• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI KONTROL DENGAN TINGGI BADAN PADA PASIEN TALASEMIA MAYOR

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Adelia Kartikasari G0008190

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user vii DAFTAR ISI

PRAKATA... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A.Latar Belakang Masalah... 1

B.Perumusan Masalah... 4

C.Tujuan Penelitian... 5

D.Manfaat Penelitian... 5

BAB II LANDASAN TEORI... 6

A.Tinjauan Pustaka...6

B.Kerangka Pemikiran... 32

C.Hipotesis... 33

BAB III METODE PENELITIAN... 34

A.Jenis Penelitian... 34

B.Lokasi Penelitian... 34

C.Subjek Penelitian... 34

D.Teknik Sampling...34

(3)

commit to user viii

F. Variabel Penelitian... 37

G.Definisi Operasional Variabel Penelitian... 37

H.Instrumen Penelitian... 39

I. Cara Kerja... 39

J. Teknik Analisis Data... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 42

A.Karakteristik Sampel Penelitian ... 42

B.Analisis Statistika ... 50

BAB V PEMBAHASAN... 52

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 58

A.Simpulan ... 58

B.Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(4)

commit to user ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent... 16

Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks PB/U dan TB/U... 28

Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian... 43

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin... 44

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur... 45

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol dan Tinggi Badan.. 45

(5)

commit to user x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 32 Gambar 2. Rancangan Penelitian ... 36 Gambar 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kela-

min Laki-laki ... 46

Gambar 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kela- min Perempuan...47

Gambar 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Kategori Tinggi Badan pada Jenis Kelamin Laki-laki...48

(6)

commit to user xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Telah Menyelesaikan Penelitian di RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 2. Tabel Sampel Penelitian

Lampiran 3. Kurva Pertumbuhan (Z-score) WHO 2005 pada Sampel Penelitian Lampiran 4. Rerata Umur Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol

Lampiran 5. Rerata Umur Sampel Berdasarkan Tinggi Badan Lampiran 6. Hasil Analisis Statistik dengan Uji Chi Square

(7)

commit to user

iv ABSTRAK

Adelia Kartikasari, G0008190, 2011. Hubungan antara Frekuensi Kontrol dengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor

Tujuan: Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi badan pada pasien talasemia mayor, seperti kadar hemoglobin dan kadar feritin. Kedua hal tersebut dapat dipantau pada saat pasien talasemia melakukan kontrol di rumah sakit. Pasien yang sering melakukan kontrol memiliki kadar hemoglobin dan feritin yang normal, sedangkan pasien yang jarang kontrol memiliki kadar hemoglobin yang rendah dan kadar feritin yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah pasien talasemia mayor yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr.

Moewardi. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Data

penelitian diperoleh dari pengukuran tinggi badan dan data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 sampai bulan Maret 2011. Analisis statistik menggunakan uji Chi Square.

Hasil: Dari total 34 jumlah sampel dengan rentang usia 4 – 16 tahun, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 28 sampel yang terdiri atas 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol dan 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol. Dari 17 pasien dengan frekuensi sering kontrol, didapatkan 11 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 6 pasien dengan kategori tinggi badan pendek, sedangkan dari 11 pasien dengan frekuensi jarang kontrol, didapatkan 3 pasien dengan kategori tinggi badan normal dan 8 pasien dengan kategori tinggi badan pendek. Hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor menghasilkan nilai p = 0.053.

Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor (p = 0.053).

(8)

commit to user 1 BAB 1 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Salah satu penyakit kelainan darah yang cukup ditakuti orang adalah

talasemia. Penyakit turunan yang dibawa oleh genetik resesif orang tua ini dapat

berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan serius. Apalagi, talasemia

merupakan penyakit yang akan dibawa penderitanya sejak dari masa kanak-kanak

hingga tua. Talasemia tidak dapat disembuhkan, tetapi penderitanya dapat

memperbaiki kualitas hidupnya (Hoffbrand et al., 2005; Hassan dan Alatas, 2007). Talasemia adalah suatu penyakit yang disebabkan karena tidak terbentuk

atau kurangnya sintesis rantai globin α atau β akibat mutasi DNA. Apabila

penurunan sintesis terjadi pada rantai α, maka disebut talasemia α, sedangkan

apabila penurunan sintesis terjadi pada rantai β, maka kelainannya disebut

talasemia β. Karena sintesis rantai globin tidak seimbang, maka kompleks

hemoglobin (Hb) yang terbentuk tidak stabil sehingga menyebabkan hemolisis

yang akan menimbulkan gejala anemia (Schwartz, 2005; Bakta, 2007).

Menurut distribusi geografisnya, talasemia α sering dijumpai di Asia

Tenggara, sedangkan talasemia β banyak dijumpai di Mediterania, Timur Tengah,

India, Pakistan dan Asia. Berdasarkan gambaran klinisnya, talasemia β dibagi lagi

menjadi talasemia β major yang membutuhkan transfusi seumur hidup, talasemia

(9)

commit to user 2005; Lanzkowsky, 2005; Bakta, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko tinggi talasemia.

Prevalensi pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 3-8%, maka apabila

dimisalkan prevalensinya 5% saja dan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta

penduduk, akan terdapat 3000 bayi baru lahir dengan talasemia setiap tahun.

Melihat tingginya prevalensi talasemia di Indonesia, maka talasemia merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang serius (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

Untuk mengatasi masalah talasemia, diperlukan manajemen perawatan

standar bagi pasien talasemia yang meliputi skrining talasemia dengan tes DNA,

diagnosis talasemia dengan Hb elektroforesis, penatalaksanaan berupa transfusi

darah dan terapi dengan iron chelating agent serta memonitoring keadaan pasien dengan teknik pencitraan (Vichinsky et al., 2009). Skrining talasemia yang dilakukan bertujuan untuk menentukan prognosis, terapi yang sesuai serta

mencegah bertambahnya kasus talasemia dengan konseling keluarga (Nelson et al., 2000). Setelah dilakukan skrining kemudian pasien yang dicurigai menderita talasemia diperiksa dengan Hb elektroforesis untuk menentukan apakah pasien

menderita talasemia alfa atau beta. Apabila pasien terdiagnosis menderita

talasemia beta, kemudian ditentukan pula apakah pasien masuk dalam kategori

mayor, intermedia atau minor karena penatalaksanaan masing-masing kategori

berbeda. Pada pasien talasemia mayor, akan timbul manifestasi berupa anemia

akibat ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi penurunan hemoglobin

(10)

commit to user

dapat menyebabkan wajah pucat, hepatosplenomegali, keterlambatan pubertas,

gangguan pertumbuhan serta ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

sehari-hari (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005). Untuk mengatasi hal tersebut, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dengan

memberikan transfusi sel darah merah. Transfusi yang dilakukan tergantung dari

kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi, jika kadar Hb ≥ 9-9,5 gr/dl, maka

tranfusi diberikan tiap interval 3 sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9

gr/dl, maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan

menambah volume transfusi (Vichinsky et al., 2009). Transfusi yang dilakukan bersifat terus-menerus karena penyebab dari talasemia tidak dapat disembuhkan.

Hal ini dapat berdampak buruk bagi pasien talasemia, salah satunya adalah

gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan ini dapat terjadi karena tiap 500

ml darah yang diberikan kira-kira mengandung 200 mg besi yang dapat

menumpuk pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior sehingga dapat

mengganggu produksi hormon pertumbuhan (Kowdley dan Kaplan, 1998; Mehta

dan Hoffbrand, 2008). Untuk mengontrol dampak buruk ini, maka setiap 6 bulan

sekali pasien diharuskan datang ke rumah sakit dan melakukan evaluasi total

transfusi yang didapat. Dari hasil kontrol tersebut, dapat diperkirakan

dampak-dampak yang dapat terjadi sehingga akibat buruk dapat diminimalisir.

Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat diketahui dengan

pengukuran tinggi badan dan dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan

(11)

commit to user

rutin setiap bulan untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya gangguan pada

pertumbuhan. Apabila gangguan pertumbuhan tersebut disebabkan transfusi yang

terus-menerus, maka penatalaksanaan yang tepat adalah dengan memberikan

terapi berupa iron chelating agent yang dapat meningkatkan ekskresi besi melalui urin dan tinja (Brittenham et al., 1994). Awal dan waktu pemberian obat ini didasarkan atas tiga hal, yaitu jumlah total transfusi yang didapat, kadar feritin dan

konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati (Prabhu et al., 2009). Monitoring pemberian iron chelating agent diperlukan untuk mencegah efek samping yang dapat timbul.

Mengingat banyaknya dampak buruk yang dapat timbul pada pasien

talasemia, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan, maka diperlukan

frekuensi kontrol yang teratur minimal satu bulan sekali untuk mencegah hal

tersebut terjadi.

Dari uraian yang telah disebutkan di atas, maka penulis ingin meneliti

apakah tinggi badan pasien talasemia yang dipengaruhi oleh peningkatan

eritropoiesis dan penumpukan besi pada kelenjar hipofisis anterior berhubungan

dengan frekuensi kontrol pada pasien talasemia mayor.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan

masalah penelitian: Adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi

(12)

commit to user C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kontrol

dengan tinggi badan pada pasien talasemia mayor di RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wawasan tentang

hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pasien talasemia mayor.

2. Manfaat praktis

Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk

(13)

commit to user

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Tinjauan Pustaka 1. Talasemia

a. Definisi Talasemia

Sindrom talasemia merupakan sekelompok kelainan hematologi

yang diwariskan secara autosomal resesif, akibat adanya kelainan sintesis

rantai polipeptida α atau β hemoglobin manusia (Schwartz, 2005).

Menurut Nelson et al. (2000), talasemia diartikan sebagai suatu

keadaan anemia hipokromik herediter dengan berbagai derajat

keparahan. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan terjadinya

talasemia meliputi delesi total atau parsial gen rantai globin dan

substitusi, delesi, atau insersi nukleotida .

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan talasemia adalah suatu

kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan

terjadi pada globin yang terdapat dalam hemoglobin. Fungsi dari

hemoglobin tersebut adalah sebagai penyuplai oksigen ke jaringan tubuh.

Adanya mutasi pada gen pembentuk globin menyebabkan penurunan

atau tidak terbentuknya rantai α atau β sehingga hemoglobin yang

terbentuk tidak sempurna. Hal ini menyebabkan peningkatan destruksi

eritrosit atau hemolisis oleh makrofag dari sistem retikuloendotelial,

(14)

commit to user

kurangnya eritrosit yang dibutuhkan tubuh, terjadi peningkatan aktivitas

sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup. Suplai

oksigen ke jaringan tubuh juga menjadi kurang sehingga timbul gejala

anemia pada pasien talasemia.

b. Etiologi Talasemia

Talasemia terjadi akibat dari defek genetik pada hemoglobin.

Adanya mutasi pada gen globin, baik α maupun β menyebabkan

hemoglobin yang terbentuk tidak normal. Karena hemoglobin yang

terbentuk tidak sempurna, maka eritrosit yang terbentuk juga tidak

normal sehingga terjadi proses penghancuran eritrosit sebelum waktunya.

Hemolisis terutama terjadi pada sel makrofag dari sistem

retikuloendotelial terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang.

Peningkatan penghancuran eritrosit menyebabkan penurunan kadar

hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Untuk mengkompensasi

kebutuhan eritrosit, maka sumsum tulang akan meningkatkan

aktivitasnya untuk memproduksi eritrosit dalam jumlah cukup (Nelson et

al., 2000; Hoffbrand et al., 2005; Bakta, 2007).

c. Klasifikasi Talasemia

Menurut Nelson et al. (2000) dan Bakta (2007), talasemia

diklasifikasikan menjadi:

1) Talasemia α

Talasemia α terjadi karena penurunan sintesis rantai globin α

(15)

commit to user

ditemukan di Afrika, daerah Mediterania dan sebagian besar Asia

(Permono et al., 2005). Berdasarkan jumlah gen yang tidak ada atau

tidak aktif, maka terdapat empat bentuk talasemia α yang berbeda.

Delesi gen globin α tunggal menyebabkan silent carrier talasemia α

(Lanzkowsky, 2005). Manifestasi yang timbul biasanya tidak ada,

kemungkinan hanya mikrositosis ringan. Bentuk talasemia seperti ini

didapatkan di Amerika dan Afrika dengan prevalensi sebesar 25%.

Pasien dengan carrier talasemia dapat dikenali pada saat lahir oleh

adanya sejumlah kecil hemoglobin Bart (γ4) pada elektroforesis.

Individu yang kekurangan dua gen globin α menunjukkan

gambaran anemia mikrositik ringan dan pada umumnya menyerupai

pasien dengan ciri talasemia β. Pada saat lahir ditemukan mikrositosis

dan hemoglobin Bart dengan jumlah sedang. Hemoglobin Bart

menghilang pada umur 3-6 bulan dan pemeriksaan elektroforesis

hemoglobin sesudah umur tersebut menunjukkan keadaan normal.

Namun demikian, mikrositosis menetap seumur hidup. Individu ini

disebut sebagai pengemban bakat talasemia α (Nelson et al., 2000).

Delesi tiga gen globin α menyebabkan ketidakseimbangan

antara sintesis rantai α dan β. Akumulasi rantai β yang berlebih

menyebabkan pembentukan hemoglobin inklusi H (β4). Hasil

laboratorium yang ditemukan pada kelainan ini adalah anemia

mikrositik hipokrom dengan Hb 7 - 11 gr/dl, sferositosis serta

(16)

commit to user

Hb H karena hemoglobin H dapat dideteksi dalam eritrosit dengan

pemeriksaan elektroforesis (Nelson et al., 2000; Hoffbrand et al.,

2005).

Jika delesi terjadi pada semua gen globin α disertai tidak adanya

sama sekali sintesis rantai α, maka terjadi kelainan hidrops fetalis

yang dapat menyebabkan eritoblastosis fetalis berat dengan lahir mati

atau kematian segera pasca lahir. Kelainan ini merupakan bentuk

talasemia α yang paling berat. Pada saat lahir, elektroforesis

hemoglobin menunjukkan hemoglobin Bart (γ4) dan hemoglobin

embrional. Biasanya pada wanita hamil yang janinnya terdeteksi

kelainan ini dianjurkan untuk menghentikan kehamilan karena

kesehatan ibu terancam dengan mengandung janin yang hidropik

(Nelson et al., 2000; Permono et al., 2005).

2) Talasemia β

Talasemia β terjadi karena penurunan sintesis rantai globin β

akibat kelainan genetik, biasanya akibat point mutation pada gen

globin β yang menyebabkan produksi rantai β terhenti atau berkurang.

Jika pembentukan rantai β terhenti maka disebut varian βo

, tetapi

apabila masih ada sintesis rantai β maka disebut varian β+

. Talasemia

β dibagi lagi berdasarkan gambaran klinisnya, yaitu talasemia β major

yang tergantung pada transfusi darah, talasemia intermedia, dan

talasemia trait atau minor yang merupakan bentuk heterozigot yang

(17)

commit to user

a) Talasemia mayor

Talasemia mayor merupakan bentuk homozigot dari

talasemia β dengan gejala anemia berat. Berdasarkan gambaran

klinisnya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mendapat

transfusi baik dan yang tidak mendapat transfusi dengan baik.

Apabila pasien talasemia mayor mendapat transfusi secara teratur,

maka anak akan tumbuh normal sampai dekade ke 4 - 5. Setelah

itu, akan timbul gejala iron overload yang dapat menumpuk di

organ-organ tubuh yang dapat berakibat fatal. Sedangkan pada

pasien talasemia mayor yang tidak mendapatkan transfusi akan

timbul anemia yang khas, yaitu Cooley’s anemia. Gejala-gejala

pucat, anemia, kurus dan hepatosplenomegali akan timbul pada saat

berumur 3 - 6 bulan. Selanjutnya dapat terjadi gangguan pada

tulang, tulang tengkorak, dan pertumbuhan (Hoffbrand et al., 2005;

Bakta, 2007).

Pasien talasemia mayor membutuhkan transfusi darah secara

berulang untuk mencegah efek dari anemia. Transfusi berulang

dapat menyebabkan peningkatan kadar besi di dalam tubuh. Besi

yang menumpuk di organ-organ tubuh dapat berakibat fatal.

Penumpukan besi pada kelenjar endokrin dan hipofisis anterior

dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, sedangkan

penumpukan besi pada jantung dapat menyebabkan gagal jantung,

(18)

commit to user

merupakan faktor penyebab kematian pada pasien talasemia

sebesar 71 % (Prabhu et al., 2009). Untuk mengukur kadar besi

dalam tubuh, dilakukan pemeriksaan biopsi hati untuk menilai

konsentrasi besi di hati. Kadar besi hati sebesar 15 mg/gr berat

kering hati merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jantung.

Untuk menurunkan kadar besi dalam tubuh, diperlukan terapi

pengikat besi. Terapi biasanya dimulai apabila satu atau lebih dari

kriteria di bawah ini terpenuhi:

(1) Pasien telah menerima transfusi darah 100 ml/kg atau kurang

lebih 10 - 15 unit pada anak dengan berat badan 15 kg.

(2) Serum feritin > 1000 ng/dl.

(3) Konsentrasi besi hati (diukur 1 tahun setelah transfusi regular)

> 7 mg/gr berat kering hati.

(Prabhu et al., 2009).

b) Talasemia intermedia

Kasus talasemia dengan hemoglobin 7 - 10 gr/dl yang tidak

membutuhkan transfusi secara teratur disebut talasemia intermedia

(Lanzkowsky, 2005). Talasemia intermedia dapat disebabkan oleh

talasemia β homozigot dengan produksi Hb F yang lebih dari

biasanya, atau dengan defek genetik pada sintesis rantai β.

Manifestasi klinis yang terlihat adalah deformitas tulang,

(19)

commit to user c) Talasemia minor/trait

Talasemia minor merupakan bentuk heterozigot yang

asimptomatik. Orang-orang dengan talasemia minor tidak

menunjukkan gejala klinis sama sekali. Diagnosis ditegakkan

dengan gambaran darah mikrositik hipokrom (Mean Corpuscular

Volume dan Mean Corpuscular Hemoglobin sangat rendah) serta

anemia ringan dengan kadar Hb 10 - 15 gr/dl meskipun jumlah

eritrosit tinggi. Penegakan diagnosis pasti kelainan ini dengan

didapatkan kadar Hb A2 yang tinggi. Pentingnya penegakan

diagnosis talasemia minor adalah memungkinkannya dilakukan

konseling pranatal pada pasangan yang memiliki sifat pembawa

talasemia (Hoffbrand et al., 2005).

d. Manifestasi Klinis Talasemia

Menurut Nelson et al. (2000), Hoffbrand et al. (2005) dan Permono

et al. (2005), manifestasi klinis pasien talasemia mayor adalah sebagai

berikut:

1) Anemia berat terlihat pada umur 3 - 6 bulan setelah kelahiran.

2) Ekspansi masif sumsum tulang di muka dan tengkorak menyebabkan

wajah yang khas pada pasien talasemia.

3) Wajah terlihat pucat akibat anemia.

4) Limpa dan hati membesar akibat destruksi eritrosit, hemopoiesis

(20)

commit to user

5) Pertumbuhan yang terganggu dan keterlambatan pubertas akibat

kelainan endokrin sekunder.

e. Diagnosis Talasemia

Menurut Hoffbrand et al. (2005) dan Hassan dan Alatas (2007),

diagnosis talasemia ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut:

1) Analisis hemoglobin sebagai tes diagnostik utama dalam menentukan

jenis talasemia

2) Gejala klinis seperti pucat, anemia, hepatosplenomegali.

3) Analisis DNA untuk diagnosis pranatal.

4) Gambaran darah tepi untuk melihat bentuk, warna dan kematangan

sel-sel darah.

5) Pemeriksaan radiologis terlihat brush appearance.

f. Penatalaksanaan Talasemia

1) Transfusi darah

Terapi yang diberikan secara teratur adalah transfusi sel darah

merah untuk mempertahankan kadar Hb di atas 12 gr/dl dan tidak

melebihi 15 gr/dl (Mansjoer et al., 2000). Transfusi darah pertama kali

diberikan bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl (Permono et al., 2005).

Sebelum melakukan transfusi yang pertama kali, status besi dan asam

folat pasien harus diukur terlebih dahulu. Setelah itu, transfusi

dilakukan setiap 1 bulan sekali tergantung dari hasil pengukuran kadar

hemoglobin. Jika kadar Hb ≥ 9 - 9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap

(21)

commit to user

maka transfusi diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau

dengan menambah volume transfusi. Sel darah merah yang

ditransfusikan sebanyak 5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi

tidak boleh lebih dari 15 gr/dl. Pada pasien dengan anemia sedang (Hb

< 5 gr/dl) atau gangguan jantung, rata-rata transfusi harus dikurangi 2

ml/kg/jam dari dosis standar untuk mencegah kelebihan cairan.

Apabila dibutuhkan, dapat diberikan diuretik, misalnya furosemid

untuk mengatasi kelebihan cairan yang terjadi. Sedangkan pada pasien

dengan insufisiensi jantung, kadar Hb tinggi pre-transfusi (10 - 12

gr/dl), harus diseimbangkan dengan volume transfusi yang rendah tiap

1 sampai 2 minggu sekali. Setiap 6 bulan sekali, total transfusi yang

didapat harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat

(cc) dan dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir

(cc/kg/tahun). Jika total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun,

maka perlu dieksplorasi lebih lanjut tentang kemungkinan efek yang

timbul akibat transfusi yaitu kemungkinan terjadinya hipersplenisme

dan kadar besi berlebih di dalam tubuh karena setiap 500 ml darah

kira-kira mengandung 200 mg besi (Hoffbrand et al., 2005; Permono

et al., 2005).

2) Asam folat

Asam folat diberikan 5 mg/hari secara teratur untuk membantu

(22)

commit to user 3) Terapi kelasi besi

Penumpukan besi pada organ-organ tubuh sangat berbahaya,

terutama pada jantung yang dapat berakibat kematian. Pencegahan

yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian obat kelasi besi yang

dapat mengekskresikan besi melalui urin. Tujuan konservatif

pemberian obat pengikat besi ini adalah untuk mempertahankan

konsentrasi simpanan besi hati sekitar 3,2 - 7 mg/gr berat kering

jaringan hati. Menurut Prabhu et al. (2009) dan Vichinsky et al.

(2009), pemberian awal obat kelasi besi didasarkan atas:

a) Pengukuran konsentrasi besi hati dengan pemeriksaan biopsi hati 2

tahun setelah pemberian transfusi > 7 mg/gr berat kering hati. Jika

biopsi hati tidak dapat dilakukan, maka pengukuran kadar feritin

dapat dijadikan marker kadar besi dalam tubuh.

b) Setelah 1 atau 2 tahun pemberian transfusi sel darah merah.

c) Kadar feritin dalam tubuh > 1000 ng/dl.

Obat-obatan yang termasuk dalam iron chelating agent adalah

deferoksamin, deferasirox dan deferiprone. Perbandingan pemberian

(23)

commit to user

Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent

Agen

Deferiprone Oral 3x/hari 75-100 mg/kg BB

Sumber: Kowdley dan Kaplan (1998) dan Vichinsky et al. (2009)

Pemberian iron chelating agent harus dievaluasi dengan

monitoring kadar feritin tiap 2 -3 bulan sekali, konsentrasi besi hati

tiap 6 bulan sekali dan fungsi jantung tiap 6 bulan sekali.

