• Tidak ada hasil yang ditemukan

tentang prinsip dasar mukhābarah, landasan hukum, mukhābarah yang dibolehkan dan mukhābarah yang dilarang, rukun dan syaratmukhābarah, tinjauan akad, berakhirnya kontrak kerja sama dalam mukhābarah, dan hikmah melakukan mukhābarah. Pada bab ini juga memuat metode penelitian yang meliputi pendekatan penelitian, jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, objektivitas dan validitas data serta teknik analisis data.

Bab tiga merupakan bab yang membahas tentang Analisis Data dan pembahasan yang meliputi realitas lokasi dan subjek penelitian, temuan data penelitian dan analisis data.

Bab empat merupakan bab penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Bab penutup ini dianggap perlu, karena dalam bab ini akan menjawab permasalahan yang akan diajukan pada bab pertama. Selanjutnya akanada saran dalam rangka usaha perbaikan dan penyempurnaan terhadap objek penelitian.

BAB DUA

LANDASAN TEORI DAN METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Definisi operasional bertujuan untuk mempermudah dalam memahami pembahasan ini, maka penulis akan menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, yang bertujuan agar pembaca terhindar dari kesalah pahaman dalam memahaminya. Berikut istilah-istilah yang perlu dijelaskan:

1. Rom Berakad

Rom berakad adalah sebuah bentuk kerja sama dengan menggunakan

prinsip bagi hasil yang berdasarkan kebiasaan masyarakat atau adat di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah yang sering terjadi pada kerja sama pengelolaan lahan persawahan.Dalam praktiknya pemilik hanya meyerahkan lahan dan menetapkan di awal jumlah bagiannya ditentukan dalam jumlah tertentu sebelum lahan dikerjakan oleh penggarap dari hasil panen padi yang harus diserahkan oleh penggarap atau pengelola pada saat panen tiba nantinya. Misalanya, pemilik sawah telah menetapkan satu kunca yang harus diserahkan oleh penggarap ketika panen tiba nantinya, dengan jumlahnya yang sudah ditentukan oleh pemilik sawah.Praktik yang seperti itu dikenal oleh masyarakat Kecamatan Celala dengan sebutan rom berakad. 2. Akad Mukhābarah

Akad (transaksi) secara bahasa, akad atau perjanjian itu digunakan banyak arti, yang keseluruhannya kembali pada bentuk ikatan atau penghubungan terhadap dua hal. Sementara akad menurut istilah adalah keterikatan keinginan diri dengan suatu yang lain dengan cara yang memunculkan adanya komitmen tertentu yang disyariatkan.1

1 Abdullah Al-Mushlih , Shalah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Islam, (Jakarta: Darul Haq,

Secara bahasa,mukhābarahadalah tanah gembur atau lunak, kata

mukhābarahmerupakan maṣdar dari يضاملا لعفdan عراضملا لعفdari kata khābar.2Sedangkan menurut istilah muzāra‘ah dan mukhābarahmemiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh Rāfiʻī dan al-Nawawī. Menurut al-QāḍīAbū Ṭayyib, muzāra’ah dan mukhābarah merupakan satu pengertian.3 Menurut Hanabilah, muzāra’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Sedangkan menurut Syaikh Ibrāhīm al-Bājurī berpendapat bahwa mukhābarahialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola.4Sementara itu, ulama Syāfiʻiyyah menjelaskan pengertian mukhābarah adalah mengerjakan suatu lahan dengan upah sebagian dari hasilnya, sementara benihnya dari pihak pekerja. Sedangkan

muzāra'ah sama dengan mukhābarah, hanya saja benihnya dari pemilik lahan.

Definisi-definisi di atas dapat dipahami bahwa mukhābarah dan

muzāra’ah ada kesamaan dan ada perbedaan. Persamaannya adalah antara mukhābarahdan muzāra’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik

tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhābarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, disebut muzāra’ah sedangkan hasilnya dibagidengan persentase bagian sesuai yang disepakati.5 Secara istilah bahwa mukhābarahadalah pemilik tanah menyerahkan kepada pihak yang mengelola tanah tetapi modalnya ditanggung oleh pengelola tanah dengan pembayaran sepertiga dan seperempat dari hasil panen.6

2 Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, (Surabaya: Pustaka

Progresi, 1997), hlm. 319.

3Kifayatul al-Khayar, hlm. 314. 4al-Bajuri, hlm. 34.

