• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka 1. Talasemia a. Definisi Talasemia

Sindrom talasemia merupakan sekelompok kelainan hematologi yang diwariskan secara autosomal resesif, akibat adanya kelainan sintesis rantai polipeptida α atau β hemoglobin manusia (Schwartz, 2005).

Menurut Nelson et al. (2000), talasemia diartikan sebagai suatu keadaan anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat keparahan. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan terjadinya talasemia meliputi delesi total atau parsial gen rantai globin dan substitusi, delesi, atau insersi nukleotida .

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan talasemia adalah suatu kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan terjadi pada globin yang terdapat dalam hemoglobin. Fungsi dari hemoglobin tersebut adalah sebagai penyuplai oksigen ke jaringan tubuh. Adanya mutasi pada gen pembentuk globin menyebabkan penurunan atau tidak terbentuknya rantai α atau β sehingga hemoglobin yang terbentuk tidak sempurna. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi eritrosit atau hemolisis oleh makrofag dari sistem retikuloendotelial, terutama di hati, limpa dan sumsum tulang (Bakta, 2007). Karena

commit to user

kurangnya eritrosit yang dibutuhkan tubuh, terjadi peningkatan aktivitas sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup. Suplai oksigen ke jaringan tubuh juga menjadi kurang sehingga timbul gejala anemia pada pasien talasemia.

b. Etiologi Talasemia

Talasemia terjadi akibat dari defek genetik pada hemoglobin. Adanya mutasi pada gen globin, baik α maupun β menyebabkan hemoglobin yang terbentuk tidak normal. Karena hemoglobin yang terbentuk tidak sempurna, maka eritrosit yang terbentuk juga tidak normal sehingga terjadi proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya.

Hemolisis terutama terjadi pada sel makrofag dari sistem

retikuloendotelial terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang. Peningkatan penghancuran eritrosit menyebabkan penurunan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Untuk mengkompensasi kebutuhan eritrosit, maka sumsum tulang akan meningkatkan aktivitasnya untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007).

c. Klasifikasi Talasemia

Menurut Nelson et al. (2000) dan Bakta (2007), talasemia diklasifikasikan menjadi:

1) Talasemia α

Talasemia α terjadi karena penurunan sintesis rantai globin α akibat kelainan genetik berupa delesi pada gen α. Kelainan ini banyak

commit to user

ditemukan di Afrika, daerah Mediterania dan sebagian besar Asia (Permono et al., 2005). Berdasarkan jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif, maka terdapat empat bentuk talasemia α yang berbeda. Delesi gen globin α tunggal menyebabkan silent carrier talasemia α (Lanzkowsky, 2005). Manifestasi yang timbul biasanya tidak ada, kemungkinan hanya mikrositosis ringan. Bentuk talasemia seperti ini didapatkan di Amerika dan Afrika dengan prevalensi sebesar 25%. Pasien dengan carrier talasemia dapat dikenali pada saat lahir oleh adanya sejumlah kecil hemoglobin Bart (γ4) pada elektroforesis.

Individu yang kekurangan dua gen globin α menunjukkan gambaran anemia mikrositik ringan dan pada umumnya menyerupai pasien dengan ciri talasemia β. Pada saat lahir ditemukan mikrositosis dan hemoglobin Bart dengan jumlah sedang. Hemoglobin Bart menghilang pada umur 3-6 bulan dan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin sesudah umur tersebut menunjukkan keadaan normal. Namun demikian, mikrositosis menetap seumur hidup. Individu ini disebut sebagai pengemban bakat talasemia α (Nelson et al., 2000).

Delesi tiga gen globin α menyebabkan ketidakseimbangan antara sintesis rantai α dan β. Akumulasi rantai β yang berlebih

menyebabkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β4). Hasil

laboratorium yang ditemukan pada kelainan ini adalah anemia mikrositik hipokrom dengan Hb 7 - 11 gr/dl, sferositosis serta retikulositosis dan splenomegali. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit

commit to user

Hb H karena hemoglobin H dapat dideteksi dalam eritrosit dengan pemeriksaan elektroforesis (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005).

