A. Latar Belakang
Wayang wong1 gaya Yogyakarta sebagai salah satu kesenian
adiluhung merupakan kesenian yang sakral dan memiliki peranan
penting dalam sistem pemerintahan kasultanan Ngayogyakarta2
yakni sebagai bagian dari upacara ritual kenegaraan, terutama
pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VIII.3
Kesakralan juga tampak pada perlakuan terhadap tulisan yang dibaca oleh seorang dalang yang disebut sêrat kandha. Dalam pembacaannya teknik olah vocal pembacaan sêrat kandha (maos
kandha) dalam wayang wong gaya Yogyakarta, yakni lebih
bersuara berat, tegas dan dapat mencerminkan unsur maskulinitasnya. Metrum, irama, tonika, dinamika, serta ekpresinya mirip dengan matra kakawin yang ditentukan oleh
1Istilah wayang wong dalam disertasi ini sengaja dipilih berdasarkan pendapat R.M. Soedarsono yang menerangkan bahwa istilah tersebut berasal dari Wayang Wwang pada masa Majapahit yakni drama tari yang dibawakan oleh manusia. Selanjutnya Soedarsono menyimpulkan bahwa wayang wong dari Kasultanan Ngayogyakarta merupakan renaissance atau upaya untuk menghidupkan kembali Wayang Wwang dari zaman Majapahit. Baca R.M. Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), 29.
2Istilah Ngayogyakarta dipakai untuk menjelaskan ketika Kasultanan Ngayogyakarta sebagai nagari merdeka yang berdaulat sampai era Hamengku Buwana IX awal. Selanjutnya akan dipakai istilah Yogyakarta ketika Nagari Ngayogyakarta bergabung dengan Negara Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta.
jumlah baris dalam setiap bait dan ketentuan jumlah suku kata dalam setiap baris. Dalam setiap baris terdapat suku kata yang
diucapkan pendek maupun panjang.4
R.M. Soedarsono menduga bahwa pertunjukan wayang
wong pertama kali untuk memperingati penobatan Hamengku
Buwana I sekitar 1757, yang kedua tahun 1760, dan yang ketiga sekitar 1780-an. Wayang wong merupakan pertunjukan besar dan sakral, pergelarannya hanya dilaksanakan pada waktu dan acara yang sangat khusus di istana Kasultanan Ngayogyakarta yaitu sebagai bagian penting upacara ritual kenegaraan.5
Wayang wong sebagai seni yang sakral, keberadaannya
dipandang sebagai pusaka Dalêm (milik raja) kasultanan. Dalam kehidupan budaya baik materi maupun non materi, biasanya tokoh penguasa ditempatkan sebagai pencipta atau pembuat
artefak budaya.6 Perlakuan terhadap wayang wong tentunya
menuntut perhatian lebih dan persyaratan-persyaratan khusus untuk mempergelarkannya. Pergelarannya yang ritus dan dengan nuansa kemegahan merupakan identifikasi dari kemegahan sang Sultan sebagai ratu gung binatara. Wayang wong dengan demikian merupakan salah satu dari unsur pelegitimasian tahta Sri Sultan.
4P.J. Zoetmulder, Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, terjemahan Dick Hartoko SJ. (Jakarta : Djambatan, 1983), 121.
5R.M. Soedarsono (1997), 161.
6Timbul Haryono, Seni Dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu (Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2009), 6.
Dalam acara inilah aspek ke-Wisnu-an Sri Sultan ditampakkan dan sekaligus menjalin benang merah hubungan antara Ngayogyakarta dan Majapahit.7
Setiap Sultan yang memerintah berusaha menghidupkan dan menyelenggarakan pentas wayang wong, ini berarti setiap pewaris tahta kasultanan menganggap dan memperlakukan
wayang wong sebagaimana dicontohkan oleh sultan terdahulu.