5 H. Hendi Suhendi, fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.155-156.

6 H. Muhammad Sholahuddin, kamus istilah Ekonomi, Keuangan, dan Bisnis

B. Landasan Teori

1. Teori Keberlakuan Hukum

Teori-teori keberlakuan hukum biasanya membedakan antara tiga macam hal berlakunya hukum sebagai kaedah. Berkaitan dengan berlakunya kaedah hukum, Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah mengemukakan tiga macam berlakunya kaedah hukum, yaitu:

a. Kaedah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatannya (hans kelsen), atau bila terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen) atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann).

b. Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif. Artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah diterima karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).

c. Kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.7

2. Urf(Adat) Sebagai Sumber Hukum Islam

Diketahui bahwa dalam Islam ada beberapa sumber Hukum Islam selain yang terdapat dalam Al-Qura’an dan sunnah di antaranya yaitu seperti ijma, qiyas, istihsan, istishab, maslahah al-mursalah, dan urf. Di Indonesia juga terdapat berbagai macam suku dan adat masing-masing di setiap daerahnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya agama Islam menerima dan mengakui adat ataupun tradisi dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Islam tetap melestarikan tradisi yang dianggap baik dalam masyarakat dan menghapus secara bertahap tradisi yang dianggap

7Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat,

bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Pengakuan terhadap adat yang dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam dikenal dengan urf.

a. Pengertian urf

Kata urf secara etimologi berasal dari kata ( ُفِرْعُي َفَرَع) atau sering diartikan dengan( ُف ْوُرْعَمْلَا) dengan arti “sesuatu yang dikenal” atau berarti “yang baik”. Secara terminologi, urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dengan kata lain, kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum Islam.8

Pada dasarnya, syari’at Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Akan tetapi, secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

Jumhur ulama yang mengamalkan urf dalam memahami dan mengistinbatkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima

urf tersebut, yaitu:

1) Urf (adat) itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.

2) Urf (adat) itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan adat tersebut.

3) Urf (adat) yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah

ada (berlaku) pada saat itu, bukan urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Jika urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan.

8Totok Jumantoro & Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah,

4) Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.9

b. Macam-macam urf (adat)

Penggolongan macam-macam urf atau adat itu dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain:

1) Dari segi objeknya, urf dibagi menjadi dua macam, yaitu ‘urf

lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan ‘urf al-‘amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

a) Al-‘urf al-lafzhi (يظفللا فرعلا) adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi. Padahal kata-kata “daging” mencangkup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging satu kilogram”, maka pedagang itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata “daging” kepada daging sapi.

b) Al-‘urf al-‘amali (يلمعلا فرعلا) adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Maksud “perbuatan biasa” yaitu perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Misalnya, kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam seminggu. Adapun yang berkaitan dengan muamalah perdata yaitu kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli

9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm.

bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan ke rumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.

2) Dari segi cakupannya, urf terbagi menjadi dua macam, yaitu ‘urf

al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan

yang bersifat khusus).

a) Al-‘urf al-‘am (ماعلا فرعلا) adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.

b) Al-‘urf al-khash (صاخلا فرعلا) adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pengacara hukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya.

3) Dari segi keabsahannya dari pandangan syarak, urf dibagi menjadi dua macam, yaitu ‘urf shahih(kebiasaaan yang dianggap sah) dan

al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).

a) Al-‘urf al-shahih (حيحصلا فرعلا) adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (al-Qur’an atau hadis), tidak menghilangkan kemaslahatan, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

b) Al-‘urf al-fasid (دسافلا فرعلا) adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syarak dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syarak. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam

tempo satu bulan. Apabila jatuh tempo, maka harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungannya yang diraih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong-menolong dalam pandangan syarak, karena pertukaran barang sejenis menurut syarak tidak boleh saling melebihkan.10

3. Prinsip Dasar Mukhābarah

Prinsip umum dalam usaha bahwa Islam tidak memperbolehkan para penganutnya mendapatkan harta dengan cara semaunya. Islam menegaskan bahwa ada cara-cara usaha yang sesuai dengannya, seiring tegaknya kemaslahatan.11

Mukhābarahadalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah dan

penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkanbiaya dan benihnya dari penggarap tanah. Pada umumnya, kerja samamukhābarahini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun, tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murahpun dilakukan kerja samamuzāra’ah. Kerja sama yang dilakukan dalam bentuk bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Bagi hasil disini adalah pada transaksi pengelolaan hasil bumi dengan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah (bumi) tersebut. Dengan maksud lain pemberianhasiluntuk orang yang mengelolaataumenanamitanahdari yang dihasilkannyasepertisetengah,

10Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 139-141.

11Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, (Karangasem; Era Intermedia, 2000),

sepertigaataulebihrendahsesuaidengankesepakatankeduabelahpihak (petanipenggarapdanpemiliktanah).12

Merujuk pada kitab Undang-undang Hukum AgrariaNomor 2 Tahun 1960 tentangPerjanjianBagiHasil padaPasal 1 poin c disebutkan bahwa: perjanjianbagihasilialahperjanjiandengannamaapapunjuga yang diadakanantarapemilikpadasuatupihakdanseseorangataubadanhukumpadapiha

k lain yang dalamundang-undangini

disebutpenggarapberdasarkanperjanjian.Dimanapenggarapdiperkenankanolehp emiliktersebutuntukmenyelenggarakanusahapertanian di atastanahpemilik, denganpembagianhasilnyaantarakeduabelahpihak.13Bagi hasil menurut terminologi asing dikenal dengan profit sharing.Secara definisi profit sharing dapat diartikan sebagai “distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu perusahaan”.14

Syafi’i Antonio juga menjelaskan dalam dalam bukunya (Bank

Syari’ah dari Teori ke Praktek).Bahwa bagi hasil adalah kerja sama antara dua

pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.15 Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa sistem bagi hasil merupakan proses kerja sama yang dilakukan dalam kegiatan suatu usaha. Usaha tersebut terdapat perjanjian besarnya porsi bagi hasil kedua belah pihak ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama yang harus saling riḍa tanpa adanya unsur paksaan.

Jika dipahami secara mendalam bahwa akad mukhābarah ini prinsipnya adalah suatu kegiatan usaha dalam produktivitas suatu lahan baik

12Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-ma’arif, 1988), hlm. 158-159.

1313 Kansil Christine, Kitab Undang-Undang Hukum Agrarian, (Jakarta: Sinar

Grafika,2007), hlm. 22.

14 Muhammad, Teknik Bagi Hasil di Bank Syariah.(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm.

13.

15M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,

itu perkebunan atau persawahan yang dilakukan dengan cara kerja sama. Sehingga dalam ajaran Islam makna kerja sama tersebut dikenal dengan istilah

syirkah. Secara etimologis, musyārakah adalah penggabungan, percampuran

atau serikat.Musyārakah berarti kerja sama kemitraan atau dalam bahasa Inggris disebut partnership.16 Adapun secara terminologis, musyārakah adalah kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberi kontribusi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.17

Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, musyārakah yaitu akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai porsi dana masing-masing.18

4. Landasan Hukum Mukhābarah

Terjadi perbedaan pendapat dalam membahas hukum mukhābarah dikalangan para ulama, seperti imam Abu Hanifah dan Zufair Ibnu Huzail, ulama Hanafi berpendapat bahwa akad mukhābarah tidak boleh, menurut mereka akad mukhābarah dengan menggunakan bagi hasil seperti seperempat, sepertiga dan seperdua hukumnya batal. Menurut mereka objek akad dalam

mukhābarah belum ada dan tidak jelas kadarnya, karena yang dijadikan

imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada dan tidak jelas ukurannya, sehingga keuntungan yang akan dibagi, sejak semula tidak jelas.19

Sedangkan menurut ulama Malikiah, Hanabilah, Abu yusuf, Muhammad ibnu al-Hasan asy-Syaibani keduanya sahabat abu Hanifah, dan

16 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 74.

17Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian, (Jakarta: Gema Insan Press,

2008), hlm. 165.

18 Pasal 1 huruf c UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Sayriah

ulama Azh-Zahiriyah berpendapat bahwa akad mukhābarah hukumnya boleh.Karena akadnya cukup jelas, yaitu menjelaskan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah.Mereka yang memperbolehkan akad mukhābarah berdasarkan pendapat bahwa mukhābarah merupakan akad syirkah antara modal (tanah) dan pekerjaan sebagaimana terdapat dalam akad mudhārabah yang hukumnya juga diperbolehkan karena adanya hajat yang mendesak (dibutuhkan). Akad mukhābarah tersebut diperbolehkan sebagaimana akad

ijarah. Adapun upah dari muzāra’ah adalah ditentukan dari hasil pengelolaan

tanah tersebut.20

Dasar hukumdiperbolehnya melakukan mukhābarah terdapat pada riwayat Imam Muslimyaitu:

ََلاَقاًدِهاَجُمَّنَٔا،وٍرْمَعْ نَعٍدْيَزُ نْ بداَّمَحاَنَرَ بْخٔاىَيْحَيُ نْ بىَيْحَياَنَ ثَّدَح

:

َِهْيَلَعُهّٰ للاىَّلَصَّيِبَّنلاِنَعِهيِبَٔاْنَعَ ثْ يِدَحْلَاُهْ نِمْعَمْساَفٍجيِدَخِنْبِعِفاَرِنْباىَلِٕااَنِبْقِلَطْناٍسُواَطِل

ََ ََاَقُهَرَهَ َْ ناَفَلاَقمَّلَسَوَ

َْلَعَ فاَمُهْ نَعىَهَ نمَّلَسَوَِهْيَلَعُهّٰ للاىَّلَصِهّٰ لل ََْوَُسَرَّ نَٔا،ُمَلْعَٔاْوََلِهّٰ للاَوَىَّن

َْنٍكَلَوَُهُ َ

.

َْمُهْ نِمِهِبُمَلْعَٔاَوَُهْ نَميِنَثَّدَح

-ََّبَعَ نْ بايِنْعَ ي

ا

ٍَس

-ََعَذُخْٔاَيْ نَٔاْنِمُهَلٌرْ يَخُهَضْرَٔاُهاَخَُٔلُجَّرلاَحَنْمَيْ نَٔلَلاَقمَّلَسَوَِهْيَلَعُهّٰ للاىَّلَصِهّٰ لل ََْوَُسَرَّ نَٔا

اًموَُلْعَماًجْرَخاَهْ يَل

(

اور

ملسمَه

)

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya,

Hammad bin Zaid mengabarkan kepada kami dari Amr, bahwa Mujahid berkata kepada Thawus, “marilah pergi menemui Ibnu Rāfi’ bin Khādīj dan dengarkanlah hadis ini darinya, yang didapatnya dari ayahnya, dari Nabi saw.” Thawus malah menghardik Mujahid “demi Allah,seandainya aku tahu bahwa Rasulullah saw melarang penyewaan tanah, pasti aku akan melakukannya. Tetapi ada di antara seorang sahabat seseorang yang lebih tahu tentang hal itu dari pada mereka (orang-orang yang melarang menyewa tanah) yang dimaksud Thawus adalah Ibnu Abbas-, yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

20Wahbah Zuhayli, Fiqh Islam wa Adillatuhu Jilid 4, Terj. Abdul Hayyie

sesungguhnya jika seorang memberikan tanahnya kepada saudaranya, maka hal itu lebih baik baginya dari pada ia memungut hasil panen dalam jumlah tertentu sebagai imbalah atas penyewaan tanah tadi.” (HR.Muslim).21

Hadis di atas menunjukan adanya praktik mukhābarahyang dilakukan oleh sahabat RasulullahSaw. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa Rasulullah sama sekali tidak melarang dilakukannya mukhābarah, karena yang kitaketahui bahwasanya semuajenis muamalah itu diperbolehkan, hingga ada dalil yang melarangnya.

Oleh karena itu, hukum melakukan mukhābarahadalah boleh (mubah). Hal ini dikarenakan dapat memberikan manfaat yang baik kepada sesama dan berlandaskan keinginan untuk saling tolong menolong tanpa ada tujuan lain dengan maksud menipu atau merugikan.Perbuatan tolong menolong tersebut adalah hal yang sangat baik kepada sesama sebagaimana dalam firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 2:

ََدِئ َلَقْلاَ َََوََيْدَهْلاَ َََوََماَرَحْلاََرْهَّشلاَ َََوَِهَّللاََرِئاَعَشَاوَُّلِحُتَ َََاوَُنَمآََنيِذَّلاَاَهُّ يَأَاَي

