• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Pada bagian ini akan dipaparkan teori-teori menurut para ahli yang kemudian dikaji oleh peneliti dan dijadikan landasan teori bagi peneliti.

1. Kreativitas

Munandar (1988) menyatakan bahwa kreativitas biasa diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta suatu produk baru. Ciptaan itu tidak perlu seluruh produknya harus baru, mungkin saja gabungannya atau kombinasinya, sedangkan unsur-unsurnya sudah ada sebelumnya.

Campbell dalam bukunya yang disadur oleh Mangunhardjana (1986) menyatakan bahwa kreativitas adalah kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya:

a. Baru: inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh, mengejutkan.

b. Berguna: lebih enak, lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah,

c. mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik/banyak.

d. Dapat dimengerti: hasil yang sama dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu. peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat diramalkan, tak dapat diulangi (mungkin saja baru dan berguna), tetapi lebih merupakan hasil keberuntungan bukan kreativitas.

Munandar (1988) menekankan pengertian kreativitas ditinjau dalam 4 P. Kreativitas dapat ditinjau dari segi “Pribadi yang Kreatif”, dari segi faktor-faktor “Pendorong” Kreativitas, dari segi “Proses Kreatif” dan juga dari segi “Produk Kreativitas”.

a. Kreativitas ditinjau dari Segi Pribadi

Selo Somardjan dalam Munandar (1988) menyatakan “Kreativitas dimulai dengan kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Seorang individu yang kreatif, biasanya memiliki sifat yang mandiri. Ia tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma umum yang berlaku dalam bidang keahliannya.” Dengan kata lain, kreativitas merupakan sifat pribadi individu yang tercermin dalam kemampuannya menciptakan sesuatu yang baru.

b. Faktor-faktor Pendorong Kreativitas

Setiap pribadi individu memiliki potensi kreatif yang berbeda-beda. Potensi tersebut perlu dipupuk sejak dini agar dapat berkembang dan terwujudkan. Dalam upanya mengembangkan potensi tersebut,

diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong baik yang berasal dari luar maupun dari dalam pribadi individu sendiri. Perlu diciptakan kondisi lingkungan (lingkungan sempit termasuk keluarga dan sekolah, lingkungan luas mencakup masyarakat dan kebudayaan) yang memupuk daya kreatif individu.

c. Kreativitas sebagai Proses

Pengertian kreativitas sebagai proses merujuk pada perlunya individu untuk melihat lebih mendalam, lebih jauh daripada menginginkan hasil atau produk secepat-cepatnya. Torrance dalam Munandar (1988) menekankan bahwa kreativitas tidak hanya tergantung dari timbulnya inspirasi, tetapi menuntut ketekunan dan keuletan, waktu dan kerja keras.

d. Kreativitas sebagai Produk

Baron dalam Munandar (1988) secara sederhana merumuskan kreativitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Stein dalam Munandar (1988) mengatakan suatu produk baru dapat disebut kreatif jika mendapat pengakuan (penghargaan) oleh masyarakat pada waktu tertentu.

Berdasarkan pengertian kreativitas menurut beberapa ahli di atas, maka dapat diketahui bahwa kreativitas merupakan sifat individu yang mau berusaha untuk melihat lebih mendalam atau lebih jauh dalam usaha menghasilkan suatu produk yang baru (inovatif, segar dan menarik),

berguna (mengembangkan, mendidik, mengurangi hambatan, memecahkan masalah, mengatasi kesulitan), dan dapat dimengerti.

2. Kemampuan Berpikir Kreatif dalam Matematika

Berpikir kreatif erat kaitannya dengan kreativitas. Menurut Lutfi (2016), kreativitas merupakan hasil dari berpikir kreatif. Hassoubah dalam Lutfi (2016) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong kita untuk menghasilkan suatu produk kreatif, dengan kata lain kriteria utama dalam kreativitas adalah produk. Menurut hasil kajian Perkins dan Weber dalam Lutfi (2016) ada aspek ketidaksengajaan bagi seseorang yang dikatakan menghasilkan suatu produk. Berikut merupakan hasil kajian tersebut:

a. Semua bentuk ketidaksengajaan bisa saja ditemukan dalam proses kreatif.

b. Penemuan biasanya muncul dari kajian sistematis. c. Jarang sekali akan muncul dari keberuntungan.

d. Meskipun kadang-kadang muncul dari coba-coba, tetapi sangat jarang terjadi.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa suatu produk yang kreatif tidak dapat dilihat sebagai produk dari kebetulan saja, yaitu sesuatu yang ditemukan karena ketidaksengajaan, akan tetapi suatu produk yang kreatif memungkinkan terjadi jika ditempuh melalui proses-proses yang kreatif.

