• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Landasan Teori

Sumber daya dapat dianggap sebagai input yang memungkinkan perusahaan untuk melakukan kegiatan mereka. Sumber daya dan kemampuan internal menentukan pilihan-pilihan strategis yang dibuat oleh perusahaan saat berkompetisi dalam lingkungan bisnis eksternal mereka. Kemampuan perusahaan juga memungkinkan beberapa perusahaan untuk menambah nilai dalam customer value chain, mengembangkan produk baru atau mengembangkan ke dalam pasar yang baru.

Resource Based Theory (RBT) berfokus pada konsep atribut keunggulan yang difficult to imitate sebagai sumber kinerja yang unggul dan keunggulan kompetitif (Barney, 1986; Madhani, 2009). Menurut Conner dalam Madhani (2009), variasi kinerja antara perusahaan tergantung pada kepemilikannya pada inputs dan

capabilities yang unik. Penrose (1959) dalam Astuti (2005) mengemukakan bahwa sumber daya perusahaan adalah heterogen, tidak homogeny, jasa produktif yang tersedia berasal dari sumber daya perusahaan yang memberikan karakter unik bagi tiap-tiap perusahaan. Menurut Belkaoui (2003); resources based theory merupakan sumber daya perusahan sebagai pengendali utama di balik kinerja dan daya saing perusahaan. Berdasarkan resources based theory ini, sebuah organisasi dapat dinilai sebagai kumpulan dari sumber daya fisik, sumber daya manusia, dan sumber daya organisasi (Barney, 1991; Amit dan Shoemaker, 1993 dalam Madhani, 2009).

Sumber daya organisasi yang berharga, langka, imperfectly imitable dan imperfectly substitutable adalah sumber utama dari keunggulan kompetitif yang berkelanjutan untuk kinerja unggul yang berkelanjutan. Sumber daya harus memenuhi kriteria “VRIN” agar dapat memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan (Madhani, 2009). Kriteria VRIN adalah sebagai berikut:

1. Valueable (V)

Sumber daya akan menjadi berharga jika dapat memberikan nilai strategis pada perusahaan. Sumber daya memberikan nilai jika sumber daya tersebut membantu perusahaan dalam mengekploitasi peluang pasar atau membantu mengurangi ancaman (threats) pasar. Tidak ada keuntungan memiliki sumber daya jika sumber daya tersebut tidak menambah atau menaikkan nilai pasar.

2. Langka (R)

Sumber daya harus sulit ditemukan diantara para pesaing yang ada maupun pesaing potensial. Oleh karena itu sumber daya harus langka atau unik agar memberikan keunggulan kompetitif. Sumber daya yang dimiliki oleh beberapa perusahaan di pasar tidak dapat memberikan keunggulan kompetitif, karena mereka tidak dapat mendesain dan melaksanakan strategi bisnis yang unik dibandingkan dengan kompetitor yang lain.

3. Imperfect Imitability (I)

Imperfect Imitability dapat berarti tidak dimungkinkannya untuk memperbanyak atau membuat imitasi sumber daya tersebut. Hambatan-hambatannya dapat bermacam-macam, seperti: kesulitan mengakuisisi sumber daya tersebut, hubungan yang tidak jelas antara kemampuan dengan keunggulan kompetitif, dan komplesitas sumber dayanya. Sumber daya dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang

berkelanjutan jika perusahaan yang tidak memiliki sumber daya ini tidak dapat memiliki sumber daya tersebut.

4. Non-Substituion (N)

Non-substitusi berarti bahwa sumber daya tidak dapat disubstitusikan oleh sumber daya alternatif lainnya. Disini, para pesaing tidak dapat mencapai kinerja yang sama dengan menggantikan sumber daya dengan sumber daya alternatif lainnya. Resources based theory membantu perusahaan memahami mengapa kompetensi dapat dianggap sebagai aset perusahaan yang paling penting dan, pada saat yang bersamaan, untuk memahami bagaimana aset tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja bisnis perusahaan (Madhani, 2009). Menurut resources based theory, sumber daya dapat secara umum didefinisikan memasukkan aset, proses organisasi, atribut perusahaan, informasi, atau pengetahuan yang dikendalikan oleh perusahaan yang dapat digunakan menyusun dan menerapkan strategi mereka (Daft, 1982; Barney, 1991; dalam Madhani, 2009).

Beberapa peneliti telah mengklasifikasikan sumber daya perusahaan sebagai sumber daya yang berwujud dan tidak berwujud. Barney (1991) mengkategorikan tiga jenis sumber daya:

1. Modal sumber daya fisik (teknologi, pabrik dan peralatan)

2. Modal sumber daya manusia (pelatihan, pengalaman, dan wawasan), dan 3. Modal sumber daya organisasi (struktur formal).

Menurut resources based theory, intellectual capital memenuhi kriteria sebagai sumber daya unik yang mampu menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga dapat menciptakan value bagi perusahaan. Dari penjelasan

dimiliki perusahaan, memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan dan digunakan untuk menyusun dan menerapkan strategi perusahaan sehingga meningkatkan kinerja perusahaan menjadi semakin baik.

2.1.2 Pecking Order Theory

Teori ini dikemukakan oleh Myer dan Majluf (1984) dan Myers (1984). Tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena ada 2 jenis modal sendiri yaitu, eksternal dan internal. Perusahaan cenderung lebih menyukai modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan.

Secara singkat teori pecking order menyatakan sebagai berikut (Brealey and Myers, 1996):

1. Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal

2. Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian deviden dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran deviden yang terlalu besar

3. Pembayaran deviden yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih atau kurang untuk investasi.

4. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan memulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru. Perusahaan yang memiliki profitabilitas yang besar cenderung memiliki hutang atau pinjaman dalam jumlah kecil. Hal tersebut bukan disebabkan memiliki

target debt of equity ratio yang rendah, akan tetapi perusahaan tersebut mampu untuk membiayai operasionalnya dari dana modal sendiri internal perusahaan. Sehingga tidak membutuhkan hutang atau aliran dana ekstern yang besar.

2.1.3 Intangible Assets

Selama ini, terdapat ketidakjelasan perbedaan antara aktiva tidak berwujud dengan IC. Intangibles telah dirujuk sebagai goodwill, (ASB, 1997; IASB, 2004), dan IC adalah bagian dari goodwill. Dewasa ini, sejumlah skema klasifikasi komputer telah berusaha mengidentifikasikan perbedaan tersebut dengan secara spesifik memisahkan IC kedalam kategori eksternal (customer-related) capital, internal (structural) capital, dan human capital (lihat misalnya: Brennan dan Connell, 2000; Edvinsson dan Malone, 1997).

Sebagian peneliti (misalnya Bukh, 2003) menyebut bahwa IC dan aset tidak berwujud adalah sama dan seringkali saling menggantikan (overlap). Sementara peneliti lainnya (misalnya: Edvinsson dan Malone, 1997; Boekestein, 2006) menyatakan bahwa IC adalah bagian dari aset tidak berwujud (intangible assets).

Paragraph 08 PSAK 19 (revisi 2000) mendefinisikan aktiva tidak berwujud sebagai aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang dan jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi tersebut merupakan adopsi dari pengertian yang disajikan oleh IAS 38 tentang

intangible assets yang relative sama dengan definisi yang diajukan dalam FRS 10 tentang goodwill dan intangible assets. Keduanya, baik IAS 38 maupun FRS 10, menyatakan bahwa tidak berwujud harus (1) dapat diidentifikasi, (2) bukan aset keuangan (non financial/ non-monetary assets), dan (3) tidak memiliki substansi

fisik. Sementara APB 17 tentang intangible assets tidak menyajikan definisi yang jelas tentang aktiva tidak berwujud.

2.1.4 Definisi Intellectual Capital

Tidaklah mudah untuk menyajikan definisi yang tepat tentang IC. Definisi IC yang ditemukan dalam beberapa literature cukup kompleks dan beragam. Salah satu definisi IC yang banyak digunakan adalah yang ditawarkan oleh Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD, 1999) yang menjelaskan IC sebagai nilai ekonomi dari dua kategori sebagai aset tidak berwujud; (1)

organizational (structural) capital; dan(2) human capital.

Lebih tepatnya, organizational (structural) capital mengacu pada hal seperti

system software, jaringan distribusi, dan rantai pasokan. Human capital meliputi sumber daya manusia di dalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/ karyawan) dan sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi, seperti konsumen dan supplier. Seringkali, istilah IC diperlakukan sebagai sinonim dari

intangible assets. Meskipun demikian, definisi diajukan OECD, menyajikan cukup perbedaan dengan meletakkan IC sebagai bagian terpisah dari dasar penetapan

intangible asset secara keseluruhan suatu perusahaan. Dengan demikian, terdapat item-item intangible asset yang secara logika tidak membentuk bagian dari IC suatu perusahaan. Salah satunya adalah reputasi perusahaan. Reputasi perusahaan mungkin merupakan hasil sampingan (atau suatu akibat) dari penggunaan IC secara bijak dalam perusahaan, tapi itu bukan merupakan bagian dari IC.

Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti mengidentifikasi tiga konstruk utama dari IC, yaitu: human capital (HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). menurut Bontis et al. (2000), secara

sederhana HC mempersentasikan individual knowledge stock suatu organisasi yang dipersentasikan oleh karyawannya. HC merupakan kombinasi dari genetic inheritance; education; experience; dan attitude tentang kehidupan dan bisnis.

Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa SC meliputi seluruh

non-human storehouses of knowledges dalam organisasi. Termasuk dalam hal ini adalah database, organizational charts, process manuals, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya. Sedangkan tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi mengembangkan melalui jalannya bisnis (Bontis et al., 2000).

2.1.5 Komponen Intellectual Capital

Para praktisi menyatakan bahwa intellectual capital terdiri dari tiga elemen utama (Stewart 1998, Sveiby 1997, Sait-Ornge 1996, Bontis 2000 dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003), yaitu:

1. Human Capital (modal Manusia)

Human capital merupakan lifeblood dalam modal intelektual. Di sinilah sumber innovation dan improvement, tetapi merupakan komponen yang sulit untuk diukur. Human capital juga merupakan tempat bersumbernya pengetahuan yang sangat berguna, keterampilan, dan kompetensi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Human capital mencerminkan kemampuan kolektif perusahaan untuk menghasilkan solusi terbaik berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang- orang yang ada dalam perusahaan tersebut. Human capital akan meningkat jika perusahaan mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya. 2. Structural Capital/ Organizational Capital (Modal Organisasi)

Structural capital merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara keseluruhan, misalnya sistem operasional perusahaan, proses manufacturing,

budaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan. Seorang individu dapat memiliki tindakan intelektual yang tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka

intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal dan potensi yang ada tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

3. Customer Capital/ Relational Capital (Modal Pelanggan)

Elemen ini merupakan komponen modal intelektual yang memberikan nilai secara nyata. Relational capital merupakan hubungan yang harmonis (association network) yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar. Relational dapat muncul dari berbagai bagian diluar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut.

2.1.6 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM )

Model VAICTM , dikembangkan oleh Pulic (1998) , didesain untuk menyajikan informasi tentang value creation efficiency dari aset berwujud (tangible assets) dan aset tidak berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA).

dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (value creation) (Pulic, 1998). VA dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999)

Tan et al. (2007) menyatakn bahwa output (OUT) mempresentasikan revenue

dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue. Menurut Tan et al. (2007), hal penting dalam model ini adalah bahwa beban karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. Karena peran aktivitas dalam proses value creation, intellectual potensial (yang direpresentasikan dengan labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan tidak masuk dalam komponen IN (Pulic, 1999). Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas penciptakan nilai (value creating entity) (Tan et al., 2007).

VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC) dan Structural Capital (SC). Hubungan lainnya dari VA adalah capital employed (CE), yang dalam hal ini dilabeli dengan VACA. VACA adalah indicator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital.

Pulic (1998) mengasumsikan bahwa jika 1 unit dari CE menghasilkan return

yang lebih besar daripada perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CE yang lebih baik merupakan bagian dari IC perusahaan (Tan et al., 2007).

Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. ‘Value Added Human Capital’

(VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan et al., 2007).

Konsisten dengan pandangan para penulis IC lainnya, Pulic (1998) beragumen bahwa total salary and wage costs adalah indikator dari HC perusahaan.

Hubungan ketiga adalah structural capital coefficient (STVA), yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai (Tan et al., 2007). SC bukanlah ukuran yang independent sebagaimana HC, ia dependent

terhadap value creation (Pulic, 1999). Artinya, menurut Pulic (1999), semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic (1999) menyatakan bahwa SC dan VA dikurangi HC, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian empiris pada sektor industri tradisional (Pulic, 2000).

Rasio terakhir adalah menghitung kemampuan intelektual perusahaan dengan menjumlahkan coefisien-coefisien yang telah dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut diformulasikan dalam indikator yang unik, yaitu VAICTM (Tan et al. 2007).

Keunggulan metode VAICTM adalah karena data yang dibutuhkan relative mudah diperoleh dari berbagai sumber dan jenis perusahaan. Data yang dibutuhkan untuk menghitung berbagai rasio tersebut adalah angka-angka keuangan yang standar yang umumnya tersedia dari laporan keuangan perusahaan. Alternatif pengukuran IC lainnya terbatas hanya menghasilkan indikator keuangan dan non-keuangan yang unik yang hanya untuk melengkapi profil suatu perusahaan secara individu. Indikator-indikator tersebut, khususnya indikator non-keuangan, tidak tersedia atau tidak tercatat oleh perusahaan yang lain (Tan et al., 2007). Konsekuensinya

kemampuan untuk menerapkan pengukuran IC alternatif tersebut secara konsisten terhadap sampel yang besar dan terdiversifikasi menjadi terbatas (Firer dan Williams, 2003).

