• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang itu. Kelima landasan tersebut adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan juridis, serta landasan yang bersifat administratif. Keempat landasan yang pertama adalah landasan keberlakuan yang bersifat mutlak, sedangkan satu landasan yang terakhir bersifat fakultatif. 22 Berikut dikemukakan pengertian masing-masing landasan keberlakuan tersebut.

Pertama, landasan filosofis. Undang-Undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang dalam kenyataan. Dengan demikian, cita-cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri. Bagi Indonesia, Pancasila merupakan landasan filosofis semua produk undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Kedua, landasan sosiologis adalah bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik

22 Jimly Asshiddiqie, Perih Undang-Undang, (Konstitusi Press, Jakarta, 2006), h. 169-174.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

30

pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normative yang dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan pada kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

Ketiga, landasan politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan.

Keempat, landasan juridis. Dimaksud dengan landasan ini oleh Jimly Asshiddiqie adalah yang disebutnya sebagai bagian konsideran

“Mengingat” dari undang-undang (dan peraturan perundang-undangan

pada umumnya).

Kelima, landasan administratif adalah yang dituangkan dalam konsideran “Memperhatikan”.

Di halaman-halaman berikutnya, Jimly Asshiddiqie kembali membicarakan keberlakuan norma hukum atas keberlakuan secara filosofis, politis, juridis, sosiologis, maupun secara administratif. Namun, yang diuraikan hanya empat keberlakuan yang pertama. Pada dasarnya uraiannya sama dengan uraian sebelumnya, hanya yang berbeda pada uraian tentang keberlakuan politis dan

keberlakuan sosiologis. Untuk jelasnya adalah sebagai berikut.1123

Pertama, keberlakuan filosofis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai “staatsfundamentalnorm”

Kedua, keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang

bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang:

1. ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau lebih tinggi, seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan “Stuffenbau Theorie des Recht”.

2. ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusanantara suatu kondisi dengan akibatnya, seperti dalam pandangan J.H.A.Logemann.

3. Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku, seperti dalam pandangan W. Zevenbergen.

4. ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.

Pandangan Jimly Asshiddiqie tentang keberlakuan yuridis lebih luas dari yang disebutnya sebagai bagian konsideran “Mengingat” dari undang-undang, yang tiada lain adalah dasar hukum.

Ketiga, keberlakuan politis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis

apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen.

Keempat, keberlakuan sosiologis. Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cendrung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan:

1. Kriteria pengakuan (recognition theory), menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur dapat mengakui keberadaan dan daya

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

32

ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan.

2. Kriteria penerimaan (reception theory), pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya atur, daya ikat, dan daya paksa norma hukum baginya.

3. Kriteria faktisitas hukum, menekankan pada kenyataan faktual, yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Kriteria faktisitas hukum menempatkan keberlakuan sosiologis dalam konteks pelaksanaan undang-undang atau peraturan daerah, sedangkan dalam konteks pembentukan undang-undang atau peraturan daerah tidak menekankan pada kenyataan faktual, yaitu tidak menekankan sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.

Dalam konteks pembentukan undang-undang atau peraturan daerah yang ditekankan adalah perihal undang-undang atau peraturan daerah yang harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu mesti diartikulasi dan diagregasi tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum sehingga undang-undang atau peraturan daerah mempunyai validitas dan upaya itu tergambarkan dalam konsiderans undang-undang atau peraturan daerah. Untuk jelasnya dapat digambarkan dalam ragaan berikut.

Ragaan : Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

M. Solly Lubis mengemukakan, ada tiga dasar atau landasan dalam rangka pembuatan segala peraturan, yaitu:

a. Landasan filosofis. b. Landasan yuridis. c. Landasan politis.24

Perbedaannya dengan pandangan Jimly Asshiddiqie adalah tidak dimasukkannya landasan atau unsur sosiologis dan administratif, sebagai salah satu landasan keberlakuan pembuatan peraturan perundang-undangan. Berikut ini pandangan Solly Lubis tentang masing-masing landasan tersebut.

Pertama, landasan filosofis yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara. Misalnya, di Negara Republik Indonesia, Pancasila

24 M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 1989), h. 6-9.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

34

menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat itu.25

Kedua, landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan. Landasan yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Landasan yuridis dari segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formil bagi Presiden untuk membuat RUU.

2. Landasan yuridis dari segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi materiil untuk membuat UU organik mengenai pemerintahan daerah.26

Ketiga, landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Misalnya, garis politik otonomi yang tercantum dalam Tap MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN menjadi landasan politik pembuatan UU Nomor 5 Tahuh 1974 yang mengatur pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Tegasnya, garis politik otonomi dalam GBHN itu memberi pengarahan dalam pembuatan UU tersebut.

25 Bandingkan Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, bahwa kelakuan filosofis atau h berlakunya secara filosofis adalah kaidah hukum bersangkutan sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat adil dan makmur, dan seterusnya. Lihat Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perih Kaedah Hukum, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989), h. 92.

26 Pendapat tersebut dikemukakan ketika UUD 1945 belum diubah. Meski demikian pendapat tersebut masih relevan ketika UUD 1945 sudah mengalami perubahan keempat kalinya.

Pendapat M. Solly Lubis tentang landasan yuridis sama dengan muatan dasar hukum menurut Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 26 (vide Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yang pada intinya mencakup dasar hukum formal dan dasar hukum materiil. Sedangkan yang dimaksud dengan landasan politis oleh M. Solly Lubis adalah politik hukum, yang pada dasarnya adalah kebijakan hukum (legal policy). Makna landasan politis yang demikian sama dengan pandangan Jimly Asshiddiqie, bahwa landasan politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.27 Namun, dalam halaman yang lain, Jimly Asshiddiqie memaknai keberlakuan politik itu sebagai suatu konstelasi politik di parlemen.28

Bagir Manan mengemukakan tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Oleh karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik haruslah mempunyai tiga dasar keberlakuan tersebut.29 Berikut ini pendapat Bagir Manan tentang hal tersebut.

Pertama, dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis

27 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 172. 28 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 242-243.

29 Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Penerbit Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992), h. 14-17.

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

36

peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4) keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya. Pandangan Bagir Manan tentang dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) cakupannya lebih luas dari pandangan M. Solly Lubis, di dalamnya tidak saja terdapat dasar hukum formal dan dasar hukum materiil, juga terdapat keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.

Kedua, dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.

Ketiga, dasar berlaku secara filosofis (filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.

Pandangan Bagir Manan tersebut, dari segi rinciannya terdapat perbedaan dengan M. Solly Lubis, yakni tidak memasukkan dasar berlaku politis, juga berbeda dengan Jimly Asshiddiqie, yakni tidak memasukan dasar berlaku politis dan administratif. Substansi pandangan Bagir Manan tidak berbeda dengan M. Solly Lubis menyangkut dasar filosofis dan yuridis, dan juga tidak berbeda dengan Jimly Asshiddiqie menyangkut konsiderans filosofis, yuridis, dan

sosiologis. Berdasarkan pemahaman normatif dan teoritis tersebut, maka unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan.

3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

Relevansi landasan keabsahan tersebut dengan pengaturan retribusi adalah pengaturan retribusi mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis, sebagaimana diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

38

kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan.

Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

BAB V

JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

Dokumen terkait