Bab ini berisi teori-teori tentang hal-hal yang berhubungan dengan Intelligent Transport Sistem, Citra, Java, openCV. IDE NetBeans, metode Viola-Jones, dan UML diagram.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang analisis kebutuhan sistem dan tahap-tahap dalam perancangan sistem yang meliputi perancangan proses dan perancangan antarmuka.
BAB IVANALISIS DAN PERANCANGAN
Pada bagian ini diuraikan analisis sistem yang akan dibuat dan kebutuhan sistem yang meliputi kebutuhan sistem. Rancangan sistem meliputi rancangan arsitektur sistem, rancangan proses dan rancangan antarmuka pengguna. BAB V IMPLEMENTASI DAN PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan implementasi serta hasil penelitian dan pembahasan. Bagian implementasi menguraikan tentang implementasi secara detail dan runut, bagian hasil penelitian dan pembahasan hasil dari implementasi disertai dengan penjelasan yang terkait.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang dikumpulkan dari hasil yang telah diperoleh.
1.7 Tinjauan Pustaka
Adapun beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Salah satu penelitian tentang pendeteksi objek dengan menggunakan konsep yang sama dilakukan oleh RD. Kusumanto (2012). Penelitian tersebut diterapkan pada deteksi wajah dengan hasil citra statis error sebesar 28% terjadi pada saat gambar berisi 7 orang dengan jumlah wajah terdeteksi sebanyak 9 wajah.
2. Dedi Ary Prasetya (2012) dalam studi Deteksi Wajah Metode Viola-Jones pada OpenCV Menggunakan Pemrograman Phyton. Dalam kesimpulannya, sistem dapat mendeteksi adanya beberapa (lebih dari satu) wajah dalam suatu citra. Sistem juga dapat mendeteksi objek yang menyerupai wajah ketika objek tersebut memilki kontur yang sama dengan
kontur wajah manusia (kontur wajah pada template), misalnya, wajah boneka dan topeng Hulk.
3. Marson James Budiman (2012) dalam studi Sistem Monitoring Dan Kontrol Lalu lintas Perkotaan. Penelitian ini bertujuan (1) merancang sistem monitoring dan kontrol lalu lintas, (2) mengintegrasikan informasi kepadatan lalu lintas dan kerusakan traffic light melalui peta lokasi jalan yang ditampilkan pada sisi pengguna, dan (3) mengidentifikasikan Jalur-jalur terjadi kemacetan lalu lintas. Hasil perancangan ini berupa titik koordinat peta lokasi jalan mengenai kepadatan dan kerusakan traffic light. Sistem memberikan output tampilan pada sisi pengguna dimana terdapat titik-titik kemacetan dan kerusakan traffic light pada berbagai persimpangan. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai panduan pengguna jalan dalam memilih jalur alternatif ketika terjadi kemacetan lalu lintas, dan mengambil keputusan jalur perjalanan dengan cepat,sehingga tingkat kemacetan dapat di kurangi.
4. Teguh Bharata (2012) dalam studi Sistem Deteksi Wajah dengan Menggunakan Metode Viola-Jones. Penelitian ini berisikan tentang suatu sistem deteksi wajah pada manusia dengan menggunakan metode Viola-Jones. Metode Viola-Jones relatif mendapatkan hasil yang cepat, akurat, dan efisien dalam melakukan deteksi wajah pada gambar. Metode Viola-Jones merupakan algoritma yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi wajah. Dalam penelitian ini ditampilkan gambar yang dideteksi sebagai objek wajah dan bukan wajah. Hasil penelitian ini mendapatkan nilai akurasi system deteksi wajah sebesar 90,9%. Hasil lain yang didapatkan oleh posisi lain yang didapatkan oleh posisi lain yang didapatkan adalah posisi wajah yang tegak/tidak tegak menentukan keberhasilan deteksi wajah tersebut.
