Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
masalah. Teori-teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang
berhubungan dengan perilaku menolong dan berita kriminal.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai identifikasi variabel penelitian, defenisi
operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan
sampel, rancangan penelitian, teknik kontrol, prosedur penelitian, dan
metode analisa data.
Bab IV: Analisa data dan interpretasi
Bab ini menjelaskan mengenai gambaran subjek penelitian, hasil utama
dan hasil tambahan penelitian.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan saran
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan utama dan tambahan
Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat
digambarkan seperti pada gambat 1.
Gambar 1
Kerangka Berpikir Penelitian
Tayangan berita kriminal
Tayangan kekerasan
Ditayangkan tiap hari di televisi (Irmanyusron, 2007)
Masyarakat dapat mempersepsikan bahwa yang digambarkan dalam berita-berita tersebut adalah gambaran realitas di dunia ini (Aprilia ,2004 )
Timbul rasa takut terhadap kejahatan (Aprilia, 2004 )
Memunculkan perasaan tidak aman, menurunkan sikap percaya
terhadap orang lain (interpersonal trust)
(Aprilia, 2004)
Mempengaruhi perilaku menolong
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Perilaku Menolong
II.A.1. Definisi Perilaku Menolong
Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih
memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri
(Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Staub (1978) & Wispe (1972), perilaku
menolong adalah perilaku yang menguntungkan orang lain lebih daripada diri
sendiri (dalam Hogg & Vaugan 2002).
Menurut Dovidio & Penner (2001), menolong (helping) adalah suatu
tindakan yang bertujuan menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain.
Michener& Delamater (1999), mendefinisikan menolong (helping) sebagai segala
tindakan yang mendatangkan kebaikan atau meningkatan kesejahteraan (
well-being) bagi orang lain. Sejalan dengan itu perilaku menolong juga diartikan
sebagai suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus
menguntungkan si penolong secara langsung, bahkan kadang menimbulkan resiko
terhadap si penolong (Baron, Byrne & Branscombe, 2006).
Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku menolong
adalah segala tindakan yang lebih menguntungkan dan meningkatan kesejahteraan
(well-being) orang lain daripada terhadap diri sendiri, bahkan kadang
II.A.2. Bentuk-Bentuk Perilaku menolong
Perilaku menolong menurut Wrightsman dan Deaux (1981) dibedakan
berdasarkan tingkat pengorbanan pelaku ke dalam tiga bentuk tindakan, yaitu
favor, donation, dan intervention in emergency.
a. Favor
Favor dapat diartikan sebagai tindakan membantu orang lain, dimana
usaha membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan
(pengorbanan yang kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa
pengorbanan tenaga/usaha dan waktu. Walaupun pengorbanan yang
diberikan pelaku kecil, namun dampak dari tindakan ini menguntungkan
bagi orang lain. Jadi, cost yang harus diberikan oleh mereka yang
melakukan perilaku ini tidaklah begitu besar, dalam arti tidak melibatkan
pengorbanan yang memberatkan pelakunya.
b. Donation
Perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap seseorang
atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan
pengorbanan materi berupa uang atau barang.
c. Intervention in Emergency
Intervention in emergency merupakan perilaku memberikan bantuan
kepada orang lain yang dilakukan dalam kondisi stressful atau pada situasi
gawat darurat, dengan kemungkinan keuntungan yang sangat kecil bagi
yang melakukan. Dalam melakukan tindakan ini dapat mengundang
berkorban besar dan kemungkinan mendapatkan keuntungan yang sangat
kecil dari tindakan ini. Contoh: membantu menyelamatkan orang yang
hanyut di sungai.
II.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku menolong
1. Faktor situasional yang meningkatkan atau menghambat perilaku menolong
a. Kehadiran orang lain
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan
Robin (1969) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat
akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada
bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan
mengalami kekaburan tanggung jawab (dalam Hudaniah, 2003).
Staub (1978) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas,
karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau
bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu
seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu
untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan
mendapat pujian (Sampson, dalam Hudaniah, 2003).
b. Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like)
Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan
seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat
menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki
persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut ( Shaw, Borough, & Fink
dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).
