• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Problema Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah ekonomi global yang paling mendesak pada saat ini, terutama dinegara-negara berkembang. Sebagaimana yang telah disampaikan Miranda S. Goeltom dalam keynote speech-nya yang mengutip laporan Bapenas dan juga disampaikan Endah Murniningtyas-Bappenas, tingkat kemiskinan di indonesia masih sangat memprihatinkan dengan jumlah masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan berjumlah 34,96 juta jiwa atau 14,6 % dari total penduduk Indonesia posisi maret 2008. meski membaik dari angka di Maret 2007 yang mencapai 37,17 juta atau 15,5 % penduduk, angka ini lebih buruk dibandingkan pada saat sebelum krisis tahun 1996 yang berjumlah 34,01 juta, meski dalam prosentase lebih rendah dari posisi tahun 1996 yaitu 17,47% dari total penduduk. Menurut Akyuwen, prosentase penduduk miskin terbesar terdapat di Papua, Irjabar, Maluku, NTT, dan Gorontalo. Sementara jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Sejauh ini jelas sekali bahwa pengentasan kemiskinan belum mencapai hasil yang di harapkan. Kondisi kemiskinan ini diperburuk dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapat, paling tidak sejak tahun 2002, saat indonesia mulai mencoba menggeliat keluar dari krisis. Studi dari Bank Dunia menyebutkan bahwa hampir 50% dari jumlah penduduk Indonesia dikategorikan "miskin" dan berada diambang kemiskinan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklaim program penanggulangan kemiskinan di indonesia telah sejalan dengan target pencapaian millennium

development goals(MDGs) yaitu mengurangi jumlah penduduk miskin hingah

setengahnya di tahun 2015. 9

Di sisi lain, keprihatinan masyarakat indonesia yang masih dirundung cobaan ini ternyata belum berakhir saat ini, bahkan cobaan yang mereka rasakan semakin pahit dengan terjadinya kenaikan BBM yang diikuti barang kebutuhan pokok dan lainnya. Hasil penelitian yang di lakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2008 menunjukkan bahwa berbagai masalah yang dianggap penting di masyarakat – seperti kenaikan harga bahan pokok dan lainnya akhir-akhir ini, lapangan kerja yang tidak memadai, dan kemiskinan semakin parah- dirasakan semakin berat oleh masyarakat. Kenyataan itu jelas bertolak belakang dengan data yang dipublikasi BPS terakhir yang keadaannya menyatakan ekonomi indonesia membaik di tahun 2007. hasil survei lainnya juga mengukuhkan kondisi ini, seperti survei indek kepercayaan konsumen pada awal tahun 2008 juga menunjukkan indikator yang menurun. Ini jelas menjadi bukti bahwa kondisi ekonomi semakin memburuk dan yang paling krusial adalah beban hidup masyarakat khususnya rakyat kecil yang semakin besar.

Melihat data sakernas di atas, bisa di simpulkan bahwa upaya pemberantasan kemiskinan di indonesia kurang berhasil. Dengan mengesampingkan nilai nominal dan angka persentase, Bangladesh yang pendapatan per kepalanya di bawah indonesia boleh di nilai lebih berhasil mengurangi jumlah orang miskin. Secara sistematis, sejak tahun 1992, persentase kemiskinan di Bangladesh terus menurun sedikit demi sedikit dan tak pernah naik. Pada tahun 1992, 59% warga Bangladesh di kategorikan miskin. Namun pada tahun 1996, angka tadi tinggal 52% dan terus menurun.

Krisis ekonomi, politik dan sosial pada akhir 1990-an, indonesia kini mulai kembali stabil. Negara ini sebagian besar telah pulih dari krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi pada tahun 1998, yang telah melemparkan jutaan penduduknya ke jurang kemiskinan dan menjadikannya sebagai negara berpenghasilan rendah. Namun, belum lama ini Indonesia sekali lagi berhasil melewati ambang batas kemiskinan dan menjadi salah satu negara baru berpeghasilan menengah di dunia. Angka kemiskinan, yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama masa krisis, kembali turun mencapai tingkat

sebelum akhir tahun 2005, meskipun pada tahun 2006 mengalami sedikit peningkatan akibat lonjakan harga beras di akhir tahun 2005 dan di awal tahun 2006.