Perlakuan yang sangat istimewa terhadap wayang wong berpengaruh pada seni-seni pertunjukan yang lahir di luar istana. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921), di luar istana muncul drama tari Jawa berbentuk opera disebut Langendriya. Drama tari opera ini diciptakan oleh adik sultan sendiri yakni Pangeran Mangkubumi pada tahun 1876. Sumber cerita yang dibawakan berasal dari cerita Damarwulan. Elemen pertunjukannya terdiri dari lakon atau cerita, iringan karawitan, dialog tembang, kehadiran aktor atau penokohan, dalang, serta kêprak8. Unsur dialog drama tari opera Langendriya
menggunakan jenis tembang têngahan dan macapat. Gerakan tari dalam Langendriya dilakukan dalam level rendah dan menggunakan teknik tari jèngkèng (posisi lutut penari tidak
7Soedarsono (1997), 157.
8Kêprak untuk menyebut benda yang terbuat dari kayu (nangka atau jati) di bagian atas dibuat lobang memanjang dan bila dipukul dapat menghasilkan bunyi.
menyentuh lantai pentas). Langendriya berkembang di lingkungan dekat istana dan pernah tercatat pula dipentaskan di dalam kraton, ketika terjadi perkawinan antara putra mahkota Sultan Hamengku Buwana VII dengan putri Pangeran Mangkubumi .
Setelah kemunculan Langendriya, lahir pula drama tari opera yang disebut Langen Mandra Wanara yang membawakan sumber cerita Ramayana. Drama tari opera Langen Mandra
Wanara diciptakan oleh K.P.H. Yudanegara III di Yogyakarta.9
Elemen pertunjukannya juga terdiri dari lakon atau cerita, iringan karawitan, aktor, dialog, dalang, dan keprak. Elemen dialog menggunakan bentuk tembang macapat. Teknik tarinya dilakukan dalam level rendah dan menggunakan teknik tari jèngkèng (posisi lutut penari menyentuh lantai pentas). Kehadiran Langen Mandra
Wanara di tengah masyarakat di luar kraton mendapatkan
sambutan baik dan mengalami perkembangan pesat sampai pelosok-pelosok kampung di wilayah Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII
pementasan wayang wong di kraton sangat jarang, namun ada suatu peristiwa yang berharga bagi perkembangan wayang wong. Pendirian Kridha Beksa Wirama (KBW) pada tahun 1918 yang dipelopori atas dorongan pergerakan Jong Java, berhasil
9Ben Suharto, ―Perkembangan Tari Klasik Gaya Yogyakarta‖ dalam Fred Wibowo, Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, (Yogyakarta, Dewan Kesenian Prop. D.I.Y., 1981), 114.
membawa seni tari istana ke luar kraton atas ijin Sultan Hamengku Buwana VII. Putra sultan G.P.H. Tejakusuma dan B.P.H. Soerjodiningrat sangat berperan dalam pendirian KBW sebagai organisasi seni pertama yang mengadakan pendidikan tari bagi masyarakat umum.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII (1921-1939) di Kasultanan Ngayogyakarta perkembangan wayang wong mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan berbagai kemajuan dalam tata busana, iringan dengan munculnya gending-gending baru, ragam gerak, serta kelengkapan setting panggung yang lebih cangih. Pementasan wayang wong diselenggarakan di Tratag Bangsal Kencana menghadap ke timur dan pentas yang dimulai jam 06.00 sampai sore hari. Pencapaian dan pencanggihan
wayang wong pada masa Hamengku Buwana VIII oleh R.M.
Soedarsono dinyatakan sebagai puncak atau zaman ke-emasan
wayang wong di Kasultanan Ngayogyakarta.