ََنيِّمآَ َََو

َِّبَرَْنِمَ ًلْضَفََنوَُغَ َْبَ يََماَرَحْلاَ َتْيَ بْلا

َاًناَوَْضِرَوَْمِه

ۚ

َ

َاوُداَطْصاَفَْمَُْلَلَحَاَذِإَو

ۚ

َ

َْمُكَّنَمِرْجَيَ َََو

َاوُدََْعَ تَْنَأَ ِماَرَحْلاَِدِجْسَمْلاَِنَعَْمُكوُّدَصَْنَأَ ٍمْوََ قَُنآَنَش

ۚ

َ

َ ّٰىَوَْقَّ َلاَوَِّرِبْلاَىَلَعَاوَُنَواَعَ تَو

ۚ

َ

َِناَوْدُعْلاَوَِمْثِْلْاَىَلَعَاوَُنَواَعَ تَ َََو

ۚ

َ

َُقَّ تاَو

ََهَّللاَاوَ

ۚ

َ

َِباَقِعْلاَُديِدَشََهَّللاََّنِإ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu

21 Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Buyu’, Bab al-Ardh Tumnah, jilid 3, hlm.

berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. 22 5. Mukhābarahyang Dibolehkan dan yang Dilarang

a. Mukhābarah yang dibolehkan

Mukhābarah yang dibolehkan telah disebutkan

ketentuan-ketentuannya dalam fikih, maka hal-hal yang dibolehkan dalam

mukhābarah adalah sebagai berikut:

1) Perjanjian kerja sama dimana tanah milik satu pihak, peralatan pertanian, benih dan tenaga dari pihak lain, keduanya menyetujui bahwa pemilik tanah akan memperoleh bagian tertentu dari hasil. 2) Kedua belah pihak sepakat atas tanah, benih, perlengkapan

pertanian dan tenaga serta menetapkan bagian masing-masing yang akan diperoleh dari hasil.23

3) Keuntungan yang diperoleh jelas pembagiannya menurut kesepakatan, dalam ukuran angka persentase, bukan dalam bentuk angka mutlak yang jelas ukurannya.

4) Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap

5) Kedua belah pihak dalam akad telah dewasa dan sehat akalnya serta tanpa paksaan dari manapun.24

b. Mukhābarahyang dilarang

Mukhābarah yang dilarang salah satunya adalah jika bagiannya

ditentukan dalam jumlah tertentu berdasarkan hasil luas tertentu yang hasilnya menjadi miliknya sedangkan sisanya untuk penggarap atau dipotong secukupnya. Maka dalam keadaan seperti ini dianggap fasid

22QS. Al-Maidah (6): 2

23Ahzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),

hlm. 288.

karena mengandung gharar dan dapat membawa kepada perselisihan. al-Bukhari meriwayatkan dari Rafi’ bin al-Khudaij, berkata “dahulu kami termasuk orang yang paling banyak menyewakan tanah untuk digarap. Waktu itu kami menyewakan tanah yang sebagian hasilnya yang disebut pemilik tanah. Kadang-kadang untung dan kadang-kadang tidak memberikan untung lalu kami dilarang”.25

Selain hal diatas, dibawah ini juga terdapat beberapa

mukhābarahyang dilarang yaitu:

1) Perjanjian yang menetapkan sejumlah hasil tertentu yang harus diberikan kepada pemilik tanah, yaitu suatu syarat yang menentukan bahwa apapun dan berapapun hasilnya pemilik tanah tetap menerima lima atau sepuluh mud dari hasil panen.

2) Hanya bagian lahan tertentu yang berproduksi, misalkan bagian utara atau selatan maka bagian tersebut diperuntukkan bagi pemilik tanah.

3) Penyerahan tanah kepada seseorang dengan syarat tanah tersebut akan tetap menjadi miliknya jika sepanjang pemilik tanah masih menginginkannya dan akan menghapuskan kepemilikannya manakala pemilik tanah menghendaki.

4) Ketika petani dan pemilik tanah sepakat membagi hasil tanah tapi satu pihak menyediakan bibit dan pihak lainnya menyediakan alat-alat pertanian. Misalnya pihak pertama pemilik tanah, pihak kedua bertanggung jawab atas benih, pihak ketiga bertanggung jawab atas alat-alat pertanian.

5) Adanya hasil panen lain (selain dari pada yang ditanam diladang itu) harus dibayar oleh satu pihak sebagai tambahan kepada hasil pengeluaran.26

6. Rukun dan Syarat Mukhābarah a. Rukunmukhābarah

Rukun merupakan hal yang harus ada dalam melakukan jual beli seperti ijab dan kabul, tanpa adanya ijab dan kabul jual beli itu tidak sah

Dokumen terkait