• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN KALSIUM DAN FOSFOR PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN KALSIUM DAN FOSFOR PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN TESIS"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

OLEH:

dr. ADE HARIZA HARAHAP NIM : 137041180

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Patologi Klinik/M.Ked (ClinPath) pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

dr. ADE HARIZA HARAHAP NIM : 137041180

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK SPESIALIS PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)
(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta atas ridha-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Hubungan Kadar Vitamin D dengan Kalsium dan Fosfor Pada Pasien Talasemia Beta Mayor di RSUP. H.

Adam Malik Medan”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Patologi Klinik / M.Ked (ClinPath) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk, bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan material dari berbagai pihak sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan penghormatan dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

(6)

2. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

3. Yth, Prof. dr. Herman Hariman, Ph.D, Sp.PK-KH, sebagai Pembimbing I saya yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini. Saya memohon doa semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh Allah SWT.

4. Yth, Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K), sebagai pembimbing II dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini.

5. Yth, dr. Ricke Loesnihari, M. Ked (Clin-Path), Sp.PK(K), sebagai Ketua Departemen Patologi Klinik FK USU, dimana beliau telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengarahan kepada saya selama mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai.

6. Yth, Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, SpPK-KH, FISH, sebagai Kepala Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

(7)

Universitas Sumatera Utara, yang memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister dan Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

7. Yth, dr. Malayana Rahmita Nasution, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, sebagai Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, dr. Jelita Siregar, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, sebagai Sekretaris Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan memotivasi selama saya mengikuti pendidikan.

9. Yth, Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Yth, Prof. dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

11. Yth, dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK-K, dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K, dr. Tapisari Tambunan, Sp.PK-K, dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK(K), dr. Ida Adhayanti, Sp.PK, dr. Ranti Permatasari, Sp.PK(K), dr. Nindia Sugih Arto, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, dr. Dewi Indah Sari Siregar, M. Ked (ClinPath), Sp.PK, dan semua guru-guru saya yang telah

(8)

banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

12. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

13. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, para analis dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan dan kerjasama yang diberikan kepada saya, selama proses pendidikan terutama teman seperjuangan saya dr. Fauzan, dr. Dahlan, dr. Syahni, dr.

Hairiah, dr. Derry, dr. Rina, dr. Kamelia, dr. Vinisia dan dr. Vera 14. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang tua

saya, Ayahanda (Alm) H. Abdul Kadir Harahap dan Ibunda Hj. Irma Fatimah Nasution atas cinta, pengorbanan dan kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-bosannya mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini. Kiranya Allah SWT membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Begitu juga kepada mertua saya Bapak Ir. Indra Mulia Lubis dan Ibu Hj. Lisdawati Dalimunthe yang juga telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil kepada saya dan keluarga. Juga kepada Kakak saya dan suami Hj.

(9)

Anna Farida Harahap / Ir. H. Kamaluddin Siregar; Mailisni Harahap, A.Md.Keb; Masyitoh Harahap, SE / Paisal Hamdani Ritonga, SH.

M.Si; Maulidina Harahap, A.Md.Keb, SKM / Khairuddin Pohan, S.Ag;

adik saya dan istri/suami: Rahmatsyah Panda Potan Harahap / Mariani Nasution; Doli Ibrahim Gani Harahap, SH / Syarifah Anggia Ayu Siregar, A.M.Keb; dr. Khairunnisa Harahap / Arie Nurwanto, SH;

Putri Ananda Fatimah Harahap, A.M.Keb / Sinto Prayetno, SH; dan keponakan saya yang tidak henti-hentinya memberikan semangat selama saya mengikuti pendidikan. Semoga Allah SWT selalu menyertai mereka.

15. Akhirnya terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Suami saya tercinta Dian Aulia Lubis, SH., M.Si, yang telah mendampingi saya dengan penuh pengertian, perhatian, memberikan dorongan dan pengorbanan selama saya mengikuti pendidikan sampai saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sudikiranya tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Agustus 2018 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ... i

LEMBAR PENETAPAN PANITIAN UJIAN ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

ABSTRAK ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesa Penelitian... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1. Tujuan Umum ... 4

1.4.2. Tujuan Khusus ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1. Bidang Ilmu Pengetahuan ... 4

1.5.2. Peneliti ... 5

1.5.3. Masyarakat ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Talasemia Beta Mayor ... 6

2.1.1. Definisi ... 6

2.1.2. Epidemiologi ... 7

(11)

2.1.3. Klasifikasi ... 8

2.2. Patofisiologi ... 9

2.3. Metabolisme Tulang pada Talasemia Beta Mayor ... 10

2.3.1. Faktor Hormonal ... 11

2.3.2. Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas ... 13

2.3.3. Faktor Genetik ... 14

2.3.4. Kelebihan Besi dan Terapi Kelasi Besi ... 14

2.3.5. Vitamin D ... 15

2.3.6. Faktor Klinis ... 18

2.4. Kerangka Konsep ... 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

3.1. Desain Penelitian ... 21

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian ... 21

3.4. Kriteria Penelitian ... 22

3.4.1. Kriteria Inklusi ... 22

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 22

3.5. Identifikasi Variabel ... 22

3.6. Ethical Clearance dan Informed Consent ... 23

3..7. Definisi Operasional... 23

3.8. Bahab dan Cara Kerja ... 25

3.8.1. Bahan yang diperlukan ... 25

3.8.2. Cara Kerja ... 25

3.8.3. Pengambilan dan Pengolahan Sampel ... 25

3.8.4. Pemeriksaan Sampel ... 26

3.8.4.1. Pemeriksaan Kadar Vitamin D ... 26

(12)

3.8.4.2. Pemeriksaan Kalsium ... 29

3.8.4.3. Pemeriksaan Fosfor ... 29

3.9. Pemantapan Kualitas ... 30

3.10. Analisis Data ... 32

3.11. Kerangka Kerja ... 33

3.12. Perkiraan Biaya Penelitian ... 34

3.13. Jadwal Penelitian ... 34

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 35

BAB V. PEMBAHASAN ... 39

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1. Simpulan ... 45

6.2. Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47

LAMPIRAN ... 54

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gmabar 2.1. Patofisiologi Beta Talasemia ... 10

Gambar 2.2. Metabolisme Vitamin D ... 17

Gambar 2.3. Sintesa dan Metabolisme Vitamin D, Kalsium dan Fosfor ... 18

Gambar 2.4. Kerangka Konsep ... 20

Gambar 3.1. Grafik Kalibrasi Vitamin D ... 30

Gambar 3.2. Grafik Quality Control (QC) Kalsium ... 31

Gambar 3.3. Grafik Quality Control (QC) Fosfor ... 32

Gambar 3.4. Kerangka Operasional ... 33

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Genotif dan Fenotip β-talasemia ... 8

Tabel 2.2. Nilai rujukan vitamin D ... 17

Tabel 3.1. Definisi Operasional ... 23

Tabel 3.2. Jadwal Penelitian ... 34

Tabel 4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian ... 35

Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Pasien Talasemia Beta Mayor dan Kontrol ... 36

Tabel 4.3. Mean ± S.D. Vitamin D, Kalsium dan Fosfor pada Pasien Talasemia Beta Mayor dengan Kontrol ... 37

Tabel 4.4. Uji Korelasi antara Vitamin D dengan Kalsium dan Fosfor pada Pasien Talasemia Beta Mayor dan Kontrol ... 38

Tabel 5.1. Rekomendasi untuk penilaian vitamin D dan terapi pada pasien talasemia mayor ... 43

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2. Formulir Persetujuan Setelah Penjelasan

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data

Lampiran 4. Surat Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU

Lampiran 5. Surat Izin dari Instansi Penelitian dan Pengembangan RSUP. H. Adam Malik

Lampiran 6. Data Penelitian Lampiran 7. Data Output

(16)

DAFTAR SINGKATAN

ALP : Alkaline Phosphatase

BM : Bone Marrow

BMD : Bone Mineral Density

CLSI : The Clinical and Laboratory Standars Institute DNA : Deoxyribonucleic acid

D2 : Ergokalsiferol D3 : Kholekalsiferol

EDTA : Ethylene Diamine Tetraacetid Acid ELTA : Enzyme – Linked Flourescent Assay

GH : Growth Hormone

Hb : Hemoglobin

IGF-1 : Insulin like Growth Factor -1 IM : Intra Muscular

IOM : Institute of Medicine IU : International Unit

MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin MCV : Mean Corpuscular Volume

nm : nano meter

PTH : Parathyroid Hormone RBC : Red Blood Cell

RDW : Red Blood Cell Distribution Width RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

(17)

SPR : Solid Phase Respectable VITD : Vitamin D

WHO : World Health Organization

α : alfa

β : beta

ɣ : gamma

δ : delta

1,25(OH)D3 : 1,25-Dihidroksi vitamin D

(18)

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN KALSIUM DAN FOSFOR PADA PASIEN TALASEMIA BETA MAYOR

DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Ade Hariza Harahap1, Bidasari Lubis2, Herman Hariman1

1Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

2Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

ABSTRAK

Pendahuluan: Telah banyak dilaporkan bahwa pasien-pasien dengan talasemia beta mayor memiliki masalah dengan pertumbuhan tulang yang sering menyebabkan kelainan pada perkembangan tulang, patah tulang patologis, penipisan tulang sebagai akibat dari ekspansi sumsum tulang karena peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, tingkat hormon paratiroid rendah, vitamin D rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan vitamin D dengan kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor di RSUP. Haji Adam Malik Medan.

Metode: penelitian ini bersifat cross sectional. Penelitian dilakukan pada 35 pasien talasemia beta mayor dan 10 pasien normal sebagai kontrol, dari bulan Januari - April 2018 di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar serum vitamin D, kalsium dan fosfor. Pemeriksaan vitamin D, dengan menggunakan ELFA, kalsium dengan Arsenazo III dan fosfor dengan Inorganik fosfat.

Hasil dan Pembahasan: analisis statistik dengan student t-test (unpaired t-test), mean±SD vitamin D 21,28±6,36 ng/ml; 34,85±3,50 ng/ml (p<0,05); kalsium 8,58±0,68 mg/dl; 9,22±0,35 mg/dl (p<0,05); dan fosfor 3,98±0,53 mg/dl; 3,89±0,49 mg/dl (p>0,1). Pada uji korelasi antara vitamin D dengan kalsium dan vitamin D dengan fosfor tidak terdapat hubungan (r=0,13; p>0,05), dan (r=0,17; p>0,05).

Simpulan dan Saran: Dijumpai penurunan bermakna dari vitamin D dan kalsium pada pasien talasemia beta mayor, tetapi tidak dijumpai korelasi antara vitamin D dengan kalsium tersebut. Dibutuhkan suplemen vitamin D dan kalsium agar mencegah terjadinya kelainan tulang. Oleh karena itu, untuk penelitian lebih lanjut yang lebih spesifik (vitamin D3, ion kalsium) pada pasien talasemia beta mayor.

Kata Kunci: Vitamin D, Kalsium, Fosfor, Talasemia Beta Mayor

(19)

RELATIONSHIP BETWEEN VITAMIN D LEVELS WITH CALCIUM AND PHOSPHORUS IN PATIENTS WITH BETA THALASSEMIA

MAJOR IN RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Ade Hariza Harahap1, Bidasari Lubis2, Herman Hariman1

1Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatera / Haj. Adam Malik Hospital Medan, Indonesia

2Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, University of North Sumatera / Haj. Adam Malik Hospital Medan, Indonesia

ABSTRACT

Background: It has been widely reported that patients with beta major thalassemia have problems with bone growth which often cause abnormalities in bone development, pathological fractures, bone thinning as a result of bone marrow expansion due to ineffective erythropoiesis, calcium and phosphorus metabolic disorders, levels Low parathyroid hormone, low vitamin D. This study aims to determine the relationship of vitamin D with calcium and phosphorus in patients with beta thalassemia major in RSUP. Haj Adam Malik Medan.

Method: This study was cross sectional, condicted from January to April 2018.

Examination of vitamin D, calcium and phosphorus levels was carried out. Vitamin D using ELFA, calcium using Arsenazo III and phosphorus using inorganik phosphate.

Result and Discussion: . 35 patients participated in this study, which obtained 17 (48.6%) men and 18 (51.4%) women. Statistical analysis with student t-test (unpaired t-test), mean ± SD vitamin D 21.28±6.36 ng/ml; 34,85±3,50 ng/ml (p

<0.05); calcium 8.58±0.68 mg/dl; 9,22±0,35 mg/dl (p <0.05), and phosphorus 3.98±0.53 mg/dl; 3,89±0,49 mg/dl (p> 0.1). There was no significant correlation between vitamin D and calcium (r = 0.13, p> 0.05) and also vitamin D and phosphorus (r = 0.17, p> 0.05).

Conclusions and Suggesstions: There was a significant decrease in vitamin D and calcium in patients with beta major thalassemia, but there was no correlation between vitamin D and calcium, vitamin D and phosphorus.. Therefore, for more specific further research (vitamin D3, calcium ion) in patients with beta thalassemia major.

Key words: Vitamin D, Calcium, Phosphourus, Thalassemia Beta Major

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Talasemia beta adalah kelainan hemoglobin bawaan akibat mutasi genetik yang menyebabkan penurunan atau tidak ada sintesis rantai globin β. Sintesis yang tidak seimbang antara rantai α dan β dapat menimbulkan penurunan produksi hemoglobin total, eritropoiesis tidak efektif dan proses hemolitik kronik. (Taher, et al., 2013)

Pasien talasemia akan mengalami gangguan yang paling umum pada tulang.

Hal ini ditandai dengan massa tulang berkurang, gangguan arsitektur tulang, meningkatkan risiko kerapuhan tulang dan patah tulang, penipisan tulang sebagai akibat dari ekspansi sumsum tulang karena peningkatan eritopoiesis yang tidak efektif, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, tingkat PTH rendah, tingkat 1,25(OH)2 vitamimn D3 rendah, kekurangan hormon pertumbuhan (GH/IGF-1), pubertas tertunda, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus, peningkatan fungsi osteoklas dan penurunan fungsi osteoblas, kelebihan zat besi, efek racun dari terapi kelasi desferioksamin. Kalsium dan kekurangan vitamin D terlibat memiliki dampak serius dengan terganggunya metabolisme tulang. Defisiensi vitamin D semakin diidentifikasi di antara pasien talasemia beta mayor. (Elhoseiny, et al., 2015)

(21)

Kelangsungan hidup pasien talasemia mayor semakin meningkat dengan kemajuan dalam terapi. Namun osteoporosis dan disfungsi jantung tetap sering terjadi. Vitamin D sangat penting untuk kesehatan tulang dan mengurangi risiko patah tulang. Kekurangan vitamin D dilaporkan tinggi pada pasien talasemia di beberapa negara meskipun kehadiran sinar matahari merupakan resep rutin vitamin D dalam talasemia dan hubungannya dengan penyakit tulang termasuk osteoporosis, rakhitis, scoliosis, kelainan bentuk tulang belakang dan patah tulang serta disfungsi jantung. (Soliman, et al., 2013)

Osteopenia dan osteoporosis berat merupakan penyebab utama morbiditas pada pasien talasemia beta mayor. Karena kerapuhan tulang, patah tulang panjang terutama yang melibatkan tulang paha ditandai dengan pembengkakan dan nyeri jaringan lunak biasanya terlokalisasi pada persendian pergelangan kaki. Kelainan tulang lainnya yang relatif umum pada pasien talasemia beta mayor mencakup perbedaan tulang panjang anggota badan bagian atas karena perpaduan prematur garis epifisis, penyimpangan aksial tungkai, osteokhondrosis dan perawakan pendek. Keterlibatan tulang belakang sering terjadi dan dapat bermanifestasi sebagai kelainan tulang belakang (seperti skoliosis, kyphosis), kerapuhan vertebra, kompresi tali pusat atau degenerasi diskus intervertebralis. (Perisano, et al., 2012)

Pada penelitian di Iran menunjukkan bahwa penderita talasemia mayor mengalami 50,6% osteopoenia dan 27,3% osteoporosis di regio lumbal. Data lain menyebutkan bahwa 42,09% osteopenia dan 24,7% osteoporosis di regio leher dan femur. Selain itu, penderita talasemia mengalami hipokalsemia, hiperfosfatemia, defisiensi hingga insufisiensi vitamin D. (Poggiali, et al., 2012). Dalam penelitian

