Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S2
Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni Minat Studi Pengkajian Musik
diajukan oleh
MOHAMMAD TSAQIBUL FIKRI NIM . 14211125
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA (ISI)
A. Pendahuluan
Bentuk musik keroncong saat ini semakin berkembang sesuai dengan selera masyarakatnya. Keroncong semakin banyak diminati baik dari kalangan tua dan muda. Berbagai bentuk sajian
seperti penggabungan chamber orchestra1 mulai menjadi perhatian
saat ini. Adapun lagu dengan genre pop-modern yang
digubah/diaransemen menjadi bentuk lagu keroncong, saat ini juga semakin marak disajikan.
Pada dasarnya keroncong di Indonesia memiliki 4 bentuk komposisi lagu, yaitu; keroncong Asli, Langgam, Stambul dan Ekstra Keroncong. Perkembangan kreatifitas seniman yang tanpa
batas juga mempengaruhi munculnya keroncong kreatif.2 Adapun
dari perkembangan keroncong kreatif, munculah wacana jenis
baru; yaitu keroncong inkulturasi.3 Jenis keroncong inkulturasi
tersebut merupakan penggabungan alat musik keroncong dengan alat musik daerah, sedangkan komposisi lagu keroncong tersebut
1 Chamber orchestra a dalah orkes dalam ukuran kecil dengan jumlah pemain yang terbatas. (Banoe, 2003: 311)
2 Keroncong kreatif adalah keroncong dengan perpaduan genre atau perpaduan
instrumen atau pola aransemen gubahannya. Komposisi lagu keroncon g kreatif dapat dicontohkan atau dilihat dari bentuk; percampuran dua atau lebih jenis genre lagu (keroncong-pop, keroncong-jazz, keroncon g-dangdut, dan seba gainya), dapat juga dilihat dari medley – penggabungan beberapa lagu (Rayuan Kelana medley Rangkaian Melati, Moritsku medley Kemayoran, dan sebagainya), ataupun aransemen lagu (tema nuansa musik Daerah, percampuran komposisi, dan sebagainya), adapun penambahan instrumen (saluang, pianika, accordeon, dan sebagainya), maupun gaya sajian pertunjukan (teatrikal, drama musikal, dan sebagainya) yang disajikan kepada penontonnya sebagai bentuk kebaruan sajian komposisi.
disesuaikan dengan suasana tema/ide musikal instrumen daerahnya masing-masing. Seperti; Orkes Keroncong (OK.) Harry Palmers menambahkan gambang kromong dan kendang Betawi pada kegiatan Solo Keroncong Festival 2015.
Hastanto (2011: 86-90) dalam Kajian Musik Nusantara-1 menjelaskan bahwa; jika dikelompokkan dalam pembagian era, keroncong dapat dikategorikan ke dalam empat era, yakni; Keroncong tempoe doeloe (1880-1920), Keroncong abadi (1920-1960), Keroncong modern, dan Keroncong millenium (2000-sekarang). Adapun perkembangan setiap era tersebut dan
perbedaan wilayah budaya menimbulkan beragam „rasa‟ musikal
keroncong yang bervariasi gaya permainannya.
Pengkategorian keroncong baik berdasarkan jenisnya
maupun berdasarkan kategori era kemunculannya tersebut memiliki aturan masing-masing. Pembahasan awal pada proposal ini adalah mengenai kategori jenis keroncong asli, biasanya keroncong asli memiliki 28 s/d 35 jumlah biramanya dengan disesuaikan pada kebutuhan lagu itu sendiri, bersukat 4/4
dengan bentuk bagiannya yakni : prelude4 – prospel, intro, bagian
A -, bagian B -, bagian C -, coda5 dan biasanya diulang dua kali
4 Prelude adalahbagian pembukaan sebuah karya musik klasik yang populer pada ba d
ke 17. Banoe (2003: 342) menjelaskan bahwa prelude atau praeludium
merupakan pembukaan atau musik pengantar suatu komposisi musik.
atau disesuaikan dengan kebutuhan lagu yang ingin disajikan. Harmunah (1996: 17) menjelaskan bahwa keroncong asli memiliki
tiga bentuk bagian yakni: bagian angkatan atau permulaan/awal
yaitu kalimat A, bagian ole-ole atau tengah/reff rain yaitu kalimat B
dan bagian akhir atau bagian C. Salah satu keunikan keroncong
asli terletak diantara birama ke sembilan dan ke sepuluh,
biasanya terdapat senggaan atau midle spell – interlude. Keunikan
lainnya juga terdapat ketika akan dilakukan repetisi atau ulangan
lagu, kecenderungannya akan mengambil melodi intro dari kalimat A pada bagian A dan kemudian lagu tersebut diulang kembali.
Pada akhir lagu kecenderungan akan ditutup oleh coda.
Keroncong asli pada tangga nada mayor juga memiliki aturan yang
tetap mengenai skema akordnya yakni; I – IV – V – I.
Mengenai keroncong asli, peneliti tertarik pada sajian awal
yang „muncul‟ ketika lagu Solo Kota Pusaka disajikan pada
kegiatan Solo Keroncong Festival 2014 oleh D‟Oemar. Pembukaan
komposisi yang disajikan adalah bagian pembukaan improvisasi pemain, menunjukkan kemampuan personal dan selanjutnya
diketahui bagian tersebut adalah prelude – prospel – voorspel –
poorspel – vorspiel yang umumnya disajikan pada lagu-lagu jenis
keroncong asli. Melihat fenomena tersebut, peneliti „kagum‟ pada
peneliti tertarik dengan fenomena prospel ini dan kemudian
mencari data/informasi awal sebelum memutuskan prospel akan
dijadikan sebagai bahan tulisan tesis.
Prospel berbeda bentuknya dengan intro, karena prospel berdiri sendiri dan kecenderungannya dimainkan sebelum bagian intro sebagai salah satu ciri khas keroncong asli. Beberapa seniman maupun pengamat keroncong pada mulanya berpendapat
bahwa, prospel adalah karakteristik atau ciri khas dari keroncong
asli yang dibangun melalui daya improvisasi atau improvisare6
pemain flute/biola/gitar yang memiliki virtuositas7 untuk
membuka lagu dan digunakan untuk menunjukkan ketrampilan –
skill dalam memperlihatkan kualitas grup keroncong. Semakin
rumit, kompak dan menarik daya improvisasi dalam prospel, maka
semakin terlihat berkualitas grup keroncong tersebut.
Pada beberapa kesempatan, penulis melakukan langkah/ pengamatan awal dan banyak menemukan pertanyaan terhadap
konsep prospel dalam keroncong. Beberapa hal diantaranya yakni;
pertama, pada pertunjukan keroncong yang menyajikan lagu keroncong asli, tidak semua grup/Orkes Keroncong (OK)
menyajikan prospel dalam penyajian lagunya. Hal ini memberikan
pertanyaan bagi peneliti mengenai apakah prospel adalah bagian
dari keroncong asli; sebagai ciri khas yang „mutlak‟, ataukah
hanya sebagai improvisasi maupun sebagai cadenza8 sehingga
kadang disajikan kadang juga tidak.
Kedua, ditemukan penyajian bentuk prospel yang tidak bisa
ditebak; bahwa prospel kadang dilakukan dalam satu bagian, dua
bagian atau bahkan tiga bagian. Peneliti tentunya bertanya tentang batasan untuk memahami bagaimanakah dan ciri apakah yang menunjukkan bahwa improvisasi tersebut dapat dikatakan prospel. Ketiga, mengenai alat musik yang digunakan dalam
improvisasi prospel. Pada beberapa kesempatan pertunjukkan
keroncong menunjukkan bahwa bukan hanya instrumen filler9
(f lute, gitar, biola) dalam keroncong yang dapat melakukan prospel, bahkan grup keroncong D‟Oemar dari Bandung menggunakan
suling Sunda dalam menyajikan prospel, sedangkan grup musik
Larisso dari Padang menggunakan saluang untuk menyajikan
prospel pada perhelatan SKF 2014. Adapun OK. Petir
menggunakan keyboard (dengan style bunyi flute) untuk
menyajikan prospel pada kegiatan Ngamen Silaturrahmi
Bondowoso 6 Februari 2016.