Namun, menyonsong era baru ini, penanggulangan kemiskinan tetap menjadi salah satu tantangan yang mendesak bagi Indonesia. Meskipun angka kemiskinan nasional secara umum telah turun ke tingkat sebelum krisis-dengan tidak menghitung kenaikan angka kemiskinan yang baru saja terjadi pada tahun 2006-hampir 35 juta penduduk masih hidup dalam kemiskinan. Jumlah ini masih melebihi total jumlah penduduk miskin yang ada di Asia Timur, tidak termasuk China. Selain itu, angka kemiskinan nasional ini menutupi gambaran tentang kelompok besar penduduk ’hampir miskin’ di indonesia, yang hidupnya mendekati garis kemiskinan.

Pemerintahan Indonesia yang terpilih secara demokratis mengakui bahwa penanggulangan kemiskinan merupaka tantangan terbesar dan pemerintah telah menetapkan target penanggulangan kemiskinan yang ambisius untuk jangka pendek dan menengah. Pemerintahan Indonesia jelas memiliki komitmen untuk menanggulangi kemiskinan tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengahnya (RPJM) tahun 2004-2009, yang hal itu merupakan bagian dari Srtategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang di gariskan oleh pemerintah. Selain ikut menandatangani Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) untuk tahun 2015, dalam rencana jangka menengahnya pemerintah telah menjabarkn target-target utama penanggulangan kemiskinan untuk tahun 2009. hal ini meliputi target-target yang ambisius namun relevan, seperti mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 % di tahun 2002 menjadi 8,2 %, meningkatkan rasio partisipasi siswa sekolah menengah pertama dari 79,5% pada tahun 2002 menjadi 98%, dan menurunkan angka kematian ibu hamil dari 307 per 100.000 kelahiran pada athun 2002 menjadi 226.

Kemiskinan kembali ke tingkat sebelum krisis pada tahun 2004, tetapi melonjak kembali pada tahun 2005-2006. mskipun mengalami kemunduran yang luar biasa akibat krisis keuangan Asia pada tahun 1997, indonesia telah

mengalami kemajuan yang signifikan dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Pada tahun 1999, yaitu pada masa puncak krisis, 23,4% penduduk memiliki tingkat pendapatan yang tidak cukup untuk menompang kebutuhan dasar mereka. Hanya dalam lima tahun kemudian, yakni pada tahun 2004, ingkat kemiskinan turun menjadi 16,7%. Yang berarti selama periode tersebut sebanyak 7,6 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan. Tingkat kemiskinan pada tahun 2004 itu bahkan lebih rendah di bandingkan tingkat kemiskinan pada masa sebelum krisis, yakni tahun 1996, yang mencapai 17,6%. Selain perbaikan dalam hal penurunan angka kemiskinan, sejak tahun 2002 tingkat kesenjangan kemiskinan dan tingkat keparahan kemiskinan telah kembali ke tingkat sebelum krisis, dan bahkan mencapai tingkat yang lebih rendah di sebagian wilayah. Perbandingan riwayat kemiskinan antar wilayah juga menunjukkan penurunan kemiskinan yang signifikan di keenam kategori wilayah yang di gunakan untuk penilaian ini, yaitu Jawa/Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara/Maluku dan Papua. Pada tahun 2004, seluruh wilayah kembali ke tingkat kemiskinan pada tahun 1996, atau bahkan ke tingkat yang lebih rendah, dengan satu-satunya pengecualian di wilayah Sumatera. Pada tahun 2004, tingkat kemiskinan di wilayah Sumatera masih berada 2% di atas tinkat kemiskinan tahun 1996 sebesar 15,5%. Meskipun upaya pengurangan tingkat kemiskinan mengalami kemajuan, namun terutama sebagian akibat dari kenaikan harga beras pada tahun 2005-2006, angka kemiskinan meningkat menjadi 17,75% pada tahun 2006, yang merupakan kenaikan pertama sejak krisis tahun 1997.

