• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip-Prinsip hak atas tanah.

Dalam dokumen RUU NaskahAkademikTentangPertanahan 2013 (Halaman 81-85)

TENTANG PERTANAHAN

B. Materi Muatan

5. Prinsip-Prinsip hak atas tanah.

a. Keanekaragaman dalam kesatuan hukum

Selama ini, hukum agraria nasional dibentuk secara sentralistik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya diberi kewenangan untuk melaksanakannya. Sesuai dengan Pasal 5 UUPA, sumber hukum yang digunakan sebagai acuan dan dasar adalah hukum adat. Hal ini berarti bahwa asas- asas hukum, norma, dan lembaga hukum adat yang sudah diseleksi dan dihilangkan dari unsurnya yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan kepentingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dijadikan dasar pembentukan hukum tanah nasional. Penggunaan unsur-unsur hukum adat sebagai dasar lebih dititikberatkan pada kesamaan- kesamaan yang ada dalam hukum adat secara garis besar dengan tidak memperbesar perbedaan-perbedaan di antaranya. Hukum adat yang dimaksud adalah norma-norma, baik tidak tertulis maupun tertulis, yang mengatur hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah di lingkungan wilayah hukum adatnya. Hukum adat yang masih berlangsung tersebut ditaati oleh masyarakatnya dan mempunyai sanksi.

Karena sentralisasi pembangunan hukum agraria lebih mewarnai, maka penggalian terhadap norma, asas-asas dan lembaga hukum adat sebagai dasarnya tidak banyak dilakukan. Sebagai akibatnya, maka sebagian substansi hukum agraria yang dibentuk semakin jauh dari kondisi sosial masyarakat yang diaturnya.

Penetapan hukum adat sebagai dasar disamping untuk mewujudkan kesederhanaan hukum dalam masyarakat yang plural hal itu merupakan penghargaan dan perhatian terhadap perbedaan sosial dan norma yang ada serta perubahan sosial yang cenderung berbeda antara berbagai kelompok masyarakat.

Dalam kenyataannya, selama ini yang terjadi adalah dominasi kepentingan negara dalam menyusun peraturan perundang- undangan dan terabaikannya kepentingan masyarakat hukum adat yang secara sosiologis masih berlangsung, dan berlangsungnya konflik sosial yang bersumber dari

permasalahan agraria. Kondisi ini diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesiasebagai dasar untuk mengembangkan prinsip baru yaitu menghargai keanekaragaman dalam kerangka kesatuan hukum (pluralisme dalam unifikasi hukum)76.

Dengan prinsip ini dimaksudkan agar norma-norma, prinsip- prinsip dan lembaga-lembaga yang ada dan berlaku di masing-masing daerah atau masyarakat hukum adat berkenaan dengan penguasaan dan pengelolaan tanah diakui dan diberi peluang uintuk dikembangkan serta digunakan sebagai bagian dari hukum positif. Namun demikian, sebagai konsekuensi dari negara kesatuan, pengakuan, pengembangan dan penggunaannya harus didasarkan pada kebijakan umum di bidang pertanahan yang dibentuk oleh Pemerintah yang dituangkan dalam UU dan PP. Penjabarannya dalam ketentuan lebih operasional diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dalam penjabarannya inilah, Pemerintah Daerah harus memperhatikan dan mengakomodasi kondisi sosial dan norma-norma pengelolaan pertanahan yang dihayati oleh masyarakat. Demikian pula dibuka kemungkinan untuk menyerahkan kewenangan mengatur pemanfaatan tanah kepada pemerintahan desa atau masyarakat-masyarakat hukum adat. Keberagaman pengaturan pertanahan diakui dan dilindungi oleh undang- undang nasional pertanahan sepanjang hal tersebut tidak melanggar hak asasi pihak lain dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam undang-undang77

b. Asas pemisahan horisontal

Pemilikan atas tanah, tidak serta merta diikuti dengan pemilikan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang berada di atas maupun di bawahnya. Namun demikian, sesuai degan kenyataan dan perkembangan kebutuhan masyarakat, asas ini juga membuka kemungkinan bahwa kepemilikan atas tanah dan bangunan, tanam-tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah di atas atau di bawahnya menjadi satu dengan syarat bila secara fisik tanah dengan bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu merupakan kesatuan dan dimiliki oleh subyek hak yang sama.

c. Penentuan batas penguasaan tanah.

Dalam rangka menjamin keadilan dalam akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah, Pemerintah perlu menentukan batas minimum dan batas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah. Penentuan batas minimum

76 Terkait dengan pluralisme hukum dapat dibaca Kurnia Warman, Hukum Agraria

Dalam Masyarakat Majemuk, Huma-van Vollenhoven Institute-KITLV, Jakarta,

2010.

77 Maria Sumardjono,UU Agraria: Menyelesaikan Pekerjaan Rumah, dalam Endang

didasarkan pada ketentuan kehidupan yang layak, sedangkan penentuan batas maksimum didasarkan pada ketersediaan kawasan budi daya di setiap Kabupaten/Kota.

d. Fungsi sosial dan ekologi hak atas tanah

Penguasaan tanah yang semata-mata hanya untuk kepentingan individu itu melanggar asas fungsi sosial. Melalui fungsi sosial,kewenangan yang ditimbulkan oleh suatu hak atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi relatif. Tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atas tanahnya dan tidak boleh tidak digunakan terlebih apabila hal tersebut merugikan kepentingan pihak lain atau masyarakat. Dalam pengertian fungsi sosial, harus diupayakan adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Implikasi dari prinsip fungsi sosial adalah sebagai berikut:

(1) Tanah tidak boleh ditelantarkan

Penelantaran tanah merupakan tindakan membiarkan atau tidak menggunakan tanah sesuai dengan sifat atau tujuan pemberian hak tanahnya. Penelantaran mungkin tidak mendatangkan kerugian apapun bagi pemegang hak karena yang bersangkutan mungkin kurang memerlukan keberadaan tanah itu bagi dirinya atau memang tidak mempunyai keinginan untuk segera menggunakannya. Namun demikian penelantaran jelas akan mendatangkan kerugian bagi masyarakat berupa: a) semakin langkanya akses terhadap tanah sebagai sumberdaya yang langka bagi anggota masyarakat yang benar-benar memerlukannya sementara mereka yang mempunyainya tidak memanfaatkannya secara optimal; b) mengurangi jumlah produk atau hasil dari tanah yang merupakan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu penelantaran tanah harus dinyatakan bertentangan dengan fungsi sosial dan untuk itu negara harus diberi kewenangan membatalkan hak atas tanah untuk kemudian dapat diberikan kepada pihak lain yang sungguh-sungguh memerlukan dan mempunyai kemampuan untuk mengusahakannya.

Konsekuensi larangan penelantaran tanah secara à

contrariomemberikan kewajiban kepada pemegang hak

atas tanah untuk menggunakan atau mengusahakannya secara intensif sesuai dengan kewajiban yang telah ditetapkan. Intensitas penggunaan atau pemanfaatan itu akan memperkuat hubungan hukum antara subyek hak dengan hak atas tanah yang diberikan. Hubungan hukum yang kuat itu menjadi dasar bagi keberlangsungan atau dipertahankannya hak tersebut. Sebaliknya, ketidak- intensifan penggunaan atau pengusahaan tanah berakibat melemahnya, bahkan dapat mengarah pada hapusnya hubungan hukum tersebut.

(2) Tanah tidak boleh dijadikan komoditas

Tanah merupakan sumberdaya yang langka dan terbatas secara kuantitatif dan kualitatif. Di satu pihak, keberadaannya sangat diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan setiap orang dan di pihak lain terdapat kelompok masyarakat tertentu yang menjadikannya sebagai komoditas.

Tindakan tersebut hanya memberikan keuntungan kepada pemiliknya yang tidak peduli terhadap kerugian yang dapat dialami oleh kelompok masyarakat yang lain. Menjadikan tanah sebagai komoditas dapat mendorog terjadinya penguasaan sumberdaya agraria yang bersifat spekulatif.

Penggunaan tanah yang berorientasi hanya pada kepentingan pemiliknya akan dan telah menyebabkan terjadinya kenaikan harga tanah yang tidak terkendali. Bagi masyarakat lapisan atas kenaikan harga tanah tidak berdampak negatif, namun bagi masyarakat lapisan menengah-bawah kenaikan harga tanah secara terus- menerus itu mempunyai dampak negatif karena ketidakmampuan untuk membeli dan mempunyai tanah yang harganya terus meningkat. Maka terjadilah kesenjangan yang berarti semakin sulitnya mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Fungsi ekologis sumberdaya agraria menggariskan keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya agraria dengan daya dukung lingkungannya agar terjaga keberlanjutannya untuk berbagai kegiatan dan utuk kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang78. Dalam kaitan ini eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya agraria dengan tujuan pemenuhan kebutuhan jangka pendek yang sudah jelas dampak negatifnya, tidak dapat ditenggang lagi.

e. Penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Agar kepentingan yang beragam terhadap penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat berlangsung secara tertib, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah dilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang sudah ditetapkan, yang kemudian dijabarkan dalam pengaturan yang lebih rinci oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sebagai pelaksanaan asas-asas pemerintahan yang baik, maka penyusunan rencana tersebut harus melibatkan peran serta masyarakat. Dalam kaitannya dengan pemberian hak atas tanah, perlu diperhatikan juga prinsip untuk tidak boleh mengabaikan akses publik terhadap tanah yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal itu, maka berlaku larangan bagi negara untuk memberikan hak atas tanah jika tanah tersebut itu sangat penting untuk akses dan kepentingan masyarakat/publik. Sebaliknya, negara sebagai pengemban

78 Ibid.

(“trustee) kepentingan publik, mempunyai kewajiban untuk menguasai dan mengelola tanah tersebut semata-mata untuk kemanfaatan publik. Termasuk dalam kriteria ruang publik yang tidak boleh diberikan dengan hak atas tanah antara lain pantai, sungai, taman kota, pedestrian, tempat penggembalaan ternak dan danau.

Di samping peruntukannya bagi ruang publik, bidang tanah yang berdasarkan Rencana Tata Ruang ditetapkan sebagai situs purbakala, cagar alam, dan konservasi tidak dapat diberikan dengan sesuatu hak atas tanah. Demikian juga terhadap bidang tanah yang secara topografis dan geologis dapat membahayakan kehidupan manusia, flora dan fauna yang dilindungi maupun lingkungan setempat, tidak dapat diberikan sesuatu hak tanah.

Mengingat pola penggunaan tanah yang semakin timpang karena alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian dan ketidakseimbangan pola penggunaan tanah antar wilayah dengan berbagai dampak negatifnya yang telah berlangsung selama ini, maka rencana umum penggunaan tanah harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut: (1) melindungi tanah- tanah pertanian; (2) meningkatkan rasio penggunaan tanah; (3) menyediakan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan di berbagai wilayah; (4) melindungi dan memajukan lingkungan ekologis dan menjamin keberlanjutan penggunaan tanah79.

Dalam dokumen RUU NaskahAkademikTentangPertanahan 2013 (Halaman 81-85)