(22)

lain, prevalensi keseluruhan deformitas adalah 12,1% dengan distribusi yang hampir sama pada laki-laki (12,7%) dan wanita (11,5%). Deformitas terjadi lebih sering pada talasemia mayor (16,6%) dan talasemia intermedia (12,2%), dibandingkan dengan talasemia alfa (2,3%). (Wong, P., 2016)

Pasien talasemia mayor baik yang tidak diobati, frekuensi osteoporosis adalah sekitar 40 - 50% dan osteopenia 45%. Dalam sebuah penelitian anak-anak talasemia mayor di Cina, BMD defisit terdeteksi 62% di tulang belakang dan 35%

di pinggul. Puncak massa tulang juga terpengaruh; sebagai hasilnya, massa tulang yang rendah dapat dilihat pada pasien dengan talasemia mayor, bahkan mereka lebih muda dari usia 12 tahun. (Ozkan, et al., 2016)

Dengan demikian, pasien talasemia akan mengalami banyak kelainan tulang termasuk nyeri tulang, kelainan tulang, pertumbuhan tulang tertunda, retardasi pertumbuhan, penyakit rakhitis, skoliosis, kelainan tulang belakang, patah tulang patologis, osteopenia dan osteoporosis. (Neshelli, et al., 2016)

1.1. Perumusan Masalah

Oleh karena hal tersebut diatas, maka kami menganggap pada pasien talasemia beta mayor terdapat hubungan antara kadar vitamin D dengan kalsium dan fosfor

1.2. Hipotesa Penelitian

Terjadi suatu hubungan antara kadar vitamin D dengan kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor.

(23)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bahwa terjadi suatu hubungan dari kadar vitamin D dengan kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mempelajari proses terjadinya kekurangan kadar vitamin D, kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian ini diharapkan manfaatnya sebagai berikut:

1.4.1. Dibidang Ilmu Pengetahuan

A. Membuktikan terjadinya hubungan kadar vitamin D dengan kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor.

B. Bagi klinisi, apakah pemberian suplemen dapat mencegah terjadinya kekurangan vitamin D, kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor.

C. Dapat memberikan wawasan dan sumbangan untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya tentang pemahaman pemeriksaan laboratorium pada pasien talasemia beta major.

(24)

1.4.2. Untuk Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sarana untuk melatih cara berpikir dan membuat suatu penelitian berdasarkan metodologi yang baik dan benar dalam proses pendidikan.

1.4.3. Untuk Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai pentingnya vitamin D, kalsium dan fosfor pada pasien talasemia mayor agar dapat mencegah timbulnya defisiensi, kerapuhan tulang dan mengurangi risiko patah tulang.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Talasemia Beta Mayor 2.1.1. Definisi

Talasemia adalah kelainan darah autosomal resesif dari sintesis hemoglobin karena mutasi gen globin, yang menyebabkan berbagai tingkat defisiensi kuantitatif dalam produksi globin dan sintesis yang berkurang atau tidak adanya satu atau lebih rantai globin, yang mengakibatkan eritropoiesis dan anemia yang tidak efektif.

Keparahan klinis bervariasi secara luas, mulai dari bentuk asimptomatik yang parah atau bahkan lebih fatal. (Modi., 2012 dan Agrawal., 2016)

Talasemia beta adalah sekelompok gangguan autosomal bawaan yang ditandai oleh globin mutasi rantai di tetramer hemoglobin dan tidak adanya sintesis hemoglobin sehingga menyebabkan anemia berat, ekspansi sumsum tulang, deformitas tulang dan meningkatnya penyerapan zat besi pada gatrointestinal.

Talasemia mayor adalah bentuk parah dari penyakit dan gejala klinis muncul diantara 6 bulan sampai 2 tahun. Dimana pasien membutuhkan transfusi darah secara teratur dan terapi zat besi sepanjang hidup, dimulai pada anak usia dini.

Baru-baru ini, pendekatan terapi telah meningkatkan harapan hidup dan kualitas pada pasien talasemia.(Ozkan., et al. 2016)

(26)

2.1.2. Epidemiologi

Umumnya, talasemia mempengaruhi semua ras, terutama orang-orang asal Mediterania, Arab dan Asia dengan kejadian bervariasi. Dimana tingkat tertinggi dilaporkan di Maladewa (tingkat pembawa 18%), diikuti oleh keturunan dari negara Amerika latin dan Mediterania. Sementara tingkat kejadian yang yang sangat rendah di Eropa Utara (0.1%0 dan Afrika (0.9%). (Ghada Y, et al., 2015).

Sedangkan Prevalensi karier β-talasemia di Indonesia mencapai 3 – 10 %. Dengan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta penduduk Indonesia, diperkirakan ada sekitar 5.520.000 bayi penderita Talasemia yang lahir tiap tahunnya. (Wahidayat., 2012)

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas, 2007), menunjukkan prevalensi nasional talasemia di Indonesia adalah 0,1%. Terdapat 6 provinsi yang menunjukkan talasemia lebih tinggi daripada prevalensi nasional. Beberapa dari 6 provinsi itu antara lain adalah Aceh 13,4%, Jakarta 12,3%, Sumatera Selatan 5,4%, Sumatera Utara 3,71%, Gorontalo 3,1% dan Kepulauan Riau 3%.

Dari data rekam medis di RSUP H. Adam Malik Medan pasien talasemia yang berobat jalan maupun rawat inap dari bulan Juni sampai Desember 2017 sekitar 375 orang. (Rekam Medis RSUP. HAM., 2017). Sedangkan berdasarkan data dari RSCM, sampai bulan Oktober 2016 terdapat 9.131 pasien talasemia yang terdaftar di seluruh Indonesia. (Depkes., 2018).

(27)

2.1.3. Klasifikasi

Berdasarkan pada tingkat keparahan anemia, dengan melihat defek genetik yaitu: talasemia-β++-talasemia terdapat pengurangan (10 – 50%) daripada produksi rantai globin β), talasemia-β00-talasemia tidak dibentuk rantai globin sama sekali), serta jumlah gen (homozigot atau heterozigot). (Hoffbrand, A.V. &

Moss, P.A.H., 2011)

Tabel 2.1. Genotif dan fenotip β-talasemia (Taher., 2013, Mussalam., 2014 &

Ghada., 2015)

Fenotip Genotip Gejala

Silent

carrier Silent β/β

Asimptomatik Tidak ada kelainan hematologi

Trait /

minor β0/β, β+/β, atau β+/ β

Anemia simptomatik Mikrositosis dan hipokrom

Inter- media

 β0/mild β+, β+/mild β+ atau mild β+/mild β+

 β0/silent β, β+/silent β, mild β+/silent β atau silent β/silent β

 β00, β++ atau β0+ dan delesi atau tidak delesi α-thalassemia

 β00, β++ atau β0+ dan peningkatan kapasitas dari sintesis ɣ-chain

 delesi dari δβ-thalassemia dan HPFH

 β0/β, atau β+/β dan duplikat ααα atau αααα

 dominan β-thalassemia (inclusion body)

Presentasi lambat Mild-moderate anemia Transfusi-independent Tingkat keparahan klinis bervariasi antara minor sampai mayor

(28)

Mayor β 00, β++ (homozigot) atau β0+ (heterozigot)

Presentasi awal Anemia berat

Transfusi-dependent

2.2. Patofisiologi

Tidak ada atau berkurangnya jumlah rantai beta globin menyebabkan peningkatan relatif rantai globin alpa yang disimpan dalam prekusor eritroid dalam sumsum tulang sehingga terjadi eritropoiesis yang tidak efektif. Akibat eritropoiesis yang tidak efektif menyebabkan anemia dan anemia meningkat dengan penghancuran eritrosit di limpa. Eritropoietin menyebabkan hiperplasia normoblastik dan meningkatkan hematopoiesis 25 sampai 30 kali dengan normal dan perluasan hematopoietk. Hal ini meningkatkan deformitas tulang, serta anemia jangka panjang dan berat, dan juga peningkatan prekursor eritroid yang mengarah ke hepatosplenomegali dan ekstra medula. (Tari, et al., 2018)

Prekursor eritroid meningkat 5 sampai 6 kali pada pasien talasemia dibandingkan dengan individu sehat. Eritropoiesis yang tidak efektif didefinisikan oleh produksi eritosit yang tidak optimal dari sel-sel yang belum matang. Muncul melalui percepatan diferesiasi eritroid, menghambat pematangan dalam tahap polikromatofilik dan kematian tahap progenitor eritroid. Peningkatan apoptosis dari eritropoiesis yang tidak efektif sehingga pada talasemia mayor terlihat peningkatan apoptosis progenitor eritroid pada sumsum tulang. (Tari, et al., 2018)

Eritropoiesis pada individu dengan talasemia beta mencerminkan konsekuensi dari kelebihan globin. Ketidakseimbangan dalam ratio biosintetik α-

(29)

globin dengan ɣ-globin merupakan determinasi utama keparahan penyakit daripada produksi hemoglobin. Pada sifat talasemia beta terdapat kelebihan dalam sintesis α-globin, yang konsisten dengan hematopoiesis sehingga terjadi hipokrom mikrositik ringan. (Nienhuis A.W and Nathan D.G., 2018).

