• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian tentang Peraturan Walikota Denpasar tentang Izin Gangguan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Penelitian tentang Peraturan Walikota Denpasar tentang Izin Gangguan."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA DENPASAR

TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH

NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG

IZIN GANGGUAN

TIM PENYUSUN

PEMERINTAH KOTA DENPASAR

(2)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

ii

KATA PENGANTAR

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kota Denpasar mengadakan kerjasama untuk pembuatan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan Walikota. Oleh Fakultas Hukum pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang kemudian membentuk Tim Peneliti yang bertugas melakukan penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik.

Naskah Alademik ini sebagai karya penelitian hukum tidak menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kota Denpasar, sehingga Tim Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya. Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.

(3)

DAFTAR ISI

JUDUL... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 2

1.3. Tujuan dan Kegunaan ... 3

1.4. Metode ... 3

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS ... 7

2.1. Kajian Teoritis ... 7

2.2. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma ... 13

2.3 Relevansinya dengan Pengaturan Retribusi Izin Gangguan ... 20

2.4 Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat ... 24

2.5 Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah ... 24

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ... 26

(4)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

iv

BAB V JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH ... 39

5.1. Orientasi Umum ... 39

5.2. Materi Muatan Perwali Tentang Retribusi Izin Gangguan ... 41

BAB VI PENUTUP ... 43

6.1. Simpulan ... 43

6.2. Saran ... 46

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan dalam kaitannya dengan perizinan daerah merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan kegiatan pengelolaan pelayanan publik.

Perubahan paradigma baru dalam kaitannya dengan pelayanan perizinan, telah memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan perizinan yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan daerah dari pemerintah daerah lain, masyarakat / stake-holder.

(6)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

2

Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang adanya pendelegasian kewenangan dalam bentuk Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan yang materi muatannya terdiri atas :

1. Tata Cara Pemungutan

2. Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran, anggsuran, penundaan pembayaran

3. Keringanan, pengurangan dan pembebasan 4. Tata Cara Penagihan

5. Penghapusan piutang yang kadaluwarsa

Adanya pendelegasian kewenangan dalam bentuk Peraturan Walikota sehingga perlu untuk menyusun dan metepakan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

B. Identifikasi Masalah

Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu pengaturan menyangkut penormaan materi muatan dan prosedur pembentukan. Kajian ini fokus pada upaya penyusunan naskah akademik rancangan peraturan walikota oleh karena itu berada pada isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan sebagai suatu aturan yang mengandung norma hukum.

Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni: Penetapan

1. Tarif Retribusi

2. Tata Cara Pemungutan

3. Tata Cara Pembayaran, Penempatan Tempat Pembayaran, Anggsuran, Penundaan Pembayaran

(7)

5. Tata Cara Penagihan

6. Penghapusan Piutang yang kadaluwarsa

C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan, yakni:

a. Merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

b. Merumuskan ruang lingkup materi rancangan Peraturan Walikota Kota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

2. Kegunaan, yakni:

a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi penyusun Rancangan Peraturan Walikota Kota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan

b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan.

D. Metode

(8)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

4

1. Pendekatan.

Penelitian Hukum mengenal beberapa metode pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach),dan pendekatan kasus (case approach)1. Dalam penelitian ini digunakan

beberapa cara pendekatan untuk menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep hukum (analytical and conceptual approach), dan analytical approach.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisa Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar tentang Pelaksanaan

Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan gangguan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan histories (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach)2.

Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan retribusi izin gangguan, antara lain Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 tahun 2011 tentang Retribusi Izin Gangguan.

Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan menelaah pendapat para ahli berkaitan dengan konsep yang

1 Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset, h. 93-137.

(9)

digunakan mengenai Retribusi Izin Gangguan. Pendekatan analitis (analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menguraikan aturan hukum sehingga mendapat komponen-komponennya atau unsur-unsurnya untuk dapat diterapkan dalam suatu persoalan tertentu.

2. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum informatif. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, Dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No 15 Tahun 2011tentang Retribusi Izin Gangguan serta peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan Retribusi Izin Gangguan.

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun para pihak yang membidangi tentang Retribusi Izin Gangguan. Bahan ini digunakan sebagai penunjang dan untuk mengonfirmasi data primer dan data sekunder.

3. Pengumpulan Bahan Hukum.

Metode Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara :

(10)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

6

b. Bahan hukum informatif dikumpulkan dengan cara studi lapangan

yaitu wawancara dan FGD (Focus Group Discussion).