Pria sangat cenderung untuk menyediakan bantuan terhadap seorang
wanita yang sedang distress (Piliavin & Unger, 1985), mungkin karena
perbedaan gender dalam kemampuan spesifik, dan mungkin karena wanita lebih
ingin meminta pertolongan daripada pria (dalam Baron, Byrne, & Branscombe,
2006).
c. Menolong orang yang meniru kita (Helping Those Mimic Us)
Salah satu yang mempengaruhi perilaku prososial adalah mimicry, yaitu
kecenderungan otomatis untuk meniru perilaku orang lain yang berinteraksi
dengan kita. Penelitian menunjukkan bahwa mimicry meningkatkan
kecenderungan terlibat dalam perilaku menolong ini
Efek ini ini terjadi karena imitasi adalah sebuah aspek penting dari belajar
dan akulturasi (de Wall, dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Ini sesuai
dengan pendapat Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) yang menyatakan
bahwa seseorang belajar menolong melalui proses imitasi. Imitasi dapat
mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan
yang baik, karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang
seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula (Dayakisni & Hudaniah,
d. Menolong orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap masalahnya (Helping
Those Who Are Not Responsible for Their Problem)
Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya
terjadi bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan seorang
pria yang tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol minuman keras
yang kosong di sampingnya akan cenderung kurang menunjukkan perilaku
menolong di bandingkan jika pria yang tergeletak di jalan itu adalah seorang
pria berpakaian mahal dengan luka di kepalanya karena hal ini mengindikasikan
bahwa pria tersebut adalah korban kekerasan saat sedang di jalan (dalam Baron,
Byrne, & Branscombe, 2006).
e. Adanya model ( Exposure to Prosocial Models)
Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social
model, dan hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong pada
orang lain yang melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media massa
juga memberi kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam perilaku
prososial. Dengan menonton perilaku prososial pada televisi meningkatkan
kejadian dari perilaku prososial dalam kehidupan nyata (dalam Baron, Byrne, &
Branscombe, 2006). Akan tetapi, media massa dapat juga memiliki efek
negatif. Seperti salah satu contoh, penelitian partisipan yang memainkan video
games kekerasan seperti Mortal combat dan Street Fighter menunjukkan adanya
suatu penurunan dalam perilaku prososial (Anderson & Bushman, dalam Baron,
2. Emosi dan Perilaku Menolong
Emosi sering dibagi menjadi dua bagian, yaitu emosi positif dan negatif.
a. Emosi positif dan perilaku menolong
Pada umumnya seseorang yang sedang memiliki mood yang baik akan lebih
cenderung menampilkan perilaku prososial. Akan tetapi sebuah emosi positif
dapat mengurangi kemungkinan untuk berespon dalam suatu cara prososial
(Isen, 1984). Seorang penonton (bystander) yang dalam mood yang sangat
positif ketika menemui suatu keadaan emergency yang ambigu cenderung
menginterpretasi situasi tersebut sebagai suatu situasi yang nonemergency.
b. Emosi negatif dan perilaku menolong
Pada umumnya, seseorang yang berada dalam mood negatif cenderung kurang
dalam menolong oranglain. Hal itu benar, bahwa seorang yang tidak senang
(unhappy) sedang fokus pada masalahnya, cenderung kurang dalam perilaku
prososial (Amato, 1990). Akan tetapi, emosi negatif dapat memiliki sebuah
dampak positif pada perilaku prososial jika perasaan negatifnya tidak begitu
intens, jika emergency terlihat jelas dan jika tindakan menolong itu menarik
atau memuaskan dibandingkan tidak memiliki reward.
3. Empati dan Disposisi Kepribadian Lainnya yang Berhubungan dengan Menolong
Disposisi kepribadian adalah karakteristik kecenderungan perilaku
individu. Disposisi kepribadian adalah berdasarkan perbedaan dalam
aspek dari perilaku menolong adalah rasa percaya kepada orang lain
(interpersonal trust ). Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap
orang lain cenderung kurang dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne,
2000).
a. Empati
Seseorang yang memiliki empati dapat merasakan dan memahami apa
yang dirasakan oleh orang lain. Empati terdiri dari respon afektif dan respon
kognitif terhadap emosional yang sedang dirasakan oleh orang lain dan
berkaitan dengan simpati, sebuah keinginan untuk memecahkan masalah orang
lain, dan memahami perspektif (perspective taking) orang lain (Baron, Byrne, &
Branscombe, 2006).
