• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Manfaat Praktis

2.2 Landasan Teori

2.2.8 Sudut Pandang

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang diceritakan dalam cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam cerita fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita yang sengaja dikreasikan (Nurgiyantoro, 2010: 338).

Menurut Baldic (via Nurgiyantoro, 2010: 338), sudut pandang adalah posisi atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan. Pemilihan

posisi dan kacamata pengisahan peristiwa dan cerita pada hakikatnya juga merupakan teknik bercerita agar apa yang dikisahkan lebih efektif.

Sudut pandang dapat banyak macamnya tergantung dari sudut mana ia dipandang dan seberapa rinci ia dibedakan. Friedman (Nurgiyantoro, 2010: 346) mengemukakan adanya sejumlah pertanyaan yang jawabannya dapat dipergunakan untuk membedakan sudut pandang. Pertanyaan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Siapa yang berbicara kepada pembaca (pengarang dalam persona ketiga atau pertama, salah satu pelaku dengan “aku”, atau seperti tidak seorang pun) ?

b. Dari posisi mana cerita itu dikisahkan (atas, tepi, pusat, depan, atau berganti-ganti) ?

c. Saluran informasi apa yang dipergunakan narator untuk menyampaikan ceritanya kepada pembaca (kata-kata, pikiran, atau persepsi pengarang) ?

d. Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya (dekat, jauh, atau berganti-ganti).

Selain itu, Menurut Nurgiyantoro (2010, 347) pembedaan sudut pandang juga dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, lebih bersifat pencitraan, telling, atau penunjukan, showing, naratif atau dramatik. Pembedaan sudut pandang yang akan dikemukakan berikut berdasarkan pembedaan yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita, persona ketiga atau persona pertama, dan ditambah persona kedua.

2.2.8.1 Sudut Pandang Persona Ketiga “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya: ia, dia, mereka.

Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak (Nurgiyantoro, 2010: 347).

Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterkaitan pengarang terhadap bahan cerita. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi bersifat mahatahu, di pihak lain ia terikat, mempunyai keterbatasan “pengertian” terhadap tokoh “dia’’ yang diceritakan itu, jadi bersifat terbatas, hanya selaku pengamat saja (Nurgiyantoro, 2010: 348).

2.2.8.2 “Dia” Mahatahu

Abrams (via Nurgiyantoro, 2010: 348) mengatakan sudut pandang persona ketiga mahatahu dalam literatur bahasa Inggris dikenal dengan istilah-istilah the omniscient point of view, third-person omniscient, the omniscient narrator,atau author omniscient. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ”dia”, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbalakanginya ia bebas bergerak dan menceritakan

apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh

“dia” yang satu ke “dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya

“menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Namun, teknik ini juga mengandung hal-hal yang dapat dipandang sebagai kelemahan. Walau merupakan teknik yang paling natural, sebenarnya, ia sekaligus bersifat tidak natural. Hal itu disebabkan dalam realitas kehidupan tidak ada seorang pun yang bersifat mahatahu, paling-paling orang mampu menuturkan apa yang dapat dilihat dan didengarnya jika itu menyangkut orang lain. Itulah sebabnya teknik tersebut tidak selamanya merupakan teknik yang tepat. Di samping itu, adanya kebebasan pengarang justru dapat menyebabkan adanya kecenderungan untuk “kehilangan” sesuatu sehingga menjadi kurang koheren.

Teknik mahatahu memang kurang memberikan sifat kedisiplinan kepada pengarang (Nurgiyantoro, 2010: 350).

2.2.8.3 “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat

Dalam sudut pandang “dia” terbatas, seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja Stanton (via Nurgiyantoro, 2010: 350). Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang berupa tokoh “dia”, namun mereka tidak diberi kesempatanuntuk menunjukan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama. Oleh karena dalam teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap, tokoh tersebut merupakan fokus,

cermin, atau pusat kesadaran, center of consciousness. Berbagai peristiwa dan tindakan yang diceritakan disajikan lewat “pandangan” dan atau kesadaran seorang tokoh, dan hal itu sekaligus berfungsi sebagai “filter” bagi pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 350).

Dalam teknik “dia” terbatas sering juga dipergunakan teknik narasi aliran kesadaran, sream of consciosness, yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan. Sudut pandang cerita, dengan demikian, menjadi bersifatobjektif, objective point of view, atau narasi objektif, objective narration. Pengarang tidak “menganggu” dengan demikian komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakan. Ia hanya berlaku sebagai pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang sebagai pusat kesadaran. Ia sama halnya dengan pembaca, adalah seorang tokoh yang berdiri di luar cerita (Nurgiyantoro, 2013: 351).

Dalam sudut pandang “dia” sebagai pengamat yang benar-benar objektif, narator bahkan hanya dapat menceritakan segala sesuatu yang dapat dilihat dan didengar, atau yang dapat dijangkauoleh indera. Namun, walau ia hanya menceritakan secara apa adanya, kadar ketelitiannya harus diperhitungkan, khususnya ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan berbagai peristiwa, tindakan, latar, sampai ke detail-detail terkecil yang khas. Dalam hal ini narator seolah-olah berlaku sebagai kamera yang berfungsi untuk merekam dan mengabadikan suatu objek (Nurgiyantoro, 2013: 351).

2.2.8.4 Sudut Pandang Persona Pertama “Aku”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, first-person point of view, ”aku”, jadi, gaya “aku” narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self-consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Si “aku” tentu saja punya nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri, nama itu jarang disebut.

Penyebutan nama si “aku” mungkin justru berasal dari ucapan tokoh lain yang bagi si “aku” merupakan tokoh “dia” dan “kau” (Nurgiyantoro, 2013: 352).

Berdasarkan peran dam kedudukan si “aku” dalm cerita, sudut pandang persona pertama dapat dibedakan kedalam dua golongan. Si “aku” mungkin mendudukan peran utama, jadi tokoh utama protagonis, mungkin hanya menduduki peran tambahan, jadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi (Nurgiyantoro, 2013: 353).

2.2.8.5 ”Aku” Tokoh Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupn sendiri, hubungan dengan sesuatu diluar dirinya. Sia “aku” menjadi fokus , pusat kesadaran, pusat cerita. Segela sesuatu yang diuar diri si “aku”, peristiwa, tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya atau dipandang penting (Nurgiyantoro, 2013: 354).

Dokumen terkait