6 2.1 ITS (Intelligent Transport Sistem)
Menghadapi kemajuan teknologi dalam transportasi terdapat pilihan, yaitu memperbaiki teknologi yang ada sekarang atau pembangunan teknologi baru. Pembangunan teknologi baru membutuhkan tersedianya dana yang sangat besar (Adisasmita, 2011). Karena traffic light saat ini dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan perguliran waktu yang sesuai pada kebutuhan persimpangan jalan serta hal terkait selayaknya kemampuan nalar manusia maka solusi paling tepat yang ditawarkan yaitu penerapan artificial intelligence (AI) pada traffic light tersebut. (Suyanto, 2011) menyatakan bahwa AI berusaha membangun entitas-entitas cerdas yang sesuai dengan pemahaman manusia, dan entitas tersebut ternyata sangat menarik dan mempercepat proses pemahaman terhadap kecerdasan manusia. (R. Suyuti, 2012) menambahkan bahwa Teknologi ITS (Intelligent Transport Sistem) adalah salah satu cabang AI di bidang transportasi yang baru berkembang beberapa tahun terakhir untuk mengatasi kemacetan lalulintas di beberapa negara maju.
2.1.1 Ruang Lingkup ITS
Lingkup ITS dapat berbeda pada masing-masing negara tergantung kepada kebijakan yang dibuat. Menurut (S. Ezell,2010) Secara umum ITS mempunyai lingkup-lingkup sebagai berikut:
1. Advanced Traveller Information Sistem
Sistem ini secara prinsip adalah sistem informasi yang menjadi panduan kendaraan untuk mendapatkan route jalan yang optimal. Pada pengembangan selanjutnya sistem ini bahkan diharapkan mampu untuk membantu pengemudi mengontrol kendaraan agar sampai ditujuan dengan aman, nyaman dan lancar.
2. Advanced Traffic Management Sistem
Advanced Traffic Managent Sistem digunakan oleh pengelola jalan untuk memantau lalulintas dan memberikan informasi realtime kepada pengguna jalan. Tujuan sistem ini agar lalulintas dapat dioptimalkan pada seluruh route alternatif yang ada, sehingga kemacetan dapat dihindari atau dikurangi dengan memberikan saran kepada pemakai jalan. Sistem ini juga memberikan informasi adanya hambatan atau kecelakaan pada route yang akan ditempuh, sehingga pengemudi dapat memakai alternatif route lain.
3. Incident Management Sistem
Incident Management Sistem adalah sistem informasi yang digunakan untuk berbagai kejadian darurat, misalkan kecelakaan, longsor atau bencana lainnya. Berdasarkan hasil pemantauan sensor-sensor pada Traffic Management Sistem, pengelola jalan atau pihak yang berwenang dapat memperoleh informasi lebih awal. Informasi dapat berupa besarnya kecelakaan, fatalitas kecelakaan, jumlah ambulans yang diperlukan, tenaga medis yang harus dikirim, alat penolong yang harus didatangkan dan sebagainya.
4. Electronic Toll Collection Sistem
Persoalan klasik pada jalan tol adalah lama waktu yang diperlukan untuk transaksi pelanggan di gerbang tol. Electronic Toll Collection diterapkan untuk mempersingkat waktu transaksi di gerbang tol.
5. Assistance For Safe Driving
Assistance for Safe Driving adalah bentuk dari ITS yang sangat maju. Kendaraan dilengkapi dengan sejumlah sensor yang dapat mengarahkan pengemudi unuk berkendara dengan aman. Sensor tersebut dihubungkan dengan sebuah komputer yang terpasang pada kendaraan.
6. Support for Public Transportation
ITS jenis ini diterapkan pada moda transpotasi umum, misalnya: pesawat terbang, bus, kapal laut, ferri, monorail dan kereta api. Selain diterapkan pada wahana transportasi publik, sistem ini juga diterapkan pada prasarana transportasi publik seperti: stasiun kereta api, terminal bus, shelterbus, pelabuhan dan bandara.