Gambar 2.1. Patofisiologi Beta Talasemia. (Nienhuis, A.W, and Nathan, G., 2018

2.3. Metabolisme Tulang pada Talasemia Beta Mayor

Penyakit tulang yang berhubungan dengan talasemia telah pertama kali dijelaskan oleh Cooley et al, sebagai “perubahan tulang yang aneh” yang terdiri kranial, wajah dan anggota tubuh yang ditandai cacat karena ekspansi sumsum tulang. Pengenalan terapi transfusi pada tahun 1960 telah mengakibatkan perbaikan

(30)

dari deformitas tulang tersebut. Saat ini, penyakit tulang yang ditandai dengan BMD rendah dapat mengakibatkan peningkatan risiko patah tulang dan nyeri tulang. Sebagian besar patah tulang terjadi di ekstremitas dan tulang belakang lumbal. (Adamidou, et al., 2016).

Faktor beragam yang berkontribusi pada penyakit tulang termasuk perluasan medula, akumulasi zat besi, keseimbangan kalsium fosfor, pergantian tulang yang tinggi, insufisiensi hormonal dan hipoksia dapat mempengaruhi komplikasi skeletal. (Sultan., et al. 2015). Mekanisme yang terlibat dalam patogenesis kelainan tulang pada β-talasemia mayor adalah sebagai berikut:

2.3.1. Faktor Hormonal

Hormon paratiroid (PTH) merupakan hormon polipeptida rantai tunggal yang sebagian kecil disimpan dalam kelenjar paratiroid dan sebagian besar disekresikan dalam sirkulasi. Fungsi utama PTH adalah mengatur kadar kalsium pada ekstrasel. Kadar kalsium darah berasal dari kalsium yang ditransfer melalui tulang, filtrasi glomerulus dan traktus gastrointestinal. (El-Nashar, M., et al., 2016).

PTH merangsang reabsorpsi kalsium melalui filtrasi glomerulus, meningkatkan reasorpsi tulang dan mempengaruhi absorpsi kalsium dari traktus gastrointestinal secara sekunder melalui metabolit aktif vitamin D yaitu 1,25 dihidroksikolekalsiferol (1,25 (OH)2 D) disebut kalsitriol. Organ target utama kerja PTH adalah ginjal dan tulang. Fungsi utama aksis dari vitamin D dan PTH adalah untuk mempertahankan kadar kalsium dan fosfat ekstrasel yang sesuai bagi mineralisasi. Hormon lain yang mengatur pertumbuhan dan mineralisasi yaitu

(31)

growth hormone (GH), Insulin like growth factor-1 (IGF-1), hormon tiroid, insulin,

leptin, androgen dan estrogen.(Mithal, A., et al., 2009).

Mekanisme PTH terhadap kadar fosfat pada ekstrasel melalui penurunan kadar fosfat serum secara langsung akibat pengaruh PTH pada ginjal dengan fosfaturia dan peningkatan kadar fosfat serum akibat induksi PTH terhadap tulang yang akan mempengaruhi reasorpsi fosfat dan mineral lain dari tulang. (Chesney, R.W., 2007 & Mithal, A., et al., 2009)

Kelainan hormonal, termasuk diabetes, disfungsi tiroid / paratiroid dan hipigonandisme diyakini mendasari perputaran tulang yang berubah pada β- talasemia mayor. Pada β-talasemia mayor wanita, kadar estrogen dan progesteron yang rendah meningkatkan aktivitas osteoklas dan mengurangi pembentukan tulang, sementara pada pria, kadar testosteron rendah menghasilkan penurunan efek stimulasi pada proliferasi dan diferensiasi osteoblas. Selain itu, ketidakcukupan sumbu GH – IGF-1 menyebabkan proliferasi osteoblas terganggu dan pembentukkan matriks tulang, sekaligus meningkatkan aktivasi osteoklas.

(Perisano, C., et al., 2012 & Schottker, B., et al. 2013 )

Insulin like growth factor-1 merangsang pembentukan tulang. Pada

lempeng pertumbuhan 1,25 (OH)2 D3 akan memperkuat sintesis IGF-1 pada kondrosit sehingga merangsang proliferasi, diferensiasi sel dan meningkatkan aktivitas ALP. Selama vitamin D menurun dan diproduksi secara lokal IGF-1 pada anak-anak sebagai proses adaptasi untuk menghambat pertumbuhan linear pada lempeng pertumbuhan dan pertambahan mineral tulang pada diafise. Proses ini

(32)

akan menghemat mineral tulang dan protein untuk mempertahankan kadar kalsium normal dan memperlambat kerusakan tulang. (Olivieri NF, 2006)

2.3.2. Aktivitas Osteoblas dan Osteoklas

Selain gangguan aktivitas osteoblas, yang dianggap sebagai penyebab utama osteopenia / osteoporosis pada β-talasemia mayor. Peningkatan aktivasi osteoklas disebut sebagai faktor pendukung. Ini memberikan alasan untuk penggunaan bifosfonat yang merupakan penghambat potensial fungsi osteoklas, untuk pengelolaan osteoporosis yang diinduksi oleh β-talasemia mayor. (Perisano, C., et al., 2012).

Penyerapan kalsium hanya 10 sampai 15% dan fosfor sekitar 60% jika tanpa vitamin D. Bentuk aktif 1,25 (OH)2 D3 meningkatkan efisiensi absorpsi kalsium. Kadar 25OH D serum secara langsung berhubungan dengan kepadatan mineral tulang. Kadar serum dibawah 30 ng/ml berhubungan dengan penurunan penyerapan kalsium. Hormon paratiroid meningkatkan resorpsi tubular terhadap kalsium dan merangsang ginjal untuk memproduksi 1,25 (OH)2 D3 yang mengaktifkan osteoblas dan merangsang prosteoklas menjadi osteoklas. Osteoklas akan melarutkan matriks kolagen mineral tulang sehingga menyebabkan osteopenia dan osteoporosis sehingga memberikan cukup kalsium untuk mencegah hipokalsemia. (Olivieri NF, 2006)

Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang yang secara langsung bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung merangsang kalsium di

(33)

usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah yang mendorong kalsifikasi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar serum kalsium dengan meningkatkan penguraian tulang sehingga vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang. (Soliman A., 2013).

2.3.3. Faktor Genetik

Faktor genetik juga memainkan peran dalam mineralisasi tulang pada talasemia. Ekspansi sumsum tulang sekunder mengakibatkan terjadinya eritropoesis tidak efektif dengan penipisan korteks, hipogonadisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme, diabetes melitus, efek toksik langsung dari kelebihan zat besi dan aktivitas osteoblas, efek buruk dari desferioksamin pada metabolisme tulang merupakan dampak negatif dari terapi kelasi pada proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen. Hormon paratiroid meningkatkan resorpsi tubular kalsium dan merangsang ginjal untuk memproduksi 1,25 (OH)2 D3 yang mengaktifkan osteoblas dan merangsang prosteoklas menjadi osteoklas. Osteoklas akan melarutkan matriks kolagen mineral tulang sehingga menyebabkan osteopenia dan osteoporosis. (Rawhia., et al. 2010)

2.3.4. Kelebihan Besi dan Terapi Kelasi Besi

Transfusi darah yang paling banyak digunakan bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi hemoglobin menjadi 13 - 14 g/dl setelah transfusi, dan

(34)

mempertahankannya pada 9 - 10 g/dl setiap saat. Di sisi lain, seringnya transfusi darah dapat menyebabkan kelebihan zat besi yang dapat menyebabkan hemosiderosis, yang belakangan mungkin menjadi penyebab hipogonadisme, diabetes melitus, hipoparatiroidisme dan kelainan endokrin lainnya. (Basha., et al., 2014, Valizadeh., et al., 2014 & Agrawal, et al., 2016).