Kreativitas seseorang dapat ditinjau berdasarkan proses berpikirnya. Proses berpikir untuk menghasilkan suatu produk kreatif merupakan proses berpikir kreatif. Menurut Siswono dalam Lutfi (2016), berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental untuk menemukan ide yang baru sesuai dengan tujuan, dengan cara membangun ide-ide, mensintesis ide-ide tersebut serta mengimplementasikannya. Pehkonen dalam Lutfi (2016) menyatakan berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang mengarah pada wawasan baru, pendekatan baru dan prespektif baru dengan cara-cara yang baru serta menghasilkan ide baru dan asli, menunjukkan keluwesan dan orisinalitas dalam menghasilkan ide dimana kesemuanya itu dilakukan dengan pola pikir yang logis.

Luthfi (2016) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif dapat ditelusuri menggunakan angket kreativitas atau melalui tes kemampuan berpikir kreatif. Ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir kreatif seorang individu. Masing-masing tes mempunyai tujuan dan ciri tertentu. Salah satu tes yang dikenal sebagai tes kemampuan berpikir kreatif adalah tes The Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT). TTCT merupakan tes yang disusun oleh Paul Torrance untuk melihat tingkat kemampuan berpikir kreatif seseorang. Silver (1997) menyatakan terdapat 3 komponen yang digunakan untuk melihat

kemampuan berpikir kreatif melalui TTCT yaitu kefasihan (fluency), fleksibilitas (flexibility) dan kebaruan (originality atau novelty). Silver (1997) menjelaskan bahwa kefasihan dilihat dari bagaimana seseorang dapat menyelesaikan masalah dengan beberapa alternatif jawaban dan benar. Fleksibilitas, dilihat dari bagaimana seseorang dapat menghasilkan ide-ide penyelesaian matematika dengan cara yang berbeda-beda. Kebaruan, dilihat dari bagaimana seseorang mampu menyelesaikan masalah matematika dengan beberapa jawaban berbeda tetapi bernilai benar atau satu jawaban tidak biasa dilakukan oleh siswa pada tahap perkembangannya.

Guilford dalam Supriadi (1994) berdasarkan analisis faktor, ada 5 sifat yang menjadi ciri kemampuan berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), penguraian (elaboration), dan perumusan kembali (redefinition). Kelancaran adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Keluwesan adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah. Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, tidak klise. Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci. Redefinisi adalah kemampuan meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui banyak orang.

Kemudian, Silver dalam Hery (2016) juga menyatakan indikator untuk mengukur tingkat berpikir kreatif mahasiswa. Silver menggunakan

pengajuan masalah dan pemecahan masalah dalam rumusan indikator untuk mengukur tingkat berpikir kreatif mahasiswa.

Tabel 2.1 Komponen Kreativitas Pemecahan Masalah Komponen

Kreativitas

Pengajuan Masalah

Subyek menyelesaikan masalah dengan bermacam-macam interpretasi, metode penyelesaian atau jawaban masalah.

Kefasihan Subyek membuat banyak masalah yang dapat dipecahkan. Siswa

memberikan masalah yang diajukan.

Subyek memecahkan masalah dalam satu cara, kemudian dengan menggunakan cara lain. Subyek mendiskusikan berbagai metode penyelesaian.

Fleksibilitas Subyek mengajukan masalah yang cara penyelesaian berbeda-beda. Subyek menggunakan pendekatan “what if not?” untuk mengajukan masalah.

Subyek memeriksa beberapa metode penyelesaian atau jawaban, kemudian membuat lainnya yang berbeda.

Kebaruan Subyek memeriksa beberapa masalah yang diajukan kemudian mengajukan suatu masalah yang berbeda.