Pemberian obat ini secara terus-menerus dapat menimbulkan

toksisitas yang bermacam-macam. Toksisitas yang terjadi dapat

dicegah dengan pemeriksaan sederhana, diantaranya pengukuran

beban besi tubuh secara langsung dan teratur dengan tujuan

mempertahankan kadar besi hati antara 3 - 7 mg/kg berat kering

jaringan hati. Bila konsentrasi besi tidak dapat diukur secara teratur,

dapat menggunakan indeks toksisitas dengan menghitung rata-rata

dosis harian obat (dalam mg/kg) dibagi konsentrasi feritin serum

(dalam mg/kg) setiap 6 bulan. Indeks toksisitas ini tidak boleh

(24)

commit to user 4) Splenektomi

Splenektomi dapat dilakukan pada pasien dengan splenomegali

akibat eritropoiesis ekstramedular. Indikasi terpenting splenektomi

adalah meningkatnya kebutuhan transfusi lebih dari 200

ml/kgPRC/tahun yang menunjukkan keadaan hipersplenisme

(Permono et al., 2005). Splenektomi harus ditunda sampai pasien

berumur > 6 tahun karena tingginya risiko infeksi berbahaya pasca

splenektomi. Tujuan dari splenektomi adalah memperbaiki ketahanan

hidup eritrosit yang berasal dari transfusi, mengurangi kebutuhan

darah dan mempunyai pengaruh yang baik pada kelebihan besi

(Mentzer, 2007).

5) Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang alogenik memberikan prospek

kesembuhan yang permanen. Tingkat keberhasilannya adalah sekitar

80% pada pasien yang mendapatkan terapi kelasi besi secara baik

tanpa disertai adanya fibrosis hati. Donor pada transplantasi tersebut

adalah saudara kandung yang memiliki Human Leucocyte Antigen

(HLA) yang sesuai. Kegagalan biasanya terjadi karena kematian

akibat infeksi (Hoffbrand et al., 2005; Permono et al., 2005).

g. Prognosis

Pasien yang patuh menjalani transfusi dan agen kelasi besi,

diperkirakan mempunyai harapan hidup sampai umur 30 tahun atau

(25)

commit to user

karena komplikasi yang berkaitan dengan toksisitas besi (Lanzkowsky,

2005).

2. Frekuensi Kontrol

Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), pasien

talasemia memerlukan standar manajemen perawatan yang tepat supaya

kesehatan pasien selalu dapat dikontrol. Kontrol yang diperlukan bagi

pasien talasemia mayor meliputi:

a. Kontrol/monitoring kadar hemoglobin

Pasien yang telah terdiagnosis menderita talasemia mayor

diharuskan kontrol rutin 1 bulan sekali untuk mengukur kadar

hemoglobin dalam darah. Kadar normal hemoglobin pada anak-anak

adalah 10 - 16 gr/dl (Sutedjo, 2008). Apabila pada awal kontrol, setelah

pasien terdiagnosis, kadar hemoglobin menunjukkan < 7 gr/dl

(menunjukkan ketidakmampuan tubuh untuk mengkompensasi

eritropoiesis inefektif), maka pasien tersebut mulai diberikan terapi

berupa transfusi sel darah merah untuk mencegah dampak-dampak buruk

akibat anemia kronis, misalnya gangguan jantung, hipertensi pulmoner,

disfungsi organ dan gangguan pertumbuhan (Nelson et al., 2000;

Vichinsky et al.,2009). Target dari pemberian transfusi ini adalah untuk

mempertahankan kadar hemoglobin pre-transfusi antara 9 - 10 gr/dl

Setelah pemberian awal transfusi, pasien diharuskan kontrol 1 bulan

(26)

commit to user

dilakukan tergantung dari kadar hemoglobin pasien sebelum transfusi,

jika kadar Hb ≥ 9 - 9,5 gr/dl, maka tranfusi diberikan tiap interval 3

sampai 4 minggu, tetapi bila kadar Hb pasien < 9 gr/dl, maka transfusi

diberikan tiap interval 2 sampai 3 minggu sekali atau dengan menambah

volume transfusi. Sel darah merah yang ditransfusikan sebanyak

5ml/kg/jam dengan kadar Hb setelah transfusi tidak boleh lebih dari 15

gr/dl. Selama pemberian transfusi, diperiksa pula adanya

kemungkinan-kemungkinan timbulnya reaksi hemolitik (Permono et al., 2005).

b. Kontrol/monitoring kadar feritin

Pemberian transfusi secara terus-menerus pada pasien talasemia

mayor dapat menimbulkan peningkatan kadar besi dalam tubuh (Nelson

et al., 2000). Besi tersebut akan menumpuk pada organ-organ tubuh dan

dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kadar feritin pada pasien talasemia

mayor diukur setiap 3 bulan sekali untuk mengetahui kadar besi dalam

tubuh. Kadar feritin > 1000 ng/dl setelah 1 atau 2 tahun pemberian

transfusi, mengindikasikan kadar besi yang tinggi dalam tubuh. Hasil

pengukuran tersebut menunjukkan bahwa pasien tersebut membutuhkan

iron chelating agent. Setelah pemberian awal iron chelating agent

tersebut, kadar feritin pasien tetap diukur setiap 3 bulan sekali. Apabila

kadar feritin lebih > 1000 ng/dl (tanpa harus menunggu setelah 1 atau 2

tahun transfusi), maka pemberian obat tersebut dilanjutkan sesuai

indikasi (Vichinsky et al., 2009).

(27)

commit to user c. Kontrol/monitoring tinggi badan

Setiap 1 bulan sekali, tinggi badan dan berat badan pasien

talasemia diukur untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya

keterlambatan pertumbuhan. Setelah diukur, tinggi badan pasien

dicocokkan dengan tinggi badan anak normal dengan umur yang sama

menggunakanindikator Z-Score dari WHO 2005 (Kementrian Kesehatan

RI, 2011). Setelah 1 tahun, kecepatan pertumbuhan juga dihitung untuk

mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan.

d. Kontrol/monitoring total transfusi yang didapat

Menurut Permono et al. (2005) dan Vichinsky et al. (2009), setiap

6 bulan sekali, total transfusi yang didapat oleh pasien talasemia mayor

harus dievaluasi dengan menghitung total darah yang didapat (cc) dan

dibagi rata-rata berat badan dalam 6 bulan terakhir (cc/kg/tahun). Jika

total transfusi yang didapat > 200 cc/kg/tahun, maka perlu dieksplorasi

lebih lanjut tentang kemungkinan adanya pembesaran limpa

(hipersplenisme). Untuk mengatasi keadaan hipersplenisme, dapat

dilakukan penatalaksanaan berupa splenektomi (Permono et al., 2005).

e. Kontrol/monitoring efek samping pemberian iron chelating agent

1) Pemeriksaan audiogram

Pemeriksaan audiogram digunakan untuk mengetahui adanya

gangguan pendengaran. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau

(28)

commit to user 2) Pemeriksaan retina

Pemeriksaan retina bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan

pada penglihatan. Pemeriksaan ini dilakukan setiap tahun atau bila

timbul gejala (Vichinsky et al., 2009).

3) Pemeriksaan kreatinin dan Blood Urea Nitrogen (BUN)

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin otot

dan kreatin fosfat (protein), disintesis dalam hati dan diekskresikan

dalam urin. Pemeriksaan kreatinin serum berguna untuk mengevaluasi

fungsi glomerulus. Nilai normal kreatinin pada anak-anak dalam darah

sebesar 0,4 - 1,2 mg/dl. Peningkatan kadar tersebut menunjukkan

penurunan fungsi ginjal dan penyusutan masa otot rangka (Sutedjo,

2008).

Blood Urea Nitrogen (BUN) merupakan produk akhir dari

metabolisme protein, dibuat oleh hati dan diekskresikan melalui urin.

Perbandingan normal antara BUN dan kreatinin adalah 10:1. Nilai

rasio yang lebih tinggi menjadi petunjuk adanya gangguan prerenal

(Sutedjo, 2008).

