• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian mengenai perkembangan wayang wong dengan judul ―Wayang wong Kraton Di Kasultanan Ngayogyakarta dan Perkembangannya Dalam Bentuk Wayang wong Pêdhalangan‖ dengan wilayah penelitian di dalam istana Kasultanan

Ngayogyakarta dan di luar kraton ini menekankan perhatian pada

persoalan pokok tentang proses perkembangan dan

penyebarannya, fungsi dan unsur-unsur pertunjukannya. Dalam kaitan ini ditegaskan bahwa kemunculan wayang wong yang pertama terjadi di dalam istana, baru kemudian menyebar ke luar istana.

Setelah wayang wong yang berasal dari dalam istana kasultanan Ngayogyakarta kemudian hidup di luar istana, masyarakat yang berada di luar istana meresepsi wayang wong sebagai objek untuk ditanggapi. Tanggapan masyarakat dilanjutkan dengan langkah interpretasi untuk memproduksi

wayang wong sesuai dengan kebutuhan masyarakat di luar istana

(jaban bètèng). Sehubungan pengelola wayang wong di organisasi atau kelompok masyarakat di luar istana itu masih dekat dengan sumbernya yaitu istana dan memiliki kedekatan secara genealogis dengan masyarakat istana, wayang wong yang dihasilkannya merupakan bentuk ‗baru‘ sebagai bukti terjadinya transformasi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan yang ada di istana.

Kasus perkembangan wayang wong yang berada di wilayah pedesaan di bawah pengaruh para dalang dapat dijelaskan sebagai berikut. Para dalang meresepsi wayang wong istana dalam kapasistas sebagai abdi Dalêm, setelah membawa wayang wong di tengah masyarakat desa menanggapinya dengan melakukan

interpretasi. Sehubungan masyarakat desa (kawula alit) mengakui kemampuannya tidak dapat menyamai wayang wong kraton, interpretasi yang dilakukan dalang bersama masyarakat desa menghasilkan bentuk yang berbeda dengan wayang wong kraton sebagai sumbernya. Bentuk wayang wong di bawah pengaruh dalang wayang purwa disebut wayang wong pêdhalangan itu merupakan bukti terjadinya transformasi. Keterangan demikian berlaku selanjutnya dalam setiap wilayah perkembangan wayang

wong di pedesaan.

Disadari bahwa permasalahan yang dibahas sangat kompleks, maka perlu menggunakan pendekatan yang bersifat multidisiplin. Pemilihan pendekatan multidisiplin ini dikarenakan model pengkajian yang akan dijalankan bersifat tekstual dan kontekstual. Pendekatan yang dipakai dengan demikian menjadi spesifik yaitu pendekatan ethnochoreology (etnokoreologi),22

dengan melibatkan pula pendekatan sejarah, teori perubahan estetika, dan teori sosiologi.

22Etnokoreologi dapat diartikan sebagai ilmu untuk kajian tari suku bangsa atau etnis. Baca: R.M. Soedarsono, ―Penegakan Etnokoreologi Sebagai Sebuah Didiplin‖ dalam R.M. Pramutomo, Etnokoreologi Nusantara Batasan

Kajian, Sistematika, dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI Press Institut Seni

Indonesia Surakarta, 2007), 2. Tari sebagai pernyataan budaya sebaiknya dipahami menggunakan norma-norma yang lazim bagi lingkungan budaya atau kelompok masyarakat pendukungnya, atau pemilik tari yang bersangkutan. Baca juga: I Wayan Dibia, ―Tari Bali Dalam Kajian Etnokoreologi‖ dalam R.M. Pramutomo, 2007, 14.

Fokus perhatian tentang perkembangan wayang wong lebih diutamakan pada peranan agen. Agen sebagai pembawa perkembangan wayang wong setelah berada pada wilayah masyarakat tertentu, diasumsikan membawa kehidupan wayang

wong dalam wilayah masyarakat berbeda. Wilayah masyarakat

yang berbeda dimaknai sebagai peralihan kehidupan wayang

wong menuju lembaga baru, sehingga kondisi lembaga masyarakat

pengelolanya itu yang menentukan isi budaya sekaligus melakukan kontrol terhadap cara-cara wayang wong diproduksi dan memberikan efek tertentu pada masyarakatnya. Peranan agen dalam perkembangan wayang wong di setiap wilayah dengan demikian dalam penelitian ini menjadi spesifikasi penerapan teori R. William.

Pelacakan terhadap perkembangan wayang wong harus melihatnya secara diakronis. Artinya bahwa realitas wayang wong di dalam dan di luar tembok kraton yang ada sekarang ini merupakan fakta kekinian; dan fakta itu ada atau dibangun oleh fakta-fakta masa lampau dalam suatu perjalanan waktu. Keadaan

wayang wong di dalam dan di luar kraton yang ada sekarang

merupakan nuansa dari arus waktu yang dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Artinya bahwa wayang wong yang berada di luar istana tidak dapat lepas dari latar belakang masa lampau wayang

wong itu sendiri. Dalam kepentingan ini perspektif sejarah melihat

masa kini tidak dapat lepas dari masa lampau dan identitasnya.23 Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa pendekatan sejarah memiliki dua dimensi, yaitu: (1) masa kini, dan (2) masa lampau.24 Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam sejarah sosial terdapat dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek struktural. Aspek proses menekankan pada proses dinamis dari kelompok sosial, sedangkan aspek struktural menekankan pada aspek kelembagaan atau organisasi formal yang ketat.25 Penelitian perkembangan wayang wong di dalam dan di luar istana

kasultanan Ngayogyakarta ini tidak mengabaikan atau

memutlakkan pada salah satu aspek, baik baik itu pada aspek prosesual maupun struktural. Dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa sebenarnya dua aspek tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan.26

Dalam kepentingan penelitian ini merujuk pada kategori sejarah. Kategori sejarah dirunut bukan selalu merupakan urutan bergantian, tetapi dapat saling tumpang-tindih, sekali pun pada

dasarnya ada urutan kronologisnya.27 Pembicaraan wayang wong

23Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 41.

24Sartono Kartodirdjo (1992), 42. 25Sartono Kartodirdjo (1992), 50-51. 26Sartono Kartodirdjo (1992), 52.

27Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 6.

selanjutnya perlu mengacu pendapat yang diutarakan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, dalam masyarakat patrimonial ada dikotomi sosial dan budaya. Ada budaya istana dan ada budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Di samping adanya dikotomi ada pula mobilitas budaya ke atas atau ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu saja mengalami transformasi.28 Dalam kebudayaan tradisional di masa lalu diwarnai dualisme. Ungkapan ―desa mawa cara, negara mawa

tata” sebagai penunjuk adanya dua subsistem dalam masyarakat

tradisional. Keduanya merupakan unit terpisah, bahkan saling bertentangan, dan pantang memantang. Sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan (Kasultanan) sebagai pusat kekuatan kreativitas yang sah, desa (rakyat) dalam hal ini mengarah pada

wayang wong pêdhalangan sebagai produk budaya yang dikelola

masyarakat luar kraton, hanya diakui sebagai daerah pinggiran budaya dan kreativitasnya dianggap sebagai karya yang belum

selesai dan mentah (congeries).29 Searah dengan pendapat

Kuntowijoyo, di dalam masyarakat di luar kraton terdapat pengakuan dalam ungkapan cêdhak watu adoh ratu yang mencerminkan pengakuan produk budaya rakyat sebagaimana

28Kuntowijoyo, (1987), 7. 29Kuntowijoyo (1987), 24.

diungkap oleh Kuntowijyo. Untuk mempertegas apa yang disampaikan Kuntowijoyo itu penting untuk diberikan penjelasan mengenai institusi budaya yang menghasilkan produk seni dan bagaimana kegiatan produksi (proses) seni serta hasilnya dikendalikan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan dan simbol apa yang diusahakan, serta norma-norma atau efek budaya apa yang diharapkan dari proses budaya itu. Dalam kepentingan penelusuran ini teori budaya dari Raymond William menjadi alat

pembedah yang tajam dan dapat mejelaskannya.30 Dalam

kepentingan untuk mengupas aras perubahan budaya, akan mengacu pada teori perubahan budaya yang dikemukakan Redfield bahwa suatu budaya yang besar biasanya berpengaruh pada budaya yang lebih kecil, namun bukan sebaliknya. Pada budaya yang sama-sama kuat belum tentu dapat saling

berpengaruh.31 Wayang wong pêdhalangan sebagai produk budaya

masyarakat pedesaan yang dipelopori para dalang wayang purwa, dengan demikian dikategorikan sebagai seni rakyat dan berbeda dengan wayang wong kraton.

Sebagian dalang sebagai pengembang wayang wong

pêdhalangan pada awalnya merupakan abdi Dalêm yang punya

30Raymond William, Culture (Cambridge: Fontana Paperback, 1981).

31 Robert Redfield. The Litle Community Peasant Society and Culture. (London, Chicago: The University of Chicago Press, 1969), 42—43. Baca juga Robert H. Laurer. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Terj. Alimandan. (Jakarta: Bina Aksara, 1977), 403—407.

kesempatan melihat pementasan wayang wong kraton Kasultanan Ngayogyakarta. Dalam hal ini para dalang layak diposisikan sebagai pengamat pentas wayang wong kraton dan meresepsi secara langsung. Tindakan resepsi atau tanggapan para dalang atas wayang wong kraton ditindaklanjuti langkah interpretasi. Interpretasi yang dilakukan para dalang berdasarkan pada kapasitas dan ketrampilan yang dimilikinya. Sehubungan para dalang wayang purwa bukan pelaku wayang wong kraton, produk kreativitasnya (wayang wong pêdhalangan) berbeda dengan

wayang wong kraton, maka terjadilah transformasi.32

Mengenai fungsi wayang wong, R.M. Soedarsono

menjelaskan bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi, dan (3) sebagai presentasi estetis.33 Dijelaskan lebih lanjut oleh R.M. Soedarsono bahwa seni ritual memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) diperlukan tempat dan waktu pertunjukan yang terpilih, (2) pemain yang terpilih, (4) diperlukan seperangkat sesaji, (5) tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilan estetisnya, dan (6) diperlukan busana yang khas.

Unsur-unsur pokok pertunjukan wayang wong meliputi: lakon yang dipentaskan, struktur dramatik, kandha, kêprak,

32Disarikan dari Kuntara Wiryamartana, Arjunawiwaha (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 10.

33R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 123.

bahasa, antawacana (dialog), suluk, tata busana dan rias, dan karakterisasi dari gerak tari.34 Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dapat dicapai melalui studi komparasi pada masing-masing wilayah perkembangan wayang wong sebagai turunannya dengan yang berada di kraton sebagai sumbernya. Selain unsur-unsur pokok tersebut juga diperbandingkan mengenai kualitas gerak (bentuk dan disiplin gerak) serta ragam geraknya. Dalam studi komparasi akan mengacu pada cara-cara yang pernah dilakukan oleh Lindsay yang memasalahkan dua

lakon sama dalam masa yang berbeda.35 Namun perlu

ditambahkan perihal analisis bentuk gerak tari dari

masing-masing wilayah perkembangannya yang kemungkinan

mengandung perbedaan. Dalam kepentingan komparasi antara gerakan tari (koreografi) sangat diperlukan bantuan penggunaan notasi Laban.

Wayang wong di luar istana sebagai turunan dari wayang wong yang berada di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta,

kemunculannya dapat dipandang sebagai produk budaya ―baru‖. Dalam kasus ini Hatcher berpandangan bahwa suatu produk budaya merupakan unikum spesifik yang terwujud berdasarkan

34Periksa Soedarsono, (1997), 363.

35Lindsay membandingkan lakon Pragolamurti masa Hamengku Buwana V dan Pragolamurti masa Hamengku Buwana VIII. Baca: Jennifer Lindsay, Klasik

Kitsch Kontemporer Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa(Yogyakarta:

kompleksitas latar belakang masyarakat yang memproduknya. Untuk memahaminya harus menggunakan pendekatan budaya. Bila suatu masyarakat berubah maka produk budayanya akan berubah pula. Hal ini juga berlaku internal pada proses perubahan

wayang wong di istana. Pengertian masyarakat berubah dapat

dianalogikan sebagai ―masyarakat‖ kraton yang berbeda dengan masyarakat di luar kraton. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dalam melihat suatu kesenian (wayang wong) harus memahami tentang: tempat diproduknya wayang wong, tokoh yang memproduknya, penggunaan, fungsinya, makna wayang wong bagi orang-orang yang membuat dan memilikinya.36 Berdasarkan lima persoalan ini dapat ditarik sebuah penegasan bahwa tokoh yang memproduksinya merupakan embrio dari produk budaya ―baru‖ tersebut. Kedudukan tokoh yang memproduk dapat dipandang sebagai pembawa atau penyebar dalam konteks perkembangan wayang wong dalam penelitian ini. Pandangan sosiologis dari Hauser, mengantarkan pemahaman bahwa wayang

wong pada masing-masing wilayah atau kelompok tersebut atau

hasil atau produknya akan memiliki ciri yang berbeda-beda tergantung dari beberapa faktor, yaitu: faktor alam dan budaya, geografi dan masyarakatnya, waktu dan tempat, biologi dan

36Evelyn Hatcher, Arts as Cultural: An Introduction to the Anthropology of

psikologi, dan taraf ekonomi dan klas sosial masing-masing

masyarakat pengembangnya.37

Dokumen terkait