Salah satu aplikasi dari teknologi ITS adalah Area Traffic Control Sistem (ATCS) (S. Ezell, 2010) yang digunakan sebagai sistem kendali lalulintas di persimpangan yang mengintegrasikan waktu siklus pada beberapa persimpangan di suatu wilayah perkotaan sehingga dapat menghasilkan delay yang minimum. Teknologi ATCS yang diterapkan pada lampu lalulintas dengan pengoperasian yang terdistribusi dianggap mampu menyelesaikan permasalahan penentuan waktu gulir lampu berdasarkan jumlah kendaraan dalam persimpangan. Sistem Pengaturan Lampu Lalulintas Terdistribusi adalah sebuah sistem pengaturan lampu lalulintas yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan kinerja pengaturan lampu lalulintas yang cerdas dan dapat bersifat adaptif terhadap kondisi lalulintas. Jenis traffic light yang dapat beroperasi dengan sistem terdistribusi tersebut dikenal sebagai AdaptiveTrafficLight (ATL) (D. Kurniawan dan Yuwaldi Away, 2006). Konsep dari ATL yaitu mendeteksi adanya kendaraan secara real time dan menghitung jumlah unit kendaraan dalam antrian pada suatu persimpangan, kemudian diintegrasikan dengan jumlah unit kendaraan di persimpangan lain sebagai variabel penentu agar diperoleh pembagian waktu gulir yang sesuai dengan kebutuhan tiap simpang.
2.2 Citra
2.2.1 Pengertian Citra
Citra adalah gambar dua dimensi hasil konversi dari gambar analog yang kontinu menjadi gambar diskrit melalui proses sampling dengan membagi gambar analog menjadi N baris dan M kolom sehingga menjadi gambar diskrit. Persilangan antara baris dan kolom tertentu disebut dengan pixel.
2.2.2 Jenis-Jenis Citra 1. Citra optik
Citra bersifat optik dapatanya disebut citra fotografik yang berbentuk foto. Citra bersifat optik ini secara teoritis merupakan citra kontinu (merekam data secara langsung dalam suatu bidang). Kontinu dalam pengertian nilai keabuan dinyatakan dengan presisi angka tak terhingga.
2. Citra analog
Analog berhubungan dengan hal yang kontinu dalam satu dimensi, contohnya adalah bunyi diwakili dalam bentuk analog, yaitu suatu getaran gelombang udara yang kontinu di mana kekuatannya diwakili sebagai jarak gelombang. Hampir semua kejadian alam boleh diwakili sebagai perwakilan analog seperti bunyi, cahaya, air, elektrik, angin dan sebagainya. Jadi citra analog adalah citra yang terdiri dari sinyal-sinyal frekuensi elektromagnetis yang belum dibedakan sehingga pada umumnya tidak dapat ditentukan ukurannya.
3. Citra digital
Citra digital adalah citra yang dinyatakan secara diskrit (tidak kontinu), baik untuk posisi koordinatnya maupun warnanya. Dengan demikian, citra digital dapat digambarkan sebagai suatu matriks, di mana indeks baris dan indeks kolom dari matriks menyatakan posisi suatu titik di dalam citra dan harga dari elemen matriks menyatakan warna citra pada titik tersebut. Dalam citra digital yang dinyatakan sebagai susunan matriks, elemen–elemen matriks tadi disebut juga dengan istilah pixel yang berasal dari kata pictureelement. Citra digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel f(x,y) dengan x dan y adalah koordinat spasial
sedangkan nilai f(x,y) adalah intensitas citra pada koordinat tersebut, hal itu diilustrasikan pada Gambar 2.2 berikut:
Gambar 2.2. Citra fungsi dua variable
Citra digital tersusun atas titik-titik yang dapat berbentuk persegi panjang dan secara beraturan membentuk baris-baris dan kolom-kolom. Setiap titik memiliki koordinat dan dapat dinyatakan dalam bilangan bulat positif, yaitu 0 atau 1 bergantung pada sistem yang digunakan. Format nilai pixel sama dengan format citra keseluruhan. Pada kebanyakan sistem pencitraan, nilai ini dapat berupa bilangan bulat positif. Format citra digital yang banyak digunakan, yaitu:
1. Citra biner (Monokrom) Citra monokrom atau citra hitam-putih merupakan citra di mana f(x,y) merupakan fungsi tingkat keabuan dari hitam ke putih.