Jika delesi terjadi pada semua gen globin α disertai tidak adanya sama sekali sintesis rantai α, maka terjadi kelainan hidrops fetalis yang dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis berat dengan lahir mati atau kematian segera pasca lahir. Kelainan ini merupakan bentuk talasemia α yang paling berat. Pada saat lahir, elektroforesis hemoglobin menunjukkan hemoglobin Bart (γ4) dan hemoglobin embrional. Biasanya pada wanita hamil yang janinnya terdeteksi kelainan ini dianjurkan untuk menghentikan kehamilan karena kesehatan ibu terancam dengan mengandung janin yang hidropik (Nelson et al., 2000; Permono et al., 2005).

2) Talasemia β

Talasemia β terjadi karena penurunan sintesis rantai globin β akibat kelainan genetik, biasanya akibat point mutation pada gen globin β yang menyebabkan produksi rantai β terhenti atau berkurang. Jika pembentukan rantai β terhenti maka disebut varian βo

, tetapi apabila masih ada sintesis rantai β maka disebut varian β+

. Talasemia β dibagi lagi berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu talasemia β major yang tergantung pada transfusi darah, talasemia intermedia, dan talasemia trait atau minor yang merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik (Bakta, 2007).

commit to user

a) Talasemia mayor

Talasemia mayor merupakan bentuk homozigot dari talasemia β dengan gejala anemia berat. Berdasarkan gambaran klinisnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mendapat transfusi baik dan yang tidak mendapat transfusi dengan baik. Apabila pasien talasemia mayor mendapat transfusi secara teratur, maka anak akan tumbuh normal sampai dekade ke 4 - 5. Setelah itu, akan timbul gejala iron overload yang dapat menumpuk di organ-organ tubuh yang dapat berakibat fatal. Sedangkan pada pasien talasemia mayor yang tidak mendapatkan transfusi akan timbul anemia yang khas, yaitu Cooley’s anemia. Gejala-gejala pucat, anemia, kurus dan hepatosplenomegali akan timbul pada saat berumur 3 - 6 bulan. Selanjutnya dapat terjadi gangguan pada tulang, tulang tengkorak, dan pertumbuhan (Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007).

Pasien talasemia mayor membutuhkan transfusi darah secara berulang untuk mencegah efek dari anemia. Transfusi berulang dapat menyebabkan peningkatan kadar besi di dalam tubuh. Besi yang menumpuk di organ-organ tubuh dapat berakibat fatal. Penumpukan besi pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior

dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, sedangkan

penumpukan besi pada jantung dapat menyebabkan gagal jantung, aritmia, miokarditis, perikarditis dan infark miokard yang

commit to user

merupakan faktor penyebab kematian pada pasien talasemia sebesar 71 % (Prabhu et al., 2009). Untuk mengukur kadar besi dalam tubuh, dilakukan pemeriksaan biopsi hati untuk menilai konsentrasi besi di hati. Kadar besi hati sebesar 15 mg/gr berat kering hati merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jantung. Untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh, diperlukan terapi pengikat besi. Terapi biasanya dimulai apabila satu atau lebih dari kriteria di bawah ini terpenuhi:

(1) Pasien telah menerima transfusi darah 100 ml/kg atau kurang lebih 10 - 15 unit pada anak dengan berat badan 15 kg.

(2) Serum feritin > 1000 ng/dl.

(3) Konsentrasi besi hati (diukur 1 tahun setelah transfusi regular) > 7 mg/gr berat kering hati.