Kontrol kadar kreatinin dan BUN ini penting bagi pasien

talasemia untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Gangguan ginjal yang

sering terjadi disebabkan karena penumpukan besi pada ginjal yang

berakibat rusaknya ginjal (Sutedjo, 2008). Kontrol atau monitoring

(29)

commit to user 4) Skrining fungsi kelenjar endokrin

Skrining fungsi kelenjar endokrin mulai dilakukan pada saat

pasien berumur 5 tahun, setelah mendapat transfusi selama 3 tahun

kemudian kontrol setiap 1 tahun sekali, atau bila ada gejala yang

timbul (Vichinsky et al., 2009).

3. Tinggi Badan (TB)

Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting

setelah berat badan. Keuntungan indikator tinggi badan adalah

pengukurannya obyektif dan dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murah

dan mudah dibawa, merupakan indikator yang baik untuk gangguan

pertumbuhan fisik yang terjadi di masa lampau (Soetjiningsih, 2007).

a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan

Menurut Soetjiningsih (2007), penyakit akut berat dan penyakit

kronis dapat menghambat pertumbuhan anak. Namun keterlambatan

pertumbuhan pada penyakit kronis lebih sulit dikoreksi daripada penyakit

akut. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang mempengaruhi

pertumbuhan, yaitu:

1) Faktor genetis

Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua,

sehingga orang tua yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang

(30)

commit to user

genetik berdasarkan data tinggi badan orang tua adalah sebagai

berikut:

mencapai tinggi badan antara rentang angka terendah dan tertinggi,

maka secara medis tidak diperlukan tindakan (Soetjiningsih, 2007).

2) Faktor hormon

Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah:

a) Hormon pertumbuhan hipofisis mempengaruhi pertumbuhan

jumlah sel tulang.

b) Hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan dan kematangan

tulang. Hormon yang dihasilkan dari kelenjar tiroid seperti TRH

(Thyroid Releasing Hormon) sudah diproduksi janin sejak minggu

ke-12. Pengaturan oleh hipofisis sudah terjadi minggu ke-13. Kadar

hormon ini makin meningkat sampai sejak minggu ke-24,

kemudian menjadi konstan. Salah satu hormon yang dihasilkan

kelenjar tiroid adalah hormon pertumbuhan (growth hormon), oleh

(31)

commit to user

produksi hormon pertumbuhan terganggu dan berakibat gangguan

pertumbuhan.

c) Hormon kelamin pria di testis dan kelenjar suprarenalis, sedangkan

pada wanita terdapat di kelenjar suprarenalis. Hormon-hormon

tersebut merangsang pertumbuhan dan kematangan tulang dalam

jangka waktu yang tidak lama.

3) Faktor lingkungan

Menurut Supariasa et al. (2002), faktor lingkungan yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah:

a) Gizi

Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan

pembangun tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan

vitamin sangat berpengaruh terhadap status gizi anak.

b) Penyakit

Beberapa penyakit kronis dan kelainan kongenital dapat

mempengaruhi pertumbuhan anak, misalnya talasemia mayor.

Menurut Saxena (2003), pasien talasemia mayor memiliki

karakteristik tinggi badan yang abnormal, pertumbuhan yang

lambat, dan keterlambatan perkembangan seksual yang disebabkan

karena kadar Hb yang rendah, serum feritin yang tinggi dan terapi

dengan iron chelating agent yang tidak optimal. Berdasarkan

penelitian Saxena tersebut, keterlambatan pertumbuhan terjadi pada

(32)

commit to user

berkisar antara 0,03 SD sampai -5 SD dan pada perempuan dengan

umur > 9 tahun dengan indeks TB/U berkisar antara 0,94 sampai -5

SD.

c) Toksin atau zat kimia

Beberapa obat seperti talidomid, fenitoin dan obat-obatan

kanker yang diminum ibu saat kehamilan dapat menyebabkan

kelainan bawaan. Pada ibu hamil yang menderita keracunan logam

berat, misalnya makan ikan yang terkontaminasi merkuri dapat

menyebabkan mikrosefali. Penyakit yang disebabkan karena

mengkonsumsi ikan yang mengandung merkuri yang tinggi di

Jepang dikenal dengan penyakit Minamata.

d) Radiasi

Pengaruh radiasi pada bayi sebelum berumur 18 minggu

dapat mengakibatkan kematian, kerusakan otak, mikrosefali dan

cacat bawaan lainnya.

e) Stres

Ibu yang selama hamil mengalami stres dapat mempengaruhi

tumbuh kembang janin yaitu berupa cacat bawaan dan kelainan

kejiwaan.

f) Sosial ekonomi

Biasanya ukuran bayi yang lahir dari golongan orang tua

(33)

commit to user

dibandingkan dengan bayi dari keluarga dengan sosial ekonomi

cukup.

b. Pengukuran tinggi badan

Pengukuran tinggi badan pada anak 2 tahun atau kurang adalah

dengan posisi berbaring menggunakan infantometer. Pengukuran ini

memerlukan bantuan dari orang lain untuk memegang kepala anak agar

alat tetap menempel pada ubun-ubun. Anak di atas umur 2 tahun diukur

pada posisi berdiri dengan menggunakan alat stadiometer atau

microtoise. Tujuan pengukuran adalah untuk mendapat catatan jarak

tinggi dari permukaan puncak kepala hingga telapak kaki. Posisi standar

kepala secara rutin dipakai pada bidang horizontal (Frankfurt plane)

melewati bagian eksternal meatus telinga. Sebelum diukur, subjek

diminta untuk menarik nafas dalam dan berdiri tegak untuk meluruskan

tulang pada kelainan kifosis atau lordosis (Narendra et al., 2002).

Menurut Supariasa et al. (2002), cara mengukur dengan menggunakan

microtoise dengan ketelitian 0,1 cm adalah sebagai berikut:

1) Tempelkan microtoise pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2

meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.

2) Lepaskan sepatu atau sandal.

3) Anak harus berdiri tegak seperti siap sempurna dalam baris-berbaris,

kaki lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang harus

menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan

(34)

commit to user

4) Turunkan microtoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku

harus lurus menempel pada dinding.

5) Baca angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan

mikrotoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.

Sedangkan cara mengukur tinggi badan anak umur 2 tahun atau

kurang dengan infantometer adalah sebagai berikut:

1) Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat datar.

2) Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan

hati-hati sampai menyinggung bagian atas alat pengukur.

3) Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat

menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur

dapat dibaca.

Apabila pengukuran dilakukan di lapangan, pengukur tidak

mungkin menggunakan stadiometer yang ditempelkan pada dinding.

Biasanya digunakan stadiometer yang portable, alat pengukur panjang

(infantometer) yang portable atau antropometer. Pada pengukuran tinggi

badan, diperlukan dua orang pengukur, seorang mengatur posisi dan

memberi instruksi pada subjek, yang lain memegang, memeriksa posisi

dan mengatur alat pengukur (Narendra et al., 2002).

c. Interpretasi pengukuran tinggi badan

Untuk menentukan status tinggi badan seseorang, digunakan indeks

antropometri dengan cara membandingkan panjang badan dengan umur

(35)

commit to user

(2002), keuntungan dan kerugian dari indeks TB/U akan diuraikan

sebagai berikut:

1) Keuntungan:

a) Dapat memberikan gambaran riwayat gizi masa lampau.

b) Dapat dijadikan indikator sosial ekonomi penduduk.

2) Kerugian:

a) Memerlukan data umur yang akurat.

b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini.

c) Sering terjadi kesalahan pada pembacaan skala ukur.

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI tahun 2010, standar

antropometri yang digunakan di Indonesia mengacu pada standar World

Health Organization (WHO) tahun 2005 yaitu menggunakan Z-Score.

Hasil pengukuran tinggi badan yang didapat, kemudian diplotkan pada

kurva pertumbuhan (growth chart) WHO 2005 sesuai dengan umur yang

dihitung dalam bulan. Kategori dan ambang batas tinggi badan

berdasarkan indeks PB/U dan TB/U adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Kategori dan Ambang Batas Tinggi Badan Berdasarkan Indeks PB/U dan TB/U.