Komponen afektif dari empati juga melibatkan simpati, yaitu tidak hanya
merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga perhatian dan melakukan sesuatu
untuk mengurangi penderitaan tersebut. Komponen kognitif dari empati tersebut
berkaitan dengan kemampuan untuk memahami atau mempertimbangkan sudut
pandang orang lain, dikenal dengan istilah perspective taking. Para psikolog
sosial mengidentifikasi tiga tipe dari perspective taking (Batson, dkk dalam
Baron, Byrne, & Branscombe, 2006) :
1. Mampu membayangkan bagaimana oranglain mempersepsikan sebuah
kejadian dan bagaimana akhirnya perasaan mereka.
2. Mampu membayangkan bagaimana seandainya kita berada dalam situasi
3. Mengidentifikasi terhadap karakter-karakter fiktif, yaitu perasaan simpati
kepada seseorang dalam sebuah cerita. Dalam hal ini, adanya sebuah reaksi
emosional terhadap kegembiraan (joys), dukacita (sorrows), dan ketakutan
(fears) dari sebuah karakter dalam sebuah buku, bioskop atau program
televisi.
b. Belief in A Just World
Orang yang menolong menganggap dunia itu sebagai tempat yang adil dan
dapat diprediksikan, dimana perilaku yang baik mendapat ganjaran baik dan
perilaku yang buruk mendapat hukuman. Keyakinan ini mengarahkan pada
kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan tidak hanya sekedar
suatu perbuatan yang baik untuk dilakukan, akan tetapi orang yang menolong
juga akan mendapat keuntungan dari perbuatannya.
c. Social Responsibility
Tanggungjawab sosial berada pada mereka yang menawarkan bantuan.
Mereka menampilkan keyakinan bahwa setiap orang bertanggungjawab untuk
melakukan yang terbaik saat menolong orang yang membutuhkannya.
d. Internal Locus of Control
Hal ini adalah keyakinan individu bahwa ia dapat memilih untuk
melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan hasil yang baik dan
meminimalkan hasil yang buruk.
e. Low Egocentrism
Individu yang gagal untuk menolong relatif egosentris, cenderung
seseorang egoism mungkin juga memberikan pertolongan tetapi hanya untuk
mengurangi personal distress yang dirasakannya atau dimotivasi oleh adanya
self-benefit.
4. Usia dan Perilaku Menolong
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara
usia dan perilaku menolong (Peterson, 1983 dalam Dayakisni & Hudaniah,
2003). Dengan bertambahnya usia individu akan makin dapat memahami atau
menerima norma-norma sosial (Staub, 1978, dalam Dayakisni & Hudaniah,
2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) yang menyatakan
bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka ia akan semakin
bertanggungjawab secara sosial dan taat terhadap aturan serta berkembangnya
norma etik.
Menurut teori perkembangan moral Kohlberg, usia dimana seseorang
mulai memiliki kesadaran dalam mematuhi peraturan dan norma sosial adalah
sejak usia 18 tahun (level Post-conventional) (Newman&Newman, 2001).
Penelitian tentang moral reasoning dan perilaku menolong menemukan bahwa
individu yang memiliki level moral yang tinggi lebih cenderung dalam
berperilaku menolong (Rushton, Chrisjohn,& Fekken, 1981).
5. Tingkat Pendidikan
Reddy (dalam Schroeder & Penner, 1995) menyatakan bahwa semakin
seseorang untuk menjadi relawan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah
sumbangannya pada kotak amal. Hal ini terkait dengan sosial ekonomi dan
akan semakin berkurang kemungkinan untuk menyumbang/menderma.
6. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap perilaku menolong
yang aktual, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pria
dan wanita (Piliavin &Unger dalam Oscar, 2006). Sekalipun ditemukan
perbedaan, maka kecenderungan yang lebih besar akan mengarah pada pria,
bukan wanita (Basow,1992). Hal ini didukung oleh hasil yang diperoleh Eagley
dan Crowley (Basow, 1992; Taylor, dkk, 2000) melalui sebuah review
meta-analisis yang dilakukan terhadap 172 penelitian mengenai perilaku menolong.