4. Analisis.

Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan interpretasi secara Hermeneutikal yaitu berdasarkan pemahanan tata bahasa (gramatikal) yakni berdasarkan makna kata dalam konteks kalimatnya, aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang sejarah pembentukannya (historikal) dalam kaitannya dengan tujuan yang mau diwujudkannya (teleologikal) yang mentukan isi hukum positif itu (untuk menemukan ratio legis-nya) serta dalam konteks hubungannya dengan aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara kontekstual merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup, serta nilai-nilai cultural dan kemanusiaan fundamental (philosopical) dalam proyeksi ke masa depan (futurelogikal)3

3 Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hokum normative” analisis penelitian

(11)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS

2.1 Kajian Teoritis

Konsep-konsep pokok yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep retribusi dan rancangan peraturan walikota yang akan diurai dalam urutan sebagai berikut:

1. Menempatkan sudut pandang perbedaan pajak daerah dan retribusi daerah.

2. Konsep retribusi daerah.

3. Konsep Retribusi Izin Gangguan. 4. Konsep peraturan daerah.

1. Menempatkan Sudut Pandang Perbedaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua,yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan (2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan.4 Pada

retribusi daerah terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.5 Secara argumentum a contrario,

pada pajak daerah tidak terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimanatampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di dalamnya harus pula terdapat unsur imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya

4 Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik

PerubahanKebijakan 1974-2004, Kencana, Jakarta h. 125

5 R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco,

(12)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

8

retribusi daerah. Faktor yang membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untukmasyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yangbersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsungkepada pembayar retribusi.6 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas

jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuatuntuk itu.7Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan

pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatubarang privat, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah retribusi. Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak daerah terdapat ciri-ciri, yang membedakannya dengan retribusi daerah, yakni:

a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak pemerintah daerah;

b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif; dan

c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor retribusi yang bersangkutan

6 Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing,

Jakarta, h. 56.

(13)

2. Konsep Retribusi Daerah.

Konsepsi Pengaturan Retribusi Daerah memposisikan pemahaman dan pandangan mengenai materi muatan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah berikut model kerangka rancangannya di dalam sistem pengaturan tentang retribusi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), sistem perundang-undangan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU P3) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (UU Pemda). Pemosisian itu menjadi penting dalam konteks pembentukan peraturan daerah tentang retribusi daerah, yang bermuara pada isu-isu: [1] apakah semua ketentuan tentang retribusi daerah dalam UU PDRD dimasukan sebagai materi muatan Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah, [2] bagaimanakah pengelompokan materi muatan pengaturan retribusi daerah di dalam kerangka Peraturan Daerah, [3] apakah ketentuan pidana dalam UU PDRD dimasukan sebagai ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah.

Menempatkan sudut pandang Retribusi Daerah dalam Sistem Pungutan Daerah. Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan (2) Pajak yangdipungut tanpa kompensasi layanan. Pada retribusi daerah terdapat suatu kontraprestasi langsung

(14)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

10

dari pihak pemerintah.8Secara argumentum a contrario, pada pajak

daerah tidak terdapat pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah. Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung merupakan pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana tampak pada pendapat berikut. Pajak Daerah, di dalamnya harus pula terdapat unsure imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. faktor yang membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung kepada pembayar retribusi.9 Artinya, setiap pembayaran pajak memberi

kontribusi atas jasa-jasa pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima konstraprestasi langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah disediakan atau dibuat untuk itu.10

Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan pungutannya adalah retribusi.11 Dengan demikian, secara konseptual dalam konsep pajak

8 R. Soedargo, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (N.V. Eresco, Bandung, 1964), h. 29

9 Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, (Yellow Printing, Jakarta, 2007), h. 56.

10 Kesit Bambang Prakosa, Pajak dan Retribusi Daerah, (UII Press, Yogyakarta, 2003), h.35.

(15)

daerah terdapat ciriciri, yang membedakannya dengan retribusi daerah, yakni:

a. pengembalian barang/jasa yang tidak langsung dari pihak pemerintah daerah;

b. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif; dan

c. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan.

3. Konsep Retribusi Daerah dan Retribusi Izin Gangguan

Pasal 1 angka 62 UU PDRD 2009 menentukan Retribusi daerah adalah Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

Dalam Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2)UU PDRD 2009 obyek retribusi izin gangguan adalah :

(1) Objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja.

(16)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

12

4. Konsep Peraturan Walikota

Menurut Pasal 1 angka 26 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota

Peraturan Walikota yang dimaksud dalam kajian ini adalah Peraturan Walikota Denpasar , yakni peraturan perundang-undangan yang Walikota berdasarkan adanya pendelegasian kewenagan mengatur. Berdasarkan Pasal 246 UU No 233 Tahun 2014 Perkada adalah

(1) Untuk melaksanakan Perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan, kepala daerah menetapkan Perkada.

(2) Ketentuan mengenai asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan Perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 berlaku secara mutatis mutandis terhadap asas pembentukan dan materi muatan, serta pembentukan Perkada.

Dengan demikian dalam pengertian Peraturan Walikota Kabupaten/ Kota terdapat unsur-unsur:

1. Bentuknya berupa peraturan tertulis; 2. Pembentuknya adalah Walikota i; dan

3. Kekuatan mengikat adalah mengikat secara umum.

Mengikat secara umum merupakan konsekuensi logis dari karakter norma hukum yang termuat dalam peraturan tertulis tersebut, yakni norma hukum yang umum-abstrak, atau sekurang-kurangnya norma hukum yang umum-konkret.12 Norma umum-abstrak adalah

12 A. Hamid S. Attamimi, 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesiadalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai KeputusanPresiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I

(17)

norma yang ditujukan kepadaorang tidak tertentu dan objek yang diatur berupa fakta tidak tertentu. Norma umum-konkret adalah norma yang ditujukan kepada orang tidak tertentu dan objek yang diatur berupa fakta tertentu.Berdasarkan pemahaman tersebut, penyusunan konsep awal Perwali tentang Retribusi Izin Gangguan sebagai salah satu keluaran dari kajian akademik ini diarahkan pada karakter norma hukum tersebut di atas.

2.2 Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma

Berikutnya, tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik yang bersifat materiil.13

Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang bersifat formal dituangkan dalam UU pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang secara muatais mutandis belakujuga bagi pembentukan Peraturan Walikota. Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik”, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan

(18)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

14

g. keterbukaan.

Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan dalam Penjelasan UU Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara lain:

a. dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

(19)

Relevansi asas-asas formal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan retribusi dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan retribusi bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang dikenakan retribusi, dan berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Daerah melakukan pungutan retribusi, sehingga retribusi dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan pemungutan retribusi sebagai sumber pedapatan asli daerah atau menambah kas daerah secara teoritik dapat dibenarkan, dengan analogi pada teori tentang fungsi pajak (baca: fungsi pungutan), yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni fungsi penerimaan (bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi Penerimaan adalah pungutan sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi Pengaturan adalah retribusi digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.14 Misalnya retribusi izin

mendirikan bangunan (IMB) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan penghuni bangunan dan lingkungannya.

Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh: Pengaturan retribusi dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota

14 Anggito Abimanyu, et.al., Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun

2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Pusat Pengkajian Ekonomi dan

(20)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

16

Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota Denpasar. Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD.

Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan. Pungutan retribusi harus dengan Peraturan Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada Pasal 156 ayat (3) dan ayat (4) UU PDRD.

Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang retribusi adalah harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan retribusi; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan retribusi, termasuk subsansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan retribusi memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan sepanjang pengaturan retribusi memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi pengaturan retribusi memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib retribusi, sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.

(21)

hukum dalam Peraturan Daerah tentang retribusi yang menjamin kepastian.

Ketujuh, keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan.

Secara khusus UU PDRD mengatur kewajiban untuk melakukan sosialisasi Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong dalam Retribusi Perizinan Tertentu kepada masyarakat sebelum ditetapkan (Pasal 156 ayat (7) UU PDRD). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan penyebarluasan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan pengaturan retribusi dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, keadilan. Peraturan Daerah tentang retribusi harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.15 Demikian pula dalam penyusunan norma

hukum retribusi adalah dimaksudkan untuk berlaku umum (untuk

15 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar

(22)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

18

setiap wajib retribusi dan dikenakan untuk setiap objek retribusi). Agar mendapatkan rumusan norma hukum retribusi yang sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.

Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan asas ini materi muatan Peraturan Daerah tentang retribusi tidak berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.16

Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum. Agar Peraturan Daerah tentang retribusi dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan kewajibannya.17 Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian

hukum adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti yakni norma hukum retribusi harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan retribusi. Termasuk di sini, adalah

16 Tentang inti dari kesamaan tersebut diadaptasi dari Franz Magnis-Suseno,

Ibid., h. 116.

