• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

D. Faktor Tenaga Kerja

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Wilayah Pesisir Pantai

Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat – sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Supriharyono, 2007)

Wilayah pesisir merupakan sumberdaya potensial di Indonesia, suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17,508, pulau panjang pantai kurang lebih 81,000 Km sehingga memiliki wilayah pesisir terluas kedua didunia setelah Canada. Dengan garis pantai, Indonesia menyimpan potensi pembangunan yang besar yang didukung dengan adanya ekosistem dengan produktivitas hayati seperti terumbu karang, hutan mangrove, estuari, dan padang lamun (Sidik. et al, 2002).

2.2.2. Ketidakberdayaan Teknologi dan Ekonomi Nelayan

Ketergantungan nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi karena kondisi sumberdaya perikanan yang mudah berpindah – pindah dari satu

tempat ketempat lain, disisi lain, untuk menangkap ikan nelayan perlu sarana bantu untuk dapat bertahan lama hidup diatas air. Umumnya para nelayan mengalami keterbatasan dalam teknologi penangkapan. Dengan alat tangkap yang sederhana, menyebabkan :

1. Wilayah operasi menjadi terbatas hanya disekitar perairan pantai.

2. Ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga nelayan tidak setiap saat bisa turun melaut, terutama pada musim ombak, yang berlangsung lebih dari satu bulan yang mengakibatkan hasil tangkapan menjadi terbatas.

3. Alat tangkap sederhana (teknologi penangkapan yang rendah) yang dimiliki oleh nelayan mengakibatkan jumlah tangkapan rendah. Kondisi ini merugikan nelayan karena pendapatan yang diperoleh nelayan rendah.

4. Sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan, cenderung kurang menguntungkan nelayan buruh (Mulyadi, 2005)

Pada umumnya ilmu ekonomi (ekonomika) diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang bagaimana tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun masyarakat berusaha memenuhi kebutuhan dari berbagai alat pemuas kubutuhan atau sumberdaya yang terbatas adanya. Alat pemuas kebutuhan ini disebut sebagai sumberdaya, dapat berupa barang konsumsi maupun barang produksi (Suparmoko, 1997)

Pada dasarnya prisip – prinsip dalam ekonomika sumberdaya alam tidaklah terlalu khusus dan menggunakan prinsip – prinsip analisis pada umumnya. Barang – barang sumberdaya alam tidaklah bebas adanya sehingga untuk memperolehnya memerlukan pengorbanan. Selanjutnya dalam melakukan pilihan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan itu selalu dipertimbangkan

adanya pemuasan kebutuhan dengan tujuan untuk memaksimalkan produksi, baik untuk perorangan ataupun untuk masyarakat.

Penggunaan sumberdaya alam untuk masa datang secara langsung perlu dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai imbangan antara penduduk dan sumberdaya alam. Apabila penduduk membutuhkan terlalu banyak barang dan jasa, maka muncul kebutuhan untuk meningkatkan penggalian sumberdaya alam baik yang ekstraktif sifatnya maupun sumberdaya alam seperti lapangan terbuka, tempat rekreasi, dan udara yang bersih. Namun dampaknya adalah justru memburuknya kondisi fisik dari dunia ini, dan sayangnya masyarakat sangat lamban dalam menemukan pemecahan terhadap masalah yang timbul. Beberapa hal yang menjadi alasan dari lambannya penyesuaian itu ialah bahwa :

1. Masyarakat lebih mengenal adanya pemilikan pribadi (privat) dan mekanisme pasar, sehingga pengertian bahwa lingkungan sebagai barang milik bersama dan dipelihara bersama masih sulit dimengerti.

2. Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat itu, demikian pula tentang teknologi untuk menghasilkan apa yang diinginkan tersebut tidak banyak kita ketahui.

3. Karena adanya eksternalitas, maka biaya produksi barang dan jasa sering menjadi tidak jelas, di samping adanya kelambanan dalam mobalitas manusia (Suparmoko, 1997)

2.2.3. Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Perikanan merupakan subsektor yang penting, yaitu sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja serta menarik perhatian dalam hal efisiensi dan

distribusi. Masalah efisiensi dikaitkan dengan jumlah persediaan ikan yang terus terancam punah dan masalah distribusi berkaitan dengan siapa yang akan memperoleh manfaat. Ikan merupakan sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resource) yang memerlukan usaha – usaha pengelolaan yang baik agar dapat mempertahankan dan mengembangkan unit populasi yang ada, dalam usaha pengelolaan tersebut diperlukan pengetahuan dan informasi tentang perikanan dalam rangka mempelajari perilaku kehidupan dan sifat – sifat dari unit populasi yang merupakan suatu komunitas dalam sumberdaya alam (Suparmoko, 1997)

