• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Sosiologis

Dalam dokumen RUU NaskahAkademikTentangPertanahan 2013 (Halaman 55-58)

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTANAHAN

B. Landasan Sosiologis

Setelah 53 tahun berlakunya UUPA ternyata masih banyak persoalan di bidang pertanahan yang belum terselesaikan baik persoalan lama yang sudah ada sebelumnya maupun persoalan baru. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan di bidang pertanahan yang prinsip-prinsip dan pokok-pokoknya terdapat di dalam UUPA perlu dilakukan penguatan melalui pengaturan baru. Di samping itu, di luar UUPA baik sebagai peraturan pelaksanaan UUPA maupun tidak juga telah mengatur tentang pertanahan yang belum tentu mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya, banyak terjadi penyimpangan terkait dengan pemilikan dan penguasaan tanah baik disadari maupun tidak disadari oleh masyarakat sehingga berdampak terhadap penegakan hukum pertanahan secara keseluruhan di Indonesia.

Persoalan hukum yang menonjol di bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat selama ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah

Terlepas dari tarik ulur berbagai kepentingan yang terdapat di belakang setiap kebijakan pemerintah di bidang pertanahan, fakta empiris menunjukkan bahwa semakin hari semakin nyata terjadi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Sebagian kecil orang baik secara perorangan maupun perusahaan memiliki dan menguasai sebagian besar luas bidang tanah yang tersedia. Akibatnya, cita-cita UUPA bahwa setiap tanah pertanian dikerjakan sendiri oleh pemiliknya semakin menjauh dari kenyataan. Para petani terpaksa beralih profesi menjadi buruh tani atau buruh kebun di atas tanah orang lain atau perusahaan. Kenyataan ini bertolak belakang dengan kondisi perkembangan penduduk di Indonesia. Seyogyanya semakin banyak jumlah penduduk tentu semakin dibatasi luas tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh perorangan atau perusahaan.

Pembatasan pemilikan tanah yang ditegaskan oleh UUPA tampaknya tidak efektif mengurangi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Khususnya untuk tanah pertanian ketimpangan ini lebih nyata lagi. UU No. 56/Prp/Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai UU yang

sejalan dengan UUPA untuk mendorong pelaksanaan program

land reform, tidak berdaya mengatasi persoalan ini. Apalagi

pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah menurut UU ini tidak berlaku untuk tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah, dan yang dikuasai oleh badan-badan hukum (Pasal 1 ayat (4) UU No. 56/Prp/1960).

2. Pelanggaran oleh pemegang hak atas tanah

Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian diperparah dengan terjadinya pelanggaran dari pemegang hak atas tanah misalnya penghilangan tanda batas tanah hak guna usaha (HGU). Penghilangan tanda batas tanah ini biasanya diiringi dengan pelanggaran selanjutnya yaitu menguasai tanah melebihi dari luas yang diberikan oleh negara sesuai sertipikat hak tanahnya. Modus ini dimaksudkan sebagai kiat untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar lagi dari tanah pertanian yang dikuasainya. Jika HGU-nya berbatasan dengan tanah negara maka tindakan pelanggaran tersebut cenderung tidak dipersoalkan, karena memang pengawasan dari negara terhadap HGU tidak efektif. Namun, jika HGU-nya berbatasan dengan tanah milik atau tanah ulayat masyarakat hukum adat, tindakan ini sering menimbulkan sengketa dengan masyarakat.

Pelanggaran lainnya yang juga menonjol adalah pemanfaatan daerah pantai oleh pemilik tanah yang berbatasan dengan pantai sehingga menutup akses publik ke dan dari laut; penutupan akses pemilik tanah oleh perusahaan pengambang sehingga mereka terisolasi; penyewaan tanah hak pakai pemerintah oleh BUMN kepada rakyat; dan sebagainya.

3. Alih fungsi tanah dari lahan pertanian menjadi non pertanian Sebagai akibat dari lemahnya pengawasan terhadap pemegang hak atas salah satunya adalah terjadinya alih fungsi tanah dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Pilihan alih fungsi tanah lahan pertanian kepada non pertanian, sebetulnya merupakan pilihan yang logis dari masyarakat. Hasil yang diperoleh oleh pemegang hak atas tanah dari kegiatan pertanian pada umumnya tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan. Oleh kerana itu, pilihan alih fungsi tanah ke non pertanian seperti rumah tinggal sewa, rumah toko (ruko), bengkel, dan lain-lain merupakan langkah yang tepat untuk meningkatkan hasil pemanfaatan tanah. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus maka ancaman defisit pangan semakin besar bagi bangsa Indonesia. Hukum pertanahan diharapkan bisa mendorong semangat warga untuk aktif mengolah tanah pertaniannya terutama untuk pertanian tanaman pangan. Profesi sebagai petani hendaknya dapat dibanggakan oleh rakyat Indonesia, karena itu petani harus dijamin untuk mempunyai penghasilan memadai untuk hidup layak.