Pada 1 September 2006, BadanPusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa angka kemiskinan di indonesia meningkat dari 16% pada februari 2005 menjadi 17,75% pada maret 2006. kenaikan angka kemiskinan yang tercatat pertama kali sejak krisis ekonomi itu berarti ada tambahan 4juta orang yang jatuh miskin selama kurun waktu tersebut.10

Indonesia dengan penduduk sekitar 211 juta jiwa pada waktu ini memerlukan usaha terus menerus yang konsisten untuk memerangi 10 Era Baru Dalam Pengentasan Kemiskinan Di Idonesia, (Bank Dunia) Cet November 2006, h, 1,29,34.

penduduknya yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Upaya memerangi kemiskinan itu harus memerlukan komitmen semua komponen pembangunan yang dilakukan dengan terpadu dan terus menerus pada sasaran yang sama, yaitu keluarga kurang mampu, baik menyangkut kepala keluarganya, anak-anaknya atau anggota lain dari keluarga tersebut.

Apabila komitmen itu tidak seragam, yaitu setiap komponen pembangunan mencari sasarannya sendiri-sendiri, tidak mustahil hasilnya akan tidakmaksimal dan kemiskinan yang mungkin saja ditangani akan tumbuh kembali dengan magnitute yang justru lebih membesar.

Upaya pengentasan kemiskinan biasanya ditujukan kepada sasaran penduduk miskin atau penduduk kurang mampu tanpa mengambil sasaran keluarganya secara utuh. Padahal keluarga itu mempunyai anak, atau anak-anak yang masih kecil atau anak-anak remaja yang mungkin saja sekolah atau kebanyakan tidak sekolah karena orang tuanya kurang mampu. Anak-anak ini biasanya terlepas dari perhatian kita semua karena di sekolah hampir pasti anak-anak ini tidak menonjol karena berbagai alasan.

Atau anak-anak ini justru tidak sekolah karena kekurangan biaya dan harus membantu orang tuanya mencari nafkah atau maksimal bekerja keras sambil sebisa-bisa belajar pada tingkat pendidikan yang masih rendah. Jarang, kalau ada, anak-anak keluarga kurang mampu itu yang sanggup melanjutkan pendidikan pada pendidikan tinggi atau universitas. Kalau ada mereka umumnya menjadi mahasiswa yang segera dengan mudah drop-out karena berbagai alasan.

Pertumbuhan keluarga kurang mampu muda dewasa ini relatif tinggi karena merupakan pendewasaan dari "baby boomers"yang dilahirkan pada tahun 1960-1980 yang lalu. Apabila kita tidak hatihati baby boomers itu bisa menghasilkan keluarga miskin yang lebih banyak di masa yang akan datang karena beberapa alasan sebagai berikut ini.

Pertama, jumlah keluarga muda kurang mampu sekarang ini relatif tinggi, yaitu sekitar setengah paro dari 20 persen jumlah penduduk

yang ada di Indonesia yang jumlahnya adalah 211 juta jiwa tersebut. Jumlah ini tidak saja besar tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jaman baby boom di tahun 1970 – 1980 yang lalu. Tingkat kesehatan dan kemampuannya untuk "menghasilkan anak" juga jauh lebih tinggi karena umumnyS rnereka, biarpun relatif kurang mampu, tetapi dilahirkan pada jamai yang jauh lebih kondusif dibandingkan dengan jaman kelahiran orang tuanya dulu.

Kedua, anak-anak muda anak dari keluarga kurang mampu itu masih menikah relatif pada usia yang muda. Bagi keluarga kurang mampu menikah pada usia muda bisa merupakan treatment untuk mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan tanggungan bagi orang tua yang bersangkutan. Mereka menikah dengan harapan bisa melepaskan diri dari lembah kemiskinan.

Ketiga, anak-anak muda yang lebih mampu bisa belajar sedikit tentang reprodusksi dan mungkin saja mengikuti KB setelah menikah. Bagi keluarga kurang mampu menikah dan mempunyai anak secara langsung hampir merupakan suatu kebiasaan yang belum berhasil dipatahkan. Perkawinan muda menghasilkan jumlah anak yang lebih besar bagi keluarga kurang mampu baru tersebut.

Keempat, berkat tersedianya fasilitas kesehatan umum yang makin baik, biarpun relative kurang mampu, tingkat kematian anak dan tingkat kematian bayi secara umum makin kecil. Dengan demikian jumlah anak-anak yang dilahirkan dan tetap hidup pada usia lima tahun atau lebih oleh pasangan muda akan tinggi. Kemungkinan bertambahnya anggota keluarga kurang mampu dengan demikian juga bertambah tinggi.