Dalam perjalanan sejarah wayang wong, ternyata wayang
wong kraton kasultanan Ngayogyakarta dapat dijumpai tidak
hanya di dalam istana namun juga di luar istana, dan pergelarannya tidak selalu berkaitan dengan upacara penobatan Sultan. Hal ini menunjukkan bahwa selain masih hidup di dalam istana, wayang wong telah menembus tembok istana atau hidup di luar lingkungan istana dan mendapat sambutan di kalangan
masyarakat biasa. Fenomena ini menarik, di istana wayang wong masih hidup dan dipentaskan sementara di luar istana wayang
wong juga dipentaskan oleh masyarakat. Di lingkungan seniman
luar istana, wayang wong telah ditanggapi dengan berbagai bentuk turunan sebagai wujud perkembangannya. Sambutan ini juga dapat dijumpai dalam organisasi-organisasi yang menggeluti dan mengelola tari klasik tradisi istana Yogyakarta. Kridha Beksa
Wirama (KBW) yang didirikan pada tahun 1918 (Masa Hamengku
Buwana VII) diperkuat dorongan kaum pergerakan Jong Java melakukan perjuangan salah satunya melalui media kebudayaan.
Kridha Beksa Wirama dipimpin oleh B.P.H. Soerjodiningrat dan
G.P.H. Tedjakusumo atas ijin Sultan Hamengku Buwana VII mengajarkan tari klasik tradisi istana kepada masyarakat, termasuk wayang wong.
Setelah Hamengku Buwana IX menduduki tahta kasultanan Ngayogyakarta, pentas wayang wong diselenggarakan di Pagelaran kraton menghadap ke utara, dan dilaksanakan pada malam hari selama kurang lebih 3 jam. Dalam catatan sejarah Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta,10 pada tanggal
10Sejak tuntutan masyarakat Yogyakarta merebak menghendaki gubernur dan wakil gubernur ditentukan dengan cara penetapan serta menuntut status keistimewaan Yogyakarta, stasiun televisi nasional dan beberapa stasiun televisi swasta sejak pertengahan tahun 2010 sampai Januari 2011 sering menayangkan sejarah Kraton Ngayogyakarta dan langkah yang
18 Agustus 1945 Sultan Hamengku Buwana IX menyampaikan maklumat bahwa Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat bergabung dengan Negara Republik Indonesia yang baru diproklamasikan. Setelah peristiwa tersebut tercatat bahwa Sultan Hamengku Buwana IX banyak menduduki jabatan kenegaraan dan tinggal di Jakarta sebagai ibu kota negara. Hamengku Buwana IX setelah tidak lagi menjabat di lingkungan pemerintahan Republik Indonesia sampai wafatnya tetap berada dan tinggal di Jakarta. Dalam kondisi semacam ini pementasan wayang wong di kraton Yogyakarta hampir tidak pernah dihadiri oleh Sultan. Dalam kebijakannya terhadap kraton, Sultan Hamengku Buwana IX banyak melakukan perubahan dan perombakan kebijakan. Salah satu kebijakan Hamengku Buwana IX adalah mendirikan Bebadan
Among Beksa yang diberi tugas mengelola seni pertunjukan istana
termasuk wayang wong pada tahun 1950.
Organisasi atau Yayasan Siswa Among Beksa (YASAB), sebagai kelanjutan dari Bebadan Among Bekso yang didirikan atas perintah Sultan Hamengku Buwana IX (tahun 1950) juga mengajarkan wayang wong. Pengurus YASAB terdiri dari kalangan seniman kraton (abdi Dalêm dan kerabat sultan). Siswanya tidak hanya berasal dari kalangan istana melainkan ada yang dari luar
diambil oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pendukung akan keistimewaan Yogyakarta dalam kesatuan negara Republik Indonesia.
istana. Tujuan pendirian organisasi ini adalah menyelenggarakan pembelajaran tari klasik untuk keperluan Sultan bila
sewaktu-waktu pentas wayang wong dibutuhkan.11
Organisasi Mardowo Budoyo Yogyakarta pimpinan K.R.T. Sasmintadipura juga mengelola dan mengajarkan tari klasik gaya Yogyakarta kepada siswanya. Pada tahun 1981 organisasi ini pernah bekerja sama dengan Gradika Yogya Pariwisata (GYP) dalam rangka menyelenggarakan pentas wayang wong Ramayana untuk keperluan pariwisata.12 Penyelenggaraan pentas wayang wong Ramayana tersebut bekerjasama dengan pihak perhotelan, guest house, dan travel agency. Kerjasama ini tentunya membawa
nuansa baru bagi Mardowo Budoyo, yang semula hanya merupakan tempat latihan dari bentuk semacam kursus yang diselenggarakan dengan keterbatasan-keterbatasan pentas bagi murid-muridnya, sejak bulan April 1981 mempunyai ajang pentas baru. Sisi positif bagi murid-murid yang belajar di Mardowo
Budoyo dapat berkompetisi dengan belajar teknik tari yang baik
agar dapat terpilih untuk memamerkan kemampuannya di depan penonton wisatawan manca negara.13
11Wawancara dengan K.R.T. Pujaningrat (R.M. Dinusatomo) selaku pimpinan Siswa Among Beksa.
