• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Secara Sosiologis: Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mencegah Deforestasi dengan

Dalam dokumen Buku Mencegah Deforestasi (Halaman 111-116)

C. KHUSUS

4.4 Landasan Secara Sosiologis: Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mencegah Deforestasi dengan

Kebiasaan Adat

Mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada

102 I Putu Sastra Wibawa

dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, seperti hak milik, hak guna usaha dan hak pakai.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya.Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi.Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi.Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konservasi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian izin pemanfaatan izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu bertanggung jawab atas segala macam gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan yang dipercayakan kepadanya.

Untuk menjamin status, fungsi, kondisi hutan dan kawasan hutan dilakukan upaya perlindungan hutan yaitu

103 I Putu Sastra Wibawa

mencegah serta membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, dan penyakit. Termasuk dalam pengertian perlindungan hutan adalah mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta investasi dan perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

Dalam pengurusan hutan secara lestari, diperlukan sumber daya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutanan yang berkesinambungan. Namun demikian dalam penyelenggaraan pengembangan sumber daya manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat.

Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan.

Terkait dengan adanya alasan masyarakat Hindu desa adat Wangaya Gede dalam mencegah deforestasi hutan Batukaru yang dapat digolongkan alasan sosiologis adalah adanya kearifan lokal masyarakat untuk menjaga hutan lindung yang berada di desa adat Wangaya Gede. Adanya kearifan lokal tersebut di dapat dari informasi dari informan I Gede Manuk Ardana selaku Bendesa Adat Wangaya Gede (wawancara, tanggal 5 Oktober 2016) menyatakan:

104 I Putu Sastra Wibawa

“Driki antara ladang sane miliki masyarakat lan hutan lindung wenten batas sane kirang langkung 3 meter jarakne nyelag tengah-tengah nyane”.

Terjemahan.

Disini di kebiasaan masyarakat adat Wangaya Gede, bagi masyarakat yang mempunyai ladang dekat dengan hutan lindung, ada batas jeda antara ladang milik masyarakat dengan hutan lindung yang lebarnya kurang lebih 3 meter yang berada di tengah-tengah antara batas terluar tanah ladang milik dengan batas terluar hutan lindung.

Berdasarkan wawancara dengan I Gede Manuk Ardana di atas, dapat di pahami bahwa I Gede Manuk Ardana selaku Bendesa Adat Wangaya Gede di dapat informasi bahwa terdapat batas antara tanah ladang milik masyarakat dan hutan lindung dengan lebar kurang lebih 3 meter, di areal pembatas tersebut menjadi status quo tidak boleh dilakukan aktivitas apapun apalagi penebangan dan perusakan. Senada dengan I Gede Manuk Ardana, I Made Megayana selaku Kepala Desa Wangaya Gede (wawancara, tanggal 5 Oktober 2016) menyatakan:

“Wenten kebiasaan driki, antara tanah milik dengan hutan lindung wenten jarak jeda kirang langkung 3 meter lebar nyane”.

Terjemahan

Terdapat kebiasaan disini, antara tanah milik masyarakat dengan hutan lindung ada jarak jeda kurang lebih 3 meter lebarnya.

Selain kebiasaan untuk mentaati jarak jeda kurang lebih dengan lebar 3 meter antara tanah milik masyarakat dan hutan lindung terdapat pula mitos di dalam masyarakat bahwasanya hutan beserta isinya di kawasan hutan Batukaru memiliki nilai magis, jika ada yang berani

105 I Putu Sastra Wibawa

mengambil kayu yang berada di hutan lindung tersebut, malamnya akan bermimpi untuk segera mengembalikannya. Hal tersebut di dapat dari informasi dari informan I Gede Manuk Ardana selaku Bendesa Adat Wangaya Gede (wawancara, tanggal 5 Oktober 2016) menyatakan:

“masyarakat driki percaye hutan Batukaru nika tenget, wenten taen sane nyemak kayu drika, petengne dalam mimpi diminta mengembalikan”.

Terjemahan

Masyarakat disini percaya bahwa hutan Batukaru itu sakral, pernah ada yang mencuri dan mengambil kayu tanpa izin disana, malamnya dalam mimpi diminta untuk dikembalikan.

Adapun ilustrasi dari jarak jeda antara tanah milik masyarakat dengan hutan lindung, digambarkan pada gambar sebagai berikut.

Gambar 4.1

Jarak Jeda Tanah Milik dengan Hutan Lindung Batukaru

+3m Jarak Jeda

Sumber: Diolah dari Data Lapangan

Adanya kebiasaan masyarakat yang tidak tertulis bahwa terdapat jarak jeda antara hutan lindung dan tanah milik masyarakat serta adanya kepercayaan masyarakat Hindu desa adat Wangaya Gede bahwa hutan Batukaru yang berada di desa adat Wangaya Gede tersebut sakral, sehingga adanya kesepakatan bersama masyarakat untuk menjaga hutan Batukaru menjadi alasan sosiologis masyarakat Hindu di desa adat Wangaya Gede untuk

Tanah/ Ladang

Milik Masyarakat Hutan Lindung Batukaru

106 I Putu Sastra Wibawa

menjaga kelestarian hutan Batukaru dengan jalan mencegah deforestasi.

Selain itu, terdapat batas buatan masyarakat adat berupa tumpukan batu sebagai batas antara hutan lindung dengan tanah milik masyarakat setempat. Hal ini berdasarkan informasi dari I Wayan Diarta (wawancara, tanggal 5 Oktober 2016) selaku tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa “wenten batas buatan sane melakar aji batu matumpuk, sane mewasta gegumuk batas hutan teken tanah warga driki. Gegumuk nika kirang langkung kekaryanin tahun 1964 sane kekaryanin tiap 100 meter”.

Terjemahannya terdapat batas buatan yang terbuat dari batu yang ditumpuk sebagai batas antara hutan lindung Batukaru dengan tanah milik masyarakat yang dibuat setiap kurang lebih 100 meter.

4.5 Landasan Secara Ekologis: Kesadaran Hukum

Dalam dokumen Buku Mencegah Deforestasi (Halaman 111-116)