Peneliti menggunakan landasan konseptual dimaksudkan
untuk dapat memahami rancangan/ide konsep, perspektif,30
paradigma31 dan teori yang digunakan tanpa harus „patuh‟,
namun lebih berorientasi pada inti gagasan. Konseptual pada pembahasan ini lebih menekankan pada esensi ide gagasan yang
akan digunakan peneliti untuk mengungkap konsep prospel.
1. Etnomusikologi
Berbicara musik bagi masyarakat umum identik dengan wilayah panggung dan sajian yang dipertunjukkan. Lebih jauh mengenai hal tersebut, Suanda (2007: 46) dalam simposium membumikan etnomusikologi Nusantara menjelaskan bahwa; wilayah musik menjadi bagian yang sangat integral dari
29 Fret a dalah tempat jari pa da leher gitar dalam jarak ½ nada, untuk mempermudah intonasi. (Prier, 2011: 48)
30 Perspektif merupakan kemampuan intelektual untuk mengontrol pr oses, kerja, dan hasil penelitian, tujuannya lebih lanjut untuk mengawasi penggunaan paradigma agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Perspektif bersifat lebih aktif/fleksibel/‟luwes‟ untuk mengarahkan keadaan yang nyata/logis dan sesuai dengan data la pangan (Santoso, 2015: 37).
31 Paradigma adalah asumsi, hukum teori dan teknik aplikasinya yang bersifat
kebudayaan. Wilayah musik juga terkait dengan sektor lain, seperti; aspek estetika, ekonomi-politik, kepercayaan, lingkungan dan sebagainya. Sangat penting para etnomusikolog melihat realitas budaya yang beragam sebagai sebuah fenomena budaya.
Suanda (2007: 49) juga menjelaskan bahwa seorang
etnomusikolog diajarkan untuk mampu lebih peka untuk melihat fenomena dan mengamati gejala-gejala yang ada. Sejalan dengan
penelitian ini yang melihat prospel sebagai fenomena pada
keroncong.
Etnomusikologi pada dasarnya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu, namun pada penelitian ini etnomusikologi mensyaratkan peleburan tiga paradigma. Tiga paradigma ini tidak bisa dipisahkan dan ketiganya saling mendukung. Ketiga paradigma tersebut diantaranya adalah; fenomenologi, pendekatan
emik – etik dan etnografi, sedangkan untuk mengenai jenis dan
tipe paradigma tersebut, akan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dalam melihat sasaran topik penelitian.
Fenomenologi, etnografi dan pendekatan emik – etik akan
„dibungkus‟ dengan perspektif „kepantasan budaya‟ dalam bingkai
masyarakat keroncong Nusantara. Etnomusikologi sebagai
pendekatan pada penelitian ini menjadi „payung‟ utama untuk
mengungkap kehidupan dan perkembangan prospel dalam
a. Fenomenologi – Jenis Transendental Empiris
Penelitian prospel bersifat fenomenologis. Berawal dari
fenomena yang dideskripsikan, Creswell (2015: 105) menjelaskan
bahwa studi fenomenologis mendiskripsikan esensi pemaknaan
umum (makna dibalik bentuk) dari sejumlah individu/narasumber terhadap berbagai pengalaman hidup terkait dengan konsep atau fenomena. Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman (data emik) individu menjadi deksripsi etik.
Prosedur jenis fenomenologi transendental empiris ini
adalah; dengan mengurung (menyembunyikan/mengabaikan
sementara) pengalaman pribadi dan mengumpulkan data dari orang yang mengalami fenomena kemudian menjadikannya sebuah data.
b. Emik dan Etik
Emik merupakan deksripsi istilah yang berasal dari pemilik
budaya, sedangkan Etik adalah „pelukisan‟ data emik atau
deksripsi peneliti untuk menjelaskan emik agar dapat dipahami oleh ahli bahasa lain atau orang lain sebagai pembaca dengan bahasa peneliti namun tanpa mengurangi esensi data emik.
Ahimsa (2005: 108-109) dalam Menimbang Pendekatan Emik
berasal dari pemilik budaya dengan memperhitungkan pandangan-pandangan pengetahuan di dalam-nya.
c. Etnografi baru – Tipe Realis
Etnografi - Pencatatan budaya bermanfaat untuk
merefleksikan suatu pandangan mengenai pengetahuan budaya tertentu. Spradley (2007: xii) menjelaskan bahwa etnografi baru merupakan pencatatan bentuk sosial dan budaya masyarakat yang dibangun dan dideskripsikan dari masyarakat yang diteliti. Deksripsi tersebut merupakan susunan yang ada dalam pikiran
(mind) anggota masyarakat yang diteliti dan tugas peneliti adalah
„menggali‟ dari pikiran masyarakat tersebut.
Cresweel (2015: 129) menjelaskan etnografi tipe realis merupakan pendirian tertentu yang diambil oleh peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Melaporkan apa yang diamati atau didengar dari para partisipan. Bersifat objektif dan dilaporkan oleh orang ketiga atau etnografer. Pencatatan tipe realis ini tidak terkontaminasi oleh bias/pandangan etnografer. Etnografi pada penelitian ini selain menjadi paradigma, akan juga digunakan sebagai model metode penelitian.
d. Kepantasan Budaya – „Nusantara‟
Setiap budaya dalam konteks seni memiliki kesepakatan aturan yang mengikat untuk melihat budayanya masing-masing. Budaya Jawa contohnya; memiliki aturan tersendiri mengenai norma budayanya dan tentunya berbeda dengan budaya Melayu, Sunda, Bali dan sebagainya. Kepantasan budaya ini merupakan kesepakatan dari para seniman pada setiap wilayah budayanya baik secara pengalaman, pengetahuan maupun pemaknaan.
Hastanto (wawancara, 18-09-2014) menjelaskan bahwa
kepantasan budaya merupakan otoritas dari para empu/seniman
yang telah memiliki empirical practices pada bidang/budayanya.
Mengenai „rasa‟ musikal, masyarakat Bali lebih cenderung
menyajikan karawitan Bali dengan irama yang cepat – rancak,
sedangkan masyarakat Jawa32 menampilkan karawitan Jawa
dengan rasa mengalun dan tenang. Belum lagi kasus lainnya pada budaya Minang, Batak, Betawi, Sunda, Jawa Timuran, Bali, dan budaya lainnya yang beragam di Indonesia. Kepantasan budaya inilah sebagai pengikat toleransi bagi setiap aturan dan „rasa‟ budayanya.
32 Masyarakat budaya Jawa lebih identik dengan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sedangkan wilayah Jawa Timur lebih dikenal dengan budaya Jawa Timuran.
Kepantasan budaya akan melihat lebih dalam mengenai
toleransi permainan prospel yang baik atau „enak‟ itu seperti apa.
Kepantasan budaya juga akan dijadikan sebagai alat validasi data
dari penelitian ini. Validasi data dilihat/‟ditarik‟ dari „benang
merah‟/simpulan dari berbagai narasumber dan validasi data mensyaratkan kesesuaian hasil penelitian dengan data/fakta lapangan.
2.Perspektif yang mendekati prospel
Penelitian tentunya tidak terlepas dari; perspektif,
paradigma dan istilah yang mendekati dari objek penelitian, maka dapat dilihat dan kemudian dikaji kembali mengenai kesamaan maupun perbedaan pada pengetahuan sebelumnya, sehingga memunculkan hal yang baru. Dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Prelude
Pengertian prelude adalah bagian pembukaan sebuah karya
musik klasik yang populer pada bad ke 17. prelude atau
praeludium merupakan pembukaan atau musik pengantar suatu
komposisi musik (Banoe, 2003: 342). Prospel untuk sementara
pada proposal ini akan diidentifikasikan sebagai pembukaan pada
b. Unjuk Ketrampilan - virtuositas
Keterampilan pada pembahasan ini didefinisikan sebagai kecakapan untuk menyelasaikan tugas. Melihat perspektif ilmu
musik Barat, unjuk keterampilan dapat diistilahkan cadenza.
Banoe (2003: 69) menjelaskan bahwa cadenza adalah unjuk
keterampilan, hal tersebut khusus bagi improvisasi seorang solis
(pemain utama/permainan tunggal) dalam suatu concerto,33 baik
berupa improvisasi murni tanpa teks secara ad libitum,34 pada
saat mana orkes pengiring dalam keadaan tacet – diam hingga
pada saat bergabung kembali. Hal ini akan ditelusuri kembali,
apakah dapat diterapkan pada prospel yang kemudian dapat
dijadikan sebagai bahan awal penelitian ini.
c. Improvisasi
Improvisasi dapat diartikan membuat/menyajikan sesuatu hal dalam pertunjukan seni tanpa persiapan terlebih dahulu. Improvisasi biasanya bersifat spontan, namun spontanitas pada pembahasan ini adalah; kecenderungan pelaku sudah memahami atau bahkan menguasai apa yang akan dilakukan/disajikan dan tujuan untuk melakukannya.
33 Concerto a dalah konser dengan sebuah bentuk musik tertentu. Biasanya da pat digambarkan sebagai komposisi untuk alat musik solo – tunggal dengan kadens lengkap, biasanya terdiri atas 3 bagian mirip bentuk sonata.
34 Ad Libitum a dalah memainkan dengan cara sekehendak hati pemain atau bebas sesuai dengan keinginan/kehendak pemain.
Jika permainan prospel adalah improvisasi, maka tentunya setiap pemain tersebut tidak bisa/sulit untuk menirukan kembali apa yang telah diimprovisasikan. Proses tersebut tentunya tidak begitu saja terjadi, namun cara prosesnya akan ditelusuri sebagai
sebuah proses imajinasi oleh pemain prospel. Proses imajinasi
inilah yang dianggap peneliti sebagai proses kreatif dari para
pemain prospel berkaitan dengan pengalaman, kemampuan,
kematangan, dan daya „bayang‟ eksplorasi melodi.
d. Biang Pathêt
Hastanto (2009; 117) menjelaskan bahwa „biang‟ diartikan sebagai barang yang sedikit tetapi mempunyai pengaruh banyak, seperti ragi dalam pembuatan roti atau pembuatan tape. Lebih lanjut Hastanto menjelaskan bahwa; „biang‟ pada pathêt adalah sepotong untaian nada atau lagu pendek dapat mempengaruhi
jiwa (para pêngrawit) merasakan nada-nada tertentu mempunyai
rasa sèlèh kuat dibanding nada lainnya. Adapun biang pathêt
(pada laras slendro) seperti; 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)
sênggrèngan, 4) pathêtan, 5) adangiyah, 6) Ayak-ayakan, dan 7) Srêpêgan. Ketujuh biang pathêt ini merupakan pendukung sajian
gending, Sedangkan biang pathêt yang letaknya berada di depan
sebelum gending adalah 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)
Gambar 1. Landasan konseptual ETNOMUSIKOLOGI Emik - Etik Fenomenologi Transendental Em piris Etnografi Baru Realis KEPANTASAN BUDAYA MASYARAKAT KERONCONG Unjuk keterampilan virtuositas
Prelude Biang Pathêt
Prospel
Membumikan hasil penelitian prospel