Dengan dicetusnya wilayah perikanan dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut, maka hal ini mendorong negara – negara yang bersangkutan menyatakan batas – batas lepas pantai penangkapan yang diperluas untuk pengawasan eksklusif terhadap aktivitas – aktivitas ekonomi negara yang bersangkutan. Keberhasilan pembangunan perikanan tidak terlepas dari perencanaan yang mantap berdasarkan informasi tentang semua aspek yang mempengaruhi sumberdaya alam tersebut, terutama aspek sumberdaya kehidupan dan penggunaannya.

Subsektor perikanan memberikan harapan yang menjamin kelangsungan hidup manusia masa kini dan masa yang akan datang, perikanan merupakan satu bagian dari kegiatan ekonomi yang memberikan harapan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia melalui berbagai usaha yang pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nelayan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan hidup yang lebih baik. Dewasa ini, usaha perikanan di dunia telah mendapatkan banyak perhatian karena meningkatnya keprihatinan terhadap kerusakan permanen dari kelestarian sumberdaya ikan sebagai akibat proses

pengambilan secara besar – besaran dan tidak terkendali. Dalam rangka mencapai tujuan pokok pembangunan perikanan, dilakukan usaha sebagai berikut :

1. Peningkatan produksi dan produktivitas

2. Peningkatan kesejahteraan petani ikan (nelayan) melalui perbaikan pendapatan 3. Penyediaan lapangan kerja

4. Menjaga kelestarian sumberdaya hayati perikanan 5. Pola manajemen dalam pengelolaan semberdaya ikan

Sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya alam milik bersama atau milik umum yang berperan dalam kehidupan manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidup baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan lainnya seperti keindahan ikan sebagai hiburan (Suparmoko,1997)

2.2.4. Prinsip Pengolahan Perikanan Yang Statis

Sebagaimana diketahui sumberdaya perikanan senantiasa tergantung pada waktu, sehingga perlu diketahui pola atau fungsi produksi ikan, pertumbuhan populasinya dan apa yang ingin dicapai dengan beberapa kendala tertentu. Adapun yang dimaksud dengan nilai kelangkaan (scarcity rent) adalah nilai ikan pada waktu yang akan datang yang cenderung meningkat dengan meningkatnya biaya penangkapan ikan saat ini karena berkurangnya populasi ikan itu sendiri. Untuk mempertahankan keberadaan populasi ikan, berbagai prinsip dasar yang dapat dijadikan pedoman adalah sebagai berikut.

Meningkatkan pertumbuhan populasi ikan dan menekan biaya serta manaikkan scarcity rent. Sedangkan, bila usaha penangkapan ikan dihubungkan dengan tingkat bunga, maka apabila tingkat bunga tinggi, orang cenderung

menangkap ikan secara berlebihan, sebaliknya bila tingkat bunga rendah, jumlah ikan akan bertambah karena orang cenderung memperlambat proses penangkapan ikan. Apabila sewa kelangkaan sebesar nol maka harga ikan cenderung sama dengan biaya marginal penangkapan ikan sehingga penangkapan ikan cukup tinggi. Jadi pada dasarnya dalam kondisi pengelolaan semberdaya ikan secara statis, tidak menggunakan tingkat pengambilan yang secara ekonomis efisien karena tidak diketahuinya secara pasti mengenai kondisi – kondisi yang ada. (Suparmoko, 1997)

2.2.5. Prinsip Pengelolaan Perikanan Yang Bersifat Dinamis

Bila subsektor perikanan tidak mendapatkan suatu pola pengaturan yang baik maka subsektor tersebut akan menjadi subsektor yang bersifat milik umum. Pengelolaan sumberdaya ikan dalam hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Melarang penangkapan ikan pada suatu musim tertentu. b. Menutup daerah penangkapan tertentu.

c. Membatasi jumlah ikan yang ditangkap.

Usaha –usaha tersebut perlu di barengi dengan usaha ekstra yang berupa peningkatan pengawasan dan penerapan hukum secara mendasar di samping pengukuran jenis usaha penangkapan atau teknologi perikanan yang sesuai, seperti penggunaan jala atau alat tangkap lainnya. Disamping itu, ada faktor penting yaitu perlunya campur tangan pemerintah dalam pengaturan pemberian izin lisensi, pengaturan pajak, dan pungutan yang dapat merangsang untuk usaha investasi dengan kombinasi ketiga cara pengelolaan sumberdaya ikan di atas.