2. Citra skala keabuan (Grayscale). Citra grayscale dikatakan format citra skala keabuan karena pada umumnya warna yang dipakai adalah warna hitam sebagai warna minimum dan warna putih sebagai warna maksimumnya, sehingga warna antara keduanya adalah abu-abu.
3. Citra berwarna, dimana citra warna terdiri atas 3 layer matriks, yaitu R-layer, G-R-layer, B-layer. sistem warna RGB (Red Green Blue) menggunakan sistem tampilan grafik kualitas tinggi (High quality raster graphic) yaitu mode 24 bit. setiap komponen warna merah, hijau, biru
y
y1 f(y1,x1)
x
x1
masing-masing mendapatkan alokasi 8 bit untuk menampilkan warna. Pada sistem warna RGB, setiap pixel akan dinyatakan dalam 3 parameter dan bukan nomor warna. Setiap warna mempunyai range nilai 00 (angka desimalnya adalah 0) dan f (angka desimalnya 255) atau mempunyai nilai derajat keabuan 256 = 2 . Dengan demikian, range warna yang digunakan adalah (2 )(2 )(2 ) = 2 (atau dikenal dengan istilah True color pada Windows). Nilai warna yang digunakan merupakan gabungan warna cahaya merah, hijau dan biru.
2.2.3 Penyelarasan Citra
Pada proses pendeteksian objek, citra objek yang didapatkan masih berupa perkiraan kasar atau masih memiliki kualitas yang cukup buruk seperti ukuran yang berbeda dengan ukuran normal, faktor pencahayaan yang kurang atau lebih, kejelasan citra yang buruk dan sebagainya. Maka perlu diadakan proses penyelarasan. Proses penyelarasan wajah merupakan proses yang bertujuan untuk menormalisasi wajah dari citra objek yang didapatkan dari proses pendeteksian objek. Proses ini terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Grayscaling (tahap konversi warna menjadi warna abu)
Grayscaling citra merupakan tahapan pertama dari proses penyelarasan, pada tahap ini terjadi pengkonversian citra warna RGB menjadi citra berwarna abu. Citra warna RGB terdiri dari 3 parameter warna yaitu merah (red), hijau (green) dan biru (blue), jika citra warna RGB ini dimasukkan ke dalam proses ekstraksi, maka proses tersebut akan sulit untuk dilakukan karena citra RGB terdiri dari 3 parameter. Oleh karena itu diperlukan penyamaan parameter yaitu dengan melakukan tahap grayscaling ini. Berikut ini adalah persamaan tahap grayscaling citra :
x = 0.299R + 0.587G + 0.114B (2.1)
Dimana, nilai citra RGB adalah (R, G, B) dengan nilai integer diantara 0 sampai 255, dan x adalah nilai grayscale.
2. Cropping (tahap pemisahan citra objek dengan latar belakangnya)
Pada tahapan ini terjadi pemotongan citra yang memisahkan citra objek dengan citra masukannya, tujuannya untuk mengambil citra yang hanya diperlukan untuk proses ekstraksi, dalam hal ini adalah citra objek dan membuang citra lain yang tidak diperlukan. Dimensi citra yang dipotong disesuaikan dengan dimensi dari proses segmentasi atau pengkotakan objek yang dilakukan pada proses pendeteksian objek.
3. Resizing (tahap normalisasi dimensi citra)
Pada tahap resizing citra, terjadi proses normalisasi dimensi citra objek, yaitu proses pembesaran atau pengecilan dimensi citra objek menjadi dimensi yang telah ditentukan. Tujuannya, untuk menyamakan dimensi objek dari tiap citra yang dimasukkan, sehingga pada proses ekstraksi citra nanti tidak ada perbedaaan dimensi dari matriks data citra objek.
4. Equalizing (tahap koreksi tingkat kecerahan citra)
Tahap ini adalah tahapan terakhir dari proses penyelarasan, yang tujuannya untuk memperjelas tahapan-tahapan sebelumnya.
2.2.4 Objek Dalam Citra
Mengenali suatu objek dalam citra dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi pola objek tersebut. Secara umum, pengertian pola (pattern), atau dikenal dengan istilah ciri/fitur, adalah komposit, gabungan atau himpunan dari fitur yang merupakan sifat dari suatu objek. Ciri/ fitur adalah segala jenis aspek pembeda atau cirri-ciri yang membedakan. Ciri inilah yang digunakan dalam melakukan identifikasi terhadap objek yang dikenali. Oleh karena itu pemilihan fitur sangat menentukan keberhasilan dalam pengenalan pola. Ukuran fitur diperoleh dari hasil ekstraksi fitur pada objek. Ukuran fitur berwujud simbolik (misalnya warna) atau numeric (misalnya tinggi). Fitur yang bagus adalah fitur yang memiliki daya pembeda yang tinggi, sehingga pengenalan/ pengelompokan pola berdasarkan fitur yang dapat dilakukan dengan keakuratan yang tinggi (Putra, 2010).
2.3 Metode V iola – Jones
Proses deteksi adanya citra objek dalam sebuah gambar dapat dilakukan dalam OpenCV (Open Computer Vision) yang diintegrasikan dengan software pemrograman. Salah satu metode pendeteksi objek yang umum saat ini yaitu menggunakan sebuah metode yang dipublikasikan oleh Paul Viola dan Michael Jones tahun 2001. Umumnya disebut metode Viola-Jones. Pendekatan untuk mendeteksi objek dalam gambar menggabungkan empat konsep utama :
1. Fitur segi empat sederhana yang disebut fitur Haar. 2. Integral gambar untuk pendeteksian fitur secara cepat. 3. Metode machine learning adabost.
4. Pengklasifikasi bertingkat (cascade classifier) untuk menghubungkan banyak fitur secara efisien.
Salah satu penelitian tentang pendeteksi objek dengan menggunakan konsep yang sama dilakukan oleh RD. Kusumanto, Wahyu S. Pambudi, dan Alan N. Tompunu (2012). Penelitian tersebut diterapkan pada deteksi wajah dengan hasil citra statis error sebesar 28% terjadi pada saat gambar berisi 7 orang dengan jumlah wajah terdeteksi sebanyak 9 wajah.
2.3.1 Kelebihan dan kekurangan Metode Viola-Jones
Metode ini memiliki kelebihan yaitu komputasinya sangat cepat, karena hanya bergantung pada jumlah pixel dalam persegi bukan setiap nilai pixel dari sebuah image. Dibandingkan dengan algoritma lain algoritma Viola-Jones ini memiliki proses yang lebih cepat dan memiliki keakurasian hingga 90% dalam melakukan proses pendeteksian objek.