(Prabhu et al., 2009). b) Talasemia intermedia

Kasus talasemia dengan hemoglobin 7 - 10 gr/dl yang tidak membutuhkan transfusi secara teratur disebut talasemia intermedia (Lanzkowsky, 2005). Talasemia intermedia dapat disebabkan oleh talasemia β homozigot dengan produksi Hb F yang lebih dari biasanya, atau dengan defek genetik pada sintesis rantai β. Manifestasi klinis yang terlihat adalah deformitas tulang, hepatosplenomegali dan iron overload (Bakta, 2007).

commit to user c) Talasemia minor/trait

Talasemia minor merupakan bentuk heterozigot yang asimptomatik. Orang-orang dengan talasemia minor tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Diagnosis ditegakkan dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (Mean Corpuscular

Volume dan Mean Corpuscular Hemoglobin sangat rendah) serta

anemia ringan dengan kadar Hb 10 - 15 gr/dl meskipun jumlah eritrosit tinggi. Penegakan diagnosis pasti kelainan ini dengan didapatkan kadar Hb A2 yang tinggi. Pentingnya penegakan diagnosis talasemia minor adalah memungkinkannya dilakukan konseling pranatal pada pasangan yang memiliki sifat pembawa talasemia (Hoffbrand et al., 2005).

d. Manifestasi Klinis Talasemia

Menurut Nelson et al. (2000), Hoffbrand et al. (2005) dan Permono

et al. (2005), manifestasi klinis pasien talasemia mayor adalah sebagai

berikut:

1) Anemia berat terlihat pada umur 3 - 6 bulan setelah kelahiran.

2) Ekspansi masif sumsum tulang di muka dan tengkorak menyebabkan

wajah yang khas pada pasien talasemia. 3) Wajah terlihat pucat akibat anemia.

4) Limpa dan hati membesar akibat destruksi eritrosit, hemopoiesis ekstramedular dan hemosiderosis.

commit to user

5) Pertumbuhan yang terganggu dan keterlambatan pubertas akibat kelainan endokrin sekunder.

e. Diagnosis Talasemia

Menurut Hoffbrand et al. (2005) dan Hassan dan Alatas (2007), diagnosis talasemia ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut:

1) Analisis hemoglobin sebagai tes diagnostik utama dalam menentukan

jenis talasemia

2) Gejala klinis seperti pucat, anemia, hepatosplenomegali. 3) Analisis DNA untuk diagnosis pranatal.

4) Gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel darah.

5) Pemeriksaan radiologis terlihat brush appearance. f. Penatalaksanaan Talasemia

1) Transfusi darah

Terapi yang diberikan secara teratur adalah transfusi sel darah merah untuk mempertahankan kadar Hb di atas 12 gr/dl dan tidak melebihi 15 gr/dl (Mansjoer et al., 2000). Transfusi darah pertama kali diberikan bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl (Permono et al., 2005). Sebelum melakukan transfusi yang pertama kali, status besi dan asam folat pasien harus diukur terlebih dahulu. Setelah itu, transfusi dilakukan setiap 1 bulan sekali tergantung dari hasil pengukuran kadar hemoglobin. Jika kadar Hb ≥ 9 - 9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl,

commit to user

maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Pada pasien dengan anemia sedang (Hb < 5 gr/dl) atau gangguan jantung, rata-rata transfusi harus dikurangi 2 ml/kg/jam dari dosis standar untuk mencegah kelebihan cairan. Apabila dibutuhkan, dapat diberikan diuretik, misalnya furosemid untuk mengatasi kelebihan cairan yang terjadi. Sedangkan pada pasien dengan insufisiensi jantung, kadar Hb tinggi pre-transfusi (10 - 12 gr/dl), harus diseimbangkan dengan volume transfusi yang rendah tiap 1 sampai 2 minggu sekali. Setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang didapat harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan efek yang timbul akibat transfusi yaitu kemungkinan terjadinya hipersplenisme dan kadar besi berlebih di dalam tubuh karena setiap 500 ml darah kira-kira mengandung 200 mg besi (Hoffbrand et al., 2005; Permono

et al., 2005).

2) Asam folat

Asam folat diberikan 5 mg/hari secara teratur untuk membantu produksi sel darah merah (Meadow dan Newell, 2005).

commit to user 3) Terapi kelasi besi

Penumpukan besi pada organ-organ tubuh sangat berbahaya, terutama pada jantung yang dapat berakibat kematian. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian obat kelasi besi yang dapat mengekskresikan besi melalui urin. Tujuan konservatif pemberian obat pengikat besi ini adalah untuk mempertahankan konsentrasi simpanan besi hati sekitar 3,2 - 7 mg/gr berat kering jaringan hati. Menurut Prabhu et al. (2009) dan Vichinsky et al.