(Silver dalam Hery, 2016)

Selain itu, tingkat kreativitas mahasiswa dapat diukur melalui indikator-indikator yang diturunkan dari ciri-ciri komponen berpikir kreatif. Munandar dalam Hendriana (2014) merinci ciri-ciri keempat komponen berpikir sebagai proses sebagai berikut:

a. Ciri-ciri fluency:

1) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar;

b. Ciri-ciri flexibility:

1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda; 2) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda;

3) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. c. Ciri-ciri originality:

1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik;

2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri; 3) Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari

bagian-bagian atau unsur-unsur. d. Ciri-ciri elaboration:

1) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk;

2) Menambah atau merinci detail-detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.

Olson (dalam Supriadi, 1994) karakteristik dari kreativitas terdiri atas dua unsur, yaitu:

a. Kefasihan

Kefasihan ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah besar gagasan pemecahan masalah secara lancar dan cepat.

b. Keluwesan

Keluwesan pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk menemukan gagasan yang berbeda-beda dan luar biasa untuk memecahkan suatu masalah.

Untuk melihat kreativitas dapat dilakukan dengan mengadakan tes kreativitas. Tes kreativitas banyak digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif yang ditunjukkan oleh kemampuannya dalam berpikir kreatif. Supriadi (1994:28) menjelaskan bahwa tes kreativitas berbeda dengan tes inteligensi, terutama pada kriteria jawaban. Tes inteligensi menguji kemampuan berpikir memusat (konvergen), karena itu ada jawaban benar dan salah. Di pihak lain, tes kreativitas mengukur kemampuan berpikir menyebar (divergen) dan tidak ada jawaban benar atau salah. Kualitas respons seseorang diukur dari sejauh manakah memiliki keunikan dan berbeda dari kebanyakan orang. Makin unik dan orisinil, makin tinggi skornya. Kriteria lain ialah keluwesan, yaitu sejauh manakah jawaban yang satu dengan yang lain berbeda-beda dan tidak monoton. Kelancaran, yaitu berapa banyak jumlah jawaban dan penguraian yaitu seberapa rinci jawaban yang diberikan. Akibatnya, meskipun sudah ada norma penyekorannya, hasil tes kreativitas sangat tergantung kepada pertimbangan penyekor. Hal ini berbeda dengan tes inteligensi di mana kunci jawaban sudah standar sehingga objektivitasnya lebih tinggi.

Jamaris dalam Sujiono (2010: 38) memaparkan bahwa secara umum karakteristik dari suatu bentuk kreativitas tampak dalam proses berpikir saat seseorang memecahkan masalah yang berhubungan dengan:

a. Kelancaran dalam memberikan jawaban dan atau mengemukakan pendapat atau ide-ide.

b. Kelenturan berupa kemampuan untuk mengemukakan berbagai alternative dalam memecahkan masalah.

c. Keaslian berupa kemampuan untuk menghasilkan berbagai ide atau karya yang asli hasil pemikiran sendiri.

d. Elaborasi berupa kemampuan untuk memperluas ide dan aspek-aspek yang mungkin tidak terpikirkan atau terlihat oleh orang lain; serta e. Keuletan dan kesabaran dalam menghadapi suatu situasi yang tidak

menentu.

Siswono (2009) dalam penelitiannya menyatakan terdapat 5 tingkatan dalam kemampuan berpikir kreatif. Perbedaan tiap tingkatan didasarkan pada kelancaran, fleksibilitas dan kebaruan dalam upaya memecahkan suatu perasalahan serta mengajukan permasalahan.

Tabel 2.2 Karakteristik Tingkat Kemampuan Berpikir Siswa

Level (Tingkat) Karakteristik

Level 4

(Sangat Kreatif)

Siswa mampu memecahkan masalah dengan lebih dari satu solusi dan dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikannya. Satu solusi memenuhi orisinalitas (kebaruan). Dia juga bisa menimbulkan masalah baru. Satu masalah memiliki solusi yang berbeda dan metode yang berbeda untuk menyelesaikannya. Beberapa masalah yang dibangun memenuhi kebaruan, kelancaran dan fleksibilitas. Dia cenderung mengatakan bahwa membangun masalah lebih sulit daripada menyelesaikan masalah, karena dia harus memiliki cara tertentu untuk membuat solusinya. Dia cenderung mengatakan bahwa menemukan metode solusi lebih sulit daripada mencari jawaban atau solusi lain. Level 3