2.3.2 Tahapan Metode Viola-Jones 2.3.2.1 Fitur
Untuk pemilihan fitur menggunakan metode machine learning yang disebut Adabost. Adabost menggabungkan banyak classifier lemah untuk membuat sebuah classifier kuat. Lemah berarti urutan filter pada classifier hanya mendapatkan jawaban benar lebih sedikit. Jika keseluruhan classifier lemah
digabungkan maka akan menjadi classifier yang lebih kuat. Adabost memilih sejumlah classifier lemah untuk disatukan dan menambahkan bobot pada setiap classifier, sehingga akan menjadi classifier yang kuat. Viola-Jones menggabungkan beberapa Adabost classifier sebagai rangkaian filter yang cukup efisien untuk menggolongkan daerah gambar. Masing-masing filter adalah satu Adabost classifier terpisah yang terdiri classifier lemah atau satu filter fitur. (Bondan dkk, 2012). Hasil pemilihan fitur tersebut digunakan untuk menentukan nilai dari threshold yang akan dilakukan. Pada awalnya, pemrosesan gambar hanya memproses nilai RGB (Red Green Blue) dari setiap pixel yang dimiliki oleh gambar tersebut. Namun, lama kelamaan hal ini membuat proses tersebut kurang efisien karena menggunakan resource yang besar sedangkan hasil yang didapat kecil. Setelah itu pemrosesan gambar mengalami sebuah perkembangan, terinspirasi dari Haar wavelets, Viola dan Jones mengembangkan proses pengolahan gambar baru, kemudian terciptalah Haar-Like feature. Adanya fitur Haar ditentukan dengan cara mengurangi rata-rata pixel pada daerah gelap dari rata-rata pixel pada daerah terang. Jika nilai perbedaannya itu di atas nilai ambang atau threshold, maka dapat dikatakan bahwa fitur tersebut ada.
Nilai Haar Like Feature diperoleh dari selisih jumlah nilai pixel daerah gelap dengan jumlah nilai pixel daerah terang (Santoso dan Harjoko 2013)
F Harr = |Total pixel hitam - Total pixel putih| (2.2)
F Harr = Nilai fitur total
Pixel putih = Nilai fitur pada daerah terang Pixel hitam = Nilai fitur pada daerah gelap
Metode Viola-jones menggunakan data latih dari citra-citra yang kurang tajam sebagai bagian dari proses pengklasifikasian citra. Klasifikasi citra dilakukan berdasarkan nilai dari sebuah fitur. Penggunaan fitur dilakukan karena
pemrosesan fitur berlangsung lebih cepat dibandingkan pemrosesan citra per pixel.
Terdapat tiga jenis fitur berdasarkan jumlah persegi panjang yang terdapat di dalamnya. Fitur-fitur inilah yang biasa disebut sebagai Haar-like features (Mulyawati dan Bahar , 2014).
Gambar 2.3. H aar-like features (Mulyawati dan Bahar, 2014)
1. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa fitur a dan b mempunyai dua persegi panjang. Fitur yang memiliki dua persegi panjang merupakan perbedaan antara jumlah pixel dalam dua daerah persegi panjang. Daerah persegi panjang memiliki ukuran dan bentuk yang sama dan posisi horizontal atau vertikal yang saling berdekatan.
2. Fitur yang memiliki tiga persegi panjang adalah jumlah dari dua persegi panjang luar dikurangi dengan jumlah dari persegi panjang pusat.
3. Fitur yang memiliki empat persegi panjang adalah nilai dari perbedaan antara pasangan diagonal dari persegi panjang
2.3.2.2 Integral Image
Untuk menentukan ada atau tidaknya dari ratusan fitur Haar pada sebuah gambar dan pada skala yang berbeda secara efisien, Viola dan Jones menggunakan satu teknik yang disebut Integral Gambar. Pada umumnya, pengintegrasian tersebut berarti menambahkan unit-unit kecil secara bersamaan. Dalam hal ini unit-unit kecil tersebut adalah nilai-nilai pixel. Nilai integral untuk masing-masing pixel adalah jumlah dari semua pixel-pixel dari atas sampai bawah. Dimulai dari kiri atas sampai kanan bawah, keseluruhan gambar itu dapat
dijumlahkan dengan beberapa operasi bilangan bulat per pixel. Setelah pengintegrasian, nilai pada lokasi pixel (x,y) berisi jumlah dari semua pixel di dalam daerah segiempat dari kiri atas sampai pada lokasi (x,y) atau daerah yang diarsir.
Gambar 2.4. Perhitungan nilai pixel region dengan integral gambar (RD. Kusumanto, 2012)
Untuk menentukan nilai rata-rata pixel pada area segiempat (daerah yang diarsir) ini dapat dilakukan hanya dengan membagi nilai pada (x,y) oleh area segiempat. Untuk mengetahui nilai pixel untuk beberapa segiempat yang lain misal, seperti segiempat D pada gambar di atas dapat dilakukan dengan cara menggabungkan jumlah pixel pada area segiempat A+B+C+D, dikurangi jumlah dalam segiempat A+B dan A+C, ditambah jumlah pixel di dalam A. Dengan, A+B+C+D adalah nilai dari integral gambar pada lokasi 4, A+B adalah nilai pada lokasi 2, A+C adalah nilai pada lokasi 3, dan A pada lokasi 1. Sehingga hasil dari D dapat dikomputasikan :
= ( + + + ) − ( + ) − ( + ) + (2.3)
Keterangan :
A,B,C,D = Nilai pixel pada area segiempat
Untuk memudahkan proses perhitungan nilai dari setiap fitur Haar pada setiap lokasi gambar digunakan teknik yang disebut citra integral. Secara umum integral mempunyai makna menambahkan bobot, bobot merupakan
nilai-nilai pixel yang akan ditambahkan ke dalam gambar asli.
Nilai integral dari setiap pixel merupakan jumlah dari semua pixel sebelah atasnya dan di sebelah kirinya. Keseluruhan gambar dapat diintegrasikan dengan operasi bilangan bulat per pixel.
Gambar 2.5. Contoh Citra Integral
Dengan mendapatkan nilai dari citra integral maka jumlah dari seluruh pixel yang ada dalam setiap persegi panjang dapat dihitung dengan empat nilai. Nilai-nilai ini merupakan pixel pada citra integral yang bertepatan dengan sudut-sudut persegi panjang yang ada pada citra masukkan.
Gambar 2.6. Jumlah dari seluruh pixel yang ada pada setiap persegi panjang
Untuk memilih fitur Haar yang khusus untuk digunakan dalam proses pendeteksian objek dan untuk menetapkan ambang batas maka digunakan teknik pembelajaran yang disebut sebagai algoritma AdaBoost (Mulyawati dan Bahar, 2014).
2.3.2.3 Ababoost learning
Untuk memilih fitur Haar yang spesifik yang akan digunakan dan untuk mengatur nilai ambangnya (threshold), Viola dan Jones menggunakan sebuah metode machine learning yang disebut Adabost. Adabost menggabungkan banyak
classifier lemah untuk membuat sebuah classifier kuat. Lemah disini berarti urutan filter pada classifier hanya mendapatkan jawaban benar lebih sedikit.
Nilai ambang batas pada setiap filter diatur setiap saat proses filter terjadi, sehingga nilai dari ambang batas bersifat dinamis. Filter pada setiap tingkat telah dilatih untuk mengklasifikasi citra yang telah melalui tahap sebelumnya. Saat proses pengklasifikasian, jika salah satu filter gagal terlewati maka citra dapat dikatakan sebagai daerah yang bukan objek misalnya mobil. Jika citra belum cukup untuk dikatakan sebagai strong classifier maka proses diulang sampai bobot terpenuhi dengan menaikkan nilai dari ambang batas. Ketika citra dapat melewati setiap filter yang ada di dalam rantai, maka dapat dikatakan daerah tersebut merupakan objek mobil.
Jika keseluruhan classifier lemah digabungkan maka akan menjadi classifier yang lebih kuat. Adabost memilih sejumlah classifier lemah untuk disatukan dan