Kelebihan zat besi terjadi saat asupan zat besi meningkat selama periode waktu berkelanjutan, baik akibat transfusi darah atau peningkatan penyerapan zat besi melalui saluran gastroinstestinal. Ketika pasien talasemia menerima transfusi darah secara teratur, kelebihan besi tidak bisa dihindari karena tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mengeluarkan kelebihan zat besi. Akumulasi besi yang banyak di jaringan menyebabkan gagal jantung, sirosis, kanker hati, retardasi pertumbuhan dan kelainan endokrin multipel. Terapi kelasi bertujuan untuk menyeimbangkan laju akumulasi besi dari transfusi darah dengan meningkatkan ekskresi besi dalam urin. (Taher., 2013 & Cappelini et al., 2014)

2.3.5. Vitamin D

Vitamin D termasuk dalam grup sterol. Vitamin D merupakan kelompok senyawa yang larut dalam lemak dengan kandungan kolesterol dan cincin aromatik.

Ada dua bentuk vitamin D yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol) dan D3 (kholekalsiferol). Vitamin D2 dapat dijumpai pada jamur yang terpapar sinar matahari. Manusia mensintesis vitamin D3 setelah terpapar dengan sinar ultraviolet, sehingga hal ini merupakan bentuk alami. Perkursor vitamin D2 adalah ergosterol

(35)

dalam tanaman, dimana D2 dapat disintesis oleh radiasi ultraviolet dari ergosterol dari ragi. Demikian pula vitamin D3 disintesis dalam tubuh ketika sinar matahari (ultraviolet B, panjang gelombang 280-315 nm) dan fotoisomerase 7- dehidroksikolesterol dalam kulit. D3 juga ditemukan dalam makanan hewani, misalnya lemak ikan, hati, susu, dan telur. Vitamin D2 dan vitamin D3 terlepas dari sumber secara biologis tidak aktif. Vitamin D2 dan D3 ini berubah menjadi molekul aktif 1,25-dihidroksivitamin D. Setelah disintesis di kulit atau diserap (dalam kilomikron) dari saluran gastrointestinal. (Soliman, et al., 2013)

Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi utama, 25- hydroxyvitamin D (kalsifediol) oleh hati dengan enzim 25-hydroxylase (CYP2R1) dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol oleh ginjal dengan enzim 1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan efisiensi penyerapan usus terhadap kalsium sebagai fungsi klasik. (Nair., 2012 & Kosaryan., 2015). Bentuk aktifnya, 1,25(OH)2D3 meningkatkan efisiensi kalsium di usus dan fosfor di absorpsi. Tingkat serum dari 25-OHD secara langsung berhubungan dengan kepadatan mineral tulang dengan kepadatan maksimum dicapai ketika tingkat serum 25-OHD mencapai 40 ng/ml atau lebih. Bila serum kurang dari 30 ng/ml maka berhubungan dengan penurunan yang signifikan pada penyerapan kalsium di intestinal. (Ganji., 2012 & Soliman, A., et al., 2013)

Tingkat sirkulasi vitamin D sangat penting untuk kesehatan tulang dan mengurangi risiko patah tulang. Vitamin D sangat penting untuk homeostasis kalsium dan untuk mineralisasi tulang, terutama selama periode pertumbuhan, yaitu

(36)

Agrawal., et al., 2016). Kekurangan vitamin D menyebabkan rakhitis (defek mineralisasi pada epifise dan jaringan tulang) dan osteomalasia (defek mineralisasi pada jaringan tulang). (Soliman, A., et al., 2013 & Ghazaly, et al., 2015)

Gambar 2.2. Metabolisme vitamin D.

Tabel 2.2. Nilai rujukan kadar 25-(OH) Vitamin D. (Holick, M.F, et al, 2011)

Status 25(OH) Vitamin D

Defisiensi Insufisiensi Normal Toksik

< 20 mg/dL 20 – 29 mg/dL 30 – 100 mg/dL

> 100 mg/dL

Institute of Medicine (IOM) melaporkan risiko terjadinya ricketsia, fraktur, dan kelainan tulang dengan kadar kalsifediol < 12 ng/ml lebih tinggi pada orang.

Institute of Medicine mengestimasi bahwa kadar kalsifediol sebesar 16 ng/ml

(37)

adalah sasaran yang perlu dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar kalsifediol 20 ng/ml digunakan sebagai batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97,5% populasi. (Ganji., 2012).

Gambar 2.3. Sintesa dan Metabolisme Vitamin D, Kalsium dan Fosfor.

(Chesney.,2007)

2.3.6. Faktor Klinis

Kelainan tulang terjadi karena hipertropi (hemopoiesis ekstramedulla) dan ekspansi sumsum eritroid yang menyebabkan melebar sumsum tulang, menipis korteks dan osteoporosis. Perubahan tulang yang pertama kali ditemukan terlihat

(38)

pada tulang metatarsal dan metakarpal yang berbentuk rektangular atau konveks akibat peningkatan eritropoesis yang menyebabkan pelebaran sumsum tulang.

Perubahan tulang yang paling sering terlihat pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Kepala penderita talasemia beta mayor menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal dan pembesaran diploe tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih besar dari organ normal.

Osteopenia dan osteoporosis berat merupakan penyebab utama morbiditas pada pasien β-talasemia mayor. Karena kerapuhan tulang yang tinggi pada β- talasemia mayor, fraktur tulang panjang terutama yang melibatkan tulang paha ditandai dengan pembengkakan dan nyeri jaringan lunak biasanya terlokalisasi pada persendian pergelangan kaki. Kelainan tulang lainnya yang relatif umum pada pasien β-talasemia mayor mencakup perbedaan panjang anggota badan dan bagian atas karena perpaduan prematur garis epifisis, penyimpangan aksial tungkai, osteokhondrosis dan perawakan pendek. Keterlibatan tulang belakang sering terjadi dan dapat bermanifestasi sebagai kelainan tulang belakang (seperti skoliosis, kyphosis), kerapuhan vertebra, kompresi tali pusat atau degenerasi diskus intervertebralis. (Perisano, C., et al., 2012)

(39)

2.4. KERANGKA KONSEP

Talasemia Mayor

Vitamin D

Eritropoesis ineffektif Anemia

Penumpukan

Besi Ekspansi sumsum tulang

Transfusi darah

Deformitas, Osteopenia,

PTH, growth hormone (GH), Insulin like growth factor-1 (IGF-1), hormon tiroid, insulin, leptin, androgen dan estrogen Terapi kelasi besi

(deferoksamin, deferiprone, dan

deferasirox)

Kelebihan rantai bebas globin alfa

Kerusakan jantung Kerusakan hati Kerusakan limpa Gangguan kelenjar endokrin

Gangguan pertumbuhan

Kelebihan Besi

Peningkatan Eritropoetin Peningkatan

absorpsi besi Hemolisis

Serum Feritin

Kalsium, Fosfor Hemosiderosis

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitin

Penelitian ini dilakukan secara cross sectional. Pada pasien-pasien yang telah di diagnosa menderita talasemia beta mayor di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengambilan sampel dengan consecutive sampling, dimana jumlah sampel dibatasi sampai waktu penelitian yaitu 3 bulan sejak penelitian dimulai.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU / RSUP.

H.Adam Malik Medan bekerjasama dengan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK - USU) / RSUP. H. Adam Malik Medan. Penelitian di mulai dari bulan Januari 2018 sampai April 2018.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

Kelompok kasus adalah pasien rawat jalan atau rawat inap yang dirawat oleh dokter spesialis anak di RSUP. H. Adam Malik Medan setelah dikonfirmasi sebagai talasemia beta mayor yang memenuhi kriteria inklusi. Kelompok kasus dan kelompok kontrol normal dilakukan pemeriksaan laboratorium 25 (OH) vitamin D, kalsium, dan fosfor.

