KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1Role Theory(Teori Peran)
Teori yang mendukung penelitian ini adalahrole theory(teori peran) yang
dikemukakan oleh Kahn dkk. (1964). Teori Peran menekankan sifat individual
sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang
ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat. Teori Peran mencoba untuk
menjelaskan interaksi antar individu dalam organisasi, berfokus pada peran yang
mereka mainkan.
Setiap peran sosial adalah seperangkat hak, kewajiban, harapan, norma
dan perilaku seseorang untuk menghadapi dan memenuhi perannya. Model ini
didasarkan pada pengamatan bahwa orang berperilaku dengan cara yang dapat
diprediksi, dan bahwa perilaku individu adalah konteks tertentu, berdasarkan posisi
sosial dan faktor lainnya. Mereka menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi
dapat mempengaruhi harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka.
Harapan tersebut meliputi norma-norma atau tekanan untuk bertindak
dalam cara tertentu. Individu akan menerima pesan tersebut, menginterpretasikannya,
dan merespon dalam berbagai cara. Masalah akan muncul ketika pesan yang dikirim
tersebut tidak jelas, tidak secara langsung, tidak dapat diinterpretasikan dengan
13
tersebut dinilai ambigu atau mengandung unsur konflik. Ketika hal itu terjadi,
individu akan merespon pesan tersebut dalam cara yang tidak diharapkan oleh si
pengirim pesan. Sebuah lingkungan organisasi dapat mempengaruhi harapan setiap
individu mengenai perilaku peran mereka. Lingkungan organisasi yang berubah-ubah
dan tidak sesuai dengan harapan individu akan cenderung megandung konflik dan
tekanan.
Posisi di masyarakat dapat merupakan stressor terhadap peran karena
struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin
dilaksanakan. Teori peran juga menyatakan bahwa ketika perilaku yang diharapkan
oleh individu tidak konsisten, maka mereka dapat mengalami stress, depresi, merasa
tidak puas, dan kinerja mereka akan kurang efektif daripada jika pada harapan
tersebut tidak mengandung konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa konflik peran dapat
memberikan pengaruh negatif terhadap cara berpikir seseorang. Kantz dan Kahn
(1978) menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila
terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada
diri seseorang.
Peran yang tidak jelas, terjadi jika individu yang diberi peran yang tidak
jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan. Role ambiguitymerupakan
kondisi stress yang di sebabkan oleh kebingungan karena ekspektasi peran tidak
dipahami secara jelas dan tidak adanya informasi yang memadai yang di perlukan
14
Peran berlebih, terjadi jika individu menerima banyak peran (Keliat,
1992). Mondy, et al. (1990:490) menyatakan bahwa role overload merupakan tipe
konflik peran yang lebih kompleks, terjadi ketika harapan yang dikirimkan pada
pemegang peran dapat digabungkan akan tetapi kinerja mereka melampaui jumlah
waktu yang tersedia bagi orang yang melaksanakan aktivitas yang diharapkan.
Kahn (1964) menyatakan bahwa sebuah lingkungan organisasi dapat
mempengaruhi harapan setiap individu mengenai perilaku peran mereka. Jika sering
terjadi perubahan terhadap lingkungan organisasi akan memunculkan rasa yang tidak
aman. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan berlangsung lama, karyawan dapat
menjadi stress akibat adanya rasa tidak aman dan pasti akan pekerjaannnya
(Greenhalgh dan Rosenblatt, 1984). Westman, et al. (2001) menyatakan job
insecurity yang berasal dari kebijakan penting suatu organsinasi, seperti keputusan
untuk berhemat, yang memunculkan rumor tentang PHK dan lainnya pada akhirnya
menjadi sumber stres kronis dan mengarah keburnout.
2.1.2 Role Conflict
Role conflict dipandang sebagai ketidaksesuaian dalam harapan-harapan
yang dikomunikasikan yang berdampak pada kinerja peran yang dijalankan (Rizzo,et
al. 1970 dalam Yousef, 2002). Rizzo,et al. (1970) mendefinisikanrole conflictdalam
kaitannya dengan dimensi-dimensi kesesuaian–ketidaksesuaian atau kecocokkan–
ketidakcocokkan terhadap persyaratan suatu peran, dimana kesesuaian atau
kecocokkan tersebut dinilai relatif terhadap standar atau kondisi yang dialami selama
15
(1989)role conflictmerujuk pada tingkat tekanan yang dialami oleh seseorang dalam
suatu peran berbeda dengan tingkat tekanan yang dialaminya dalam peran yang lain.
Menurut Robbins dan Judge (2009), role conflict menciptakan
pengharapan-pengharapan yang mungkin sulit untuk dipenuhi atau dipuaskan. Robbins dan Judge
(2009) juga menyatakan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada pengharapan peran
yang berlainan, maka akan menghasilkanrole conflict(konflik peran).
Konflik peran merupakan suatu keadaan dimana seseorang patuh pada
persyaratan satu peran dapat menyebabkan kesulitan untuk memenuhi persyaratan
dari suatu peran lainnya. Pada keadaan ekstrem, itu akan mencakup situasi dimana
dua atau lebih pengharapan peran saling berlawanan (kontradiksi). Jadi dengan kata
lain, konflik peran menurut Robbins dan Judge (2009) adalah suatu situasi dimana
seorang individu dihadapkan pada pengharapan peran yang berlainan.
2.1.3Role Ambiguity
Role ambiguity adalah ketidakpastian tentang tindakan apa yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan suatu peran (Peterson, et al. 1995). Rizzo, et al.