Simpulan yang diperoleh dari review meta-analisis menunjukkan bahwa
pria lebih menolong daripada wanita. Pria lebih cenderung utuk menawarkan
pertolongan daripada wanita, walaupun wanita dinilai lebih menolong daripada
pria dan kelihatannya lebih peduli untuk memberikan pertolongan. Riset
behavioral menyatakan bahwa pria lebih menolong daripada wanita, paling
tidak dalam situasi publik yang melibatkan orang yang tidak dikenal (Basow,
II.A.4. Tipe-Tipe Perilaku Menolong
Menurut Rushton, Chrisjohn, & Fekken (dalam Bekkers & Wilhelm, 2007), ada
sepuluh tipe-tipe perilaku menolong, yaitu :
1. Mengembalikan uang yang berlebih kepada kasir
2. Mendahulukan orang lain dalam antrian
3. Menawarkan tempat duduk kepada orang lain yang sedang berdiri dalam
sebuah bus, atau di sebuah tempat umum
4. Membawakan barang/milik orang lain, seperti tas belanja.
5. Memberikan makanan atau uang kepada pengemis
6. Menjaga milik orang lain ketika orang tersebut sedang pergi
7. Meminjamkan sesuatu yang bernilai kepada orang lain
8. Memberikan uang untuk amal (charity)
9. Melakukan pekerjaan sukarela untuk amal (charity)
10.Mendonorkan darah
II.B. Tayangan Berita Kriminal
Kriminalitas atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum
dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.
Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan
dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan
melanggar hukum serta undang-undang pidana (dalam Kartono, 2005).
Tayangan berita kriminal merupakan salah satu program tayangan televisi
(Aprilia, 2004). Format acara ini dikemas dalam bentuk tayangan yang
memberikan kesan seram dan menakutkan karena isi beritanya khusus untuk
menayangkan tentang kriminalitas. Hampir semua stasiun televisi di tanah air
menayangkan berita kriminal dalam format seperti ini, kecuali TVRI dan
Metro-TV. Jenis acara berita-berita kriminal tersebut dapat dilihat pada tabel 1
(Irmanyusron, 2007).
Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar acara tersebut menempati jam
prime time, yaitu rentang waktu dimana jumlah penonton televisi mencapai
puncaknya. Berita-berita semacam itu ditayangkan tiap hari selama ± 30 menit di
televisi tanpa mempertimbangkan kepada siapa ditujukan dan efek apa yang akan
ditimbulkan (Irmanyusron, 2007).
Program ini merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan karena
dalam acara itu penonton menerima ekspos ke berbagai jenis visualisasi
kekekerasan oleh pelaku maupun polisi yang menangkapnya. Program ini
disajikan secara dramatis dengan memerlihatkan secara vulgar unsur-unsur
kekerasan, seperti darah yang mengalir dari korban pembunuhan, mayat yang
tergeletak, adegan pukul, bahkan tembak yang dilakukan polisi terhadap tersangka
II.C. Pengaruh Tayangan Berita Kriminal terhadap Kecenderungan Perilaku menolong
Tayangan berita kriminal merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan
(Aprilia, 2004). The National Institute of Mental Health (dalam Kompas, 2005),
menyimpulkan efek kekerasan dalam televisi dapat menyebabkan seseorang
belajar menjadi korban dan mengidentifikasikan diri dengan korban. Laporan
tahun 1982 tersebut juga menyebutkan bahwa sebagian pemirsa televisi menjadi
merasa takut dan cemas akan menjadi korban kekerasan.
Sejalan dengan itu, Aprilia (2004) mengatakan bahwa terpaan tayangan
berita kriminal di televisi dapat memunculkan perasaan takut terhadap kejahatan
bagi masyarakat yang mengkomsumsinya. Termasuk misalnya, pecandu berat
televisi mengatakan bahwa kemungkinan seeorang menjadi korban kejahatan
adalah 1 berbanding 10 dalam kenyataannya adalah 1 berbanding 50 (Nurudin,
2004).
Aprilia (2004) menyatakan bahwa rasa takut terhadap kejahatan tersebut
dapat menimbulkan gangguan pada kehidupan sehari-hari masyarakat, yaitu
munculnya rasa tidak aman serta menurunkan rasa percaya kepada orang lain
(interpersonal trust) dan lingkungannya. Interpesonal trust merupakan salah satu
aspek dari perilaku menolong. Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap
II.D. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Ho : Tidak ada pengaruh tayangan berita kriminal terhadap kecenderungan
perilaku menolong
Hi : Ada pengaruh tayangan berita kriminal terhadap kecenderungan perilaku