(23)

norma hukum retribusi dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh berlaku surut.

Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam konteks penyusunan norma hukum retribusi harus ada keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar retribusi dengan hak yang didapatkannya dengan membayar retribusi. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara aparatur dan wajib retribusi ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.18

Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (2) UU P3, dalam pengaturan tentang retribusi berkaitan dengan kriteria umum tentang pungutan daerah, yakni:

1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.

2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat.

3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi masyarakat terkena pungutan daerah.

4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pungutan.

5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian; jangan sampai suatu pungutan menimbulkan beban tambahan

18 Berdasarkan H. Lauddin Marsuni, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di

(24)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

20

yang berlebihan, sehingga akan menimbulkan kerugian pada masyarakat.19

Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam merumuskan suatu kebijakan retribusi, antara lain:

1. Prinsip keadilan (Equty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek retribusi, yakni dalam pemungutan retribusi tidak ada diskriminasi di antara sesama wajib retribusi yang memiliki kemampuan yang sama.

2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi petugas retribusi maupun semua wajib retribusi dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek retribusi, kepastian mengenai objek retribusi, dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya.

3. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan retribusi, artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan tidak boleh lebih besar dari jumlah retribusi yang dipungut.20

2.3 Relevansinya dengan Pengaturan Retribusi Izin Gangguan

Pengaturan retrubusi izin gangguan mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni filofofis, yuridis, dan sosiologis,

19 Anggito Abimanyu, et.al.,Op. Cit., h. 32. Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam

Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai Pembangunan

Daerah, (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan,

Bandung, 2002), h. 115-143. Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Edisi Kedua, (Yellow Printing, Jakarta, 2007) ,h. 197-202.

(25)

sebagaimana diamanatkan UU P3. Pertama, Landasan Filosofis. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah-daerah-daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itumengatur dan mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.

Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.

(26)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

22

pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.21

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis pengaturan retribusi izin gangguan merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan retribusi daerah berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran sertamasyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Jadi, Pemerintahan Kota Denpasar membuat Peraturan Daerah tentang retribusi izin gangguan, berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum pemungutan retribusi izin gangguan, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Kota Denpasar yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar. Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan Konsideran “Menimbang” Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang PDRD.

Kedua, Landasan Yuridis. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan

21 Didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

(27)

mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini, yakni Pasal 158 ayat (1), ditentukan Pajak Daerah ditetapkan dengan Undang- Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.

Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang menegaskan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut menegaskan, bahwa pemungutan Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.

(28)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

24

2.4 Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada,

serta permasalahan yang dihadapi masyarakat

Dalam praktik penyelenggaran perizinan terkait dengan izin gangguan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang merupakan komitmen pelayanan yang dimulai dari bentuk pengaturan antara lain : Objek, Subjek, dan Golongan Retribusi. Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip dalam Penetapan Stuktur dan Besarnya Tarif Retribusi, Struktur dan Besarnya Tarif Retibusi, Wilayah Pemungutan, Penentuan Pembayaran, Tempat Pembayaran, dan Penundaan Pembayaran, Sanksi Administratif, Penagihan, Penghapusan Piutang Retribusi yang Kedaluwarsa.

Penerapan terkait dengan izin ganguan ini merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

2.5 Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan daerah

Pembentukan Rancangan Peraturan Walikota tentang Izin Gangguan merupakan sarana untuk menjaga agar terlaksananya :

a. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan izin gangguan ;

b. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik mengatur mengenai izin gangguan; dan

(29)
(30)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

26

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dengan diberlakukannya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, seluruh instansi pemerintah dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yaitu pelayanan yang cepat, mudah, murah dan akuntabel. Untuk itu setiap unit pelayanan diharapkan mampu berinovasi menciptakan berbagai terobosan yang memudahkan masyarakat mendapatkan layanan tanpa melanggar norma hukum yang berlaku.

Pemerintah Kota Denpasar berdasarkan pada UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang PDRD dan Perda No 15 Tahun 2011 tentang Izin Gangguan, menyadari bahwa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah, yang menentukan adalah kualitas penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan Izin Gangguan.

Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan Rancangan Peraturan Walikota terkait dengan Izin Gangguan :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan KotamadyaDaerah Tingkat II Denpasar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3465).