(2009), pemberian awal obat kelasi besi didasarkan atas:

a) Pengukuran konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati 2 tahun setelah pemberian transfusi > 7 mg/gr berat kering hati. Jika biopsi hati tidak dapat dilakukan, maka pengukuran kadar feritin dapat dijadikan marker kadar besi dalam tubuh.

b) Setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi sel darah merah. c) Kadar feritin dalam tubuh > 1000 ng/dl.

Obat-obatan yang termasuk dalam iron chelating agent adalah deferoksamin, deferasirox dan deferiprone. Perbandingan pemberian ketiga obat tersebut adalah sebagai berikut:

commit to user

Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent

Agen Cara pemberian Jadwal pemberian Dosis Deferoksamin Infus: intravena/ subkutan 8 – 24 jam/hari, 5 - 7 hari/minggu 30 – 60 mg/kgBB

Deferasirox Oral 1 x/hari 20 - 40 mg/kg BB

Deferiprone Oral 3x/hari 75-100 mg/kg BB

Sumber: Kowdley dan Kaplan (1998) dan Vichinsky et al. (2009) Pemberian iron chelating agent harus dievaluasi dengan monitoring kadar feritin tiap 2 -3 bulan sekali, konsentrasi besi hati tiap 6 bulan sekali dan fungsi jantung tiap 6 bulan sekali.

Pemberian obat ini secara terus-menerus dapat menimbulkan toksisitas yang bermacam-macam. Toksisitas yang terjadi dapat dicegah dengan pemeriksaan sederhana, diantaranya pengukuran beban besi tubuh secara langsung dan teratur dengan tujuan mempertahankan kadar besi hati antara 3 - 7 mg/kg berat kering jaringan hati. Bila konsentrasi besi tidak dapat diukur secara teratur, dapat menggunakan indeks toksisitas dengan menghitung rata-rata dosis harian obat (dalam mg/kg) dibagi konsentrasi feritin serum (dalam mg/kg) setiap 6 bulan. Indeks toksisitas ini tidak boleh melebihi 0,025.

commit to user 4) Splenektomi

Splenektomi dapat dilakukan pada pasien dengan splenomegali akibat eritropoiesis ekstramedular. Indikasi terpenting splenektomi

adalah meningkatnya kebutuhan transfusi lebih dari 200

ml/kgPRC/tahun yang menunjukkan keadaan hipersplenisme

(Permono et al., 2005). Splenektomi harus ditunda sampai pasien berumur > 6 tahun karena tingginya risiko infeksi berbahaya pasca splenektomi. Tujuan dari splenektomi adalah memperbaiki ketahanan hidup eritrosit yang berasal dari transfusi, mengurangi kebutuhan darah dan mempunyai pengaruh yang baik pada kelebihan besi (Mentzer, 2007).

5) Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang alogenik memberikan prospek kesembuhan yang permanen. Tingkat keberhasilannya adalah sekitar 80% pada pasien yang mendapatkan terapi kelasi besi secara baik tanpa disertai adanya fibrosis hati. Donor pada transplantasi tersebut adalah saudara kandung yang memiliki Human Leucocyte Antigen

(HLA) yang sesuai. Kegagalan biasanya terjadi karena kematian akibat infeksi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005).

g. Prognosis

Pasien yang patuh menjalani transfusi dan agen kelasi besi, diperkirakan mempunyai harapan hidup sampai umur 30 tahun atau lebih, sedangkan pasien yang tidak patuh biasanya meninggal saat remaja

commit to user

karena komplikasi yang berkaitan dengan toksisitas besi (Lanzkowsky, 2005).

2. Frekuensi Kontrol

Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), pasien talasemia memerlukan standar manajemen perawatan yang tepat supaya kesehatan pasien selalu dapat dikontrol. Kontrol yang diperlukan bagi pasien talasemia mayor meliputi:

a. Kontrol/monitoring kadar hemoglobin

Pasien yang telah terdiagnosis menderita talasemia mayor diharuskan kontrol rutin 1 bulan sekali untuk mengukur kadar hemoglobin dalam darah. Kadar normal hemoglobin pada anak-anak adalah 10 - 16 gr/dl (Sutedjo, 2008). Apabila pada awal kontrol, setelah pasien terdiagnosis, kadar hemoglobin menunjukkan < 7 gr/dl

(menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi

eritropoiesis inefektif), maka pasien tersebut mulai diberikan terapi berupa transfusi sel darah merah untuk mencegah dampak-dampak buruk akibat anemia kronis, misalnya gangguan jantung, hipertensi pulmoner, disfungsi organ dan gangguan pertumbuhan (Nelson et al., 2000; Vichinsky et al.,2009). Target dari pemberian transfusi ini adalah untuk mempertahankan kadar hemoglobin pre-transfusi antara 9 - 10 gr/dl Setelah pemberian awal transfusi, pasien diharuskan kontrol 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin. Transfusi regular yang

commit to user

dilakukan tergantung dari kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi, jika kadar Hb ≥ 9 - 9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl, maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Selama pemberian transfusi, diperiksa pula adanya kemungkinan-kemungkinan timbulnya reaksi hemolitik (Permono et al., 2005).

b. Kontrol/monitoring kadar feritin

Pemberian transfusi secara terus-menerus pada pasien talasemia mayor dapat menimbulkan peningkatan kadar besi dalam tubuh (Nelson

et al., 2000). Besi tersebut akan menumpuk pada organ-organ tubuh dan

dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kadar feritin pada pasien talasemia mayor diukur setiap 3 bulan sekali untuk mengetahui kadar besi dalam tubuh. Kadar feritin > 1000 ng/dl setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi, mengindikasikan kadar besi yang tinggi dalam tubuh. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa pasien tersebut membutuhkan

iron chelating agent. Setelah pemberian awal iron chelating agent

tersebut, kadar feritin pasien tetap diukur setiap 3 bulan sekali. Apabila kadar feritin lebih > 1000 ng/dl (tanpa harus menunggu setelah 1 atau 2 tahun transfusi), maka pemberian obat tersebut dilanjutkan sesuai indikasi (Vichinsky et al., 2009).

commit to user c. Kontrol/monitoring tinggi badan

Setiap 1 bulan sekali, tinggi badan dan berat badan pasien

talasemia diukur untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya

keterlambatan pertumbuhan. Setelah diukur, tinggi badan pasien dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan umur yang sama

menggunakanindikator Z-Score dari WHO 2005 (Kementrian Kesehatan

RI, 2011). Setelah 1 tahun, kecepatan pertumbuhan juga dihitung untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

d. Kontrol/monitoring total transfusi yang didapat

Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang didapat oleh pasien talasemia mayor harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi

lebih lanjut tentang kemungkinan adanya pembesaran limpa

(hipersplenisme). Untuk mengatasi keadaan hipersplenisme, dapat dilakukan penatalaksanaan berupa splenektomi (Permono et al., 2005). e. Kontrol/monitoring efek samping pemberian iron chelating agent

1) Pemeriksaan audiogram

Pemeriksaan audiogram digunakan untuk mengetahui adanya gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul keluhan (Permono et al., 2005).

commit to user 2) Pemeriksaan retina

Pemeriksaan retina bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan pada penglihatan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila timbul gejala (Vichinsky et al., 2009).

3) Pemeriksaan kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein), disintesis dalam hati dan diekskresikan dalam urin. Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi fungsi glomerulus. Nilai normal kreatinin pada anak-anak dalam darah sebesar 0,4 - 1,2 mg/dl. Peningkatan kadar tersebut menunjukkan penurunan fungsi ginjal dan penyusutan masa otot rangka (Sutedjo, 2008).

Blood Urea Nitrogen (BUN) merupakan produk akhir dari

metabolisme protein, dibuat oleh hati dan diekskresikan melalui urin. Perbandingan normal antara BUN dan kreatinin adalah 10:1. Nilai rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk adanya gangguan prerenal (Sutedjo, 2008).

Kontrol kadar kreatinin dan BUN ini penting bagi pasien talasemia untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Gangguan ginjal yang sering terjadi disebabkan karena penumpukan besi pada ginjal yang berakibat rusaknya ginjal (Sutedjo, 2008). Kontrol atau monitoring kadar kreatinin dan BUN dilakukan setiap 3 bulan sekali.

commit to user 4) Skrining fungsi kelenjar endokrin

Skrining fungsi kelenjar endokrin mulai dilakukan pada saat pasien berumur 5 tahun, setelah mendapat transfusi selama 3 tahun kemudian kontrol setiap 1 tahun sekali, atau bila ada gejala yang timbul (Vichinsky et al., 2009).

3. Tinggi Badan (TB)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting setelah berat badan. Keuntungan indikator tinggi badan adalah pengukurannya obyektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa, merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang terjadi di masa lampau (Soetjiningsih, 2007).

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan

Menurut Soetjiningsih (2007), penyakit akut berat dan penyakit kronis dapat menghambat pertumbuhan anak. Namun keterlambatan pertumbuhan pada penyakit kronis lebih sulit dikoreksi daripada penyakit akut. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan, yaitu:

1) Faktor genetis

Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula. Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai dengan potensi

commit to user

genetik berdasarkan data tinggi badan orang tua adalah sebagai berikut: TB anak perempuan = 8,5cm 2 ibu TB cm) 13 -ayah (TB ± + TB anak laki-laki = 8,5cm 2 ayah TB cm) 13 ibu (TB ± + +

Keterangan: 13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi badan. Apabila seorang anak dapat mencapai tinggi badan antara rentang angka terendah dan tertinggi, maka secara medis tidak diperlukan tindakan (Soetjiningsih, 2007). 2) Faktor hormon

Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah:

a) Hormon pertumbuhan hipofisis mempengaruhi pertumbuhan

jumlah sel tulang.

b) Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan dan kematangan

tulang. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar tiroid seperti TRH

(Thyroid Releasing Hormon) sudah diproduksi janin sejak minggu

ke-12. Pengaturan oleh hipofisis sudah terjadi minggu ke-13. Kadar hormon ini makin meningkat sampai sejak minggu ke-24, kemudian menjadi konstan. Salah satu hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid adalah hormon pertumbuhan (growth hormon), oleh karena itu adanya kelainan pada kelenjar tiroid dapat menyebabkan

commit to user

produksi hormon pertumbuhan terganggu dan berakibat gangguan pertumbuhan.

c) Hormon kelamin pria di testis dan kelenjar suprarenalis, sedangkan pada wanita terdapat di kelenjar suprarenalis. Hormon-hormon tersebut merangsang pertumbuhan dan kematangan tulang dalam jangka waktu yang tidak lama.

3) Faktor lingkungan

Menurut Supariasa et al. (2002), faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah:

a) Gizi

Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan pembangun tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

b) Penyakit

Beberapa penyakit kronis dan kelainan kongenital dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, misalnya talasemia mayor. Menurut Saxena (2003), pasien talasemia mayor memiliki karakteristik tinggi badan yang abnormal, pertumbuhan yang lambat, dan keterlambatan perkembangan seksual yang disebabkan karena kadar Hb yang rendah, serum feritin yang tinggi dan terapi dengan iron chelating agent yang tidak optimal. Berdasarkan penelitian Saxena tersebut, keterlambatan pertumbuhan terjadi pada anak laki-laki dengan umur > 11 tahun dengan indeks TB/U

commit to user

berkisar antara 0,03 SD sampai -5 SD dan pada perempuan dengan umur > 9 tahun dengan indeks TB/U berkisar antara 0,94 sampai -5 SD.

c) Toksin atau zat kimia

Beberapa obat seperti talidomid, fenitoin dan obat-obatan kanker yang diminum ibu saat kehamilan dapat menyebabkan kelainan bawaan. Pada ibu hamil yang menderita keracunan logam

Dokumen terkait