2.1.7 Kinerja Perusahaan

Sesuai tujuan penelitian ini, dua rasio keuangan yang dipilih sebagai proksi kinerja keuangan perusahaan. Rasio tersebut adalah Return on Asset (ROA) dan

Asset Turnover Ratio (ATO), Market to Book Value Ratio (MBR).

2.1.7.1 Return on Asset (ROA)

Return on Assets adalah rasio profitabilitas yang mengukur jumlah profit yang diperoleh tiap rupiah aset yang dimiliki peruashaan. ROA memperlihatkan kemampuan perusahaan dalam melakukan efisiensi penggunaan total aset untuk operasional perusahaan. ROA memberikan gambaran kepada investor tentang bagaimana perusahaan mengkonversikan uang yang telah di investasikan dalam laba bersih. Jadi, ROA adalah indikator dari profitabilitas perusahaan dalam menggunakan asetnya untuk menghasilkan laba bersih. ROA dihitung dengan membagi laba bersih (net income) dengan total aset perusahaan. Semakin tinggi nilai ROA, maka perusahaan tersebut semakin efisien dalam menggunakan asetnya. Hal ini berarti bahwa perusahaan tersebut dapat menghasilkan uang (earnings) yang lebih banyak dengan investasi yang sedikit.

2.1.7.2 Asset Turnover Ratio (ATO)

Efisiensi produktivitas dalam penelitian ini diukur dengan Asset Turnover Ratio (ATO). Asset Turnover Ratio (ATO) merupakan salah satu ukuran dari efisiensi produktivitas. ATO merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur

sejauh mana kemampuan perusahaan di dalam menghasilkan penjualan dengan menggunakan aset yang dimiliki. Jika nilai ATO diatas satu kali menandakan perusahaan telah mampu menghasilkan pendapatan yang lebih besar daripada penggunaan aset yang dimiliki. Efisiensi produktivitas mencerminkan seberapa besar efisiensi input yang dikonversi menjadi output (Ghosh dan Mondal, 2009). Kinerja keuangan perusahaan sangat tergantung pada keberhasilan atau kegagalan mengolah asetnya menjadi pendapatan. Bila asetnya dapat dimanfaatkan dengan efisien maka fungsi dan peran perusahaan tersebut dapat dicapai.

2.1.7.3 Market to Book Value Ratio (MBR)

Market to book value ratio memberikan penilaian akhir dan, mungkin yang paling menyeluruh atas status pasar saham perusahaan secara keseluruhan. Rasio itu mengikthisarkan pandangan investor tentang perusahaan secara keseluruhan (Walsh, 2003). Rasio ini membandingkan nilai pasar saham dengan investasi para pemegang saham dalam perusahaan. Jika nilai dari rasio ini kurang dari satu, dapat berarti bahwa investasi para pemegang saham telah berkurang nilainya. Sebaliknya, jika nilainya melebihi satu, berarti investasi yang dilakukan telah berlipat ganda oleh faktor sebesar nilai pasar yang dibagi dengan nilai buku.

2.1.8 Variabel Kontrol

Tujuan dimasukkannya variabel kontrol didalam penelitian ini adalah untuk mengendalikan agar hubungan yang terjadi pada variabel terikat murni dipengaruhi oleh variabel bebas bukan faktor-faktor lain. Tujuan lainnya adalah untu menyempurnakan model penelitian, sebab hasil penelitian sebelum dimasukkan variabel kontrol dalam penelitian ini pengaruh dari variabel bebas yaitu Intellectual Capital terhadap kinerja perusahaan yaitu terjadi ketidaknormalan data,

ketidaksignifikanan pada α = 5%. Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah ukuran perusahaan dan leverage. Hal ini dikarenakan, industri barang konsumsi adalah industri yang terdiri dari berbagai macam perusahaan besar yang dapat dilihat dari total asset yang dimilikinya. Oleh karena ukuran perusahaan berbeda-beda sehingga penggunaan hutang dimasing-masing perusahaan juga berbeda sesuai dengan batas optimal dan karakteristik spesifik aset perusahaan. Oleh karena itu ukuran perusahaan dan leverage digunakan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.