Jadi pada prinsipnya pengelolaan perikanan yang bersifat dinamis menunjukkan maksimisasi nilai yang ada pada saat ini yang dapat mendorong timbulnya kepunahan, karena pengelolaan perikanan yang bersifat dinamis ini menunjukkan dinamika keluar masuknya perusahaan yang dikombinasikan dengan keberadaan tertentu sumberdaya ikan sehingga menorong kearah industri yang tidak menguntungkan dan tidak stabil yang disebabkan oleh kepunahan populasi ikan yang tidak sengaja. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimum dicapai dengan jalan melibatkan masyarakat dan pihak pemerintah karena kondisi perikanan ini bersifat sumberdaya alam milik umum (Suparmoko, 1997)

Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya ini banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut maximum sustainable yield (MSY). Unit pendekatan ini bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan semberdaya alam. Lebih jauh Conrad dan

Clark (1987) misalnya, menyatakan bahwa kelemahan pendekatan MSY antara

lain adalah:

1. Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion).

2. Didasarkan pada konsep steady state (keseimbangan) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state.

3. Tidak memperhitugkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen

(imputed value).

4. Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya.

5. Sulitditerapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis

(multispecies). (Fauzi, 2010)

2.2.6. Pola Kegiatan Nelayan

Di dunia kenelayanan dikenal adanya empat macam musim, yaitu Musim Barat, Musim timur, Musim Utara, dan Musim Selatan. Musim Barat dikenal sebagai musim paceklik, yang biasanya ombak terlalu besar sehingga nelayan tidak dapat melaut.

Pola kerja nelayan melaut cukup bervariasi tergantung pada jenis alat tangkap yang digunakan. Nelayan yang menggunakan rawai biasanya pergi melaut hanya 1–2 hari, kemudian mendaratkan hasil perolehannya. Sementara itu, nelayan yang menggunakan jaring besar, lebih dari lima inci, khususnya yang menangkap ikan untuk keperluan ekspor, melaut 5–7 hari dan kemudian 1–2 hari mendaratkan ikan kepada pedagang pengumpul (Mulyadi, 2005)

2.2.7. Pengertian Pendapatan

Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/penerimaan total adalah nilai produksi

komoditas secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi. (Soekartawi, 1995)

Pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usaha, biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam hal ini disebut usahatani untuk petani, melaut untuk nelayan, dan berternak untuk peternak (Rahim dan Retno, 2008).

Ada beberapa konsep biaya dalam ilmu ekonomi yaitu :

1. Biaya tetap (Fixed cost) adalah sebagian biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit.

2. Biaya tidak tetap (Variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh.

3. Biaya total (Total cost) adalah keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan atau penjumlahan biaya tetap total dan biaya variabel tetap total. 4. Biaya tetap rata – rata (average fixed cost) adalah biaya tetap total dibagi

kuantitas keluaran. Ketika keluaran naik, biaya tetap rata – rata menurun karena biaya total yang sama ditanggung oleh kuantitas keluaran yang semakin besar.

5. Biaya variabel rata – rata (Average variable cost) adalah biaya variabel total dibagi kuantitas keluaran.

6. Biaya total rata – rata (Average cost) adalah biaya total dibagi kuantitas keluaran. ATC sama juga dengan jumlah biaya tetap rata – rata dan biaya variabel rata – rata.(Sugiarto, et al, 2002)

Penerimaan adalah perkalian antara produksi dengan harga jual. Besarnya penerimaan suatu usaha tangkap sangat tergantung pada besarnya produk yang dihasilkan dan harga produk tersebut. Faktor – faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan dapat dibagi menjadi dua golongan sebagai berikut :

1. Faktor internal dan faktor eksternal akan bersama – sama mempengaruhi biaya dan pendapatan. Faktor internal meliputi pengalaman, alat tangkap, lama melaut, biaya operasional, umur, dan jarak tempuh melaut.

2. Faktor eksternal yaitu input dan output. Dari segi faktor produksi (input) terdiri dari dua yaitu ketersediaan dan harga. Faktor ketersediaan dan harga faktor – faktor produksi tidak dapat dikuasai oleh nelayan sebagai individu berapapun dana tersedia. Demikan juga dari segi produksi (output), jika permintaan akan produksi tinggi maka harga ditingkat nelayan tinggi pula sehingga dengan biaya yang sama nelayan akan memperoleh pendapatan yang tinggi pula, sebaliknya jika petani berhasil meningkatkan produksi tetapi harga turun maka pendapatan petani akan turun pula. (Suratiyah, 2011)

Dokumen terkait