(Kreatif)

Siswa dapat memecahkan masalah dengan lebih dari satu solusi, tetapi ia tidak dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikannya. Satu solusi memenuhi orisinalitas (kebaruan). Karakteristik alternatif, ia dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikan masalah, tetapi ia tidak dapat

membuat solusi yang baru. Di sisi lain, ia juga bisa menimbulkan masalah baru. Satu masalah memiliki solusi yang berbeda, tetapi tidak ada metode yang berbeda untuk menyelesaikannya. Atau, ia dapat membuat metode yang berbeda untuk satu masalah yang dikonstruksi tetapi tidak ada masalah yang memenuhi hal baru. Dia cenderung mengatakan bahwa membangun masalah lebih sulit daripada menyelesaikan masalah, karena dia harus memiliki cara tertentu untuk membuat solusinya. Dia cenderung mengatakan bahwa menemukan metode solusi lebih sulit daripada mencari jawaban atau solusi lain.

Level 2

(Sedikit Kreatif)

Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan satu solusi asli namun tidak memenuhi kelancaran atau tidak fleksibel. Atau, ia dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikan masalah; Namun, itu bukan hal baru atau tidak lancar. Karakteristik lain, ia juga dapat menimbulkan masalah baru tanpa kelancaran dan fleksibilitas. Atau, beberapa masalah yang dibangun memenuhi fleksibilitas tanpa kebaruan dan kelancaran. Dia cenderung mengatakan bahwa membangun masalah lebih sulit daripada menyelesaikan masalah, karena dia tidak terbiasa dengan tugas dan sulit memperkirakan angka, formula atau solusi. Ia cenderung memahami bahwa metode atau strategi yang berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah sebagai formula lain dengan representasi yang berbeda.

Level 1 (Hampir Tidak Kreatif)

Siswa dapat memecahkan masalah dengan lebih dari satu solusi tetapi tidak dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikannya. Solusinya tidak memenuhi orisinalitas (kebaruan). Ia juga dapat menimbulkan beberapa masalah. Namun masalah tidak memiliki solusi dan metode yang berbeda. Masalah yang dibangun hanya memenuhi kefasihan tanpa kebaruan dan fleksibilitas. Dia cenderung mengatakan bahwa membangun masalah lebih sulit daripada menyelesaikan masalah, karena itu tergantung pada kompleksitas masalah. Ia cenderung memahami bahwa metode atau strategi yang berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah adalah bentuk lain dari formula, meskipun itu sama. Masalah cenderung secara matematis tanpa menghubungkan ke kehidupan nyata.

Level 0 (Tidak Kreatif)

Siswa tidak dapat memecahkan masalah dengan lebih dari satu solusi dan tidak dapat mewakili cara lain untuk menyelesaikannya. Solusi tidak memenuhi orisinalitas (kebaruan), kelancaran dan fleksibilitas. Dia juga tidak bisa menimbulkan masalah kebaruan dan fleksibilitas. Semua masalah yang dibangun tidak memenuhi kebaruan, kelancaran dan fleksibilitas. Kesalahannya disebabkan oleh lemahnya pemahaman konsep terkait. Dia cenderung mengatakan bahwa membangun masalah lebih mudah daripada menyelesaikan masalah, karena dia tahu solusinya. Ia cenderung memahami bahwa metode atau strategi yang

berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah sebagai formula lain dengan representasi yang berbeda.

(Siswono, 2009) Jika pada tingkatan diatas dijelaskan tingkat kemampuan berpikir kreatif atau kreativitas dalam menyelesaikan dan mengajukan masalah atau merancang masalah, maka Hussen, Asa’ari dan Chandra (2016) mengadaptasi tingkatan kemampuan berpikir kreatif dalam merancang masalah atau mengajukan masalah menggunakan tingkat kemampuan berpikir milik Siswono (2009) menjadi seperti berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi Tingkat Kreativitas Siswa Tingkat Karakteristik tingkat kreativitas Tingkat 4

(sangat kreatif)

Soal yang diajukan memenuhi aspek kefasihan, fleksibilitas dan orisinalitas.

Tingkat 3 (kreatif)

Soal yang diajukan hanya memenuhi aspek kefasihan dan orisinalitas, fleksibilitas dan orisinalitas, atau orisinalitas saja.