2.1.8.1 Ukuran Perusahaan

Ukuran perusahaan adalah ukuran besar kecilnya suatu perusahaan. Berdasarkan ukuran perusahaannya, perusahaan dibedakan menjadi perusahaan big

(besar) dan small (kecil). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahaan terhadap market valuation, profitabilitas, dan produktivitas perusahaan. Dalam penelitian ini, ukuran perusahaan diukur berdasarkan besarnya total aset yang dimiliki perusahaan. Aset menunjukkan aktiva yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan. Penelitian Triamoko dan Rachmawati menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap market valuation atau nilai perusahaan. Hasil tersebut menandakan bahwa pasar lebih mengapresiasikan perusahaan besar. Ukuran perusahaan yang besar dapat menjadi indikasi bahwa perusahaan mempunyai komitmen yang tinggi untuk terus memperbaiki kinerjanya, sehingga pasar akan mau membayar lebih mahal untuk mendapatkan sahamnya karena percaya akan mendapatkan pengembalian yang menguntungkan dari perusahaan tersebut.

Faktor ukuran perusahaan yang menunjukkan besar kecilnya perusahaan merupakan faktor penting dalam pembentukan laba (Sembiring, 2008). Perusahaan besar yang dianggap telah mencapai tahap kedewasaan merupakan suatu gambaran bahwa perusahaan tersebut relative lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan yang lebih stabil biasanya dapat memprediksi jumlah keuntungan di tahun-tahun mendatang karena tingkat kepastian laba sangat tinggi, sebaliknya bagi perusahaan yang belum mapan, besar kemungkinan laba yang diperoleh juga belum stabil karena kepastian laba lebih rendah (Sembiring, 2008). Dengan demikian, diperkirakan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. Besar kecilnya ukuran perusahaan berpengaruh terhadap produktivitas yang dapat dihasilkan. Perusahaan besar cenderung memiliki jumlah aktiva yang besar dan lebih unggul untuk dapat mendukung proses produksi yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Mereka dapat lebih mengembangkan aktiva yang mereka miliki untuk dapat menghasilkan produk yang kompetitif. Dengan demikian, diperkirakan ukuran perusahaan mempunyai pengaruh terhadap produktivitas perusahaan. Semakin besar perusahaan maka produktivitas yang dihasilkan pun semakin tinggi pula.

2.1.8.2 Leverage

Rasio leverage (utang) menekankan pada peran penting pendanaan utang bagi perusahaan dengan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh pendanaan utang. Menurut Van Horne (2005), semakin tinggi rasio debt to total asset, semakin besar risiko keuangannya. Yang dimaksudkan dengan terjadinya peningkatan risiko adalah kemungkinan terjadinya default karena perusahaan terlalu banyak melakukan pendanaan aktiva dari hutang. Dengan adanya risiko gagal bayar,

maka biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengatasi masalah ini semakin besar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Samiloglu (2008) ditemukan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap profitabilitas. Namun hasil dari penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Falope (2009) yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap profitabilitas.

2.2 Penelitian Terdahulu

Firer dan Williams (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh

intellectual capital terhadap kinerja perusahaan. Penelitiannya menggunakan objek 75 perusahaan sektor publik yang terdaftar di Afrika Selatan pada tahun 2001. Di dalam penelitiannya, intellectual capital diproksikan dengan (VAICTM ) dan kinerja

perusahaannya terdiri atas, profitabilitas (ROA), produktivitas (ATO), dan market to book value (MBR). Hasil dari penelitiannya ini menunjukkan bahwa intellectual capital hanya berpengaruh terhadap market to book value dan produktivitas. Profitabilitas tidak memiliki pengaruh. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa physical capital (modal fisik) merupakan faktor yang paling signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan di Afrika Selatan.

Ghosh dan Mondal (2009) meneliti perusahaan perangkat lunak dan farmasi di India. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa intellectual capital hanya berpengaruh pada profitabilitas perusahaan dan tidak berpengaruh pada produktivitas dan valuasi pasar di India.

Penelitian Ting dan Lean (2009), meneliti tentang kinerja intellectual capital

pada institusi keuangan di Malaysia. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara institusi keuangan (bank dan bukan bank) yang ada di Malaysia

pada periode tahun 1999 sampai dengan tahun 2007. Metode penilaian kinerja

intellectual capital yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Pulic yaitu menggunakan Value Added Intellectual Coeficient (VAICTM). Hasil dari penelitian

tersebut adalah adanya hubungan positif yang terjadi antara VAICTM dan ROA

sebagai ukuran kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, tiga komponen penyusunan VAICTM (human capital, structural capital dan customer capital) juga memiliki

Tabel 2.1 Penelitian Terhadulu

No Peneliti Variabel Metode Hasil

1 Firer dan

William (2003)

Variabel dependen: ROA, ATO, MB.

Variabel independen: CEE,

Dokumen terkait