masyarakat untuk berbuat kebajikan yang didasari nilai keimanan kepada Tuhannya. Saling pikul ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ atau dana ibadah, sumbangan, derma yang ditujukan untuk menanggung resiko. Sebagaimana firman Allah s.w.t dalam QS. al-Ma’idah ayat 2 “dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan

permusuhan”. Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat ditegakkan nilai tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa.

Hukum at-ta’mi>n at-ta’awuni menurut Wahbah az-Zuhaili adalah diperbolehkan, karena dalam asuransi ini terdapat unsur tolong-menolong (tabarru’) di antara para peserta asuransi. Tolong-menolong dalam hal kebaikan di dalam Islam sangatlah dianjurkan. Dalam hal ini para peserta asuransi membayar atau menghibahkan sejumlah uang tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama. Apabila salah satu dari peserta tersebut mendapat musibah maka akan diberi pertanggungan dari dana yang terkumpul tersebut.

Prinsip asuransi ini menekankan pada semangat kebersamaan dan tolong-menolong (ta’awun). Semangat asuransi menginginkan berdirinya sebuah masyarakat mandiri yang tegak di atas asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini, tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaannya akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.

At ta’mi>n bi qist sabit atau asuransi dengan bayaran tetap adalah akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa orang pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. At ta’mi>n bi qist sabit

lebih di kenal dengan asuransi bisnis, disebut juga asuransi konvensional. Konsep dasar asuransi ini adalah adalah jual beli antara peserta dan perusahaan asuransi. Hal ini dapat dipahami dari arti asuransi secara umum yang berarti “jaminan”. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa prinsip pengelolaan risiko asuransi bisnis (konvensional) adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau memindahkan risiko peserta asuransi ke perusahaan asuransi.

Hukum asuransi tersebut menurut Wahbah az-Zuhaili tidak diperbolehkan. Yang menjadi landasan pelarangan asuransi bisnis, yaitu karena mengandung riba, gharar, dan judi.

71

Unsur riba dalam asuransi tersebut karena adanya kompensasi dari sumber yang mengandung syubhat, perusahaan asuransi menginvestasikan modalnya di perusahaan-perusahaan yang menggalakkan riba. Kita dapat melihat dari manfaat asuransi bagi kedua belah pihak, beberapa jenis asuransi juga berfungsi sebagai tabungan atau sumber pendapatan. Yakni, selain memberikan perlindungan, penanggung juga memberikan manfaat berupa bunga dari hasil akumulasi total premi yang dibayarkan. Sementara itu perusahaan asuransi juga memperoleh bunga dari invesrasi disurat-surat berharga. Sebagaimana firman Allah s.w.t dalam surat al-Baqarah ayat 275 tentang pelarangannya terhadap riba.

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Adanya unsur gharar dalam asuransi bisnis menurut Wahbah az-Zuhaili disebabkan karena pada dasarnya, transaksi asuransi berstatus transaksi yang mengandung gharar yaitu transaksi spekulatif dimana objek transaksi (barang atau harga) ada kemungkinan diperoleh atau tidak diperoleh.

Sebagaimana yang terdapat dalam asuransi bisnis, objek asuransi adalah suatu peristiwa yang tidak diketahui kapan terjadinya, apabila peristiwa yang diasuransikan terjadi maka ia akan memperoleh pertanggungan dan apabila peristiwa yang diasuransikan tidak terjadi maka ia tidak memperoleh pertanggungan. Pihak tertangung tidak mengetahui sumber dana pembayaran klaim berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi

yang harus dibayarkan terpenuhi. Sementara ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah dari banyak sahabat Nabi, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menyatakan,

Rasulullah s.a.w. melarang jual beli hashah dan jual beli gharar”.

Hadits ini hanya menyebutkan jual beli, tetapi berlaku juga untuk semua transaksi kompensasi finansial karena unsur gharar berpengaruh di dalamnya seperti ia berpengaruh dalam transaksi jual beli.

Adanya unsur judi yang terdapat dalam asuransi bisnis disebabkan karena ada untung-untungan dalam kompensasi finansial, dimana pihak penerima asuransi membayar premi yang jumlahnya sedikit dan menunggu keuntungan yang besar. Di dalam Islam judi merupakan perbuatan yang dilarang. Sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 90.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,

berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Asuransi merupakan suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti kerugian besar yang belum pasti. Unsur

gharar yang terkandung dalam asuransi bisnis memberi indikasi bahwa asuransi juga mengandung unsur ketidakjelasan atau kekaburan (jahalah). Ketidakjelasan mengenai jumlah uang yang akan diberikan masing-masing dari pihak penerima dan pemberi asuransi. Selain unsur riba, gharar, dan jahalah, dalam kesimpulannya Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa asuransi bisnis menjadi haram karena adanya unsur gaban dan judi.

73

Wahbah az-Zuhaili juga menyertakan pendapat Ibn ‘Abidin, bahwa asuransi bisnis tidak dapat disamakan dengan kafalah dan mudha>rabah.

Dapat disimpulkan bahwa yang dijadikan landasan oleh Wahbah az-Zuhaili melarang asuransi bisnis adalah surat al-Baqarah ayat 275 tentang riba, surat al-Maidah ayat 90 tentang judi, hadits Nabi s.a.w. yang melarang jual beli

gharar, serta fatwa Ibn ‘Abidin tentang haramnya asuransi laut.

B. Analisis Terhadap Implikasi Pemikiran Wahbah az-Zuhaili Tentang Penolakan Asuransi terhadap Perkembangan Asuransi Syariah di

Dokumen terkait