(41)

3.4. Kriteria Penelitian 3.4.1. Kriteria Inklusi

 Usia 2 – 18 tahun

 Pasien di diagnosa β-talasemia mayor oleh dokter spesialis anak di RSUP. H. Adam Malik Medan

 Pasien rawat jalan maupun rawat inap

 Pasien yang belum menerima suplemen vitamin D, kalsium dan fosfor

 Bersedia ikut dalam penelitian 3.4.2. Kriteria Eksklusi

 Pasien talasemia minor

 Pasien menolak

 Pasien yang sebelumnya sudah mendapatkan suplemen vitamin D, kalsium dan fosfor.

3.5. Identifikasi Variabel

Variabel bebas 1. Vitamin D 2. Kalsium 3. Fosfor

Variabel terikat

1. Talasemia beta mayor 2. Non talasemia beta mayor

(42)

3.6. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan NO:303/TGL/KEPK FK USU-RSUP HAM/2017, tanggal 14 Juli 2017. Serta izin penelitian dari Instalasi Penelitian dan Pengembangan RSUP. H. Adam Malik Medan, No:

LB.02.031.II.4./1798/2017, tanggal 13 November 2017.

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili

oleh keluarganya yang menyatakan bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari penelitian ini.

3.7. Definisi Operasional

Talasemia beta mayor

adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari) yang sifatnya diturunkan dari orang tua ke anak melalui gen. Pasien ini di diagnosa oleh dokter spesialis anak konsultan hematologi di RSUP. H. Adam Malik Medan.

(43)

Vitamin D

yang diperiksa adalah 25(OH) Vitamin D total, dimana sampel yang digunakan adalah serum manusia. Dengan nilai rujukan kadar 25(OH) vitamin D yaitu: < 20 ng/mL = defisiensi, 20 – 29 ng/mL = insufisiensi, 30 – 100 ng/mL = sufisiensi,

> 100 ng/mL = toksik. (Holick, et al., 2011).

Kalsium

digunakan untuk menghitung kalsium pada manusia. Sampel yang digunakan adalah serum.

Mayoritas kalsium dalam tubuh hadir dalam tulang. Sisa kalsium dalam serum dan memiliki berbagai fungsi, seperti ion kalsium menurunkan rangsangan neuromuskular. Nilai normal kalsium:

8.4 – 10.2 mg/dL. (Architech ci 4100).

Fosfor

digunakan untuk kuantisasi fosfor dalam serum manusia. Mayoritas fosfor dalam tubuh 80 – 85%

di dalam tulang sebagai hidrosiapitit. Sisa fosfat hadir sebagai ester anorganik fosfor dan fosfat.

Kalsium dan fosfor dalam serum biasanya menunjukkan hubungan timbal balik. Nilai normal fosfor berkisar 2.3 – 4.7 mg/dL. (Architech ci 4100)

(44)

3.8. Bahan dan Cara Kerja 3.8.1. Bahan yang diperlukan

Bahan pemeriksaan laboratorium berupa darah tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan kadar serum vitamin D, kalsium dan fosfor.

3.8.2. Cara Kerja

- Subjek penelitian yaitu penderita talasemia mayor yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis anak di RSUP. H. Adam Malik Medan.

- Setelah didiagnosa sebagai talasemia mayor, kemudian ditentukan apakah memenuhi kriteria inklusi.

- Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent dan mengisi surat persetujuan mengikuti penelitian.

3.8.3. Pengambilan dan Pengolahan Sampel

1. Sampel darah diambil dari vena punksi dari vene mediana cubiti.

Tempat vena punksi terlebih dahulu dilakukan tindakan aseptik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering, kemudian dilakukan punksi dengan menggunakan venoject. Pegambilan darah dilakukan tanpa statis yang berlebihan. Sampel darah vena diambil sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke tabung vacutainer clot activator.

2. Darah dalam tabung vacutainer clot activator dibiarkan membeku selama 20 menit pada suhu ruangan, kemudian lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit.

(45)

3. Serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (aliquot) 1 ml untuk pemeriksaan vitamin D, kalsium dan fosfor

3.8.4. Pemeriksaan Sampel

3.8.4.1. Pemeriksaan Kadar Vitamin D

Pemeriksaan kadar vitamin D Total dilakukan dengan menggunakan alat MINI VIDAS BRAHMS. Prinsip pemeriksaan 25 (OH) vitamin D Total dengan metode Enzyme-Linked Fluourescent Assay (ELFA) sesuai rekomendasi The Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI).

Solid Phase Respectacle (SPR®) berfungsi sebagai fase padat serta perangkat pipetting untuk pengujian tersebut. Reagen untuk pengujian telah tersedia siap digunakan dan telah terbagi di setiap strip reagen yang tersegel. Semua langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh instrumen. Media reaksi dengan siklus masuk dan keluar dari SPR beberapa kali.

Sampel dicampur dengan reagen preparasi untuk memisahkan vitamin D dari protein pengikat. Sampel preparasi kemudian dikumpulkan dan dipindahkan ke dalam sumur yang berisi alkaline phosphatase (ALP) -labeled anti-vitamin D antibody (konjugat).

Vitamin D antigen berada dalam sampel dan vitamin D antigen melapisi

(46)

bagian interior SPR dan bersaing untuk berikatan dengan anti-vitamin D antibodi-ALP konjugat.

Selama langkah deteksi akhir, substrat (4-Methylumbelliferyl fosfat) dengan siklus masuk dan keluar dari SPR. Enzim konjugat mengkatalisis proses hidrolisis substrat ini menjadi produk fluoresensi (4-Methylumbelliferone), fluoresensi akan diukur pada gelombang 450 nm. Intensitas fluoresensi adalah berbanding terbalik dengan konsentrasi vitamin D antigen yang terdapat dalam sampel.

Pada akhir tes ini, hasil secara otomatis dihitung oleh instrumen dengan kurva kalibrasi yang disimpan dalam memori, dan kemudian dicetak.

 Jenis Sampel dan Stabilitas Sampel

Jenis sampel yang digunakan adalah serum atau plasma (Lithium Heparin). Serum atau plasma dapat disimpan pada tabung biasa pada suhu 18-25 0C dan stabil hingga 8 jam sebelum pemeriksaan. Dan dapat juga disimpan juga pada tabung aliquot dengan suhu -20 0C sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum 6 bulan).

(47)

 Cara Kerja

1. Keluarkan reagen yang hanya diperlukan dari kulkas. Reagen dapat digunakan segera.

2. Gunakan satu "VITD" strip dan satu "VITD" SPR® dari kit untuk setiap sampel, kontrol atau kalibrator yang akan diuji.

Pastikan kantong penyimpanan telah disegel kembali setelah SPRs yang diperlukan telah diambil.

3. Tes diidentifikasi dengan kode "VITD" pada instrumen.

Kalibrator diidentifikasi dengankode "S1", dan diuji dalam rangkap dua. Jika yang di test adalah kontrol adala, diidentifikasi dengan kode "C1".

4. Jika perlu, jernihkan sampel dengan sentrifugasi.

5. Campur kalibrator, kontrol dan sampel menggunakan pusaran mixer (untuk memisahkan serum atau plasma dari bekuan sel).

6. Sebelum pipetting pastikan bahwa sampel, kalibrator, kontrol dan pengencer bebas gelembung.

7. Untuk tes ini, kalibrator itu, kontrol, dan bagian uji sampel adalah 100 mL.

8. Masukkan "VITD" SPRs dan "VITD" strip ke dalam instrumen.

Periksa untuk memastikan label warna dengan kode assay pada SPRs dan Strips Reagen sama.

(48)

9. Lakukan uji sebagaimana diarahkan dalam Buku Manual.

Semua langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh instrumen.

10. Tutup kembali botol dan kembalikan ke penyimpanan suhu 2- 8 ° C setelah pipetting.

11. Tes uji akan selesai dalam waktu kurang lebih 40 menit. Setelah uji selesai, keluarkan SPRs dan strip dari instrumen.

3.8.4.2. Pemeriksaan Kadar Kalsium

Pemeriksaan kadar Kalsium dilakukan dengan menggunakan alat ARCHITECT ci 4100. Prinsip pemeriksaan kalsium menggunakan metode Arsenazo III, dimana Arsenazo III akan bereaksi dengan kalsium di dalam larutan asam membentuk senyawa berwarna biru keunguan. Warna yang terbentuk diukur dengan panjang gelombang 660 nm dan hasil yang diperoleh di konversikan menjadi kadar kalsium dalam sampel.

3.8.4.3. Pemeriksaan Kadar Fosfor

Pemeriksaan kadar fosfor dilakukan dengan menggunakan alat ARCHITECT ci 4100. Prinsip pemeriksaan phospor menggunakan metode Phosphomolybdate. Phospat inorganik akan bereaksi dengan ammonium molybdate akan membentuk heteropolyacid kompleks.

(49)

Absorban diukur dengan panjang gelombang 340 nm. Hasil dikonversikan menjadi kadar phospat inorganik dalam sampel.

Cara Kerja Pemeriksaan Kalsium dan Fosfor:

Pipet 200 µL serum pasien masukkan ke dalam well pada alat. Masukkan posisi tabung sampel pada program Kalsium dan Fosfor, kemudian klik running. Baca hasil pemeriksaan.

3.9. Pemantapan Kualitas

a. Pemantapan kualitas pemeriksaan Vitamin D

Kalibrasi untuk pemeriksaan vitamin D dilakukan sesuai petunjuk tersedia dalam paket reagensia. Kalibrasi dilakukan setiap hendak dilakukan pemeriksaan sampel.

(50)

b. Pemantapan Kualitas Pemeriksaan Kalsium

Kalibrasi dan kontrol untuk pemeriksaan kalsium dilakukan sesuai petunjuk dari pabrikan yang tersedia dalam paket reagensia. Kontrol dilakukan dengan kontrol set setiap hari dan kalibrasi dilakukan dengan frekuensi 1-60 hari (rata-rata 25 hari) atau setiap pemakaian reagen kit baru. (Abbot manual, 2015)

Gambar 3.2. Grafik Quality Control (QC) Kalsium

c. Pemantapan Kualitas Pemeriksaan Fosfor

Kalibrasi dan kontrol untuk pemeriksaan fosfor dilakukan sesuai petunjuk dari pabrikan yang tersedia dalam paket reagensia. Kontrol dilakukan dengan kontrol set setiap hari dan kalibrasi dilakukan dengan frekuensi 1-60 hari (rata-rata 25 hari) atau setiap pemakaian reagen kit baru. (Abbot manual, 2015)

(51)

Gambar 3.3. Grafik Quality Control (QC) Fosfor

3.10. Analisis Data

- Analisis statistik dengan student t-test (unpaired t-test).

- Untuk test korelasi digunakan uji korelasi - Angka kebermaknaan dicapai jika p<0.05

(52)

3.11. Kerangka Operasional

Pemeriksaan kadar Kalsium

dalam serum

Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap Thalassemia beta mayor

Kriteria Inklusi

Anamnesa dan Informed consent

Pemeriksaan kadar Fosfor dalam serum

Pemeriksaan kadar Vitamin D

dalam serum

Nilai Normal Kalsium:

8.4 – 10.2 (Architech ci 4200)

Nilai Normal Fosfor:

2.3 – 4.7 (Architech ci 4200)

Nilai Normal Vitamin D:

Defficient < 20 Insufficent 20 – 29 Sufficient 30 – 100 Potential Toxicity > 100 (Holick, 2011)

Analisa Data Statistik

(53)

3.12. Perkiraan Biaya Penelitian

Pengadaan alat tulis Rp 1.000.000,-

Pengadaan reagensia Vitamin D Rp 15.000.000,- Pemeriksaan Kalsium dan Fosfor Rp 3.000.000,- Pengadaan alat-alat disposible Rp 500.000,- Pengurusan Ethical Clearance Rp 750.000,-

Biaya seminar hasil Rp 1.000.000,-

Biaya tak terduga Rp 1.000.000,-

Total Biaya Rp 22.250.000,-

3.13. Jadwal Penelitian

No. Kegiatan Januari 2018

Februari 2018

Maret

2018 April 2018

1. Proposal X

2. Pengumpulan

Data X X X

3. Analisis Data X

4. Seminar Hasil X

(54)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan kadar serum vitamin D dengan kalsium dan fosfor pada pasien talasemia beta mayor di RSUP. H. Adam Malik Medan, yang dilaksanakan dari bulan Januari 2018 sampai dengan April 2018. Sampel yang terkumpul pada pasien ini sebanyak 37 pasien yang datang ke poli anak dan yang dirawat di RSUP. H. Adam Malik Medan. Yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 35 orang dan 2 orang yang dieksklusi. Dari tiga puluh lima pasien talasemia beta mayor, di dapati 17 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.

Sepuluh pasien sebagai kontrol yang terdiri dari 7 orang perempuan dan 3 orang laki-laki.

Tabel 4.1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Karakteristik Satuan Talasemia Beta

Mayor (n = 35) Kontrol ( n = 10 ) Usia 2 – 18 Tahun

Usia 2 – 10 Usia 11 – 18 Jenis Kelamin ( n % ) Laki-laki Perempuan

Tahun Tahun

Orang Orang

19 (54,3%) 16 (45,7%)

17 (48,6%) 18 (51,4%)

7 (7%) 3 (3%)

7 ( 7% ) 3 ( 3% )

(55)

Tabel 4.1. diatas menggambarkan karakteristik subjek penelitian. Pada penelitian ini usia pasien talasemia beta mayor dan kontrol antara 2 sampai 18 tahun. Dari pasien talasemia beta mayor didapatkan 35 sampel yang terdiri dari 17 orang memiliki jenis kelamin laki-laki (48,6%) dan 18 orang memiliki jenis kelamin perempuan (51,4%). Pasien kontrol sebanyak 10 orang yang terdiri dari 7 orang perempuan (7%) dan 3 orang laki-laki (3%).

Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Pasien Talasemia Beta Mayor dan Kontrol

Variabel Talasemia beta

mayor (n = 35)

Kontrol (n = 10) Kadar Vitamin D

- Defisiensi ( < 20 m/dL ) 12 ( 34,3% ) - Insufisiensi ( 20 – 29 mg/dL ) 20 ( 57,1% )

- Normal ( 30 – 100 mg/dL ) 3 ( 8,6% ) 10 ( 100% ) Kalsium

- Rendah 11 ( 31,4% )

- Normal ( 8.4 – 10.2 mg/dL ) 24 ( 68,6% ) 10 ( 100% ) Fosfor

- Normal ( 2.3 – 4.7 mg/dL ) 35 ( 100% ) 10 ( 100% )

(56)

Pada tabel 4.2 diatas menunjukkan hasil pemeriksaan ditemukan kadar vitamin D pada pasien talasemia beta mayor 12 (34,3%) orang mengalami defisiensi, 20 (57,1%) orang mengalami insufisiensi dan 3 (8,6%) orang normal.

Pemeriksaan kalsium pada pasien talasemia beta mayor menunjukkan sebanyak 11 orang didapatkan dengan nilai rendah yaitu 31,4%, dan 24 orang didapatkan normal sekitar 68,6%. Pemeriksaan fosfor pada pasien talasemia beta mayor ditemukan 100% dalam nilai normal. Sedangkan pada 10 orang sebagai kontrol ditemukan kadar vitamin D, kalsium dan fosfor 100% normal.

Tabel 4.3. Mean ± SD Vitamin D, Kalsium dan Fosfor pada Pasien Talasemia Beta Mayor dengan Kontrol

Parameter Talasemia beta

mayor (n=35) Kontrol (n=10) p value Serum vitamin D (ng/mL) 21.28 ± 6.36 34.85 ± 3.50 <0.05 Serum kalsium (mg/dL) 8.58 ± 0.68 9.22 ± 0.35 <0.05 Serum fosfor (mg/dL) 3.98 ± 0.53 3.89 ± 0.49 >0.1

Tabel 4.3 menunjukkan uji statistik menggunakan unpaired T-test terhadap nilai vitamin D, kalsium dan fosfor. Mean±SD vitamin d, kalsium dan fosfor pasien talasemia beta mayor terdapat 21.28 ± 6.36 ng/mL, 8.58 ± 0.68 mg/dL dan 3.98 ± 0.35 mg/dL. Sedangkan pada normal 34.85 ± 3.50 ng/mL, 9.22 ± 0.35 mg/dL dan

(57)

dengan p<0.05, sedangkan pada nilai fosfor tidak terdapat perbedaan yang bermakna dengan p>0.1.

Tabel 4.4. Uji korelasi antara Vitamin D dengan Kalsium dan Fosfor pada Pasien Talasemia Beta Mayor dan Kontrol

Variabel

Talasemia Mayor Vitamin D

Kontrol Vitamin D

p R p R

Kalsium 0.454 0.131 0.528 -0.227

Fosfor 0.233 0.178 0.239 -0.410

Pada tabel 4.4 menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kalsium dengan vitamin D pada pasien talasemia beta mayor serta korelasi positif lemah dengan nilai p=0.454 dan r=0.131, begitu juga antara fosfor dengan vitamin D ada korelasi yang signifikan dengan p=0.233, r=0.178. Sementara pada kontrol normal, kalsium menunjukkan tidak berkorelasi signfikan dengan vitamin D dimana p=0.528, r=-0.227. Namun fosfor menunjukkan korelasi signifikan dengan p=0.239 serta korelasi negatif lemah (r=-0.410).

(58)

BAB V

PEMBAHASAN

Jumlah pasien yang ikut serta dalam penelitian ini adalah 45 orang, dimana 35 pasien pasien talasemia beta mayor yang terdiri dari 17 orang (48,6%) laki-laki, 18 orang (51,4%) perempuan dan 10 pasien sebagai kontrol yang terdiri dari 7 orang (7%) perempuan; 3 orang (3%) laki-laki.

Pada penelitian ini diperoleh kadar vitamin D pada pasien talasemia beta mayor yang mengalami defisiensi dan insufisiensi adalah 34,3% dan 57,1%, sedangkan 8,6% normal. Penelitian Akhouri, et al., 2017; melaporkan pasien talasemia beta mayor yang mengalami defisiensi 41%, insufisiensi 46% dan sufisiensi 13%. Pada penelitian Al Amir, et al., 2017; melaporkan kadar vitamin D yang defisiensi 26,3%; insufisiensi 5%; sufisiensi 7,5% dan toksik 1,3%.

Penelitian Hamayun et al., 2017; menunjukkan prevalensi yang signifikan dari defisiensi vitamin D (78,7%) pada pasien talasemia beta mayor. Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika Utara melaporkan defisiensi vitamin D 82%, dengan kadar serum vitamin D kurang dari 30 ng/mL. Penelitian Asia mengungkapkan prevalensi defisiensi vitamin D pasien talasemia berkisar antara 37% hingga 100%. Prevalensi defisiensi vitamin D di Eropa ditemukan bervariasi mulai dari 36% hingga 87%. Hal ini kemungkinan karena letak geografis, gizi dan penggunaan sinar matahari yang kurang pada pasien talasemia beta mayor.

(59)

faktor hormonal,serta akibat aktivitas osteoblast dan osteoklas. Penelitian Agrawal, et al., 2016; melaporkan bahwa penyebab kekurangan vitamin D mungkin disebabkan oleh kelebihan beban zat besi di hati daripada disfungsi jaringan endokrin.

Kalsium salah satu mineral terpenting dalam tubuh, karena ia memainkan peranan penting dalam proses fisiologi seperti kontraksi otot, neurotransmisi, inflamasi, dan lain-lain. Pemeliharaan hemostasis kalsium melibatkan regulasi hormonal penyerapan usus, proses perombakan tulang dan ekskresi kalsium ginjal.

Absorpsi kalsium berada dibawah kendali hormon kalkiotropik klasik, yaitu hormon paratiroid (PTH) dan 1,25-dihydroksivitamin D3 [1,25(OH)2D3], serta beberapa faktor humoral lainnya seperti kalsitonin, prolaktin, hormon pertumbuhan, estrogen, dan faktor pertumbuhan fibroblast (FGF)-23. Penurunan penyerapan kalsium selama periode waktu dapat menyebabkan rendahnya tingkat serum kalsium, dan kemudian kerusakan tulang, yang telah dilaporkan dalam banyak kondisi dan penyakit termasuk talasemia.(Lertsuwan K., et al., 2018)

Penelitian Meena et al, 2015; kadar kalsium < 8 mg/dL sekitar 31,3% kasus, sementaran nilai serum < 8 mg/dL tidak ada pada pasien kontrol. Hipokalsemia dilaporkan 16,6% oleh Dresner et al. Sementara Gulati et al., melaporkan hal itu menjadi 13,5% dan hiperfosfatemia 60% dari mereka yang yang hipokalsemia.

Hipokalsemia dan hiperfosfatemia terdeteksi di 22% dan 18% masing-masing oleh Mirrhosseini et al. Di Pakistan hipokalsemia pada pasien talasemia dilaporkan 35,3%. Dalam penelitian Shah S, 2015; kadar kalsium serum rata-rata keluar

(60)

terapi khelasi dan kepatuhan terapi. Penelitian kami, menunjukkan pada pasien talasemia beta mayor bahwa 11 pasien didapatkan kadar serum kalsium yang rendah 31,4% dan 24 pasien didapatkan normal (68,6%).

Penelitian Akhouri et al., 2017; melaporkan kadar fosfor berada dalam kisaran normal dibandingkan antara pasien talasemia beta mayor dengan kontrol.

Tidak ada perbedaan signifikan antara pasien dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian ini, dimana pasien talasemia beta mayor dengan kontrol ditemukan 100%

dalam nilai normal.

Rendahnya kadar serum kalsium dan kadar vitamin D dengan peningkatan kadar serum anorganik fosfor dan alkali fosfatase ditemukan pada pasien talasemia.

Chatterton, et al., melaporkan bahwa kekurangan vitamin D, osteomalasia, dan rakhitis pada talasemia sebagai akibat dari rusaknya 25-hidroksilasi vitamin D karena kelebihan zat besi dan disfungsi hati. Mekanisme lain yang mengarah gangguan homeostasis kalsium, fosfor, dan vitamin D termasuk penurunan asupan, gangguan penyerapan dan berkurangnya sintesis vitamin D. (Singh, K., 2012).

Penelitian Paul et al., 2017; melaporkan kadar kalsium dan vitamin D antara pasien talasemia beta mayor dengan kontrol kadarnya menurun secara signifikan (p<0,001). Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lain selain kekurangan vitamin D juga berperan dalam dalam menyebabkan hipokalsemia pada talasemia myor.

(Meen, et al., 2015). Pada penelitian ini, kadar kalsium dan vitamin D juga mengalami penurunan signifikan (p<0,05), sedangkan fosfor dalam normal (p>0,1).

Ada perbedaan signifikan nilai kalsium serum antara kasus dengan kontrol. Pada

Gambar

Gambar 2.1. Patofisiologi Beta Talasemia. (Nienhuis, A.W, and Nathan, G., 2018
Gambar 2.2.  Metabolisme vitamin D.
Gambar 2.3. Sintesa dan Metabolisme Vitamin D, Kalsium dan Fosfor.
Gambar 3.2. Grafik Quality Control (QC) Kalsium
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tujuan dari tugas akhir ini adalah untuk membuat suatu system informasi yang berbasis computer bagi sistem Persediaan Obat pada Apotek Tiga Sembilan Kudus, sehingga dapat

LAPORAN PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH

Kompetensi dasar Indikator Materi pokok Strategi Pembelajaran Alokasi

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : BA/41/III/2017/ULP, tanggal 6 Maret 2017, sehubungan dengan pengadaan pekerjaan tersebut di atas, kami Unit Layanan Pengadaan (ULP)

KEPADA PESERTA PELELANGAN YANG KEBERATAN, DIBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENYAMPAIKAN SANGGAHAN KHUSUSNYA MENGENAI KETENTUAN DAN PROSEDUR YANG TELAH DITENTUKAN DALAM

Pembuatan aplikasi pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) dengan mobile device pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Gunadarma ini bertujuan untuk dapat memberikan suatu

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor : BA/42/III/2017/ULP, tanggal 6 Maret 2017, sehubungan dengan pengadaan pekerjaan tersebut di atas, kami Unit Layanan Pengadaan (ULP)

Penulis kali ini membahas tentang perancangan sistem penyaluran produk yang terdiri dari tujuan dan sasaran sistem usulan, prosedur sistem usulan yang meliputi diagram alur data,