• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Konseptual

Dalam dokumen KONSEP PROSPEL DALAM KERONCONG. pdf (Halaman 25-34)

Peneliti menggunakan landasan konseptual dimaksudkan

untuk dapat memahami rancangan/ide konsep, perspektif,30

paradigma31 dan teori yang digunakan tanpa harus „patuh‟,

namun lebih berorientasi pada inti gagasan. Konseptual pada pembahasan ini lebih menekankan pada esensi ide gagasan yang

akan digunakan peneliti untuk mengungkap konsep prospel.

1. Etnomusikologi

Berbicara musik bagi masyarakat umum identik dengan wilayah panggung dan sajian yang dipertunjukkan. Lebih jauh mengenai hal tersebut, Suanda (2007: 46) dalam simposium membumikan etnomusikologi Nusantara menjelaskan bahwa; wilayah musik menjadi bagian yang sangat integral dari

29 Fret a dalah tempat jari pa da leher gitar dalam jarak ½ nada, untuk mempermudah intonasi. (Prier, 2011: 48)

30 Perspektif merupakan kemampuan intelektual untuk mengontrol pr oses, kerja, dan hasil penelitian, tujuannya lebih lanjut untuk mengawasi penggunaan paradigma agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Perspektif bersifat lebih aktif/fleksibel/‟luwes‟ untuk mengarahkan keadaan yang nyata/logis dan sesuai dengan data la pangan (Santoso, 2015: 37).

31 Paradigma adalah asumsi, hukum teori dan teknik aplikasinya yang bersifat

kebudayaan. Wilayah musik juga terkait dengan sektor lain, seperti; aspek estetika, ekonomi-politik, kepercayaan, lingkungan dan sebagainya. Sangat penting para etnomusikolog melihat realitas budaya yang beragam sebagai sebuah fenomena budaya.

Suanda (2007: 49) juga menjelaskan bahwa seorang

etnomusikolog diajarkan untuk mampu lebih peka untuk melihat fenomena dan mengamati gejala-gejala yang ada. Sejalan dengan

penelitian ini yang melihat prospel sebagai fenomena pada

keroncong.

Etnomusikologi pada dasarnya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu, namun pada penelitian ini etnomusikologi mensyaratkan peleburan tiga paradigma. Tiga paradigma ini tidak bisa dipisahkan dan ketiganya saling mendukung. Ketiga paradigma tersebut diantaranya adalah; fenomenologi, pendekatan

emik – etik dan etnografi, sedangkan untuk mengenai jenis dan

tipe paradigma tersebut, akan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dalam melihat sasaran topik penelitian.

Fenomenologi, etnografi dan pendekatan emik – etik akan

„dibungkus‟ dengan perspektif „kepantasan budaya‟ dalam bingkai

masyarakat keroncong Nusantara. Etnomusikologi sebagai

pendekatan pada penelitian ini menjadi „payung‟ utama untuk

mengungkap kehidupan dan perkembangan prospel dalam

a. Fenomenologi – Jenis Transendental Empiris

Penelitian prospel bersifat fenomenologis. Berawal dari

fenomena yang dideskripsikan, Creswell (2015: 105) menjelaskan

bahwa studi fenomenologis mendiskripsikan esensi pemaknaan

umum (makna dibalik bentuk) dari sejumlah individu/narasumber terhadap berbagai pengalaman hidup terkait dengan konsep atau fenomena. Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman (data emik) individu menjadi deksripsi etik.

Prosedur jenis fenomenologi transendental empiris ini

adalah; dengan mengurung (menyembunyikan/mengabaikan

sementara) pengalaman pribadi dan mengumpulkan data dari orang yang mengalami fenomena kemudian menjadikannya sebuah data.

b. Emik dan Etik

Emik merupakan deksripsi istilah yang berasal dari pemilik

budaya, sedangkan Etik adalah „pelukisan‟ data emik atau

deksripsi peneliti untuk menjelaskan emik agar dapat dipahami oleh ahli bahasa lain atau orang lain sebagai pembaca dengan bahasa peneliti namun tanpa mengurangi esensi data emik.