12Pengalaman peneliti (Supadma) selaku anggota Mardowo Budoyo dan ikut terlibat dalam pertunjukan tersebut, antara tahun 1985 – 1995.
13Budi Astuti, ―K.R.T. Sasmintadipura Koreografer Tari Jawa Dalam Menghadapi Berbagai Tantangan Zaman‖, Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana S2 pada Prograam Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1996, 112.
R.M. Soedarsono memberi penjelasan tentang ciri-ciri seni pertunjukan untuk wisatawan, yaitu dihilangkan dari unsur sakral, bentuk mini, tiruan dari aslinya, penuh variasi, dan murah bagi wisatawan. Kemungkinan besar apa yang dilakukan oleh Organisasi Mardowo Budoyo dalam mengelola wayang wong Ramayana untuk wisatawan akan mengalami perubahan yang signifikan sesuai dengan pernyataan R.M. Soedarsono.14
Tanggapan atas wayang wong ini tidak hanya terjadi di sekitar tembok kraton dan beberapa organisasi kesenian, tetapi telah mampu merambah wilayah yang jauh dari istana. Di Gunung Kidul, Sleman, dan di Bantul telah tumbuh kelompok-kelompok kesenian wayang wong meskipun sifatnya masih amatiran. Kehidupan wayang wong di daerah pedesaan tersebut dipelopori oleh para dalang wayang purwa. Para dalang yang hidup di kalangan masyarakat tidak hanya menjalankan profesi pokok menyajikan seni pakeliran wayang purwa, namun juga mengelola dan mengembangkan wayang wong. Sajian wayang wong yang dilakukan oleh para dalang wayang purwa ini, kemudian lebih
melekat dengan sebutan wayang wong pêdhalangan.
Perkembangan wayang wong dengan demikian tidak hanya terjadi di masyarakat dalam pengertian suatu wilayah teritorial, tetapi
14R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan
juga dilakukan oleh para dalang wayang kulit purwa (sebuah komunitas non teritorial) meskipun sifatnya hanya temporal.
Fenomena perkembangan wayang wong, baik di dalam istana, di sekitar tembok kraton dan yang jauh dari istana menunjukkan bahwa wayang wong yang berada di kraton, di organisasi-organisasi yang mempelajari tari klasik tradisi istana, dan di pedesaan oleh komunitas dalang, di samping terdapat kesamaan tetapi sekaligus juga memiliki perbedaan yang cukup mencolok, baik mengenai bentuk pergelaran, cerita, dan beberapa unsur lainnya.
Fenomena demikian menunjukkan bahwa wayang wong dalam perjalanan sejarahnya yang sangat panjang telah mengalami perkembangan, baik dari dimensi ruang, waktu, maupun bentuk pergelarannya. Maksud dimensi ruang di sini adalah hal-hal yang berkenaan dengan wilayah kehidupan wayang
wong. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII
dan sebelumnya, wayang wong hanya hidup di lingkungan dalam kraton (jêron bètèng), namun dalam perjalanan waktu wayang
wong tidak hanya ada di lingkungan dalam istana Kraton
Kasultanan Ngayogyakarta saja melainkan telah dapat dijumpai di beberapa wilayah di luar kraton (jaban bètèng) seperti di Kabupaten Gunung Kidul, Sleman, dan Bantul.