Kategori status tinggi badan Ambang Batas (Z-Score)

Sangat pendek < -3 Standar Deviasi (SD)

Pendek -3 sampai dengan < -2 SD

Normal -2 sampai dengan 2 SD

Tinggi > 2 SD

(36)

commit to user

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011), ketentuan-ketentuan

dalam menilai status tinggi badan pada anak adalah:

1) Umur dihitung dalam bulan penuh.

2) Ukuran panjang badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 - 24 bulan

yang diukur telentang. Bila anak diukur dengan posisi berdiri, maka

hasil pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.

3) Ukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur di atas 24

bulan dengan posisi berdiri. Bila anak diukur dengan posisi telentang,

maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.

4. Hubungan antara Frekuensi Kontroldengan Tinggi Badan pada Pasien Talasemia Mayor

Salah satu manifestasi klinis dari pasien talasemia mayor adalah

gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan dapat diketahui dengan

mengukur tinggi badan dan mencocokkannya dengan tinggi badan pada

anak normal yang umurnya sama. Berdasarkan Keputusan Kementrian

Kesehatan RI, indikasi tinggi badan menurut umur yang digunakan adalah

standar antropometri WHO tahun 2005 (Kementrian Kesehatan RI, 2011).

Gangguan pertumbuhan pada pasien talasemia dapat disebabkan

karena eritropoiesis inefektif dan kadar besi berlebih yang akan menumpuk

di kelenjar hipofisis anterior akibat dari terapi transfusi secara terus-menerus

(Permono et al., 2005). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, diperlukan

(37)

commit to user

diperlukan pasien talasemia mayor menurut Permono et al. (2005) dan

Vichinsky et al. (2009) adalah sebagai berikut:

a. Setiap 1 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar hemoglobin

pre-transfusi, melakukan transfusi sel darah merah dan mengukur kadar

hemoglobin post-transfusi serta mengukur tinggi badan.

b. Setiap 3 bulan sekali untuk mengevaluasi kadar feritin.

c. Setiap 6 bulan sekali untuk mengevaluasi total transfusi yang didapat.

d. Setiap 1 tahun sekali untuk mengevaluasi kemungkinan efek samping

dari pemberian iron chelating agent

Manfaat dari kontrol rutin ini adalah untuk mengetahui secara dini

gangguan yang dapat terjadi, misalnya gangguan pertumbuhan. Gangguan

pertumbuhan ini dapat diketahui dengan mengukur tinggi badan pasien

talasemia rutin setiap bulannya. Untuk mengatasi penyebab gangguan

pertumbuhan pada pasien talasemia mayor berupa eritropoiesis inefektif,

terapi yang dapat diberikan berupa transfusi darah (Permono et al., 2005).

Untuk memonitoring efek jangka panjang transfusi berupa kadar besi

berlebih yang juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, maka setiap

3 bulan sekali pasien diukur kadar feritinnya. Apabila kadar feritin tinggi,

terapi yang dapat diberikan berupa iron chelating agent. Dengan pemberian

obat ini, besi berlebih yang menumpuk pada kelenjar endokrin dan kelenjar

hipofisis anterior yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dapat

diekskresikan keluar dari tubuh (Brittenham et al., 1994). Untuk mengetahui

(38)

commit to user

feritinnya kembali sehingga dosis dan waktu pemberian dapat ditentukan

apakah sudah tepat atau belum dan gangguan pertumbuhan yang akan

terjadi dapat dicegah. Dengan demikian, frekuensi kontrol pasien talasemia

(39)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: dilakukan penelitian : tidak dilakukan penelitian

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Tidak terjadi

Sering Kontrol Jarang Kontrol Sering Kontrol Jarang Kontrol

(40)

commit to user C. Hipotesis

Dari kerangka berpikir dan tinjauan pustaka di atas, dikemukakan

hipotesis yaitu terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi

(41)

commit to user 34 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross- sectional. Dalam studi analitik cross-sectional, observasi dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan sehingga tidak ada follow-up (Ghazali et al., 2002).

B.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2011 di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak (IKA), RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

C.Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien talasemia mayor

dengan rentang usia < 18 tahun yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan

Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta.

D.Teknik Sampling

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan consecutive sampling, yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan

(42)

commit to user

adalah semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (total sampling). 1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Pasien talasemia mayor yang berobat di RSUD Dr. Moewardi selama kurun

waktu penelitian.

b. Mendapat persetujuan dari orangtua atau wali.

2. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Umur ≥ 18 tahun

b. Data rekam medik tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 – Maret

(43)

commit to user E.Rancangan Penelitian

Gambar 2. Skema Penelitian Pasien talasemia mayor di

RSUD Dr. Moewardi

Sampel memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Riwayat kontrol

Sering Jarang

Pengukuran tinggi badan

Pendek Normal

Uji Chi Square

Pendek Normal

Pengukuran tinggi badan

Kategori tinggi badan berdasarkan Z-Score

(44)

commit to user F. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Frekuensi kontrol.

2. Variabel Terikat : Tinggi badan pada pasien talasemia mayor.

G.Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Pasien talasemia mayor adalah pasien yang menunjukkan gejala klinis berat

seperti anemia berat, pucat, hepatosplenomegali, dan pertumbuhan terganggu

yang telah terdiagnosis oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr.

Moewardi.

2. Frekuensi kontrol adalah waktu kedatangan pasien talasemia mayor ke Bagian

Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi untuk melakukan kontrol.

Frekuensi kontrol didapat dari data rekam medik tentang berapa kali pasien

datang untuk melakukan kontrol.. Frekuensi kontrol pada penelitian ini dibagi

menjadi 2, yaitu sering dan jarang. Sampel masuk ke dalam kategori sering

apabila pada bulan April 2010 - Maret 2011 sampel melakukan kontrol > 8 x,

sedangkan jarang apabila pada pada bulan April 2010 - Maret 2011 sampel

melakukan kontrol < 8 x. Variabel frekuensi kontrol pada penelitian merupakan

skala ordinal.

3. Tinggi badan merupakan ukuran antropometrik kedua yang terpenting setelah

berat badan. Untuk menilai pertumbuhan pada anak, dapat digunakan ukuran

tinggi badan sesuai umur. Pengukuran pada anak dibagi menjadi dua, yaitu

(45)

commit to user

pengukuran dengan microtoise pada anak umur lebih dari 2 tahun. Cara mengukur tinggi badan dengan infantometer adalah sebagai berikut:

a. Alat pengukur diletakkan di atas meja atau tempat datar.

b. Bayi ditidurkan lurus di dalam alat pengukur, kepala diletakkan hati-hati

sampai menyinggung bagian atas alat pengukur.

c. Bagian alat pengukur sebelah bawah kaki digeser sehingga tepat

menyinggung telapak kaki bayi dan skala pada sisi alat pengukur dapat

dibaca.

Sedangkan pengukuran tinggi badan dengan microtoise pada anak umur lebih dari 2 tahun adalah sebagai berikut:

a. Tempelkan microtoise pada dinding yang lurus datar setinggi tepat 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata.

b. Lepaskan sepatu atau sandal.

c. Anak harus berdiri tegak seperti siap sempurna dalam baris-berbaris, kaki

lurus, tumit, pantat, punggung dan kepala bagian belakang harus menempel

pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan.

d. Turunkan microtoise sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus lurus menempel pada dinding.

e. Baca angka pada skala yang tampak pada lubang dalam gulungan

microtoise. Angka tersebut menunjukkan tinggi anak yang diukur.

Untuk menentukan kategori tinggi badan berdasarkan indeks

(46)

commit to user

kurva pertumbuhan (Z-Score) dari WHO 2005. Umur yang digunakan diperoleh dari selisih waktu penelitian dengan tanggal lahir pasien talasemia mayor dalam

satuan bulan. Kategori tinggi badan menurut Z-Score dibagi menjadi 4, yaitu tinggi (> 2SD), normal (-2 SD sampai 2 SD), pendek (-3 SD sampai < -2 SD),

dan sangat pendek (> -3 SD). Pada penelitian ini kategori tinggi dan normal

pada pasien dimasukkan dalam kelompok normal, dan kategori pendek dan

sangat pendek dimasukkan dalam kelompok pendek. Jadi, pada penelitian ini

hanya ada 2 kelompok, yaitu kelompok normal dan kelompok pendek. Variabel

tinggi badan pada pasien talasemia mayor pada penelitian merupakan skala

ordinal.