4. Pemanfaatan tanah ulayat

Pemanfaatan tanah ulayat untuk pembangunan oleh pihak ketiga dan pemerintah sudah merupakan kelaziman sejak zaman kolonial sampai sekarang. Namun, persoalan-persoalan yang terkait dengan pemanfaatan tanah ulayat ini tidak pernah surut, bahkan cenderung meningkat. Tidak jarang pula persoalan tersebut berujung dengan sengketa besar yang tidak mudah untuk diselesaikan. Pengaturan tanah ulayat di dalam UUPA dan di luar UUPA tampaknya belum mampu memecahkan seluk beluk persoalan pemanfaatan tanah ulayat. Belum lagi dikaitkan dengan penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang terdapat di dalam wilayah persekutuan masyarakat hukum adat. Untuk itu perlu ada undang-undang di bidang pertanahan yang menyinkronkan kegiatan-kegiatan dari seluruh sektor terkait tanah dalam hubungannya dengan tanah ulayat.

5. Penguasaan tanah negara sebagai aset publik: tertib administrasi pertanahan di kalangan pemerintah dan pemerintah daerah

Sejak asas pernyataan domein dari kolonial dicabut oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan dipertegas lagi oleh UUPA, maka kedudukan negara sebagai pemilik tanah sudah tidak berlaku lagi. Ketentuan ini berdampak terhadap tanah-tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah termasuk pemerintah daerah sebagai aset publik atau barang milik negara. Pemerintah tidak bisa lagi berkedudukan sebagai pemilik tanah. Oleh karena itu, tanah- tanah yang dikuasai pemerintah berubah status dari tanah yang bisa diperdagangkan (res commercium) menjadi tanah non pedagangan (res exra commersium). Negara tidak bisa menjual atau menyewakan tanah kepada orang lain, tetapi negara bisa memberikan hak atau mengizinkan orang lain memanfaatkan tanah.

Walaupun tanah sebagai barang milik negara merupakan res exra commercium namun demi kepastian hukum atasnya maka tanah-tanah tersebut juga wajib didaftarkan oleh instansi pemerintah sebagai pengguna. Dengan demikian tertib administrasi pertanahan atas tanah-tanah tersebut juga dapat diwujudkan. Selain itu, hal ini juga menjadi penting dalam memberikan contoh kepada masyarakat untuk mendaftarkan seluruh bidang-bidang tanah di Indonesia.

Fakta empiris menunjukkan bahwa sebagian besar tanah- tanah yang dikuasai instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah ternyata belum terdaftar. Akibatnya, banyak tanah-tanah yang berstatus sebagai barang milik negara yang belum terdata dan tertata dengan baik. Oleh karena itu, proses pendaftaran tanah aset publik ini harus difasilitasi oleh negara. Instansi pemerintah yang bertugas di bidang adminisrasi pertanahan harus mendukung jalannya pendaftaran tanah barang milik negara. Persyaratan untuk pendaftaran tanah terhadap tanah- tanah negara tersebut harus dibedakan dengan pendaftaran

tanah komersial yang dimiliki oleh orang dan badan hukum perdata.

6. Sengketa tanah

Berbagai konflik kepentingan di bidang pertanahan telah melahirkan sengketa tanah yang semakin hari semakin meningkat baik jumlah maupun kualitasnya. Peradilan negara terus berupaya memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan sengketa tanah di seluruh Indonesia, tetapi upaya tersebut tidak menunjukkan hasil yang mengembirakan. Jumlah perkara yang berasal dari sengketa tanah terus meningkat sehingga terjadi tunggakan perkara. Beberapa perkara di antaranya memang sudah berhasil diputus oleh pengadilan negara, tetapi putusan tersebut justru cenderung menimbulkan sengketa baru karena eksekusinya tidak bisa dijalankan dengan baik. Jadi, walaupun pengadilan telah berhasil memutus perkara tanah, namun putusan tersebut belum mampu menyelesaikan sengketa tanah. Untuk itu, hukum pertanahan perlu memberikan jalan keluar bagi kesulitan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa tanah.

Sejalan dengan itu, fakta empiris juga menunjukkan bahwa proses penyelesian sengketa tanah di luar pengadilan terutama di kalangan masyarakat hukum adat terus berlangsung. Kondisinya memang bervariasi. Ada yang penyelenggaraannya sangat aktif seperti di Sumatera Barat, tetapi banyak juga yang sudah mulai mundur. Persoalan yang menyebabkan mundurnya penyelenggaraan penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan adalah kurangnya dukungan peradilan negara (Mahkamah Agung) terhadapnya. Mahkamah Agung malah membuat terobosan dengan memaksakan atau mewajibkan mediasi di pengadilan berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008, dan ironisnya tidak mengakui hasil mediasi di luar pengadilan. Akibatnya, ketentuan ini malah semakin menambah jumlah perkara tanah di pengadilan, dan membuat waktu penyelesaian perkara bertambah lama.

Dalam dokumen RUU NaskahAkademikTentangPertanahan 2013 (Halaman 55-58)