Sejarah perkembangan tari klasik tradisi istana (wayang
wong) ternyata telah mewarnai tradisi tari di luar kasultanan.
Sejarah telah membuktikan bahwa pengaruh tari klasik yang berasal dari Kasultanan Yogyakarta ke istana Mangkunegaran telah menghasilkan gaya yang khas Mangkunegaran namun tetap menampakkan tari tradisi Kasultanan Yogyakarta.15 Begitu pula
tari gaya Surakarta pernah berpengaruh besar pada tari gaya Pakualaman akibat adanya perkawinan Paku Alam VII dengan putri Paku Buwana X yang bernama Retna Puwasa.16 Keduanya
terjadi akibat kontak budaya dari masing-masing wilayah budaya dan kemudian menghasilkan suatu ekpresi budaya yang khas.
Wayang wong yang dikelola di beberapa organisasi seni dan di
masyarakat pedesaan akan memiliki kekhasan masing –masing sesuai kondisi budaya masyarakatnya.
Adapun yang dimaksud dengan dimensi waktu adalah hal-hal yang berkenaan dengan waktu atau acara pelenggaraan pertunjukan wayang wong. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dan sebelumnya, wayang wong hanya dipergelarkan dalam upacara ritual kenegaraan saja, yakni ketika
15Theresia Suharti, ―Tari Di Mangkunegaran: Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya dalam Dimensi Kultural 1916-1988.‖ Tesis untuk meraih derajat Sarjana S-2 Program Studi Sejarah, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,1990, 71—77.
16A.M. Hermien Kusmayati, ―Bedhaya di Pura Pakualaman Pembentukan dan Perkembangannya, 1909-1987‖. Tesis untuk meraih derajat Sarjana S-2 pada program Studi Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1988, 81.
ulang tahun naik tahta sang sultan, peringatan berdirinya kraton
kasultanan (jumênêngan Dalêm dan adêging nagari Dalêm).17 Pada
waktu selanjutnya, pergelaran wayang wong di kraton atau yang diprakarsai pihak kraton, tidak hanya dalam acara yang berhubungan dengan sultan, tetapi juga dalam acara lainnya. Suatu contoh pentas-pentas wayang wong di wilayah luar kraton sebagai tempat penyebarannya. Fenomena demikian menunjukkan telah terjadi perubahan pandangan masyarakat, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton terhadap wayang wong.
Adapun yang dimaksud bentuk pergelaran adalah hal-hal yang berkenaan dengan pengemasan pementasan wayang wong itu sendiri terutama meliputi durasi pementasan dan elemen pertunjukannya yang meliputi tata rias, busana, antawacana atau dialog, kandha (narasi yang dibaca oleh pêmaos kandha), iringan musik, dan cerita yang disajikan. Berdasarkan uraian ini tampak bahwa sejarah telah mengantarkan wayang wong menuju ke
perkembangannya sebagaimana dijumpai sekarang.
Perkembangan internal (dalam istana) wayang wong dan di luar kraton tersebut tidak serta-merta terjadi begitu saja, melainkan melalui sebuah proses yang panjang dan kompleks. Dalam hal ini tentu ada tokoh yang membawanya, misi yang menyertai, serta
cara mensikapinya. Dalam proses perkembangan tersebut disertai pula proses adaptasi sehingga selain ada kesamaan juga muncul perbedaan dengan aslinya (wayang wong kraton). Terutama menyangkut wayang wong pêdhalangan sebagai kelanjutan perkembangan dari bentuk wayang wong kraton. Persoalan yang berkenaan dengan proses terjadinya perkembangan dan unsur-unsur yang telah mengalami perkembangan dalam wayang wong, baik mengenai penambahan maupun pengurangan inilah yang dijadikan bahan kajian dan dijelaskan.
B. Rumusan Masalah
Persoalan wayang wong pada dasarnya sangat kompleks dan semuanya menarik untuk dikaji. Dalam penulisan kajian difokuskan pada persoalan pertama, ketika wayang wong hanya dikelola oleh masyarakat istana dianggap sebagai pusaka dan belum diijinkan dikelola oleh masyarakat di luar istana, lalu bagaimana dampak yang terjadi dengan seni pertunjukan yang berada di luar istana. Persoalan dilanjutkan pada bagaimana proses perkembangan wayang wong tradisi istana baik di dalam istana pasca Hamengku Buwana VII dan di luar kraton setelah
wayang wong diijinkan untuk dikelola oleh masyarakat di luar
Perubahan dan perkembangan yang terjadi secara internal di kraton diasumsikan bahwa setiap adanya pergantian penguasa dari Hamengku Buwono VII ke Hamengku Buwono VIII serta menuju ke masa pemerintahan Hamengku Buwana IX sampai era Hamengku Buwono X merupakan era yang berbeda dan berpengaruh terhadap kehidupan wayang wong. Pertama dan utama ulasan yang disampaikan mengarah pada proses perkembangan wayang wong menuju luar istana, sehingga terlebih dahulu diawali dengan pemaparan penyebab wayang
wong yang sakral sebagai upacara ritual kenegaraan dan dianggap
sebagai pusaka diperkenankan keluar dari lingkungan kraton. Keberadaan wayang wong di luar istana atau di luar kraton disikapi oleh masyarakat secara hati-hati. Masyarakat dalam menanggapi wayang wong yang sakral tersebut sadar bahwa mereka berhadapan dengan pusaka Dalêm (Sultan). Masyarakat di luar kraton mempunyai perlakuan-perlakuan khusus terhadap
wayang wong. Penjelasan dalam penulisan ini selanjutnya
mengarah pada persoalan berikutnya tentang cara-cara yang dilakukan masyarakat di luar kraton untuk mengembangkan
wayang wong.
Dalam proses perkembangan wayang wong terjadi perubahan, baik materi maupun bentuk pergelarannya serta fungsi yang menyertainya, yang membedakan antara wayang
wong istana sebagai induknya dan wayang wong di luar kraton
sebagai turunannya termasuk wayang wong pêdhalangan. Persoalan-persoalan ini menjadi fokus bahasan di samping permasalahan yang tidak kalah penting hubungannya dengan penyebaran wayang wong, yaitu terjadinya perubahan fungsi dan penyebabnya. Berdasarkan pemaparan tadi dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses perkembangan wayang wong tradisi istana pasca Sultan Hamengku Buwana VII baik di dalam dan di luar istana setelah seni pertunjukan ini diijinkan dikelola di luar istana?
2. Siapakah tokoh-tokoh yang berperan melakukan perkembangan?
3. Bagaimana cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengembangkan seni pertunjukan tersebut?
4. Bagaimana perubahan fungsinya dan apa penyebabnya? 5. Mengapa terjadi perubahan bentuk dari wayang wong
kraton menjadi wayang wong pêdhalangan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian terhadap perkembangan wayang wong di lingkup dalam kraton dan di luar kraton dengan judul ―Wayang Wong Kraton di Kasultanan Ngayogyakarta dan Perkembangannya dalam
Bentuk Wayang Wong Pēdhalangan‖ memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Melacak dan menjelaskan proses perkembangan wayang
wong tradisi istana Yogyakarta pasca Hamengku Buwana VII
baik yang berada di dalam dan di luar istana.
2. Melacak dan menjelaskan tokoh-tokoh yang melalukan pengembangan.
3. Melacak dan menjelaskan cara masyarakat dalam mengembangkan wayang wong tersebut.
4. Melacak dan menjelaskan penyebab perubahan fungsi
wayang wong.
5. Melacak penyebab terjadinya perubahan bentuk dengan menjelaskan unsur-unsur wayang wong apa saja yang telah mengalami perkembangan dari bentuk wayang wong kraton menjadi bentuk wayang wong pêdhalangan..