(1970) mendefinisikan role ambiguity sebagai suatu keadaan dimana suatu pekerjaan
memiliki kekurangan dalam prediksi suatu respon terhadap perilaku pihak lain dan
kejelasan mengenai persyaratan perilaku yang diharapkan. Menurut Robbins dan
Judge (2009), role ambiguity terjadi ketika ekspektasi dari suatu peran tidak bisa
dipahami dengan jelas dan pekerja tidak yakin dengan apa yang harus dikerjakannya.
Berdasarkan teori klasik, setiap posisi di struktur suatu organisasi formal harus
16
Rizzo, et al. (1970) juga menjelaskan bahwa dengan adanya kewajiban
yang terspesifikasi dengan jelas, atau definisi formal dari persyaratan peran, maka
akan memberikan kemudahan bagi pihak manajemen dalam mengendalikan kinerja
tertentu dari subordinatnya dan kemudahan dalam memberikan petunjuk serta arahan
kepada subordinatnya. Seorang pekerja akan ragu-ragu dalam membuat keputusan
karena tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, tidak
mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana dia akan
dinilai, sehingga dia akan menggunakan pendekatan coba-coba (trial and error)
dalam memenuhi ekspektasi atasannya.
2.1.4Role Overload
Role overloadmerupakan konsepsi yang menggambarkan jumlah tuntutan
yang ada dalam peran yang dimiliki seseorang (Schaubroeck, Cotton dan Jennings,
1989). Role overload adalah kurangnya sumber daya yang dimiliki oleh individu
untuk memenuhi komitmen, kewajiban, atau persyaratan (Peterson,et al. 1995).
Role overload juga bisa diartikan terlalu banyak memiliki pekerjaan yang
harus dilakukan dalam satu waktu (Beehr, Walsh dan Teber, 1976 dalam Cook,et al.
1981). Menurut Robbins dan Judge (2009) role overload dirasakan ketika pekerja
diharapkan untuk bekerja melebihi waktu yang sudah ditetapkan. Sedangkan Baruch,
et al. (1985) dan Rapoport (1976) dalam Coverman (1989) mendefinisikan role
overload sebagai suatu kondisi dimana seseorang memiliki terlalu banyak tuntutan
peran dan terlalu sedikit waktu untuk menyelesaikannya. Berdasarkan pengertian para
17
dimana jumlah tuntutan dalam peran seseorang sudah terlalu banyak sehingga pekerja
diharapkan bekerja melebihi waktu yang telah ditetapkan.
2.1.5Job Insecurity
Banyak pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai Job insecurity.
Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984), Job insecurity adalah ketidakberdayaan
untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan karena ancaman situasi dari suatu
pekerjaan. Sementara itu, Hartley, Jacobson, dkk. dalam Noviarini (2013)
mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang dirasakan seseorang
akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan pekerjaan
itu sendiri. Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002) menyatakan bahwa job insecurity
adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi atau peristiwa ditempatnya
bekerja.
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) mengatakan job insecurity dapat
menimbulkan rasa takut, kehilangan kemampuan, dan kecemasan. Pada akhirnya, jika
hal ini dibiarkan berlangsung lama, karyawan dapat menjadistressakibat adanya rasa
tidak aman dan pasti akan pekerjaannnya. Westman, et al. (2001) menyatakan job
insecurity yang berasal dari kebijakan penting suatu organsinasi, seperti keputusan
untuk berhemat, yang memunculkan rumor tentang PHK dan lainnya pada akhirnya
menjadi sumber stres kronis dan mengarah keburnout.
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa job insecurity adalah pandangan individu
18
ketidakamanan akan kelanjutan pekerjaannya, dan hal ini menyebabkan individu
merasa tidak berdaya.
2.1.6Burnout
Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik maupun mental
yang termasuk di dalamnya berkembang konsep diri yang negatif, kurangnya
konsentrasi serta perilaku kerja yang negatif (Pines dan Maslach, 1993). Keadaan ini
membuat suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak menyenangkan, dedikasi,
dan komitmen menjadi berkurang, performansi, prestasi kerja menjadi tidak
maksimal. Hal ini juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan
lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidaksesuaian antara usaha dengan
apa yang didapat dari pekerjaan.
Pines dan Aronson (1989) menyatakan bahwa burnout merupakan
kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka
panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan emosional. Schaufelli (1993)
mendefinisikan burnout sebagai sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi,
yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi
pribadi. Selanjutnya, beberapa penelitian melihat burnout sebagai bagian dari stress
(Luthans, 2005). Menurut Izzo (1987) burnout menyebabkan seseorang tidak
memiliki tujuan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam bekerja. Sementara
itu, Freudenberger (1974) menyatakan burnout merupakan kelelahan yang terjadi
19
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah
sindrom psikologis yang disebabkan adanya rasa kelelahan yang luar biasa baik
secara fisik, mental, maupun emosional, yang menyebabkan seseorang terganggu dan
terjadi penurunan pencapaian prestasi pribadi.
2.1.7 Konsultan Pajak
Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi
perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan Menteri Keuangan (Peraturan
Menteri Keuangan nomor. 111/PMK.03/2014). Untuk menjadi seorang konsultan
pajak memang tidaklah mudah, tidak semua orang yang paham dan mengerti pajak
dapat menjadi konsultan pajak, melainkan harus dengan memenuhi beberapa
kualifikasi yang telah ditetapkan, diantaranya adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Bertempat tinggal di Indonesia
c. Tidak terikat dengan pekerjaan atau jabatan pada Pemerintah/Negara
dan/atau Badan Usaha Milik Negara/Daerah;
d. Berkelakuan baik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi yang
berwenang;
e. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
f. Menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar di