• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Menurut Noeng Muhajir sebagaimana dikutip oleh Suwarno (2006: 19), pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.

Dalam pengertian yang sederhana dan umum, pendidikan merupakan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Atau dengan katalain bahwa pendidikan dapat

diartikan sebagai suatu hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atasa dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (Indar, 1994: 16).

Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinyasehingga memiliki kkekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Suwarno, 2006: 21).

2. Aliran-aliran pendidikan

Terdapat empat aliran pendidikan yang mana keempat aliran tersebut mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang pendidikan:

a.Aliran empirisme

Kata empirisme berasal dari kata „empiris‟ yang berarti pengalaman. Tokoh aliran ini adalah John Locke, seorang filsuf bangsa Inggris yang berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini sebagai kertas kosong atau sebagai meja berlapis lilin (Tabula Rasa) yang belum ada tulisan diatasnya. Jadi John Locke berpendapat bahwa anak dilahirkan ke dunia ini tanpa pembawaan. Menurut teori empirisme, pendidikan adalah maha kuasa dalam

membentuk anak didik menjadi apa yang diinginkannya (Jumali dkk, 2008: 126).

Teori empirisme ini menganggap bahwa pendidikan hanya dapat diperolah dari lingkungan yang ada disekitar. Yang dimaksud dengan lingkungan yaitu lingkungan hidup maupun lingkungan tak hidup yang berpengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan anak.

b. Aliran nativisme

Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya (Purwanto, 2006: 59).

Dalam hubungannya dengan pendidikan, aliran ini berpendapat bahwa hasil akhir pendidikan dan perkembangan ditetntukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak kelahirannya. Lingkungan tidak berpengaruh sama sekali terhadap pendidikan dan perkembangan anak itu. Aliran ini juga berpendapat bahwa pendidikan tidak dapat menghasilkan tujuan yang diharapkan dengan perkembangan anak didik. Dengan kata lain aliran nativisme merupakan aliran pesimisme

dalam pendidikan. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung pada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki oleh anak didik(Jumali dkk, 2008: 126).

c.Aliran naturalisme

Aliran ini hampir sama dengan nativisme yang berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak sejak dilahirkan adalah baik. Teori yang dikemukakan oleh J. J Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru lahir mempunyai pembawaan yang baik, tidak ada seorangpun anak yang lahir dengan pembawaan buruk(Jumali dkk, 2008: 127).

d. Aliran konvergensi

Hukum ini berasal dari ahli ilmu jiwa Jerman, bernama William Stern. Ia berpendapat bahwa faktor pembawaan dan lingkungan kedua-duanya menentukan perkembangan manusia(Purwanto, 2006: 60).

Menurutnya, teori empirisme dan nativisme masing-masing terlalu berat sebelah. Kedua-duanya mendukung kebenaran dan juga ketidakbenaran. Menurut teori konvergensi baik pembawaan maupun lingkungan kedua-duanya mempunyai pengaruh terhadap hasil

perkembangan anak didik. Hasil perkembangan dan pendidikan bergabung pada kecilnya pembawaan serta situasi lingkungan(Jumali dkk, 2008: 128).

Jadi, menurut teori konvergensi perkembangan manusia bukan karena hasil dari pembawaan saja melainkan juga lingkungan yang menentukan hasil pendidikan tersebut. Selain itu kemampuan atau aktivitas seseorang itu sendiri juga menentukan hasil dari pendidikan dan perkembangan manusia. Dengan begitu teori konvergensi menggabungkan antara pembawaan dan lingkungan serta aktivitas manusia itu sendiri. B. Nilai

1. Pengertian Nilai

Teori nilai dalam filsafat dipahami sebagai aksiologi. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Dalam buku Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer karya Jujun S. Suriasumantri disebutkan bahwa aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Bakhtiar, 2013: 163). Menurut Kattsoff, aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai. Terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai,

seperti ekonomi, estetika, etika, filsafat agama dan epistemologi. Etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan (Kattsoff, 1987: 327).

Dalam Ensyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation dengan tiga bentuk:

a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang sempit seperti baik, menarik dan bagus. Dalam pengertian yang luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.

b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.

c. Nilai digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan mengevaluasi. (Bakhtiar, 2013: 164)

Dari definisi di atas disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berharga, indah, dan benar oleh manusia.

2. Teori tentang nilai

Teori tentang nilai membahas dua masalah yaitu etika dan estetika:

a. Etika

Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia yang lain (Bakhtiar, 2013: 165).

b. Estetika

Secara etimologi estetika berasal dari bahasa Yunani, yaitu: aistheta, yang diturunkan dari aisthe (hal-hal yang dapat ditanggapi dengan indra). Pada umumnya aisthe dioposisikan dengan noeta, dari akar kata noein, nous, yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan pikiran (Ratna, 2007: 3).

Estetika menurut Kattsoff dalam buku Element of Philosophy, adalah segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni, sedangkan menurut William Haverson dalam buku Estetika Terapan, estetika adalah segala hal yang berhubungan dengan sifat dasar nilai-nilai nonmoral suatu karya seni (Sachari, 2002: 3).

Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Dalam dunia pendidikan nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan.

C. Sabar

1. Definisi Sabar

Kata sabar berasal dari bahasa Arab shabr, artinya „menahan‟ atau „mengekang‟. Bersabar artinya menahan diri dari segala sesuatu yang disukai dan tidak disukai dengan tujuan mengharapkan ridha dari Allah SWT (Effendy, 2012: 6).

Para ulama telah mendefinisikan sabar dengan banyak definisi. Di antaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Dzunnun al-Mishri. Menurutnya, sabar adalah menghindarkan diri dari hal-hal yang menyimpang, tetap tenang sewaktu ditimpa ujian dan menampakkan kekayaan di kala ditimpa kefakiran dalam kehidupan. Menurut Raghib al-Ashfani, sabar adalah menahan diri berdasarkan apa yang diharuskan oleh akal dan syariat, atau menahan diri dari apa yang diharuskan oleh keduanya untuk ditahan. Sedangkan menurut al-Jurjani, sabar adalah meninggalkan keluh kesah kepada selain Allah tentang pedihnya suatu cobaan (Isa, 2005:225).

Dalam kitab Ta‟rifat yang dijelaskan dalam buku Tafsir Sufistik Said Al-Hawwa dalam Al-Asas fi Al-Tafsir dijelaskan bahwa sabar adalah tidak mengeluh atau mengadu bila ditimpa sakit melainkan menyerahkan kepada Allah (Septiawadi, 2014:180).

Dari definisi-definisi sabar yang berbeda-beda redaksinya di atas disimpulkan bahwa, sabar bukan hanya pada saat seseorang ditimpa musibah, melainkan ketika ia mendapat nikmat dari Allah dan selalu berprasangka baik kepada Allah dan tidak pernah mengeluh terhadap apa yang telah ditimpakan kepada hambanya. 2. Keutamaan sabar

Allah menyebutkan orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat dan menyebutkan kesabaran di dalam Al Qur‟an lebih dari sembilan puluh tempat. Bahkan Allah menambahkan keterangan tentang sejumlah derajat yang tinggi dan kebaikan, dan menjadikannya sebagai buah dari kesabaran. Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 96 yang berbunyi:

































96. Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT akan memberikan balasan kepada orang-orang yang selalu bersikap sabar dalam menghadapi semua yang diberikan oleh Allah dan Allah akan membalasnya dengan pahala yang yang melebihi dari apa yang mereka perbuat dan mereka kerjakan.

3. Macam-macam kesabaran

Sabar mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Sifat sabar yang dimiliki manusia akan menahan mereka dari segala hal yang buruk, karena sifat sabar mempunyai keterkaitan dengan sifat baik lainnya. Menurut Anwar (1999: 187) terdapat empat macam kesabaran di antaranya:

a. Sabar dalam menjalani ketaatan.

Kesabaran semacam ini dapat diperoleh manusia secara lahir dan batin. Secara lahiriah, seseorang harus selalu mengerjakan ketaatan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan ketentuan syara‟. Sedangkan secara batiniah, ia harus ikhlas dan menghadirkan hati ketika sedang mengerjakan ketaatan. Kesabaran ini akan mengingatkan seseorang akan janji-janji Allah, berupa pahala yang disiapkan bagi hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat yang mengerjakan ketaatan. Siapa saja selalu menjalani kesabaran seperti ini akan sampai pada derajat kedekatan dengan Allah.

Di sanalah ia akan merasakan nikmatnya ketaatan(Anwar, 1999: 187 ).

Jadi dalam kaitannya dengan hal ini, sabar berkaitan dengan sifat ikhlas. Ikhlas dalam menjalankan perintah dari Allah dan juga ikhlas dalam menjauhi larangan Allah.

b. Kesabaran dalam menjauhi kemaksiatan.

Sebagaimana kesabaran jenis pertama, kesabaran ini pun dapat diperoleh melalui lahir batin seseorang. Melalui lahirnya, seseorang harus senantiasa meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan. Sedangkan melalui batinnya, ia tidak boleh memberikan kesempatan kepada jiwanya untuk memikirkan dan cenderung kepada kemaksiatan. Sebab, dosa awalnya adalah bisikan jiwa (Anwar, 1999: 187).

c. Kesabaran dalam mengingat dosa-dosa terdahulu.

Bila kesabaran ini dapat melahirkan perasaan takut dan menyesal, maka kerjakanlah, namun bila tidak sebaiknya tinggalkanlah. Kesabaran ini akan mengingatkan seseorang akan ancaman-ancaman Allah yang dipersiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang mengerjakan kemaksiatan, yakni siksaan, baik di dunia dan di akhirat. Siapa saja selalu menjalani kesabaran maka Allah akan memuliakannya (Anwar, 1999: 188).

Kesabaran jenis ini terbagi dalam dua macam. Pertama, hal-hal yang tidak diinginkannya itu langsung datang dari Allah tanpa perantara lagi, seperti sakit, hilangnya harta benda, dan kematian keluarga. Seperti halnya kesabaran di atas, kesabaran ini dapat diperoleh melalui lahir batin seseorang. Melalui lahirnya seseorang harus meninggalkan kebiasan mengeluh atas penderitaan yang diterimanya, sedangkan melalui batinnya ia tidak boleh mengadu kepada sesama makhluk Allah dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syara‟. Dalam firman Allah surat Al- Baqarah ayat 155-157 berbunyi:





































































Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan

berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”

.

Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang apabila ditimpa musibah kemudian mengucapkan kalimat

„Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji‟uun‟, maka Allah akan

selalu memberikan rahmatnya kepada orang-orang tersebut dan merekalah orang-orang yang juga mendapatkan petunjuk dari Allah (Anwar, 1999: 188).

Kedua, hal-hal yang diinginkannya itu datang dari makhluk seperti meyakiti badan, menyinggung perasaan dan merampas harta benda (Anwar, 1999: 188).

BAB III

Dokumen terkait