Penelitian perkembangan wayang wong di kraton dan di luar kraton ini tidak bertujuan untuk membangun sebuah generalisasi atas perkembangan wayang wong tradisi istana atau kraton Yogyakarta. Melalui penelitian ini diharapkan akan diperoleh manfaat pemahaman atas perkembangan wayang wong
yang agak utuh dan dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkannya lebih lanjut dalam rangka menghadapi perkembangan jaman. Semoga penelitian ini dapat menjadi daya
dorong dalam pengembangan penulisan lebih lanjut serta dapat dijadikan inspirasi dalam membangun proses pewarisan wayang
wong yang lebih terprogram bagi generasi yang akan datang.
D. Tinjauan Pustaka
Yogyakarta merupakan wilayah budaya yang cukup banyak mendapatkan perhatian dari kalangan intelektual. Terbukti dari adanya berbagai hasil penelitian dan tulisan-tulisan yang pada dasarnya merupakan kajian terhadap berbagai fenomena budaya, khususnya kesenian, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang dan kepentingan. Penelitian ini dipandang penting untuk dilakukan mengingat sampai saat ini belum ada hasil penelitian
yang secara detail dan mendalam mengkaji masalah
perkembangan wayang wong baik yang berada di dalam istana Kasultanan Ngayogyakarta maupun di luar istana. Beberapa peneliti telah mengulas tentang wayang wong, namun khusus yang ada di dalam istana saja. Perkembangan wayang wong yang berada di luar istana boleh disebut belum tersentuh. Informasi mengenai wayang wong di istana Kasultanan Ngayogyakarta antara lain dapat ditemukan dalam penelitian R.M. Soedarsono.
Karya penelitian R.M. Soedarsono yang berjudul, Beberapa
Faktor Penyebab Kemunduran Wayang Wong Gaya Yogyakarta Suatu Pengamatan Dari Segi Estetika Tari (1980) mengungkap
wayang wong dari sisi konsep estetisnya. Dijelaskan oleh R.M.
Soedarsono bahwa wayang wong gaya Yogyakarta merupakan personifikasi dari pertunjukan wayang kulit. Disebutkan pula bahwa kehadiran seorang dalang (pêmaos kandha) pada wayang
wong di kasultanan Ngayogyakarta dalam menyampaikan cerita
tidak dengan hafalan dan improvisasi, melainkan dengan membaca teks yang sudah tertulis dalam sêrat kandha. Informasi terpenting yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa kemunduran wayang wong di kasultanan Ngayogyakarta disebabkan biaya yang dibutuhkan terlalu mahal. Pada hal kondisi ekonomi kraton tidak memungkinkan untuk menopang biaya yang sangat besar dan mahal tersebut. Keterangan ini kemudian ditegaskan lagi dalam hasil penelitian R.M. Pramutomo18, setelah
Hamengku Buwana IX memerintah kasultanan Ngayogyakarta, segala kepentingan perayaan dan upacara yang memerlukan biaya sangat mahal dipangkas dan bentuk upacaranya disederhanakan. Termasuk penyelenggaraan pentas wayang wong di dalam kraton.
Ben Suharto dalam tulisannya berjudul ―Perkembangan Tari Klasik Gaya Yogyakarta‖ dalam Mengenal Tari Klasik Gaya
Yogyakarta (1981), editor Fred Wibowo, membagi periodesasi
18R.M. Pramutomo, ―Pengaruh Bentuk Pemerintahan ―Pseudoabsolutisme‖ Pasca Perjanjian Giyanti 1755 Terhadap Perkembangan Tari Jawa Gaya Yogyakarta‖. Disertasi untuk meraih derajad doktor pada Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta, 2008.
perkembangan wayang wong gaya Yogyakarta menjadi tiga, yaitu: (1) periode pertumbuhan, mulai zaman Hamengku Buwana I sampai Hamengku Buwana VII, (2) periode pembakuan, mulai zaman Hamengku Buwana VIII sampai tahun 1960, dan (3) periode pengembangan dimulai dari tahun 1960 menuju waktu selanjutnya. Menurut Ben Suharto, perkembangan seni tari istana di luar kraton telah dimulai sejak masa pemerintahan Hamengku Buwana VI (1855-1877). Hal ini ditandai dengan munculnya
Langendriya, Langen Asmarasupi, dan Langen Mandra Wanara.