Tingkat 2 (cukup kreatif)

Soal yang diajukan memenuhi aspek kefasihan dan fleksibilitas.

Tingkat 1 (hampir tidak kreatif)

Soal yang diajukan hanya memenuhi aspek kefasihan.

Tingkat 0 (tidak kreatif)

Soal yang diajukan tidak memenuhi aspek kefasihan, fleksibilitas dan orisinalitas.

Hussen, Asa’ari dan Chandra (2016) Kemudian selain menggunakan pedoman di atas, terdapat pula cara lain yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kemampuan berpikir kreatif seseorang. Cara lain tersebut adalah dengan mengklasifikasikan

indikator-indikator berdasarkan jawaban yang subyek sajikan kemudian menentukan skor kepada indikator-indikator tersebut.

Pada penelitian ini, peneliti akan melihat kemampuan berpikir kreatif mahasiswa dengan menggunakan indikator kemampuan berpikir kreatif menurut Silver (1997) dan Munandar yaitu kefasihan, fleksibilitas, kebaruan. Indikator tersebut akan digunakan sebagai pedoman peneliti dalam upaya melihat kemampuan berpikir kreatif mahasiswa dengan penyesuaian terhadap karakter masalah pola bilangan dan karakter masalah-masalah dalam PISA. Berikut merupakan contoh pedoman penskoran tes kemampuan berpikir kreatif matematis menurut Bosch dalam Moma (2015).

Tabel 2.4 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

Aspek yang

diukur Respon Siswa terhadap soal atau masalah Skor

Orisinalitas

Tidak menjawab atau memberi jawaban yang salah. 0 Memberi jawaban dengan caranya sendiri tetapi tidak

dapat dipahami. 1

Memberi jawaban dengan caranya sendiri, proses perhitungan sudah terarah tetapi tidak selesai. 2 Memberi jawaban dengan caranya sendiri tetapi terdapat kekeliruan dalam proses perhitungan sehingga hasilnya salah.

3 Memberi jawaban dengan caranya sendiri, proses

perhitungan dan hasil benar. 4

Kelancaran

Tidak menjawab atau memberi ide yang tidak relevan

dengan masalah. 0

Memberikan sebuah ide yang tidak relevan dengan

Memberikan sebuah ide yang relevan tetapi jawabannya

salah. 2

Memberikan lebih dari satu ide yang relevan tetapi

jawabannya masih salah. 3

Memberikan lebih dari satu ide yang relevan dan

penyelesaiannya benar dan jelas. 4

Kelenturan

Tidak menjawab atau memberikan jawaban dengan satu cara atau lebih tetapi semua salah. 0 Memberikan jawaban hanya satu cara tetapi memberikan

jawaban salah. 1

Memberikan jawaban dengan satu cara, proses

perhitungan dan hasilnya benar. 2

Memberikan jawaban lebih dari satu cara (beragam) tetapi hasilnya ada yang salah karena terdapat kekeliruan dalam proses perhitungan.

3 Memberikan jawaban lebih dari satu cara (beragam), proses perhitungan dan hasilnya benar. 4

Elaborasi

Tidak menjawab atau memberikan jawaban yang salah. 0 Terdapat kesalahan dalam jawaban dan tidak disertai

dengan perincian. 1

Terdapat kesalahan dalam jawaban tapi disertai dengan

perincian yang kurang detil. 2

Terdapat kesalahan dengan jawaban tapi disertai dengan

perincian yang rinci. 3

Memberikan jawaban yang benar dan rinci. 4 Bosch dalam Moma (2015)

Dalam upaya menyelesaikan masalah, peneliti menggunakan 3 aspek kreativitas yang telah dijabarkan oleh Silver (1997) untuk melihat kemampuan berpikir kreatif siswa, dan 3 aspek yang dinyatakan Siswono (2009) untuk mengklasifikasikan tingkat kemampuan berpikir kreatif seseorang yaitu, mahasiswa dapat dikatakan kreatif apabila memenuhi ketiga komponen yaitu kefasihan, fleksibilitas serta kebaruan dengan baik.

Kefasihan dalam upaya menyelesaikan masalah PISA yaitu dimana mahasiswa dapat menyelesaikan masalah kontekstual matematika dengan memberikan lebih dari satu ide penyelesaian yang relevan dan langkah penyelesaian yang dituliskan harus lengkap dan tepat. Fleksibilitas dalam menyelesaikan masalah berarti mahasiswa mampu memberikan jawaban yang benar dengan beragam cara yang berbeda. Kebaruan dalam menyelesaikan masalah PISA berarti subyek mencoba mengerjakan masalah yang diberikan dengan cara atau langkah yang berbeda dari yang lain serta baru dan orisinil berasal dari buah pemikiran mahasiswa itu sendiri.

Merancang masalah merupakan salah satu hal yang akan diteliti dalam penelitian ini. Mahasiswa akan diminta untuk merancang permasalahan dengan pokok materi pola bilangan dalam konten PISA. Masalah yang disajikan harus memiliki karakter yang sama dengan soal PISA. Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh soal PISA yaitu merupakan permasalahan nyata yang ada di sekitar siswa, hal ini bertujuan agar siswa mampu menerapkan pengetahuan matematika yang telah dimilikinya dalam upaya menyelesaikan masalah yang ada di sekitarnya.

Indikator yang digunakan peneliti untuk melihat kemampuan berpikir kreatif meliputi tiga komponen yang telah dipaparkan oleh Silver (1997), dan juga yang digunakan oleh Siswono (2009) dalam mengklasifikasikan tingkat kemampuan berpikir kreatif seseorang yaitu kefasihan, fleksibilitas, kebaruan. Kefasihan dalam upaya merancang masalah berarti mahasiswa

dapat merancang atau mengajukan banyak masalah serta dapat menyelesaikan masalah yang diajukannya tersebut. Fleksibilitas dalam upaya merancang masalah yaitu dimana mahasiswa sebagai subyek mampu menyajikan masalah dan mampu menyelesaikan masalah yang dirancang dengan lebih dari satu cara. Dengan kata lain, soal yang dirancang memiliki satu jawaban namun memiliki beberapa cara untuk memperoleh jawaban yang tepat. Kebaruan dalam upaya merancang masalah berari bahwa masalah yang disajikan berbeda dari masalah lain dan tergolong baru walaupun dari masalah nyata.

Dalam menentukan tingkat kemampuan berpikir kreatif mahasiswa, peneliti menggunakan tabel pedoman penskoran tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis yang dimodifikasi dengan menggunakan 3 aspek kemampuan berpikir kreatif dan disesuaikan dengan kategori yang peneliti rancang. Hal tersebut karena peneliti ingin mengakomodasi semua jawaban mahasiswa melalui indikator-indikator yang ada, sehingga hasil kerja mahasiswa tidak hanya dilihat sebagai fleksibel atau tidak fleksibel, fasih atau tidak fasih, namun dapat dianalisis dengan lebih dalam dengan indikator-indikator yang ada.

3. Menyelesaikan Masalah atau Memecahkan masalah (Problem Solving) Rofiah (2013) berpendapat bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi baik itu kemampuan berpikir kritis, kreatif serta kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki oleh seorang tidak dapat dimiliki secara langsung

melainkan diperoleh melalui latihan. Oleh sebab itu untuk mengembangkan kreativitas, mahasiswa harus memperkaya diri dengan mengerjakan soal-soal yang bervariasi tingkatannya sehingga tingkat kemampuan berpikir mahasiswa dapat diukur dengan melihat hasil kerja dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

Memecahkan masalah merupakan proses yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Hudojo dalam Hery (2016) menyatakan bahwa orientasi dalam pendidikan adalah siswa. Oleh karena itu siswa harus dilatih bagaimana belajar itu sebenarnya. Sebagai salah satu langkah agar siswa memahami bagaimana belajar sebenar nya, maka siswa perlu dilatih dalam menyelesaikan masalah. Dalam rangka menyelesaikan masalah, siswa perlu untuk memahami proses penyelesaian tersebut.dan menjadi terampil dalam memilih dan mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana penyelesaian dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya.

NCTM dalam Hery (2016) menyebutkan bahwa memecahkan masalah bukan saja merupakan suatu sasaran belajar matematika, tetapi sekaligus merupakan alat utama untuk melakukan belajar. Melalui pemecahan masalah di dalam matematika, siswa akan mendapatkan cara-cara berpikir,

Dokumen terkait