Kelima, ledakan ini kakan menjadi resiko karena generasi muda

keluarga kurang mampu tidak saja tidak mengenal dengan baik reproduksi

keluarga tetapi mereka sedang tergoda oleh kehidupan modern yang sangat permisif ditambah dengan akibat gangguan globalisasi dan kemiskinan lain seperti merebaknya hidup bebas tanpa perkawinan biarpun ada ancaman penyakit HIV/AIDS, atau penyakit lainnya akibat

pergaulan bebas itu. Kondisi negatif itu akan menghasilkan anak dengan perhitungan yang sangat tidak rasional.

Menyadari betapa sulitnya menempatkan anak-anak keluarga

kurang mampu sebagai titik sentral pembangunan dalam proses

pemberdayaan, maka Yayasan Damandiri berkerja sama dengan beberapa universitas, negeri dan swasta, sedang berusaha keras mengembangkan cara baru untuk menempatkan anak-anak berbakat dari anak keluarga kurang mampu itu. Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah di Malang dan Universitas Jendral Soedirman di Purwokerto dipilih sebagai universitas model untuk mencari cara baru menemukan anak-anak berbakat dari keluarga kurang mampu tersebut.

Dalam kerjasama ini ketiga universitas mencari anak-anak berbakat tersebut balk langsung dengan mendatangi sekolah-sekolah maupun mengundang Kepala Sekolah yang bersangkutan untuk mengirim calon-calon siswanya yang kebetulan anak keluarga kurang mampu melamar untuk menjadi mahasiswanya dengan mengikuti seleksi yang diselenggarakan oleh Tim Universitas yang bersangkutan.

Selanjutnya calon mahasiswa itu diseleksi secara ketat oleh Tim Universitas balk dalam pengalaman akademisnya selama di SMU, SMK atau MA maupun latar balakang orang tuanya untuk ditentukan kemungkinan di fakultas yang menjadi pilihan siswa yang ber sangku tan. Ap ab ila m emenu hi syar at- syar at yang telah ditentukan oleh Universitas yang bersangkutan maka kemudian siswa itu mendapat pemberi tahuan bahwa dia diterima di Universitas dan fakultas yang menjadi pilihannya.

Daftar siswa yang diterima lengkap dengan pengalaman akademis dan ciri-ciri latar belakang kedua orang tuanya dikirimkan kepadaYayasan Damandiri untuk sekali lagi mendapatkan penelitian tentang keadaan orang tuanya. Secara seksama latar belakang kedua orang tua siswa yang beruntung itu dicek kembali oleh Yayasan dan diputuskan bahwa siswa itu mendapat dukungan pembayaran seluruh

biaya SPP sampai mahasiswa itu lulus menjadi sarjana pada fakultas atau universitas pilihannya.

Mulai bulan Agustus 2002 yang lalu diharapkan sudah ada keputusan tentang nama-nama siswa lulusan SMU, SMK dan MA yang diterima menjadi mahasiswa dan mendapatkan dukungan pembayaran SPP dari ketiga Universitas yang menjadi model tersebut. Apabila percobaan tersebut berhasil diharapkan tahun depan Yayasan dapat memperluas usahanya dengan mengajak kerjasama dengan Universitas lainnya sesuai dengan kemampuan anggaran yang tersedia.

Kerjasama ini merupakan kerjasama gotong royong karena Yayasan Damandiri tidak bisa menyediakan beasiswa untuk para mahasiswa selama mengikuti pendidikan pada perguruan tinggi yang ada. Akan diusahakan kerjasama lebih lanjut dengan Yayasan Supersemar untuk memberikan beasiswa bagi mahasiswa anak keluarga kurang mampu tersebut.11

Pemerintah perlu meninjau kembali program pengentasan kemiskinan yang ada selama ini. Guru besar Pascasarjana Universitas Airlangga Prof. Dr. H. Haryono Suyono menyarankan upaya memperkuat pengentasan kemiskinan melalui proses pemberdayaan keluarga dalam bidang ekonomi.

Perlunya di tekankan pada keluarga, lantaran keluarga merupakan indikator yang menggambarkan kemapuan untuk memenuhi kebutuhan minimal sampai kepada kebutuhan investasi dan sosial budaya keluarga yang bersangkutan.