(31)

3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagimana diubah beberapa kali terkhir dengan Undang-Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indoensia Indonesia Tahun 2015 Nomor 24, Tambahan Lembaran negara republik Indonesia Nomor 5657);

6. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Urusan Pemerintahan Daerah Kota Denpasar (Lembaran Daerah

Kota Denpasar Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran

Daerah Kota Denpasar Nomor 4).

7. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun

2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar

(32)
(33)

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Jimly Asshiddiqie mengemukakan, bahwa konsideran yang terdapat dalam setiap undang-undang, pada pokoknya berkaitan dengan 5 (lima) landasan pokok bagi berlakunya norma-norma yang terkandung di dalam undang-undang tersebut bagi subjek-subjek hukum yang diatur oleh undang-undang itu. Kelima landasan tersebut adalah landasan yang bersifat filosofis, sosiologis, politis, dan juridis, serta landasan yang bersifat administratif. Keempat landasan yang pertama adalah landasan keberlakuan yang bersifat mutlak, sedangkan satu landasan yang terakhir bersifat fakultatif. 22 Berikut dikemukakan

pengertian masing-masing landasan keberlakuan tersebut.

Pertama, landasan filosofis. Undang-Undang dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang dalam kenyataan. Dengan demikian, cita-cita filosofis yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri. Bagi Indonesia, Pancasila merupakan landasan filosofis semua produk undang-undang Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Kedua, landasan sosiologis adalah bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus dirumuskan dengan baik

(34)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

30

pertimbangan yang bersifat empiris sehingga suatu gagasan normative yang dituangkan dalam undang-undang benar-benar didasarkan pada kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya di tengah-tengah masyarakat hukum yang diaturnya.

Ketiga, landasan politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undangundang yang bersangkutan.

Keempat, landasan juridis. Dimaksud dengan landasan ini oleh Jimly Asshiddiqie adalah yang disebutnya sebagai bagian konsideran

“Mengingat” dari undang-undang (dan peraturan perundang-undangan

pada umumnya).

Kelima, landasan administratif adalah yang dituangkan dalam konsideran “Memperhatikan”.

Di halaman-halaman berikutnya, Jimly Asshiddiqie kembali membicarakan keberlakuan norma hukum atas keberlakuan secara filosofis, politis, juridis, sosiologis, maupun secara administratif. Namun, yang diuraikan hanya empat keberlakuan yang pertama. Pada dasarnya uraiannya sama dengan uraian sebelumnya, hanya yang berbeda pada uraian tentang keberlakuan politis dan

keberlakuan sosiologis. Untuk jelasnya adalah sebagai berikut.1123

Pertama, keberlakuan filosofis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara. Untuk hal ini, nilai-nilai filosofis Negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai “staatsfundamentalnorm”

(35)

Kedua, keberlakuan yuridis adalah keberlakuan suatu norma hukum dengan daya ikatnya untuk umum sebagai suatu dogma yang dilihat dari pertimbangan yang

bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu norma hukum dikatakan berlaku apabila norma hukum itu sendiri memang:

1. ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau lebih tinggi, seperti dalam pandangan Hans Kelsen dengan “Stuffenbau Theorie des Recht”.

2. ditetapkan mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusanantara suatu kondisi dengan akibatnya, seperti dalam pandangan J.H.A.Logemann.

3. Ditetapkan sebagai norma hukum menurut prosedur pembentukan hukum yang berlaku, seperti dalam pandangan W. Zevenbergen.

4. ditetapkan sebagai norma hukum oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu.

Pandangan Jimly Asshiddiqie tentang keberlakuan yuridis lebih luas dari yang disebutnya sebagai bagian konsideran “Mengingat” dari undang-undang, yang tiada lain adalah dasar hukum.

Ketiga, keberlakuan politis. Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis

apabila pemberlakuannya itu memang didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dan yang mencukupi di parlemen.

Keempat, keberlakuan sosiologis. Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan ini cendrung lebih mengutamakan pendekatan yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan:

(36)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

32

ikat serta kewajibannya untuk menundukkan diri terhadap norma hukum yang bersangkutan.

2. Kriteria penerimaan (reception theory), pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya atur, daya ikat, dan daya paksa norma hukum baginya.

3. Kriteria faktisitas hukum, menekankan pada kenyataan faktual, yaitu sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat. Kriteria faktisitas hukum menempatkan keberlakuan sosiologis dalam konteks pelaksanaan undang-undang atau peraturan daerah, sedangkan dalam konteks pembentukan undang-undang atau peraturan daerah tidak menekankan pada kenyataan faktual, yaitu tidak menekankan sejauh mana norma hukum itu sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.

(37)

Ragaan : Unsur sosiologis dalam konteks pembentukan dan pelaksanaan UU atau Perda.

M. Solly Lubis mengemukakan, ada tiga dasar atau landasan dalam rangka pembuatan segala peraturan, yaitu:

a. Landasan filosofis. b. Landasan yuridis. c. Landasan politis.24

Perbedaannya dengan pandangan Jimly Asshiddiqie adalah tidak dimasukkannya landasan atau unsur sosiologis dan administratif, sebagai salah satu landasan keberlakuan pembuatan peraturan perundang-undangan. Berikut ini pandangan Solly Lubis tentang masing-masing landasan tersebut.

Pertama, landasan filosofis yaitu dasar filsafat atau pandangan, atau ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara. Misalnya, di Negara Republik Indonesia, Pancasila

(38)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

34

menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat itu.25

Kedua, landasan yuridis ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan suatu peraturan. Landasan yuridis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Landasan yuridis dari segi formal, yakni landasan yuridis yang memberi kewenangan (bevoegdheid) bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu, misalnya Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formil bagi Presiden untuk membuat RUU.

2. Landasan yuridis dari segi materiil, yaitu landasan yuridis untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi materiil untuk membuat UU organik mengenai pemerintahan daerah.26

Ketiga, landasan politis ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara. Misalnya, garis politik otonomi yang tercantum dalam Tap MPR No. IV Tahun 1973 tentang GBHN menjadi landasan politik pembuatan UU Nomor 5 Tahuh 1974 yang mengatur pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Tegasnya, garis politik otonomi dalam GBHN itu memberi pengarahan dalam pembuatan UU tersebut.

25 Bandingkan Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, bahwa kelakuan filosofis atau h berlakunya secara filosofis adalah kaidah hukum bersangkutan sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi, misalnya Pancasila, masyarakat adil dan makmur, dan seterusnya. Lihat Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perih Kaedah Hukum, (Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989), h. 92.

(39)

Pendapat M. Solly Lubis tentang landasan yuridis sama dengan muatan dasar hukum menurut Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, angka 26 (vide Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yang pada intinya mencakup dasar hukum formal dan dasar hukum materiil. Sedangkan yang dimaksud dengan landasan politis oleh M. Solly Lubis adalah politik hukum, yang pada dasarnya adalah kebijakan hukum (legal policy). Makna landasan politis yang demikian sama dengan pandangan Jimly Asshiddiqie, bahwa landasan politis ialah bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya cita-cita dan norma dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.27 Namun, dalam

halaman yang lain, Jimly Asshiddiqie memaknai keberlakuan politik itu sebagai suatu konstelasi politik di parlemen.28

Bagir Manan mengemukakan tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik, yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Oleh karena peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang-undangan yang baik haruslah mempunyai tiga dasar keberlakuan tersebut.29 Berikut ini

pendapat Bagir Manan tentang hal tersebut.

Pertama, dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang; 2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis

27 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 172. 28 Jimly Asshiddiqie, Ibid., h. 242-243.

(40)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

36

peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat; 3) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; dan 4) keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya. Pandangan Bagir Manan tentang dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding) cakupannya lebih luas dari pandangan M. Solly Lubis, di dalamnya tidak saja terdapat dasar hukum formal dan dasar hukum materiil, juga terdapat keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam pembentukannya.

Kedua, dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang memerlukan penyelesaian. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan perundang-undangan akan diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya.

Ketiga, dasar berlaku secara filosofis (filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.

(41)

sosiologis. Berdasarkan pemahaman normatif dan teoritis tersebut, maka unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, dapat dimaknai sebagai berikut:

1. Unsur filosofis adalah nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu Negara (bagi Indonesia yang termaktub dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

2. Unsur yuridis adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah, yang meliputi:

a. Dasar hukum formal, yakni Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk keharusan mengikuti prosedur tertentu.

b. Dasar hukum substansial, yakni Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan materi muatan tertentu diatur dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Termasuk kesesuaian jenis dan materi muatan.

3. Unsur sosiologis adalah gejala dan masalah sosial-ekonomi-politik yang berkembang di masyarakat yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan undang-undang atau peraturan daerah.

(42)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

38

kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan.

(43)

BAB V

JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

5.1 Orientasi Umum

Bab ini berisi uraian mengenai: (1) ruang lingkup materi muatan

30 Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15

Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan; dan (2) keterkaitan ruang lingkup materi muatan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan dengan hukum positif lainnya. Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan Peraturan Walikota tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda retribusi izin gangguan, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak boleh dimuat dalam raperda retribusi izin gangguan .31

Materi yang boleh dimuat ditentukan oleh kriteria materi muatan, baik yang digali dari asas otonomi daerah dan tugas pembantuan

30 Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi pengaturan yang khas yang hanya dan semata-mata dimuat dalam suatu jenis peraturan perundangundangan, yang tidak dimuat dalam jenis peraturan perundang-undangan

lainnya. Diadaptasi dari A. Hamid S. Attamimi, 1982, “Materi muatan peraturan

perundangundangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan Penataran Latihan

Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan, Badan Pembinaan Hukum

NasionalDepartemen Kehakiman, Jakarta, h. 59-78. Bandingan dengan Pasal 1 angka

12 UU P3 yang menentukan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah

materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Frase “sesuai dengan jenis,

fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan” menunjukan materi pengaturan

yang khas pada setiap jenis Peraturan Perundang-undangan

31 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra

Wija Atmaja, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II

(44)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

40

maupun yang ditentukan secara objektif-normatif dalam peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi sebagai materi muatan Perda tentang raperda retribusi izin gangguan . Materi yang tidak boleh dimuat tiada lain merupakan batas materi muatan raperda retribusi izin gangguan, seperti tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dimaksud dengan ruang lingkup materi muatan perwali retribusi adalah jangkauan materi pengaturan yang khas yang dimuat dalam raperda retribusi, yang meliputi materi yang boleh dan materi yang tidak boleh dimuat dalam raperda retribusi.32 Jadi, yang dimaksud

dengan materi muatan baik mengenai batas materi muatan maupun lingkup materi muatan.

Materi yang tidak boleh dimuat telah dikemukakan dalam uraian batas negatif di atas, juga tidak boleh memuat materi yang tidak sesuai dengan keharusan mendasarkan landasan keabsahan dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang telah dikemukakan dalam uraian batas positif tersebut di atas.

Lingkup materi yang boleh dimuat ditentukan oleh asas otonomi daerah dan tugas pembantuan maupun yang ditentukan secara objektif-normatif dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai materi muatan Perwali tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Izin Gangguan

32 Pengertian ruang lingkup materi muatan diadaptasi dari Gede Marhaendra

Wija Atmaja, ”Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar),

(45)

5.2 Materi Muatan Perwali Tentang Retribusi Izin Gangguan

Berdasarkan adanya pendelegasian kewenangan daer Peraturan Daerah No 15 Tahun 2011 tentang Retribusi Izin Gangguan terdapat 6 materi pokok yang dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan walikota Adapun materi yang dimaksud adalah antara lain

1. Tata Cara Pemungutan

2. Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran, anggsuran, penundaan pembayaran

3. Keringanan, pengurangan dan pembebasan 4. Tata Cara Penagihan

5. Penghapusan piutang yang kadaluwarsa

Peraturan Perundang-undangan dan pengelompokkan batang tubuh Peraturan Perundang-undangan dalam perumusan materi muatan dalam peraturan walikota, yakni:

1. Judul.

2. Pembukaan. 3. Batang Tubuh:

a. Ketentuan Umum.

b. Materi Pokok yang Diatur.

c. Ketentuan Pidana (jika diperlukan). d. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan). e. Ketentuan Penutup.

4. Penutup.

5. Penjelasan (jika diperlukan).

6. Lampiran (jika diperlukan) ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Daerah.

(46)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

42

1. BAB I KETENTUAN UMUM

2. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN

3. BAB III TATA CARA PEMBAYARAN, PENEMPATAN TEMPAT PEMBAYARAN, ANGGSURAN, PENUNDAAN PEMBAYARAN

4. BAB IV KERINGANAN, PENGURANGAN DAN PEMBEBASAN 5. BAB V TATA CARA PENAGIHAN

6. BAB VI PENGHAPUSAN PIUTANG YANG KADALUWARSA 7. BAB VII PENUTP

(47)

BAB V

PENUTUP

6.1 Simpulan

Berdasarkan pada adanya pendelegasian kewenangan dari Peraturan daerah No 15 Tahun 2011 tentang Izin Gangguan menunjukkan adanya dasar hukum pembentukan Peraturan Walikoa tentang Retribusi Izin Gangguan .