H. Instrumen Penelitian

1. Data rekam medik tentang frekuensi kontrol pasien talasemia mayor.

2. Infantometer untuk mengukur tinggi badan pada pasien dengan umur 2 tahun atau kurang dengan ketelitian 0,1 cm.

3. Microtoise untuk mengukur tinggi badan pada pasien dengan umur lebih dari 2 tahun dengan ketelitian 0,1 cm.

I. Cara Kerja

1. Pasien talasemia mayor dengan umur ≤ 18 tahun yang datang ke RSUD Dr.

Moewardi pada kurun waktu penelitian, menyetujui untuk berpartisipasi dalam

(47)

commit to user

kontrol pada bulan April 2010 – Maret 2011 diikutsertakan sebagai sampel.

2. Setelah mendapatkan sampel, peneliti mencatat identitas pasien berupa nama

dan umur.

3. Membaca data rekam medik untuk mengetahui frekuensi kontrol, yaitu waktu

kedatangan sampel ke Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr.

Moewardi pada tahun 2010 dan 2011 untuk melakukan kontrol. Kemudian

membagi sampel ke dalam kategori sering dan jarang.

4. Mengukur tinggi badan pasien menggunakan infantometer dan microtoise. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali kemudian diambil rata-ratanya.

5. Memplotkan hasil pengukuran tinggi badan berdasarkan umur pada kurva

pertumbuhan (Z-Score) WHO 2005. Dari hasil tersebut sampel kemudian dapat dibagi berdasarkan tinggi badan dengan kategori tinggi, normal, pendek, atau

sangat pendek. Kemudian sampel dibagi lagi menjadi kelompok normal atau

pendek.

6. Melakukan analisis data dengan uji Chi Square untuk menentukan adakah hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia

mayor.

J. Teknik dan Analisis Data

Hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien

(48)

commit to user 1. Jumlah subjek total > 40.

2. Jumlah subjek antara 20 dan 40, dan semua nilai harapan > 5.

Apabila jumlah subjek total < 20 atau jumlah subjek antara 20-40 dengan

nilai harapan ada yang < 5, maka uji yang digunakan adalah uji mutlak Fisher.

(49)

commit to user 42 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2011 di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Subjek penelitian

adalah pasien talasemia mayor yang menjalani terapi di Bagian Ilmu Kesehatan

Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Pada penelitian ini didapat total

sampel sebanyak 34 pasien. Dari 34 pasien tersebut yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi penelitian sebanyak 28 pasien (82.35 %), sedangkan sampel

yang tidak memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 6 pasien (17.65 %).

6 sampel tidak memenuhi kriteria dikarenakan memiliki data rekam medik yang

tidak lengkap tentang frekuensi kontrol pada bulan April 2010 – Maret 2011.

Dari Tabel 3 di bawah ini dapat dilihat bahwa sampel terbanyak

didapatkan pada jenis kelamin laki – laki (57.14 %) dan pada rentang umur 9 –

12 tahun (35.70 %). Berdasarkan kategori frekuensi kontrol, sampel dengan

kategori sering kontrol (60.72 %) lebih banyak didapat daripada sampel dengan

kategori jarang kontrol (39.28 %). Berdasarkan tinggi badan, sampel dengan

kategori tinggi badan normal dan pendek didapatkan dengan jumlah yang sama,

(50)

commit to user

Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian

(51)

commit to user

Tabel 4. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Frekuensi Kontrol Tinggi Badan

Sering Jarang Normal Pendek

N % N % N % N %

Laki-laki 10 58.82 6 54.55 10 71.43 6 42.86

Perempuan 7 41.18 5 45.45 4 28.57 8 57.14

Sumber : Data primer 2011

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa berdasarkan frekuensi kontrol, sampel

dengan jenis kelamin laki-laki (58.82 %) didapatkan lebih banyak dibandingkan

dengan sampel dengan jenis kelamin perempuan (41.18 %), sedangkan pada

kategori jarang kontrol juga didapatkan lebih banyak pada sampel dengan jenis

kelamin laki-laki (54.55 %).

Berdasarkan kategori tinggi badan normal, sampel dengan jenis kelamin

laki-laki (71.43 %) didapatkan lebih banyak dibandingkan dengan sampel

perempuan (28.57 %), sedangkan sampel yang masuk dalam kategori tinggi

badan pendek didapatkan lebih banyak pada jenis kelamin perempuan (57.14

%).

Tabel 5 dibawah ni menunjukkan bahwa sampel yang masuk dalam

kategori sering kontrol banyak didapatkan pada rentang umur > 6 – 9 tahun dan

> 9 – 12 tahun sebanyak 6 orang (21.43 %), sedangkan pada sampel yang

termasuk dalam kategori jarang kontrol, jumlah paling banyak didapatkan pada

(52)

commit to user

Tabel 5. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Umur (tahun)

Frekuensi Kontrol Tinggi Badan

Sering Jarang Normal Pendek

Berdasarkan kategori tinggi badan, sampel dengan kategori tinggi badan

normal paling banyak ditemukan pada rentang umur > 6 -9 tahun (21.43 %)

sedangakan kategori tinggi badan pendek paling banyak didapatkan pada rentang

umur > 9 – 12 tahun (32.14 %).

Tabel 6. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol dan Tinggi Badan

(53)

commit to user

Tabel 6 menggambarkan kategori tinggi badan berdasarkan frekuensi

kontrol. Untuk sampel yang masuk dalam kategori sering kontrol, didapatkan

sampel dengan kategori tinggi badan normal sebanyak 11 orang (35.72 %) dan

sampel dengan kategori pendek sebanyak 6 orang (21.43 %). Untuk sampel yang

masuk dalam kategori jarang kontrol, didapatkan sampel dengan kategori tinggi

badan normal sebanyak 3 orang (10.71 %) dan sampel degan kategori pendek

sebanyak 8 orang (28.57 %). Jumlah total sampel yang memiliki kategori tinggi

badan normal dan pendek berjumlah sama, yaitu masing-masing 14 orang.

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30%

0-3 tahun 3-6 tahun 6-9 tahun 9-12 tahun 12-15 tahun 15-18 tahun

Sering

Jarang

(54)

commit to user

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pada sampel berjenis kelamin laki-laki

dengan frekuensi kontrol sering, ditemukan pada rentang umur 6 - 9 tahun (12.5

%), 9 - 12 tahun (18.75 %) dan paling banyak didapatkan pada umur 3 - 6 tahun,

yaitu sebesar 25 %, sedangkan sampel berjenis kelamin laki-laki yang jarang

melakukan kontrol ditemukan pada rentang umur 6 - 9 tahun (12.5 %), 9 - 12

tahun (12.5 %), 12 - 15 tahun (6.25 %) dan 15-18 tahun (6.25%).

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%

0-3 tahun 3-6 tahun 6-9 tahun 9-12 tahun 12-15 tahun 15-18 tahun

Sering

Jarang

(55)

commit to user

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa pada sampel berjenis kelamin

perempuan dengan frekuensi kontrol sering ditemukan pada rentang umur 9 - 12

tahun (25 %) dan paling banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun, yaitu

sebesar 33.33 %, sedangkan sampel yang jarang melakukan kontrol ditemukan

pada rentang umur 6 - 9 tahun (8.33 %), 12 - 15 tahun (8.33 %), 15 - 18 tahun

(8.33 %) dan paling banyak didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun, yaitu

sebesar 16.66 %.

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30%

0-3 tahun 3-6 tahun 6-9 tahun 9-12 tahun 12-15 tahun15-18 tahun

Normal

Pendek

(56)

commit to user

Dari Gambar 5 dapat ditunjukkan bahwa pada sampel dengan jenis

kelamin laki-laki, kategori tinggi badan normal didapatkan pada rentang umur 6

- 9 tahun (18.75 %), 9 - 12 tahun (6.25 %), 12 - 15 tahun (6.25 %), 15 - 18 tahun

(6.25 %) dan paling banyak didapatkan pada rentang umur 3 - 6 tahun, yaitu

sebesar 25 %, sedangkan kategori tinggi badan pendek hanya didapatkan pada

rentang umur 6 - 9 tahun (6.25 %), 12 - 15 tahun (6.25 %) dan paling banyak

didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun, yaitu sebesar 25 %.