Angka kemiskinan diindonesia, masih tinggi berdasarkan data BPS pada tahun 1998 terdapat 49,5juta (24%), dan pada tahun 2000 sedikit menalami penurunan menjadi 33,2 juta jiwa ()16,09%. Pada tahun 2002 menunjukkan gejala peningkatan di tandai dengan tingginya angka PHK massal dan membengkaknya jumlah pengungsi. Data Depnakertrans menunjukkan angka PHK kumulatif dan perorangan dan di bulan januari 11 Prof. Dr. H. Haryono Suyono, Memotong Rantai Kemiskinan, (Jakarta : Penerit Yayasan Damandiri, 2003) Cet. Ke- 1, h, 93-96, dan 98-100

sampai september 2001 menacapai 55,137 pekerja. Sedangkan jumlah pengungsi mencapai 1,3 juta KK.

Masih kata Haryono, ia mencatat terdapat sekitar 42% keluarga prasejahtera dan sejahtera, yang tidak selalu berada di bawah garis kemiskinan. Namun, akan dapat dengan mudah jatuh miksin karena ketidakstabilan kondidi yang melingkupinya. Antara lain, tempat tinggal yang terpencil,dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mampu bersaing dengan penduduk lain yang memiliki kondisi yang lebih baik.

Selama ini, beberapa program pengentasan kemiskinan yang di lakukan pemerintah yang di nilai mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang hidup diambang kemiskinan. Misalnya program Takesra (Tabungna Keluarga Sejahtera) yang di mulai sejak tahun 1995 mrnunjukkan hasil positif, menurut laporn Bank BNI, pada akhir juli 2001 jumlah anggota penabung Takesra mencapai 13,02 juta keluarga dengan jumlah dana di tabung sebesar 24,17 miliar.

Perkembangan berikutnya, tahun 1997 pemerintah memberikan kredit modal uasaha bagi keluarga prasejahtera da sejahteradengan nama Kredit Usaha Keluarga Sejahtera (kukesra). Sampai akhir juli 2001 terdapat 10,5 juta keluarga mengikuti program ini. Namun sayangnya semenjak krisis keuangan 1997 kinerja pembinaan kukesra kurang berjalan dengan baik sehingga jumlah tunggakan meningkat.12

Adapun ukuran kemiskinan itu bermacam-macam, ada yang berdasarkan penghasilan, ada yang didasarkan pada konsumsi, ada pula yang luas perumahan. Kemiskinan pada hakekatnya merupakan perbedaan antara penghasilan dan Standar kehidupan minimum. Jadi pengertian relative, tergantung pada distribusi penghasilan, nilai politik, sosial dan budaya masyarakat dalam suatu priode.

Di negara maju, orang menciptakan minimum acceptable

standard of living sebesar 3000 dolar AS tiap tahun. Tetapi ada yang

12 Harian Umum Republika, “Tinjau Kembali Pengentasan Kemiskinan”, h. 15

berpendapat bahwa di Indonesia orang miskin pengeluarannya Rp. 4000/kapita/bulan, menengah Rp. 4000-8000/kapita/bulan, dan kaya diatas Rp. 8000 – pada tahun 1976.13

Prof. Sayogya mengatakan bahwa untuk mengukur kemiskinan dapat dipakai kebutuhan fisik minimum. Berdasarkan penelitiannya orang desa setiap bulan memerlukan kebutuhan minimum equivalent dengan 20 Kg beras, untuk orang kota 30 beras."

Sedangkan menurut Munandar Soelaeman, bahwa kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim, dan lingkungan yang dialaminya, yang tersimpul dalam barang dan jasa yang tertuang dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang diperlukan, sehingga garis kemiskinan ditentukan oleh tingkat pendapatan minimum. 14

2. Status Sosial Ekonomi Keluarga

a. Pengertian dan Macam-macam Status Sosial

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.

Berikut adalah macam-macam status sosial yang ada dalam masyarakat luas :

13

Sukanto Rekso Hadi Prodjo, Ekonomi Perkotaan, (Yogyakarta : BPFE, 1982), Cet. Ke-1, h.127.

14

1) Ascribed status ialah status sosial yang di bawah sejak lahir seperti jenis kelamin, ras, kasta, golongan, suku, usia, dan lain sebagainya.

2) Acheved status ialah status sosial yang di dapat seseorang

karena kerja keras dan usaha yang di lakukanya. Contoh harta kekayaan, tingkat pendidikan, pekerjaan dll.

3) Assigned status ialah status sosial yang di dapat seseorang di dalam lingkungan masyarakat yang bukan di dapat sejak lahir tetapi di berikan karena usaha dan kepercayaan masyarakat. Seperti seseorang yang di jadikan kepala suku, ketua adat, sesepuh dll.15

Stratifikasi ekonomi (economic stratification), yaitu perbedaan warga masyarakat berdasarkan penguasaan dan pemilikan materi, yang merupakan kenyataan sehari-hari. Dalam kaitan ini kita mengenal, antara lain, perbedaan warga masyarakat dalam penghasilan dan kekayaan mereka menjadi kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Yang mana masyarakat kita terdapat sejumlah besar warga yang tidak mampu memenuhi keperluan minimum manusia untuk hidup layak karena penghasilan yang mereka miliki sangat terbatas. Ada pula warga yang seluruh kekayaan pribadinya bernilai di atas Rp 1 miliar.

Stratifikasi sosial ini di bagi menjadi dua bagian, yaitu

1) Stratifikasi sosial terbuka adalah system stratifikasi di mana setiap anggota masyarakatnya dapat berpindah-pindah dari satu strata/tingkatan ke tingkatan yang lain. Misalnya seperti tingkat pendidikan, kekayan, kekuasaan dan sebagainya. Seseorang yang tadinya miskin dan bodoh bisa merubah penampilan serta strata sosialnya menjadi lebih tinggi karena berupaya sekuat tenaga untuk mengubah diri menjadi lebih baik dengan sekolah, kuliah, dan menguasai banyak keterampilan sehingga mendapatkan pekerjaan tingkat tinggi dengan bayaran yang tinggi juga.

2) Stratifikasi sosial tertutup yaitu Stratifikasi di mana tiap-tiap anggota masyarakat tersebut tidak dapat pindah ke strata atau 15 http://organisasi .org/arti-definisi-status social-dalammasyarakat

tingkatan sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah. Contohnya seperti system kasta di India dan Bali serta di Jawa ada golongan darah biru dan golongan rakyat biasa. Tidak mungkin anak keturunan orang biasa seperti petani bisa menjadi keturunan ningrat atau bangsawan darah biru.16

Adapun mengenai perbedaan tingkat ekonomi suatu keluarga dapat diketahui dari hasil pendapatannya yang diperoleh sesuai dengan bidang usaha dan jenis pekerjaan masing-masing. Menurut Soerjono Soekamto, Klasifikasi tingkat ekonomi keluarga perbulan dapat dikategorikan sebagai berikut: kurang dari Rp. 500.000 dikategorikan rend ah, antara Rp. 500.000 – Rp. 700.000 dikategorikan sedang, lebih dari Rp.1000.000 dikategorikan tinggi.17

Kita semua mengenal kemiskinan bila menghadapinya, namun tidak mudah mendefinisikan pengertiannya secara obyektif. Pendapatan juga tidak sepenu hnya merupakan ukuran yang tepat, karena faktor pendapatan tid ak menyatakan bagaimana sesungguhnya situasi hidup seseorang. Mungkin lebih sesuai mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidak sanggupan untuk mernuaskan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan-keperluan material seseorang.18

b. Indikator statatus Sosial Ekonomi Keluarga

Menurut Todaro tingkat social ekonomi adalah tingkat kehidupan (social ekonomi) yang dimiliki dan memberikan kepuasan minimal atau maksimal sesuai dengan pendapatan. Sedangkan mitchel melihat tingkat social ekonomi berdasarkan peluang-peluang hidup. Peluang-peluang tersebut dapat di lihat berdasarkan kemudahan mendapatkan penghasilan dan harta benda. Bagi masyarakat yang memmpunyai tingkat sosial ekonomi tinggitentu mendapatkan penghasilan dan harta benda lenib mudah jika di bandingkan dengan masyarakat yang tingkat sosial ekonominya rendah.

Astrid S. Susento mengemukakan pada dasarnya mengukur tingkat social ekonomi sama dengan mengukur tingkat kesejahteraan seseorang.

16 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Fak.Ekonomi UI, 2000) Cet ke-2, h. 87 & 104

17

Soerjono Soekanto, (Jakarta : Rajawali Press, 1998) Cet. Ke-3, h.22

18

Parsudi Suparlan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), Cet. III, h. 152

Dokumen terkait