Keempat: kecenderungan pemain prospel selalu memiliki
perbedaan sajian improvisasi melodinya dan kecenderungan
8 Unjuk keterampilan. ... (Banoe, 2003: 69)
pemain tersebut memiliki gaya serta karakter pribadi dalam
menyajikan prospel, hal ini menimbulkan pertanyaan
bagaimanakah proses imajinasi untuk membuat prospel setiap
pemain. Kelima, ditemukan pada beberapa repertoar lagu keroncong dengan jenis stambul dan keroncong kreatif juga
menggunakan prospel. Jadi apakah sebenarnya prospel juga
digunakan pada seluruh jenis lagu keroncong. Keenam, dari berbagai pernyataan di atas, maka apakah sebenarnya fungsi prospel dalam keroncong, jika tidak ada, lantas akan
menyebabkan apa ? atau mengapa harus ada prospel ?
mungkinkah akan ada yang hilang dari salah satu ciri/identitas
keroncongnya bahkan kurang menarik, dan apakah prospel ini
dapat menjadi tolok ukur kualitas para pemain keroncong.
Beberapa pertanyaan lainnya dapat dilihat pada bagian daftar pertanyaan peneliti (lihat lampiran 1). Selain berbagai pertanyaan
di atas, penulisan kata prospel dalam tulisan ini belum dapat
dikatakan benar atau konsisten dan masih akan dapat berkembang untuk ditelusuri kembali. Maksud dari dapat berkembang dalam hal ini yakni; pada tradisi oral masyarakat
Indonesia, pengucapan secara emik dari fonologi10 penutur atau
informan biasanya akan memiliki kemiripan-kemiripan pada suku kata yang sudah ada sebelumnya. Contoh dalam hal ini adalah
kata prospel diduga memiliki penyebutan yang berbeda-beda, pada
kasus ini jika beberapa seniman keroncong menyebut prospel,
beberapa seniman ada yang menyebutnya dengan voorspel /
proospel / vorspiel atau prelude. Proses pencarian data awal pada
proposal ini yakni; kata prospel diduga berasal dari bahasa
belanda yakni; voorspel yang berarti prelude;overture
(woordenboeken, 1987: 653). Adapun dalam kamus umum bahasa
Belanda-Indonesia, voor’spel yang berarti musik pendahuluan
atau sesuatu yang mendahului (Wojowasito, 1958: 768).
Banoe (2003 : 433) dalam kamus musik juga menjelaskan
kata yang mirip dengan prospel, yakni vorspiel yang berarti
pendahuluan; prelude. Serupa namun tak sama, Prier (2011: 230)
menjelaskan vorspiel; pendahuluan merupakan suatu intro
sebelum dimulai sebuah nyanyian atau lagu instrumental, maka
ia mempersiapkan suasana dan bermuara pada lagu pokok.11
Hal-hal tersebut akhirnya menjadi fenomena yang
„menggugah‟ rasa penasaran untuk dilakukan penelitian sehingga
mengetahui konsep prospel secara menyeluruh dalam keroncong.
Penelitian prospel ini dilakukan dengan harapan agar dapat;
mengungkap pengetahuan dan informasi yang jelas mengenai apa itu prospel, mencari kedudukan diantara banyaknya pendapat
11 Penjelasan lanjutan: dalam aba d Barok, vorspiel berkembang dengan
mengenai prospel, memahami adanya konsep untuk menunjukkan
kualitas/kepiawaian atau virtuositas yang disajikan sebagai
implikasi dari prospel, mengungkap bahwa prospel bukanlah
abstraksi lagu, menunjukkan perbedaan prospel dengan intro atau
prelude atau cadenza dan juga menunjukkan bahwa; meskipun alat musik keroncong yang dimainkan merupakan alat musik Barat, namun cara memainkan dan „citarasa‟ yang digunakan
dalam keroncong adalah „citarasa‟ nusantara, istilah orang
keroncong menyebut citarasa kerongcong adalah „rasa‟
ngeroncongi.12
Bagi masyarakat keroncong, prospel merupakan salah satu
hal yang melekat dalam kehidupan musik keroncong, sehingga tidak terpikirkan apa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana
peranan prospel pada lagu-lagu keroncong. Penelitian mengenai
prospel ini tidak banyak dilakukan, oleh karena pada dasarnya prospel dianggap bagian hal yang kecil, namun dalam penelitian ini peneliti akan melihat dalam sudut pandang mikroskopis; hal yang kecil akan dilihat dan dijabarkan sedemikian rupa seperti halnya para peneliti sains melihat efek kuman/virus bagi kehidupan. Penelitian ini juga diharapkan agar dapat memberikan motivasi bagi pembaca untuk berani melihat/mengungkap
sesuatu hal yang kecil, namun memiliki peranan/dampak sebagai bahan literasi musik Nusantara.
Penelitian ini akan dilihat dari sudut pandang emik, kemudian informasi dari setiap narasumber nantinya juga akan
divalidasi dengan melihat „kepantasan budaya‟ dari masyarakat
keroncong yang diteliti, untuk membuktikan dan menunjukkan
bahwa prospel hidup dan berkembang pada masyarakat
keroncong.
Penelitian prospel ini akan fokus membahas mengenai
karakterisasi dan konsep prospel sebagai bahan tesis. Lokasi
penelitian ini akan dilakukan pada wilayah Solo dan Surabaya, tanpa mengabaikan data lapangan di berbagai daerah di Indonesia. Penambahan data dari berbagai narasumber keroncong di berbagai daerah dapat dicari melalui festival-festival keroncong
di Indonesia sebagai bukti bahwa prospel juga hidup dan
berkembang pada musik keroncong di berbagai daerah.
B. Rumusan M asalah
Berdasarkan uraian di atas, kompleksitas permasalahan
penelitian ini terletak pada bagaimanakah kehidupan prospel pada
keroncong, dapat dilihat dari aspek musikalitas secara tekstual.
Sajian tekstual tentunya tidak lepas dari hubungan kajian
sejarah, fungsi, perkembangannya, dan sebagainya. Tentu saja pada awal penelitian ini, peneliti harus mengetahui apakah
keberadaan prospel memang benar-benar hidup dan berkembang
di masyarakat keroncong sampai saat ini. Berbagai pertanyaan mengenai kompleksitas masalah tersebut akan disajikan dalam rumusan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah karakterisasi prospel dalam keroncong ?
2. Bagaimanakah konsep prospel dalam keroncong ?
Berbicara mengenai karakterisasi dapat menimbulkan „tafsir‟
yang sangat beragam, untuk dapat membatasi pemaknaan karakterisasi pada penelitan ini, maka akan difokuskan pada makna karakterisasi sebagai proses terbentuknya karakter atau ciri-ciri (gaya, teknik, kesepakatan eksplorasi nada, dan
sebagainya) yang terlihat pada fakta bunyi/musikal prospel.
Adapun pembahasan mengenai konsep akan dibatasi pada pengetahuan yang ada di dalam pemikiran seniman keroncong,
khususnya para pemain prospel dalam menjelaskan makna dan
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep prospel yang berkembang di masyarakat keroncong. Tujuan penelitian ini juga nantinya akan menjawab segala pertanyaan peneliti pada daftar pertanyaan, mengenai apa itu sebenarnya prospel dalam musik keroncong.
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan masalah yang telah terumuskan di atas, tujuan khusus dalam penelitian ini ialah sebagai berikut.
2.1Mengetahui karakterisasi prospel dalam keroncong.
2.2Mengetahui konsep prospel dalam keroncong.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teortitis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan informasi mengenai konsep prospel yang hidup
dan berkembang pada masyarakat keroncong saat ini. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan sebagai pedoman atau acuan dalam
menyajikan prospel dalam keroncong. Selain itu juga dapat
membedakan apa itu prospel dengan intro maupun dengan prelude
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah kualitas pengetahuan seni musik Nusantara terhadap pemahaman konsep
lokal yang seharusnya dapat di‟gali‟ dan untuk dijadikan sebagai
pengetahuan/ konsep lokal musik Nusantara.