Dalam rangka pembentukan Peraturan Walikota tentang Retribusi Izin Gangguan terdapat lima isu hukum yang perlu dikaji untuk mendapatkan bahan hukum adalah:

1) Tarif

2) Tata Cara Pemungutan

3) Tata cara pembayaran, penempatan tempat pembayaran, anggsuran, penundaan pembayaran

4) Keringanan, pengurangan dan pembebasan 5) Tata Cara Penagihan

6) Penghapusan piutang yang kadaluwarsa

(48)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

44

berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Landasan yuridis pengaturan Retribusi Izin Gangguan adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Asas-asas yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Retribusi Izin Gangguan dalam Peraturan Daerah adalah Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang formal dan yang materiil. Asas formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, yang menjadi dasar perumusan norma hukum tentang Retribusi Izin Gangguan adalah:

1. Asas kejelasan tujuan. Pengaturan Retribusi Izin Gangguan bertujuan: (1) memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, dan berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana cara membayarnya; dan (2) memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kota melakukan pungutan Retribusi Izin Gangguan, sehingga Retribusi Izin Gangguan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan kepada masyarakat.

2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat . Pengaturan Retribusi Izin Gangguan dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota Denpasar dengan persetujuan bersama DPRD Kota Denpasar.

(49)

4. Asas dapat dilaksanakan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan Retribusi Izin Gangguan; (2) yuridis, adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Retribusi Izin Gangguan, termasuk subsansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis, pengaturan Retribusi Izin Gangguan memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah kota maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum.

5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur pemungutan Retribusi Izin Gangguan.

6. Asas kejelasan rumusan. Pembentukan Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan sesuai persyaratan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Retribusi Izin Gangguan menjamin kepastian.

(50)

Kajian Akademik Rancangan Peraturan Walikota Denpasar

46

maka terlebih dahulu Pemerintah Kota memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan Daerah bersangkutan. Asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU P3 (khususnya berkenaan dengan Perda diatur dalam Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni: materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas:

a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhineka tunggal ika; g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

6.2 Saran

Rekomendasi yang dapat diajukan dalam rangka pembentukan Peraturan Walikota Denpasar tentang Retribusi Izin Gangguan, yang diawali dengan penyusunan konsep awal rancangannya, adalah:

1. Menyiapkan perangkat hukum dalam bentuk pengaturan tentang retribusi izin gangguan

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abimanyu, Anggito, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta.

Attamimi;A. Hamid S. 1982, “Materi muatan peraturan

perundangundangan”, dalam BPHN, 1982, Himpunan Bahan

Penataran Latihan Tenaga Teknis Perancang Peraturan Perundangundangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.

………….., 1990, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV”, Disertasi Doktor, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta. Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 1995, ”Ruang Lingkup Materi Muatan

Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar), Tesis Magister, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

………….., 2004, Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Yang Baik”, Makalah, pada Pembekalan Calon Anggota Fraksi PDI

Perjuangan DPRD Kota Denpasar Periode 2004-2009, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Denpasar, pada 13-14 Agustus di Denpasar.

……….., 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS

dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah,

Referensi

Dokumen terkait

Pada pasien dengan keadaan ini, nyeri perut terus-menerus yang dirasakan hingga ke pinggang akibat  batu saluran kemih tentu tidak bisa dikatakan ringan dan bisa ditahan oleh

/eserta didik bertanyajawab tentang slide yang belum diahami terkait pengertian dan ma"am!ma"am

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti dapat disimpulkan faktor rendahnya sikap motivasi dalam memberikan dukungan pada responden yang pertama adalah

Retribusi Izin Gangguan yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas pemberian Izin Tempat Usaha kepada orang atau pribadi atau badan di lokasi tertentu yang

Penelitian pada PT.Indokarya Mandiri mengimplementasikan metode pendekatan Object Oriented Programming (OOP) dan untuk pengembangan sistem informasinya menggunakan

Selaras dengan hal tersebut telah ditegaskan dalam RPJMD 2011 -2015 bahwa urusan penataan ruang menjadi salah satu prioritas pembangunan di Kabupaten Wonosobo

RINCIAN PERUBAHAN ANGGARAN BELANJA LANGSUNG PROGRAM DAN PER KEGIATAN SATUAN KERJA PERANGKAT

Pembahagian individu kepada kumpulan telah melancarkan lagi projek aktiviti khidmat masyarakat berikutan kawasan rekreasi ini yang agak luas dan jarak antara kawasan