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40% 45%

0-3 tahun 3-6 tahun 6-9 tahun 9-12 tahun 12-15 tahun15-18 tahun

Normal

Pendek

(57)

commit to user

Dari Gambar 6 dapat ditunjukkan bahwa pada sampel dengan jenis

kelamin perempuan, kategori tinggi badan normal didapatkan pada rentang umur

6 - 9 tahun (25 %) dan 15 - 18 tahun (8.33 %), sedangkan kategori tinggi badan

pendek didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun (16.66 %), 12 - 15 tahun (8.33

%) dan paling banyak ditemukan pada rentang umur 9 - 12 tahun, yaitu sebesar

41.66 %.

B.Analisis Statistika

Data penelitian yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan uji Chi

Square yang merupakan uji nonparametrik dengan program SPSS 17.00 for

windows. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebesar 28 sampel, maka

syarat uji Chi Square yang harus terpenuhi adalah semua nilai harapan > 5. Dari

hasil analisis data yang tercantum pada lampiran 7, didapatkan nilai harapan

masing-masing sebesar 8.5, 8.5, 5.5 dan 5.5. Dari hasil tersebut dapat

disimpulkan bahwa syarat uji Chi Square terpenuhi karena semua nilai harapan

> 5.

Tabel 7. Hasil Analisis dengan Uji Chi Square

Value df p

Pearson Chi-Square 3.743a 1 0.053

Sumber : Data primer 2011

Pada Tabel 7, hasil data dianalisis dengan uji Chi Square dengan

menggunakan program SPSS 17.0 for windows untuk mengetahui adakah

hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi badan pada pasien talasemia

(58)

commit to user

0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara frekuensi

(59)

commit to user 52 BAB V PEMBAHASAN

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2011 dengan mengukur tinggi

badan dan mencatat data frekuensi kontrol pasien talasemia mayor yang menjalani

terapi di Bagian Ilmu Kesehatan Anak (IKA) RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Dari

34 pasien talasemia yang ditemui, hanya sebanyak 28 pasien yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

Dari hasil penelitian didapatkan sampel dengan kategori sering kontrol

berjumlah 17 orang (60.72 %) dan banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun

dan 9 - 12 tahun, yaitu sebesar 21.43 %, sedangkan sampel dengan kategori jarang

kontrol berjumlah 13 orang (39.28 %) dan paling banyak didapatkan pada rentang

umur 9 - 12 tahun (14.29 %). Sampel dengan jenis kelamin laki-laki yang tergolong

sering kontrol (35.72 %) lebih banyak daripada yang tergolong jarang kontrol (21.43

%). Begitu pula dengan jenis kelamin perempuan, yang tergolong sering kontrol (25

%) lebih banyak dibandingkan dengan yang jarang kontrol (17.85 %).

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan sampel dengan jenis kelamin laki-laki

sebanyak 16 orang (57.14 %) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang (42.86

%). Meskipun sampel dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan, tetapi jenis kelamin tidak berhubungan dengan prevalensi

talasemia, karena talasemia diturunkan secara autosomal resesif (Schwartz, 2005).

(60)

commit to user

kategori tinggi badan normal dan 14 pasien (50 %) dengan kategori tinggi badan

pendek. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Pribadi et al. (2008) yang melaporkan bahwa pasien talasemia dengan kategori tinggi badan normal sebanyak

49 % dan pasien talasemia dengan kategori pendek sebanyak 51 %. Sampel dengan

kategori tinggi badan normal paling banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9

tahun, sedangkan sampel dengan kategori tinggi badan pendek paling banyak

didapatkan pada rentang umur 9 - 12 tahun. Berdasarkan Gambar 3, kategori tinggi

badan normal pada laki-laki banyak didapatkan pada rentang umur 3 - 6 tahun (25 %)

dan pada perempuan banyak didapatkan pada rentang umur 6 - 9 tahun (25 %),

sedangkan kategori tinggi badan pendek pada laki-laki banyak didapatkan pada

rentang umur 9 - 12 tahun (25 %) dan pada perempuan banyak didapatkan pada

rentang umur 9 - 12 tahun (41.66 %). Saxena (2003) melaporkan terjadinya gangguan

pertumbuhan pada pasien talasemia laki-laki lebih sering terjadi pada umur 11 tahun

dan pada perempuan umur 12 tahun. Menurut penelitian Hamidah (2008), pasien

dengan kategori tinggi badan pendek lebih banyak didapatkan pada pasien dengan

umur di atas 10 tahun (83.3 %) bila dibandingkan dengan pasien di bawah umur 10

tahun (16.7 %).

Berdasarkan Tabel 6, didapatkan hasil sampel yang termasuk dalam kategori

sering kontrol dengan tinggi badan normal sebanyak 11 orang (39.29 %) dan yang

termasuk kategori pendek sebanyak 6 orang (21.43 %), sedangkan sampel yang

termasuk kategori jarang kontrol dengan tinggi badan normal sebanyak 3 orang

(61)

commit to user

Sesuai dengan analisis perhitungan statistik yang telah dikemukakan (p =

0.053), tidak didapatkan adanya hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi

badan pada pasien talasemia mayor. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis sebelumnya

yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi kontrol dengan tinggi

badan pada pasien talasemia mayor.

Ketidaksesuaian hasil penelitian dengan hipotesis dapat dikarenakan beberapa

faktor, yaitu:

1. Secara umum, menurut Soetjiningsih (2007), tinggi badan seseorang dipengaruhi

oleh banyak faktor, yaitu:

a. Faktor genetik

Tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh genetik orang tua, sehingga orang tua

yang tinggi memiliki kecenderungan anak yang tinggi pula.

b. Faktor hormon

Hormon-hormon yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon

pertumbuhan hipofisis, hormon pertumbuhan yang dihasilkan kelenjar tiroid

dan hormon kelamin.

c. Gizi

Gizi dipengaruhi oleh asupan makanan sehari-hari. Bahan pembangun tubuh

seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin sangat berpengaruh

terhadap status gizi anak.

d. Sosial ekonomi

Gambar

Tabel 3. Karakteristik Sampel Penelitian............................................................
Gambar 3. Distribusi Sampel Berdasarkan Frekuensi Kontrol pada Jenis Kela-
Tabel Sampel Penelitian
Tabel 1. Perbandingan Pemberian Iron Chelating Agent
+7

Referensi

Dokumen terkait

KEPADA PESERTA PELELANGAN YANG KEBERATAN, DIBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENYAMPAIKAN SANGGAHAN KHUSUSNYA MENGENAI KETENTUAN DAN PROSEDUR YANG TELAH DITENTUKAN DALAM

Pembuatan aplikasi pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dengan mobile device pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Gunadarma ini bertujuan untuk dapat memberikan suatu

Penulis kali ini membahas tentang perancangan sistem penyaluran produk yang terdiri dari tujuan dan sasaran sistem usulan, prosedur sistem usulan yang meliputi diagram alur data,

Gambaran aktivitas Public Relations dalam sistem terbuka mencakup tiga aspek aktivitas, yaitu (1) penyusunan program komunikasi organisasi yang ditujukan kepada

Kompetensi dasar Indikator Materi pokok Strategi Pembelajaran Alokasi

But during the sixteenth century, Ferdinand Magellan circumnavigated the world for the first time to settle the dispute over where the line of demarcation ran on the far side of

 ODHA dengan gejala klinis yang berat (Stadium klinis 3 atau 4) berapapun jumlah CD4nya.  Wanita hamil berapapun jumlah CD4 nya.  Semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelian kuantitatif ( quantitative research ) yaitu pendekatan dengan menggunakan metode perhitungan statistik untuk