• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Manfaat Praktis

2.2 Landasan Teori

2.2.5 Plot

Alur atau plot merupakan cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan sebab akibat, peristiwa yang satu atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Stanton via Nurgiyantoro, 2010:

113). Alur atau plot merpakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap teks fiksi pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan plot walau mungkin mempergunakan istilah lain (Nurgiyantoro, 2013: 164).

Kejelasan tentang kaitan antarperistiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan.

Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah teks fiksi yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperstiwanya, menyebabkan cerita menjadi sulit dipahami (Nurgiyantoro, 2013: 164).

2.2.5.1 Tahapan Plot

Menurut Nurgiyantoro (2013: 201) plot sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali adapula akhirnya.

Struktur umum alur dapat dipaparkan sebagai berikut.

2.2.5.1.1 Tahapan Awal

Tahapan awal (beginning)sering dikenal dengan tahap perkenalan. Tahap ini berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting (Nurgiyantoro, 2013:

202).

Pada tahap awal cerita, selain untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.

Masalah-masalah yang dihadapi tokoh yang akan memuncak dibagian tengah cerita, klimaks, mulai dihadirkan dan diurai (Nurgiyantoro, 2013: 204).

a. Paparan (exposition)

Paparan biasanya merupakan fungsi utama awal suatu cerita (Sudjiman, 1988: 32).Tentu saja bukan informasi selengkapnya yang diberikan, melainkan keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya.Selain itu, situasi yang digambarkan pada awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang.

b. Rangsangan (inciting moment)

Rangsangan adalah peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan (Sudjiman, 1988: 32). Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru yang berlaku sebagai katalisator. Namun, tidak ada patokan tentang panjang paparan, kapan disusul oleh rangsangan, dan beberapa lama sesudah itu sampai pada gawatan.

c. Gawatan (rising action)

Konflik-konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.Konflik-konflik, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.

2.2.5.1.2 Tahapan tengah

Menurut Nurgiyantoro (2013: 204-205) tahap tengah (middle) sering disebut dengan tahap pertikaian. Tahap ini menampilkan pertentangan yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelunmnya, menjadi semakin meningkat dan menegangkan.

Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita fiksi yang bersangkutan.Pada bagian inilah cerita disajikan, tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwa-peristiwa penting fungsional dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan (Nurgiyantoro, 2013: 205). Tahap ini dibagi juga menjadi tiga tahap, yaitu tikaian (conflict), tahap rumitan (compliocation), dan tahap klimaks.

a. Tikaian (conflict)

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan (Sudjiman, 1988: 42) satu diantaranya diwakili oleh manusia atau pribadi yang biasanya protagonist dalam cerita.

Protagonist itu dapat dari kekuatan alam, masyarakat, dan orang tua atau tokoh lain.

b. Tahapan rumitan (complication)

Perkembangan dari gejala mulai tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan (Sudjiman, 1988: 34). Tanpa rumitan yang memadai, tikaian akan lambat. Oleh karena itu, penciptaan dan cara mengendalikan rumitan menunjukan kemahiran pengarang.

c. Tahapan klimaks

Klimaks akan tercapai apabila rumitan akan mencapai puncak kehebatan (Sudjiman, 1988: 41). Konflik-konflik atau pertentangan yang terjadi akan ditimpakan kepada kepada para tokoh cerita mencapai titik puncak.

2.2.5.1.3 Tahapan Akhir

Menurut Nurgiyantoro (2013:205-208) tahap akhir (end) sering disebut juga dengan tahap peleraian. Tahap ini menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita atau menyarankan pada hal bagaimakah akhir sebuah cerita. Tahap ini juga dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap leraian (falling action), dan tahap selesaian (denouement).

a. Tahap leraian

Leraian yang menunjukan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Dalam menghadapi tikaian ada kalanya diturunkan orang atau

barang yang muncul dengan tiba-tiba dan memberikan pemecah atau jalan keluar atas kesulitan itu (Sudjiman, 1988: 35).

b. Tahap selesaian

Selesaian bukan penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh cerita.

Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita (Sudjiman, 1988: 35-36).Selesaian dapat mengandung penyelesaian masalah yang menyenangkan atau menyedihkan, penyelesaian dalam keadaan yang penuh ketidakpastiaan, ketidakjelasan, atau ketidakpahaman.

2.2.5.2 Jenis Plot

Setiap cerita memiliki plot yang merupakan kesatuan tindak, yang disebut juga sebagai an artistic whole. Namun, kita tidak akan pernah menemukan dua karya fiksi yang memiliki perbedaan. Untuk mengetahui wujud struktus sebuah karya, diperlukan kerja analisis. Dari sinilah, kita dapat mendeskripsikan plot suatu karya, kesamaan dan perbedaannya dengan karya yang lain, kemungkinan berphipogram dengan karya sebelumnya dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2013:

212).

Menurut Nurgiyantoro (2013: 212) plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Pembedaan plot yang dikemukakan di bawah ini didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan.

2.2.5.2.1 Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu

Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam teks fiksi yang bersangkutan. Atau lebih tepatnya, urutan

penceritaan peristiwa-peristwa yang ditampilkan. Urutan waktu dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita. Dengan mendasarkan diri pada logika cerita itu pembaca akan dapat menemukan peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu dan peristiwa mana yang terjadi lebih kemudian, terlepas dari penempatan yang mungkin berada di awal,tengah, atau akhir teks. Dengan demikian, urutan waktu kejadian ini ada kaitannya dengan tahap-tahap pemlotan. Oleh karena memiliki kebebasan kreativitas, pengarang dapat memanupulasi urutan waktu kejadian sekreatif mungkin, tidak harus bersifat linear kronologis. Dari sinilah secara teoritis kita dapat membedakan plot ke dalam dua kategori: kronologis dan tidak kronologis. Yang pertama disebut sebagai plot lurus, maju, atau dapat juga dinamakan progresif, sedang atau dapat juga disebut sebagai regresif flash-back, atau sorot balik.

a. Plot Lurus, Progresif

Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan besifat kronologis, peristiwa –peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang kemudian.Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Nurgiyantoro, 2013: 214).

b. Plot sorot-balik, flash back

Urutan kejadian yang dikisahkan dalam cerita fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis.Cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru

kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Teks fiksi yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing. Padahal pemcaba belum lagi dibawa masuk mengtahui situasi dan permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik dan pertentangan itu, yang kesemuanya itu dikisahkan justru sesudah peristiwa-peristiwa yang kronologis terjadi sesudahnya (Nurgiyantoro, 2013: 214).

c. Plot Campuran

Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi didalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering tedapat adegan-adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya.

Bahkan sebenarnya, boleh dikatakan, tidak mungkin ada sebuah cerita pun yang mutlak flash back.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diberikan kesimpulan bahwa alur merupakan rangkaian panjang sebuah karya sastra yang terjadi secara runtut yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Jika digambarkan setiap jalan cerita tersebut memiliki peran masing-masing dan saling mempengarhi antara satu alur dengan alur yang lain, kesatupaduan itu lah yang kemudia membuat sebuah cerita yang sempurna dan membawa para pembaca ikut masuk merasakan seperti apa yang sedang diperankan dalam sebuah karya fiksi/drama.

Dokumen terkait