2. Manfaat praktis
a. Memberikan pengalaman terhadap peneliti secara pribadi
mengenai cara menyajikan prospel.
b. Memberikan pengetahuan dan pemahaman dalam
menyajikan prospel.
c. Memberikan gambaran, pemahaman, pemaknaan teknik
dan capaian dalam penyajian prospel.
d. Memberikan pedoman atau acuan dalam penelitian
selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
Proses menghimpun dan menyaring informasi ini juga bertujuan untuk menghindari pengulangan atau terjadinya kesamaan pembahasan dari penelitian terdahulu. Tinjauan pustaka akan menunjukkan posisi sasaran topik riset peneliti dengan cara menunjukkan perbedaan atau kelemahan tulisan sebelumnya, hal tersebut juga akan memberikan kebermanfaatan
hasil penelitian untuk melengkapi atau mengembangkan
penelitian sebelumnya. Pencarian telaah buku ini juga dapat dijadikan sebagai kritik sumber (hasil tulisan yang sudah ada) jika memang pada kenyataannya, data lapangan berbeda/mengalami perkembangan dengan tulisan yang sudah ada. Hasil pencarian tinjauan pustaka pada tahap proposal ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
1. Mengenai prospel
a. Harmunah. 1996. Musik keroncong – Sejarah, Gaya dan
Perkembangan. Buku musik keroncong ini memberikan gambaran dasar mengenai sejarah, gaya dan perkembangan musik keroncong di Indonesia. Buku ini juga memberi informasi dasar
mengenai teknik permainan biola, flute dan gitar pada permainan
musik keroncong. Penyebutan nama prospel tidak ditemukan
dalam buku ini, namun dikhawatirkan ada bentuk yang
Dijelaskan dalam buku ini bahwa, dalam keroncong asli selalu
ada intro dan coda. Intro merupakan imrovisasi tentang akor I dan
V, yang diakhiri dengan akor I dan ditutup dengan kadens
lengkap. Berbeda dengan pengertian intro – introduction, Banoe
(2003: 197) menjelaskan bahwa intro adalah pengantar, pembuka atau musik pengiring vokal yang lazimnya mengawali sebelum masuknya suara vokal. Intro biasanya terencana tanpa adanya improvisasi dan biasanya diambil dari bagian lagu dengan akor yang disesuaikan dengan melodinya. Tentunya hal ini belum dapat dipastikan maksud dari penjelasan intro pada buku ini karena tidak ada contoh notasi yang menggambarkan maksud dari
penulis, namun diduga pembahasan ini merujuk pada prospel.
b. Sri Hastatnto. 2011. Kajian Musik Nusantara -1. Buku ini
menjelaskan mengenai musik lokal atau daerah, baik musik yang hanya berkembang di daerahnya, berkembang secara menasional dan musik daerah yang telah mendunia. Buku kajian musik ini juga menjelaskan mengenai musik pan Indonesia sebagai bagian dari musik Nusantara.
Pada bagian musik pan terdapat pembahasan mengenai musik keroncong yang menjelaskan bahwa, keroncong asli dimulai
seperti biola, flute, atau gitar dilanjutkan dengan interlude13. Berbeda namun sejenis dengan penjelasan Harmunah mengenai
intro diatas bahwa, maksud dari prelude pada buku ini diduga
menjelaskan mengenai prospel. Tidak adanya contoh prelude pada
penjelasannya, sehingga menyulitkan peneliti untuk menulusuri
lebih lanjut prelude yang dimaksud pada buku ini.
c. Dieter Mack. 1995. Sejarah Musik Jilid 4. Dieter Mack dalam
buku ini menjelaskan perkembangan sejarah musik setelah
perang dunia ke-II dimulai dari tahun 50‟an sampai tahun 80‟an.
Pada bagian selanjutnya, Dieter Mack menjelaskan musik di Indonesia setelah masa kemerdekaan atau tahun 1945. Jenis-jenis musik Indonesia setelah tahun 1945 memiliki sembilan kategori. Diantara sembilan kategori tersebut, Dieter Mack menjelaskan kajian khusus mengenai musik populer yang berasal dari proses akulturasi antara berbagai tradisi yaitu keroncong dan dangdut.
Dieter Mack menjelaskan bahwa pada dasarnya struktur
harmoni dan melodi keroncong kelihatan „nampak‟ berasal dari
bahasa musik Barat, bahkan musik rakyat orang Portugis yang paling berperan. Merujuk pada kenyataannya, keroncong saat ini sudah mulai jauh dari gaya musik Portugis dan sudah semakin
„mengIndonesia‟. Kenyataan lainnya adalah pola genre keroncong
yang banyak dipadukan dengan berbagai jenis musik di Indonesia seperti; dangdut (crongdut), gending jawa (langgam) dan musik daerah lainnya.
Dieter Mack juga menjelaskan mengenai pola permainan melodi biola dan flute yang biasanya sangat bebas dan melismatis,14 seperti pada pembukaan lagu “keroncong
moritsku/moresko/moresco”. Peneliti dapat mengidentifikasi
pembukaan lagu “keroncong moritsku” sebagai bentuk prospel karena ada contoh notasi dari keterangan yang dimaksudkan. Dieter Mack dalam hal ini hanya menyebut sebagai pembukaan lagu dan tidak menyebutkan nama dari bagian pembukaan lagu tersebut dan belum menjelaskan secara mendetail.
d. Andjar Any, Budiman B.J., Harmunah, Singgih Sanjaya,
Musafir Isfanhari. 1997. Musik Keroncong Menjawab Tantangan
Jamannya (kumpulan tulisan tentang keroncong). Pada buku ini para penulis memberikan pengetahuan mengenai keroncong
secara mendalam. Beberapa diantaranya menjelaskan
perkembangan keroncong di Indonesia, menjelaskan teknik vokal yang berlaku dan bentuk komposisi lagu-lagu keroncong. Beberapa informasi yang terkait dengan pembahasan penelitian ini diantaranya pada tulisan Singgih Sanjaya dan Budiman B.J.
14
Singgih Sanjaya pada tulisan Penyusunan Aransemen dalam Musik Keroncong, pada bagian; introduksi, interlude, dan coda menjelaskan bahwa keroncong asli biasanya diawali dengan apa
yang disebut voorspel, yaitu permainan solo – tunggal flute dan
biola. Budiman B.J. pada bagian tulisan Mengenal Keroncong dari
Dekat juga menjelaskan bahwa lagu-lagu Kroncong Asli biasanya
dimulai dengan permainan solo – tunggal biola yang disebut
voorspel (Introduksi), biasanya voorspel itu dibagi menjadi tiga
bagian. Budiman juga menjelaskan; dapat disimpulkan voorspel
pada Kroncong Asli adalah permainan solo – tunggal yang bebas
sebelum masuk ke irama keroncong. Kajian ini nampaknya hanya
sebagai bahan dasar untuk memahami apa itu voorspel dan belum
melihat perkembangan saat ini, begitu juga makna dibalik voorspel
yang juga belum „nampak‟ dijelaskan.
e. Soeharto A.H., Achmad Soenardi, dan Samidi Sunupratomo.
1996. Serba-serbi Musik Keroncong. Buku ini menjelaskan
Beberapa catatan yang disampaikan penulis dalam kaitannya
penelitian ini adalah mengenai keroncong asli. Penulis
menjelaskan bahwa selalu ada intro yang dimainkan oleh biola atau seruling atau gitar atau oleh ketiga alat musik itu secara
bergantian dengan overgang: I-IV-V-I. Selanjutnya secara
„gamblang‟ penulis juga menjelaskan bahwa pada bagian stambul,
intronya – voorspel sering dilakukan oleh gitar melodi kemudian
break mulailah vokalnya untuk memulai inti lagu.
Berbeda dengan penjelasan sebelumnya yang diduga bahwa voorspel kecenderungannya disajikan pada keroncong asli, pada
buku ini voorspel juga disajikan pada keroncong jenis stambul.
Maka informasi ini dapat memberikan keluasan peneliti untuk
melihat keberadaan voorspel pada apapun jenis lagu keroncong
dan menelusurinya kembali.
2. Teknik permainan biola, flute dan gitar dalam keroncong Prospel berkaitan dengan teknik permainan; agar dapat
menjelaskan teknik permainan (biola, flute, gitar) yang dilakukan
pemain prospel beserta pengetahuan pada istilah tersebut.
a. Vivien Kurniasari. 2012. Skripsi dengan judul “Analisis
Teknik Permainan Biola Keroncong di Orkes Keroncong Flamboyant
teknik permainan biola pada musik keroncong. Teknik yang ditemukan oleh penulis adalah teknik ornamen (nada hiasan) yang
meliputi; teknik cengkok,15 teknik gregel,16 teknik embat,17 teknik
mbesut,18teknik acciaccatura,19dan teknik trill.20
Beberapa teknik tersebut dijelaskan dalam skripsi mirip dengan teknik ornamentasi dalam ilmu musik Barat. Berbagai teknik ini
dikatakan juga digunakan pada voorspel dalam pembahasannya.
Istilah-istilah tersebut juga menjadi kajian yang menarik, karena pada informasi dari penutur tidak banyak menggunakan istilah teknik musik Barat, melainkan istilah karawitan Jawa. Selain itu
ada teknik embat yang dalam istilah karawitan menjadi bagian
dari sistem pelarasan, namun di skripsi ini menjadi bagian dari teknik ornamentasi. Perbedaan arti dan kemiripan dalam ilmu musik Barat nantinya akan di kaji lebih mendalam oleh peneliti.
15 Dalam skripsi ini dijelaskan mirip dengan teknik gruppeto pa da ilmu musik Barat. Gruppeto a dalah salah satu bentuk not hias (ornamen) berupa lam bang berbentuk huruf S yang diletakkan melintang pa da sebuah not tertentu. ( Banoe, 2003: 174)
16 Dalam skripsi ini dijelaskan mirip dengan teknik mordent pa da ilmu musik Barat. Mordent a dalah salah satu bentuk not hiasan (ornamen) ditandai dengan lambang garis patah-patah di atas not tertentu. ... ( Banoe, 2003: 281)
17 Dalam skripsi ini dijelaskan mirip dengan teknik appogiatura pa da ilmu musik Barat. Appogiatura a dalah ornamen musik berupa satu na da mendahului nada beraksen sehingga jatuhnya aksen (tekanan) berpindah ke nada pendahulu tersebut. ( Banoe, 2003: 29)
18 Dalam skripsi ini dijelaskan mirip dengan teknik glisando pa da ilmu musik Barat. Glisando a dalah teknik permainan musik dengan cara menggelincirkan satu nada ke nada lain yang berjarak jauh secara berjenjang baik jenjang diatonik maupun jenjang kromatik. (Banoe, 2003: 166)
19Acciaccatura a dalah ragam ornamen (nada hiasan), dilambangkan dengan not kecil bercoret miring di muka notasi nada pokok, dibunyikan hampir bersamaan dengan bunyi nada pokok tersebut. ( Banoe, 2003: 17)
b. Fakhri Isa Maulana. 2013. Skripsi dengan judul “Metode Permainan Flute Keroncong Asli Mengacu pada Lagu Kr21 Burung
Kenari oleh Orkes Keroncong Bintang Jakarta”. Skripsi ini
menjelaskan bahwa metode pelatihan pada f lute didapat dari
isian-isian lagu dan voorspel. Unsur-unsur improvisasi menggunakan
pendekatan lick dan chordal.22 Metode latihan flute diambil dari
teknik-teknik yang dimainkan instrumen flute pada lagu Kr
Burung Kenari. Pelatihan teknik ini diantaranya memainkan pola tangga nada, melodi sekuens naik-turun, pengembangan dari
unsur lick dan tri suara – arpeggio. Skripsi ini juga banyak
menggunakan istilah teknik musik Barat yang kemungkinan para seniman keroncong tidak paham dengan istilah-istilah tersebut.
c. Anton Suryanto. 2009. Teknik Permainan Biola pada Musik
Keroncong Asli. Skripsi ini menjelaskan permainan biola secara umum pada lagu keroncong asli. Keterkaitan dengan penelitian ini terletak pada bagian analisis permainan biola klasik Barat yang diaplikasikan pada lagu keroncong asli. Suryanto menjelaskan bahwa teknik permainan biola keroncong, penerapan atau aplikasi teknik permainan biola klasik Barat menjadi terkesan lebih
21 Kr singakatan dari keroncong
„luwes‟.23 Suryanto juga menjelaskan bahwa gaya biola keroncong
benyak menirukan dari pembawaan pada vokal keroncong,
diantaranya seperti; cengkok, gregel, embat, mbesut, dan
nggandul.24 Adapun pembahasan lainnya dalam skripsi ini
mengenai permainan biola yang ngeroncongi menurut Mamad dan
Muri (pebiola keroncong). Informasi tersebut nantinya pada penelitian ini akan ditelusuri kembali dan memberikan dasar pengetahuan yang akan menjadi bahan pertanyaan pada para pelaku keroncong yang ada di Surabaya dan Solo.
d. Arie Kusumah. 2010. Teknik Permainan Improvisasi Gitar
dalam Musik Keroncong. Skripsi ini menjelaskan permain improvisasi gitar dengan analisis ilmu musik Barat. Keterkaitan tulisan/informasi dengan penelitian ini adalah adanya permainan
gitar dalam voorspel. Kusumah menjelaskan bahwa selain
keroncong asli, stambul II juga menggunakan voorspel dalam
introduksi dan dicontohkan pada lagu Stb. Baju Biru serta Stb. Ukir-ukir.
23 Tidak kaku atau melodi yang dimainkan terkesan mendayu-dayu atau ti dak
Skripsi ini masih bersifat kajian tekstual dan bersifat analisa
musik Barat, masyarakat dan „rasa‟ dari musik itu sendiri
diabaikan pada skripsi ini. Pada penelitian ini nanti selain membahas unsur musikal juga akan membahas kajian teks dan
konteks dari prospel itu sendiri.
3. Unsur-unsur Pembentuk Musik
Berbicara mengenai prospel tidak terlepas dari eksplorasi
melodi dan harmoni sebagai wadah melodi. Adapun komponen
musik lainnya seperti tempo, dinamika, timbre, ritme pada
voorspel juga menjadi unsur pembentuknya. Dapat dijelaskan sebagai berikut tinjauan pustaka mengenai melodi dan harmoni.
a. Dieter Mack. 1995. Ilmu Melodi – ditinjau dari Budaya Musik
Barat. Dieter Mack dalam buku ini menjelaskan bahwa karakter dan peran melodi sangat bervariasi sesuai dengan estetika
masing-masing, fungsi, kebutuhan, bahkan aspek individual.
Berbagai bentuk pola melodi tersebut tentunya tidak keseluruhan dapat menjawab bentuk melodi yang ada pada seluruh jenis musik, salah satu contoh seperti pada pola melodi
keroncong yakni nggandhul. Perlu diingat juga bahwa pola melodi
dari improvisasi prospel bersifat bebas yang disesuaikan dengan
kemampuan pemainnya.
b. Elie Siegmeister. 1996. Harmony and Melody – Volume II:
Modulation; Chromatic and Modern Styles. Elie dalam hal ini
menjelaskan berbagai macam bentuk harmoni25 dengan pola
modulasi26 yang berbeda-beda. Harmoni dijelaskan sebagai wadah
untuk pergerakan melodi.
Pergerakan melodi dalam pembahasan buku ini tidak hanya
dijelaskan dalam bentuk tonsystem,27 melainkan juga dalam
bentuk chromatik - kromatik28. Pendekatan improvisasi prospel
dalam keroncong kebanyakan menggunakan tangga nada kromatik, bahkan pada biola tangga nadanya kadang tidak patuh
dengan absolute pitch – tinggi rendah nada yang absolute.
Permainan biola sering mengikuti melodi vokal, sedangkan cello
25 Pengertian harmoni di sini adalah ilmu harmoni klasik dalam tinjauan musik
yang mengatur susunan akor maupun urutan akor.
26 Modulasi dalam musik berarti suatu perpindahan tonika, misalnya dari C-Mayor ke As-C-Mayor; atau dari F-C-Mayor ke e -minor dsb. (Edmun d. 2011: 119) 27 Tonsystem a dalah istilah untuk menyebut materi nada yang berelasi satu sama lain. misalnya tangganada mayor dengan nada do, re, mi, fa, sol, la, si, do. ... (Edm un d. 2011: 218)
dan contra bass merupakan alat musik f retless – tidak memiliki
papan f ret29 maka lebih leluasa dalam improvisasi nada.
Pendekatan kromatik ini dapat digunakan pada alat musik f lute,
gitar, cak dan cuk.
F. Landasan Konseptual
Peneliti menggunakan landasan konseptual dimaksudkan
untuk dapat memahami rancangan/ide konsep, perspektif,30
paradigma31 dan teori yang digunakan tanpa harus „patuh‟,
namun lebih berorientasi pada inti gagasan. Konseptual pada pembahasan ini lebih menekankan pada esensi ide gagasan yang
akan digunakan peneliti untuk mengungkap konsep prospel.
1. Etnomusikologi
Berbicara musik bagi masyarakat umum identik dengan wilayah panggung dan sajian yang dipertunjukkan. Lebih jauh mengenai hal tersebut, Suanda (2007: 46) dalam simposium membumikan etnomusikologi Nusantara menjelaskan bahwa; wilayah musik menjadi bagian yang sangat integral dari
29 Fret a dalah tempat jari pa da leher gitar dalam jarak ½ nada, untuk mempermudah intonasi. (Prier, 2011: 48)
30 Perspektif merupakan kemampuan intelektual untuk mengontrol pr oses, kerja, dan hasil penelitian, tujuannya lebih lanjut untuk mengawasi penggunaan paradigma agar mendapatkan hasil yang lebih optimal. Perspektif bersifat lebih aktif/fleksibel/‟luwes‟ untuk mengarahkan keadaan yang nyata/logis dan sesuai dengan data la pangan (Santoso, 2015: 37).
31 Paradigma adalah asumsi, hukum teori dan teknik aplikasinya yang bersifat
kebudayaan. Wilayah musik juga terkait dengan sektor lain, seperti; aspek estetika, ekonomi-politik, kepercayaan, lingkungan dan sebagainya. Sangat penting para etnomusikolog melihat realitas budaya yang beragam sebagai sebuah fenomena budaya.
Suanda (2007: 49) juga menjelaskan bahwa seorang
etnomusikolog diajarkan untuk mampu lebih peka untuk melihat fenomena dan mengamati gejala-gejala yang ada. Sejalan dengan
penelitian ini yang melihat prospel sebagai fenomena pada
keroncong.
Etnomusikologi pada dasarnya terdiri dari berbagai multidisiplin ilmu, namun pada penelitian ini etnomusikologi mensyaratkan peleburan tiga paradigma. Tiga paradigma ini tidak bisa dipisahkan dan ketiganya saling mendukung. Ketiga paradigma tersebut diantaranya adalah; fenomenologi, pendekatan
emik – etik dan etnografi, sedangkan untuk mengenai jenis dan
tipe paradigma tersebut, akan disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dalam melihat sasaran topik penelitian.
Fenomenologi, etnografi dan pendekatan emik – etik akan
„dibungkus‟ dengan perspektif „kepantasan budaya‟ dalam bingkai
masyarakat keroncong Nusantara. Etnomusikologi sebagai
pendekatan pada penelitian ini menjadi „payung‟ utama untuk
mengungkap kehidupan dan perkembangan prospel dalam
a. Fenomenologi – Jenis Transendental Empiris
Penelitian prospel bersifat fenomenologis. Berawal dari
fenomena yang dideskripsikan, Creswell (2015: 105) menjelaskan
bahwa studi fenomenologis mendiskripsikan esensi pemaknaan
umum (makna dibalik bentuk) dari sejumlah individu/narasumber terhadap berbagai pengalaman hidup terkait dengan konsep atau fenomena. Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman (data emik) individu menjadi deksripsi etik.
Prosedur jenis fenomenologi transendental empiris ini
adalah; dengan mengurung (menyembunyikan/mengabaikan
sementara) pengalaman pribadi dan mengumpulkan data dari orang yang mengalami fenomena kemudian menjadikannya sebuah data.
b. Emik dan Etik
Emik merupakan deksripsi istilah yang berasal dari pemilik
budaya, sedangkan Etik adalah „pelukisan‟ data emik atau
deksripsi peneliti untuk menjelaskan emik agar dapat dipahami oleh ahli bahasa lain atau orang lain sebagai pembaca dengan bahasa peneliti namun tanpa mengurangi esensi data emik.
Ahimsa (2005: 108-109) dalam Menimbang Pendekatan Emik
berasal dari pemilik budaya dengan memperhitungkan pandangan-pandangan pengetahuan di dalam-nya.
c. Etnografi baru – Tipe Realis
Etnografi - Pencatatan budaya bermanfaat untuk
merefleksikan suatu pandangan mengenai pengetahuan budaya tertentu. Spradley (2007: xii) menjelaskan bahwa etnografi baru merupakan pencatatan bentuk sosial dan budaya masyarakat yang dibangun dan dideskripsikan dari masyarakat yang diteliti. Deksripsi tersebut merupakan susunan yang ada dalam pikiran
(mind) anggota masyarakat yang diteliti dan tugas peneliti adalah
„menggali‟ dari pikiran masyarakat tersebut.
d. Kepantasan Budaya – „Nusantara‟
Setiap budaya dalam konteks seni memiliki kesepakatan aturan yang mengikat untuk melihat budayanya masing-masing. Budaya Jawa contohnya; memiliki aturan tersendiri mengenai norma budayanya dan tentunya berbeda dengan budaya Melayu, Sunda, Bali dan sebagainya. Kepantasan budaya ini merupakan kesepakatan dari para seniman pada setiap wilayah budayanya baik secara pengalaman, pengetahuan maupun pemaknaan.
Hastanto (wawancara, 18-09-2014) menjelaskan bahwa
kepantasan budaya merupakan otoritas dari para empu/seniman
yang telah memiliki empirical practices pada bidang/budayanya.
Mengenai „rasa‟ musikal, masyarakat Bali lebih cenderung
menyajikan karawitan Bali dengan irama yang cepat – rancak,
sedangkan masyarakat Jawa32 menampilkan karawitan Jawa
dengan rasa mengalun dan tenang. Belum lagi kasus lainnya pada budaya Minang, Batak, Betawi, Sunda, Jawa Timuran, Bali, dan budaya lainnya yang beragam di Indonesia. Kepantasan budaya inilah sebagai pengikat toleransi bagi setiap aturan dan „rasa‟
budayanya.
32 Masyarakat budaya Jawa lebih identik dengan wilayah Jawa Tengah dan
Kepantasan budaya akan melihat lebih dalam mengenai
toleransi permainan prospel yang baik atau „enak‟ itu seperti apa.
Kepantasan budaya juga akan dijadikan sebagai alat validasi data
dari penelitian ini. Validasi data dilihat/‟ditarik‟ dari „benang
merah‟/simpulan dari berbagai narasumber dan validasi data
mensyaratkan kesesuaian hasil penelitian dengan data/fakta lapangan.
2.Perspektif yang mendekati prospel
Penelitian tentunya tidak terlepas dari; perspektif,
paradigma dan istilah yang mendekati dari objek penelitian, maka dapat dilihat dan kemudian dikaji kembali mengenai kesamaan maupun perbedaan pada pengetahuan sebelumnya, sehingga memunculkan hal yang baru. Dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Prelude
Pengertian prelude adalah bagian pembukaan sebuah karya
musik klasik yang populer pada bad ke 17. prelude atau
praeludium merupakan pembukaan atau musik pengantar suatu
komposisi musik (Banoe, 2003: 342). Prospel untuk sementara
pada proposal ini akan diidentifikasikan sebagai pembukaan pada
b. Unjuk Ketrampilan - virtuositas
Keterampilan pada pembahasan ini didefinisikan sebagai kecakapan untuk menyelasaikan tugas. Melihat perspektif ilmu
musik Barat, unjuk keterampilan dapat diistilahkan cadenza.
Banoe (2003: 69) menjelaskan bahwa cadenza adalah unjuk
keterampilan, hal tersebut khusus bagi improvisasi seorang solis
(pemain utama/permainan tunggal) dalam suatu concerto,33 baik
berupa improvisasi murni tanpa teks secara ad libitum,34 pada
saat mana orkes pengiring dalam keadaan tacet – diam hingga
pada saat bergabung kembali. Hal ini akan ditelusuri kembali,
apakah dapat diterapkan pada prospel yang kemudian dapat
dijadikan sebagai bahan awal penelitian ini.
c. Improvisasi
Improvisasi dapat diartikan membuat/menyajikan sesuatu hal dalam pertunjukan seni tanpa persiapan terlebih dahulu. Improvisasi biasanya bersifat spontan, namun spontanitas pada pembahasan ini adalah; kecenderungan pelaku sudah memahami atau bahkan menguasai apa yang akan dilakukan/disajikan dan tujuan untuk melakukannya.
33 Concerto a dalah konser dengan sebuah bentuk musik tertentu. Biasanya da pat digambarkan sebagai komposisi untuk alat musik solo – tunggal dengan kadens lengkap, biasanya terdiri atas 3 bagian mirip bentuk sonata.
Jika permainan prospel adalah improvisasi, maka tentunya setiap pemain tersebut tidak bisa/sulit untuk menirukan kembali apa yang telah diimprovisasikan. Proses tersebut tentunya tidak begitu saja terjadi, namun cara prosesnya akan ditelusuri sebagai
sebuah proses imajinasi oleh pemain prospel. Proses imajinasi
inilah yang dianggap peneliti sebagai proses kreatif dari para
pemain prospel berkaitan dengan pengalaman, kemampuan,
kematangan, dan daya „bayang‟ eksplorasi melodi.
d. Biang Pathêt
Hastanto (2009; 117) menjelaskan bahwa „biang‟ diartikan sebagai barang yang sedikit tetapi mempunyai pengaruh banyak, seperti ragi dalam pembuatan roti atau pembuatan tape. Lebih lanjut Hastanto menjelaskan bahwa; „biang‟ pada pathêt adalah
sepotong untaian nada atau lagu pendek dapat mempengaruhi
jiwa (para pêngrawit) merasakan nada-nada tertentu mempunyai
rasa sèlèh kuat dibanding nada lainnya. Adapun biang pathêt
(pada laras slendro) seperti; 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)
sênggrèngan, 4) pathêtan, 5) adangiyah, 6) Ayak-ayakan, dan 7) Srêpêgan. Ketujuh biang pathêt ini merupakan pendukung sajian
gending, Sedangkan biang pathêt yang letaknya berada di depan
sebelum gending adalah 1) thinthingan, 2) grambyangan, 3)
Gambar 1. Landasan konseptual
ETNOMUSIKOLOGI
Emik - Etik Fenomenologi
Transendental Em piris
Etnografi Baru Realis
KEPANTASAN BUDAYA MASYARAKAT KERONCONG
Unjuk keterampilan
virtuositas
Prelude Biang Pathêt
Prospel
Membumikan hasil penelitian prospel
G. Metode Penelitian
Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode akan menyangkut masalah cara/langkah kerja untuk dapat memahami dan mengungkap objek yang menjadi sasaran penelitian. Metode
penelitian merupakan cara ilmiah (rasional35, empiris36, dan
sistematis37) untuk mendapatkan data dengan tujuan dan
kegunaan tertentu (Sugiyono, 2014: 2).
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian kualitatif. Berbeda dengan penelitan kuantitatif, Sugiyono menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif; memiliki „masalah‟ yang dipecahkan harus jelas, spesifik, dan dianggap
tidak berubah, namun penelitian kualitatif; memiliki „masalah‟
yang masih remang-remang, bahkan gelap, kompleks dan dinamis. Metode penelitian kualitatif bersifat sementara, tentatif dan akan berkembang atau berganti setelah peneliti berada di lapangan (2014: 205). Peneliti kualitatif cenderung melihat fenomena secara lebih luas dan mendalam sesuai dengan apa yang terjadi pada situasi yang sedang diteliti.
35 Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara -cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia.
36 Empiris berarti cara-cara yang dilakukan dapat diamati oleh panca indera
manusia, sehingga orang lain juga da pat mengamati dan mengetahui cara -cara yang digunakan.
1. Lokasi dan Fokus Penelitian
Penentuan lokasi dalam penelitian ini bertujuan untuk membatasi data lapangan yang akan diperoleh peneliti. Lokasi penelitian adalah tempat peneliti melakukan penelitiannya. Dalam hal ini obyek secara keseluruhan tidak berada di dalam
kekosongan, objek berada dan di‟gali‟ – dicari melalui lokasi,
sehingga lokasi merupakan tempat bertanya bagi pemecahan permasalahan selanjutnya (Ratna, 2010: 297).
Penelitian ini akan dilakukan pada wilayah Solo dan Surabaya sebagai fokus penelitian. Kedua wilayah ini merupakan
wilayah yang representatif dalam sejarah perkembangan
keroncong, dan memiliki kelompok kebudayaan yang hampir
sama38 yakni kebudayaan Jawa, maka penelitian ini akan dibatasi
kedua wialayah tersebut tanpa mengabaikan data lapangan keroncong di daerah lainnya. Keroncong yang mulai „menasional‟
bahkan „mendunia‟ akan menyebabkan keluasan data jika tidak
dibatasi, mengingat keterbatasan peneliti.
Keterbatasan waktu, tenaga dan biaya untuk mencari data prospel pada berbagai wilayah di Indonesia dapat diminimalisir dengan cara media virtual online. Media ini sekarang menjadi ramai pada komunitas-komunitas keroncong di berbagai daerah
38 (lebih lanjut) penelitian etnografis dipilih ketika seseorang ingin meneliti
seperti media sosial; Facebook, WhatsApp, BlackBerry Messenger, Youtube dan media sosial lainnya untuk berbagi informasi antar sesama seniman keroncong. Hal ini dapat dijadikan strategi peneliti untuk mencari pendukung data dan menggali informasi dari berbagai kelompok di berbagai daerah tersebut.
Sedangkan fokus objek penelitian diperoleh peneliti setelah
melakukan grand tour observation dan grand tour question.39
Kemudian dari kegiatan tersebut maka peneliti akan menemukan fokus objek penelitiannya. Maka sebelum membuat proposal atau menentukan tujuan penelitan, maka lebih baik dilakukanlah penjelajahan umum untuk memfokuskan penelitian. Fokus objek pada penelitian ini setelah melihat dan melakukan penjelajahan
umum pada musik keroncong, yaitu konsep prospel sebagai salah
satu kajian pada musik keroncong.
2. Jenis Penelitian
Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2002: 3)
menyatakan bahwa “metodologi kualitatif” sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan kata lain, penelitian ini disebut penelitian
kualitatif karena merupakan penelitian yang tidak mengadakan perhitungan yang sistematis.
Paradigma metode penelitian yang dipakai dalam penelitian
ini adalah model etnografi baru atau ethnoscience dengan
pendekatan etnomusikologi. Esensi dari etnografi baru ini adalah untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan
budaya/kesenian mereka dalam pikiran dan kemudian
menggunakan/mengaplikasikan budaya/kesenian tersebut dalam
kehidupan masyarakatnya. Tugas peneliti adalah „menggali‟
pemikiran yang sudah ada pada para pelaku kesenian/masyarakat budaya. Peneliti akan mengungkap secara mendalam mengenai
konsep prospel dalam musik keroncong dengan metode etnografi
baru ini.
3. Sumber Data
Dalam penelitian kualitatif, sumber data dipilih secara purposive40dan bersifat snowball sampling41(Sugiyono, 2014: 218-219). Berkaitan dengan pengertian sumber data penelitian, maka peneliti memanfaatkan sumber data yang telah dipilih sementara
40 Purposi ve sampling a dalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, seperti orang yang di pilih dianggap paling tahu tentang obyek/situasi data data penelitian.
oleh peneliti (lihat tabel 2) dengan mengacu pada teknik purposive sampling. Data narasumber ini tentunya akan terus berkembang sesuai dengan penemuan-penemuan informasi di lapangan, hingga peneliti mengalami titik jenuh dalam pencarian informasinya dan memutuskan untuk mengakhiri penelitian. Titik jenuh pada penelitian ini juga akan dipengaruhi oleh masa studi, tenaga dan keterbutuhan biaya peneliti dalam melakukan penelitian.
Strategi peneliti juga akan memilih orang yang memiliki „power‟ (kemampuan) atau otoritas pada situasi sosial atau obyek
yang diteliti, sehingga mampu „menumbuhkan pintu‟ kemana
peneliti akan mencari data atau yang disebut emergent sampling
design (Sugiyono, 2014: 219). Pada penelitian ini, peneliti akan berdiskusi dengan pimpinan HAMKRI (Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia) kota Solo agar unit sampel yang dipilih makin lama makin terarah fokus penelitiannya, dan juga dapat
lebih mudah menentukan narasumber yang baik – „pantas‟ untuk
menularkan pengetahuannya.
4. Instrumen Penelitian
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan: pengukuran; pengelompokan/pengkategorian; dan mendeksripsikan; maka harus ada alat untuk melakukan semua itu. Alat tersebut dalam
penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2014: 102).
Instrumen atau alat penelitian pada penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai instrumen harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap
melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan sebagai
etnomusikolog. Peneliti kualitatif sebagai human instrument,
berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas
data, analisis data, mengeksplanasi data dan membuat
kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2014: 222). Beberapa catatan untuk peneliti sebelum melakukan penelitian. Peneliti sebagai etnomusikolog harus;
1. Memahami metode penelitian yang digunakan.
2. Menguasai wawasan dan teori terhadap bidang yang
diteliti.
3. Memiliki pengalaman dalam bidang yang dikaji
(pengalaman dalam bidang keroncong harus ada sebelumnya). Hal ini akan mempermudah peneliti untuk memahami istilah, bentuk, teknik atau bahkan maksud ucapan informan secara bahasa musikal keroncong.
4. Peneliti memahami data yang akan dicari dan berpegang
5. Intuisi peneliti berkaitan dengan panca indera. Mampu merasakan emosi, rasa, dan bahkan mampu memahami bahasa informan ketika memberikan pengetahuannya.
6. Kesiapan mental, etika peneliti dan sikap humanis
selama melakukan penelitian. Peneliti memposisikan sebagai siswa yang belajar pada informannya (guru).
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan pada natural setting
(kondisi alamiah) tanpa mengubah/menginstruksikan informan untuk menjawab pertanyaan peneliti dan pengumpulan data
bersifat sumber data primer,42 berupa; obervasi
berperan/berpartisipasi (participant observation), wawancara
mendalam (in depth interview), dokumentasi dan
gabungan/triangulasi (Sugiyono, 2014: 225). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
5.1Wawancara – Interview
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth
interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara
(lihat daftar pertanyaan peneliti yang akan digunakan sebagai pedoman wawancara pada lampiran 1).
Dalam melakukan wawancara, pengumpulan data dapat
juga dibantu dengan menggunakan catatan lapangan – fieldnotes,
kamera dan rekaman selama wawancara agar memudahkan peneliti untuk mengingat hal-hal apa saja yang diinformasikan. Rekaman juga dapat dijadikan sebagai bukti adanya data informasi berasal dari ujaran/ucapan informan, bukan rekayasa.
Beberapa pertanyaan dalam wawancara pada penelitian ini dapat berupa enam hal, diantaranya :
1. Pertanyaan berkaitan dengan konfirmasi data. Peneliti
sebelumnya telah mempersiapkan contoh-contoh prospel dari
berbagai sumber. Dari contoh-contoh tersebut akan
2. Pertanyaan berkaitan dengan pengalaman ketubuhan
narasumber sebagai pelaku (embodiment). Kesaksian
narasumber sebagai pelaku/pemain prospel pada penelitian ini
lebih diutamakan. Pertanyaan ini berkaitan dengan cara meminta narasumber untuk memberikan contoh langsung
bagaimana prospel itu disajikan dan nantinya dapat
menjelaskan apapun yang dicontohkan oleh narasumber (mengenai istilah, teknik maupun keterhubungannya).
3. Pertanyaan berkaitan dengan pengetahuan narasumber.
4. Pertanyaan berkaitan dengan „rasa‟ musikal.
5. Pertanyaan berkaitan dengan pendapat atau opini.
6. Pertanyaan kontras yang menunjukkan bahwa adanya
perbedaan antara prospel dan yang bukan prospel.
5.2Observasi
Nasution (1988) dalam Sugiyono (2014: 226) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar ilmu pengetahuan. Observasi dapat diartikan sebagai langkah pengamatan atau pemantauan. Berawal dari observasi; data menjadi fakta utama, peneliti akan belajar
mengenai perilaku/fakta lapangan, dan makna dibalik
Melalui observasi peneliti akan memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat memungkinkan merasakan pengalaman
ketubuhan pelaku ketika menyajika prospel. Pengamatan ini dapat
dilakukan pada beberapa peristiwa amatan, diantaranya;
pengamatan pada pertunjukan keroncong, pada sesi latihan grup keroncong dan diskusi seniman keroncong.
Sanafiah Faisal (1990) dalam Sugiyono (2014: 226) menjelaskan bahwa klasifikasi observasi diantaranya; observasi
partisipasi (participant observation), observasi terus terang dan
tersamar (overt observation and covert observa tion), dan observasi
tak terstruktur (unstructed observation). Spradley kemudian
membagi observasi berpartisipasi menjadi empat golongan, yakni;
observasi yang pasif (passive participation), observasi yang moderat
(moderate participation), observasi yang aktif (active participation)
dan observasi yang lengkap (complete participation).
Penelitian ini dimungkinkan melakukan berbagai macam observasi, karena akan melihat kondisi lapangan dan kemudian barulah dapat ditentukan teknik observasi mana yang tepat dilakukan. Teknik observasi yang demikian dinamakan teknik observasi tak terstruktur. Perlu diingat, walaupun dengan kemungkinan model observasi tersebut, namun harus disiapkan
„rambu-rambu‟/pedoman pengamatan dari berbagai model
observasi agar sewaktu-waktu siap dalam melakukan
pengamatan.
5.3Studi Dokumen
Studi dokumen pada dasarnya digunakan untuk
mengkaji/‟memfilter‟ (menyaring) dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan penelitian ini. Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk CD, data audio, data
video, manuscript atau notasi musik, catatan harian, cinderamata,
laporan penelitian, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam.
Penelitian ini akan banyak menggunakan dokumen virtual
online – dunia maya yang terdapat pada internet. Salah satu
ini banyak memberikan dokumentasi rekaman pertunjukan keroncong di berbagai daerah maupun di berbagai negara. Klasifikasi data lagu keroncong yang diunduh adalah lagu
keroncong yang memiliki prospel. Penggunaan dokumen virtual ini
tentunya harus menggunakan etika pengambilan data, salah satu contoh dengan cara memposting atau meminta izin dari yang mengunggah data di situs Youtube.
Selain situs Youtube, dapat juga memanfaatkan layanan E-book dan E-Jurnal yang terkait dengan kebutuhan penelitian.
Syaratnya adalah „jeli‟ melihat kemungkinan validitas data
tersebut, sehingga perlu dicek kebenarannya. Sejatinya menjadi peneliti bukan hanya melakukan penelitian, namun peneliti juga harus dapat memfilter/menyaring data yang baik dan berguna bagi penelitian.
Hasil dari wawancara, observasi dan studi dokumen ini dapat dimuat pada catatan lapangan dan jurnal penelitian. Manfaat jurnal penelitian ini adalah mencatat aktifitas selama
penelitian dan kemudian akan menghasilkan memo/
„dugaan‟/opini/kesimpulan sementara selama melakukan aktifitas
Tabel 1. Gambaran jurnal penelitian.
Analisis data dalam penelitian kualitatif sebenarnya telah dilakukan sebelum peneliti memasuki lapangan. Contoh hal tersebut adalah; peneliti telah merumuskan dan menjelaskan
masalah prospel dalam pembuatan proposal dari analisis data
hasil studi sebelumnya atau dokumen yang sudah ada. Rumusan tersebut tentunya akan terus berkembang di lapangan jika peneliti menemukan banyak fenomena yang pada kenyataannya di luar
pemikiran/dugaan peneliti. Kejadian tersebut „wajar‟ terjadi pada
penelitian seni karena sifat seni sendiri yang bersifat dinamis.43
Penelitian ini selanjutnya akan menggunakan teknik analisis data model Miles and Huberman. Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono menjelaskan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (2014: 246). Aktivitas dalam analisis data
43 Dinamis da pat diartikan bahwa seni mudah berubah/bergerak dan mudah
setelah mengumpulkan berbagai data dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Reduksi data (Data reduction): memilih data yang
penting, membuat kategori-kategori dan menyimpan /mengenyampingkan yang tidak terpakai.
2. Penyajian data (Data display): menyajikan ke dalam pola
sesuai dengan kategori dan ciri-cirinya.
3. Penarikan kesimpulan (conclusion/verification): memilih
yang penting, membuat kategori-kategori dan
menyimpan/mengenyampingkan yang tidak terpakai. Mengeksplanasi data dari berbagai kategori, kemudian memverifikasi kembali kepada informan.
7. Validitas dan Reliabilitas Data
Data penelitian kualitiatif akan dinyatakan valid; jika tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti sebagai hasil temuan dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada fakta lapangan. Pada penelitian kualitatif tentunya validitas data hanya terjadi pada batasan kajian/tujuan penelitian, beberapa peneliti
akan berfikir bahwa prospel sudah banyak diteliti oleh orang lain,
saja perlu diingat bahwa; tidak ada perbedaan dari hasil temuan dengan kenyataan lapangan maka data itu valid.
Sedangkan reliabilitas berarti konsistensi dan stabilitas data penelitian. Sugiyono (2014: 269) menjelaskan reliabilitas pada penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada dasarnya melihat suatu realitas itu bersifat majemuk/ganda, dinamis/selalu berubah, sehingga tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti semula. Maka agar reliabilitas penelitian kualitatif dapat dipertahankan, pembaca harus menyadari kapan penelitian ini dilakukan, agar tidak heran jika sewaktu-waktu mungkin pada 10 tahun mendatang terdapat data lapangan yang berbeda akibat perkembangan seni secara dinamis, maka pembaca dapat menyikapi hasil penelitian ini.
Validitas data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
1.Pengujian credibility (uji kredibilitas):
a. Triangulasi ke-tiga teknik pengumpulan data.
b. Diskusi dengan teman sejawat.
c. Menggunakan bahan refrensi sebagai kontrol data.
d. Mengadakan konfirmasi dari hasil temuan/tulisan
peneliti dengan pemberi data atau membercheck.
2.Pengujian Transferability (validitas eksternal). Tahap ini
jelas dalam memahami hasil laporan penelitian ini dan jika
pembaca dapat memutuskan bisa atau tidaknya
mengaplikasikan hasil penelitian ini di tempat lain,
penelitian dapat diberlakukan (transf erability), maka
penelitian ini dapat memenuhi standart transferabilitas.
3.Pengujian Depenability (reliabilitas). Melakukan audit
kegiatan penelitian dengan cara adanya pembimbing atau auditor yang mengaudit, agar keterpercayaan aktivitas penelitian dan keterpercayaan data tidak diragukan.
4.Pengujian Konfirmability (obyektifitas). Uji obyektivitas bila
hasil penelitian telah disepakati banyak orang atau disepakati bersama informan/narasumber. Hal tersebut
H. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini tersusun menjadi lima bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut.
Bab I, Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Keroncong „mengIndonesia‟ akibat persentuhan
budaya. Meliputi dugaan munculnya prospel dan penemuan
istilah-istilah prospel yang berkembang di masyarakat.
Bab III, Kajian Teks: Bentuk, Kategori, Karakteristik, Teknik
permainan, dan perkembangan keberagaman prospel.
Bab IV, Kajian Konteks: Peranan, proses imajinasi, virtuositas, „rasa‟ prospel
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Ethnoart: Fenomenologi Seni untuk
Indiginasi Seni dan Ilmu,” dalam Ed. Waridi dan Bambang
Murtiyoso, Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang
Pendekatan Emik Nusantara.Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta, 2005, Bagian II 102-115.
Andjar Any, dkk. 1997. Musik Keroncong Menjawab Tantangan
Jamannya (Kumpulan tulisan tentang Keroncong). Surabaya: Direktorat Kesenian.
Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik.Yogyakarta: Kanisius.
Creswell, John W. 2015. Penelitian Kualitatif & Desain Riset:
Memilih di antara Lima Pendekatan. Terj/Alih Bahasa. Ahmad Lintang Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Edmund Prier SJ, Karl. 1996. Ilmu Bentuk Musik. Yogyakarta:
Pusat Musik Liturgi.
. 2011. KamusMusik. Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi.
Ganap, Victor. “Pengaruh Portugis pada Musik Keroncong:
Harmunah. 1996. Musik Keroncong: Sejarah, Gaya dan Perkembangan. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Hastanto, Sri. 2009. Konsep Pathêt dalam Karawitan Jawa.
Surakarta: ISI Press Solo.
. 2011. Kajian Musik Nusantara -1. Surakarta: ISI
Press Solo.
Kurniasari, Vivien. “Analisis Teknik Permainan Biola Keroncong di
Orkes Keroncong Flamboyant Yogyakarta.”Skripsi: Institut
Seni Indonesia - Yogyakarta, 2012.
Kusumah, Arie. “Teknik Permainan Improvisasi Gitar dalam Musik
Keroncong.”Skripsi: Institut Seni Indonesia - Yogyakarta,
2010.
Mack, Dieter. 1995a. Ilmu Melodi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
. 1995b. Sejarah Musik Jilid 4. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi.
Maulana, Fakhri Isa. “Metode Permainan Flute Keroncong Asli
Mengacu pada Lagu Kr. Burung Kenari oleh Orkes
Keroncong Bintang Jakarta.”Skripsi: Institut Seni Indonesia
– Yogyakarta, 2013.
Muttaqin, dkk. 2008. Seni Musik Klasik – Jilid 1. Jakarta:
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metode Penelitian: Kajian Budaya dan Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santosa, dkk. 2007. Etnomusikologi Nusantara: Perspektif dan
Masa Depannya. Surakarta: ISI Press Surakarta.
Soeharto, dkk. 1996. Serba-Serbi Musik Keroncong. Jakarta:
Musika.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnograf i. Terj. Misbah Zulfa
Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suanda, Endo. 2007. “Etnomusikologi Terapan: Penumbuhan
Wawasan Kebudayaan Melalui Kesenian,” dalam Ed. Aton
Rustandi Mulyana, Hasil Simposium: Membumikan
Etnomusikologi Nusantara. Surakarta: ISI Press Surakarta,
45-58.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantita tif , Kualitatif dan R&D.
Bandung : Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2011. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali
Pers.
Suryanto, Anton. “Teknik Permainan Biola pada Musik Keroncong
Asli.” Skripsi: Institut Seni Indonesia – Yogyakarta, 2009.
Tim Penyusun. 2012. Pedoman Penulisan Tugas Akhir Tesis.
Wojowasito. 1985. Kamus Umum: Belanda-Indonesia. Jakarta:
Ichtiar Baru – Van Hoe ve.
Woordenboeken, Kramers. 1987. Engels: Engels –Nederlands/
Lampiran 1
Guide/Pedoman wawancara
Daftar Pertanyaan Peneliti
Dari hasil pengamatan, ditemukan pertanyaan sebagai berikut;
1. Bagaimanakah awal mula prospel ?
a.Apakah benar bahwa penyebutan nama prospel dari kata
serapan bahasa Belanda prospel ?
b.Di Belanda, bentuk prospel apakah sama dengan prospel ?
2. Apakah terbentuknya prospel dipengaruhi oleh gamelan Jawa ?
3. Apakah fungsi prospel dalam keroncong asli ?
4. Berapakah ragam atau bagian improvisasi prospel ?
5. Apakah prospel hanya disajikan dibagian awal saja sebelum
intro, dari pengamatan ada sebuah karya yang menempatkan prospel pada bagian akhir lagu, hal tersebut apakah masih bisa dinamakan prospel atau hanya sebagai improvisasi (cadenza) ?
6. Instrumen yang dimainkan apakah hanya biola/flute/gitar
atau boleh menggunakan alat instrumen lain seperti suling
Sunda, harmonika, saxophone juga bisa melakukan prospel ?
7. Berkaitan dengan prospel sebagai ciri khas dalam jenis
keroncong asli, bila disajikan pada lagu pop yang
dikeroncongkan, atau bahkan jenis langgam maupun stambul,
apakah improvisasi itu bisa dikatakan prospel ?
8. Saat ini banyak lagu keroncong asli yang pada awalnya
menggunakan prospel, tapi kenyataannya banyak penyaji
keroncong yang tidak lagi menggunakan prospel dalam
menyajikan keroncong aslinya, apakah prospel termasuk