Ahimsa (2005: 108-109) dalam Menimbang Pendekatan Emik

berasal dari pemilik budaya dengan memperhitungkan pandangan-pandangan pengetahuan di dalam-nya.

c. Etnografi baru – Tipe Realis

Etnografi - Pencatatan budaya bermanfaat untuk

merefleksikan suatu pandangan mengenai pengetahuan budaya tertentu. Spradley (2007: xii) menjelaskan bahwa etnografi baru merupakan pencatatan bentuk sosial dan budaya masyarakat yang dibangun dan dideskripsikan dari masyarakat yang diteliti. Deksripsi tersebut merupakan susunan yang ada dalam pikiran

(mind) anggota masyarakat yang diteliti dan tugas peneliti adalah

„menggali‟ dari pikiran masyarakat tersebut.

Cresweel (2015: 129) menjelaskan etnografi tipe realis merupakan pendirian tertentu yang diambil oleh peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Melaporkan apa yang diamati atau didengar dari para partisipan. Bersifat objektif dan dilaporkan oleh orang ketiga atau etnografer. Pencatatan tipe realis ini tidak terkontaminasi oleh bias/pandangan etnografer. Etnografi pada penelitian ini selain menjadi paradigma, akan juga digunakan sebagai model metode penelitian.

d. Kepantasan Budaya – „Nusantara‟

Setiap budaya dalam konteks seni memiliki kesepakatan aturan yang mengikat untuk melihat budayanya masing-masing. Budaya Jawa contohnya; memiliki aturan tersendiri mengenai norma budayanya dan tentunya berbeda dengan budaya Melayu, Sunda, Bali dan sebagainya. Kepantasan budaya ini merupakan kesepakatan dari para seniman pada setiap wilayah budayanya baik secara pengalaman, pengetahuan maupun pemaknaan.

Hastanto (wawancara, 18-09-2014) menjelaskan bahwa

kepantasan budaya merupakan otoritas dari para empu/seniman

yang telah memiliki empirical practices pada bidang/budayanya.

Mengenai „rasa‟ musikal, masyarakat Bali lebih cenderung

menyajikan karawitan Bali dengan irama yang cepat – rancak,

sedangkan masyarakat Jawa32 menampilkan karawitan Jawa

dengan rasa mengalun dan tenang. Belum lagi kasus lainnya pada budaya Minang, Batak, Betawi, Sunda, Jawa Timuran, Bali, dan budaya lainnya yang beragam di Indonesia. Kepantasan budaya inilah sebagai pengikat toleransi bagi setiap aturan dan „rasa‟ budayanya.

32 Masyarakat budaya Jawa lebih identik dengan wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sedangkan wilayah Jawa Timur lebih dikenal dengan budaya Jawa Timuran.

Kepantasan budaya akan melihat lebih dalam mengenai

toleransi permainan prospel yang baik atau „enak‟ itu seperti apa.

Kepantasan budaya juga akan dijadikan sebagai alat validasi data

dari penelitian ini. Validasi data dilihat/‟ditarik‟ dari „benang

merah‟/simpulan dari berbagai narasumber dan validasi data mensyaratkan kesesuaian hasil penelitian dengan data/fakta lapangan.

2.Perspektif yang mendekati prospel

Penelitian tentunya tidak terlepas dari; perspektif,

paradigma dan istilah yang mendekati dari objek penelitian, maka dapat dilihat dan kemudian dikaji kembali mengenai kesamaan maupun perbedaan pada pengetahuan sebelumnya, sehingga memunculkan hal yang baru. Dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Prelude

Pengertian prelude adalah bagian pembukaan sebuah karya

musik klasik yang populer pada bad ke 17. prelude atau

praeludium merupakan pembukaan atau musik pengantar suatu

komposisi musik (Banoe, 2003: 342). Prospel untuk sementara

pada proposal ini akan diidentifikasikan sebagai pembukaan pada

b. Unjuk Ketrampilan - virtuositas

Keterampilan pada pembahasan ini didefinisikan sebagai kecakapan untuk menyelasaikan tugas. Melihat perspektif ilmu

musik Barat, unjuk keterampilan dapat diistilahkan cadenza.

Banoe (2003: 69) menjelaskan bahwa cadenza adalah unjuk

keterampilan, hal tersebut khusus bagi improvisasi seorang solis

(pemain utama/permainan tunggal) dalam suatu concerto,33 baik

berupa improvisasi murni tanpa teks secara ad libitum,34 pada

saat mana orkes pengiring dalam keadaan tacet – diam hingga

pada saat bergabung kembali. Hal ini akan ditelusuri kembali,

apakah dapat diterapkan pada prospel yang kemudian dapat

dijadikan sebagai bahan awal penelitian ini.

c. Improvisasi

Improvisasi dapat diartikan membuat/menyajikan sesuatu hal dalam pertunjukan seni tanpa persiapan terlebih dahulu. Improvisasi biasanya bersifat spontan, namun spontanitas pada pembahasan ini adalah; kecenderungan pelaku sudah memahami atau bahkan menguasai apa yang akan dilakukan/disajikan dan tujuan untuk melakukannya.

33 Concerto a dalah konser dengan sebuah bentuk musik tertentu. Biasanya da pat digambarkan sebagai komposisi untuk alat musik solo – tunggal dengan kadens lengkap, biasanya terdiri atas 3 bagian mirip bentuk sonata.

34 Ad Libitum a dalah memainkan dengan cara sekehendak hati pemain atau bebas sesuai dengan keinginan/kehendak pemain.

Jika permainan prospel adalah improvisasi, maka tentunya setiap pemain tersebut tidak bisa/sulit untuk menirukan kembali apa yang telah diimprovisasikan. Proses tersebut tentunya tidak begitu saja terjadi, namun cara prosesnya akan ditelusuri sebagai

sebuah proses imajinasi oleh pemain prospel. Proses imajinasi

inilah yang dianggap peneliti sebagai proses kreatif dari para

pemain prospel berkaitan dengan pengalaman, kemampuan,

kematangan, dan daya „bayang‟ eksplorasi melodi.

d. Biang Pathêt

Hastanto (2009; 117) menjelaskan bahwa „biang‟ diartikan sebagai barang yang sedikit tetapi mempunyai pengaruh banyak, seperti ragi dalam pembuatan roti atau pembuatan tape. Lebih lanjut Hastanto menjelaskan bahwa; „biang‟ pada pathêt adalah sepotong untaian nada atau lagu pendek dapat mempengaruhi

jiwa (para pêngrawit) merasakan nada-nada tertentu mempunyai

rasa sèlèh kuat dibanding nada lainnya. Adapun biang pathêt

(pada laras slendro) seperti; 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)

sênggrèngan, 4) pathêtan, 5) adangiyah, 6) Ayak-ayakan, dan 7) Srêpêgan. Ketujuh biang pathêt ini merupakan pendukung sajian

gending, Sedangkan biang pathêt yang letaknya berada di depan

sebelum gending adalah 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)

Gambar 1. Landasan konseptual ETNOMUSIKOLOGI Emik - Etik Fenomenologi Transendental Em piris Etnografi Baru Realis KEPANTASAN BUDAYA MASYARAKAT KERONCONG Unjuk keterampilan virtuositas

Prelude Biang Pathêt

Prospel

Membumikan hasil penelitian prospel

Dalam dokumen KONSEP PROSPEL DALAM KERONCONG. pdf (Halaman 25-34)

Dokumen terkait