Dijelaskan Ben Suharto bahwa meskipun ketiga tari tersebut menggunakan teknik tari jongkok, namun tetap menggunakan patokan seni tari istana. Tujuan dari penggunaan teknik tari jongkok agar tidak menyamai seni tari yang berkembang di istana seperti srimpi, bêdhaya, dan wayang wong. Dalam tradisi oral di
Yogyakarta berkembang anggapan bahwa rakyat biasa
(masyarakat di luar kraton) tidak boleh menciptakan kesenian yang menyamai kraton. Di pihak lain ada pendapat bahwa rakyat sendirilah yang memiliki rasa takut untuk menciptakan kesenian yang menyamai seni di kraton. Dua anggapan yang terjadi di masyarakat Yogyakarta dalam tradisi oral ini tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai keterangan ilmiah. Ben Suharto menerangkan bahwa langendriya dan Langen Mandra Wanara merupakan pengembangan bentuk tarian istana, namun belum
memberikan penjelasan secara utuh perbedaannya. Di samping itu alasan yang diberikan agar tidak menyamai seni tari yang berkembang di istana belum diberikan alasan cukup. Berdasarkan penjelasan Ben Suharto, dianggap penting dalam penelitian ini menjelaskan penyebab bentuk wayang wong yang lahir di luar kraton memiliki perbedaan dengan yang ada di dalam kraton Kasultanan Ngayogyakarta.
Masalah periodesasi perkembangan kehidupan wayang
wong istana kasultanan Ngayogyakarta juga dibahas oleh Y.
Sumandiyo Hadi dalam bukunya yang berjudul Tari Klasik Gaya
Yogyakarta Legitimasi Warisan Budaya (2013). Kehidupan wayang wong di Kasultanan Ngayogyakarta menurut Y. Sumandiyo Hadi
sejak munculnya pertama kali sebagai ciptaan Sultan Hamengku Buwana I tahun 1756-1792 sebagai masa pertumbuhan-pembentukan. Dalam hal ini diberikan penegasan bahwa tarian klasik istana (wayang wong) lahir barsamaan dengan kawruh
jogéd Mêtaram, dan keduanya tidak terpisahkan. Periode
berikutnya diberikan tajuk cukup jelas sebagai masa kemandegan-kesuraman yang terjadi pada masa Hamengku Buwana II samapi masa Hamengku Buwana III berjalan selama 22 tahun sejak 1972-1814. Kemandegan dan kesuraman yang terjadi akibat faktor sosial, politik, dan ekonomi sebagai dampak diberhentikannya
bantuan ekonomi oleh Gubernur Daendeles kepada pihak kraton pada waktu itu.
Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV dan masa Hamengku Buwana V di Kasultanan Ngayogyakarta sebagai masa perkembangan-pemulihan. Menurut Y. Sumandiyo Hadi bahwa pada masa Hamengku Buwana IV tercatat terjadi pementasan
wayang wong sekurang-kurangnya 8 kali pada setiap hari ulang
tahun penobatannya, sehubungan masa pemerintahan Hamengku
Buwana IV hanya berlangsung 9 tahun.19 Penguatan masa
pemulihan perkembangan wayang wong terjadi pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V setelah Sultan menginjak usia dewasa. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana V terjadi pementasan wayang wong dengan lakon Pragolamurti, Petruk Dadi Ratu, Rabinipun Angkawijaya, Jayasemadi, dan Pregiwa-Pregiwati.
Masa perkembangan-mobilitas wayang wong baru terjadi setelah Kasultanan Ngayogyakarta di bawah pemerintahan Hamengku Buwana VI dilanjutkan masa Hamengku Buwana VII. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VI terdapat 2 kali pementasan wayang wong dengan lakon Jayasemadi dan Pragolamurti. Sementara itu diluar istana lahir atau muncul
19Y. Sumandoyo Hadi, Tari Klasik Gaya Yogyakarta Legitimasi Warisan
Langêndriya. Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII
terjadi mobilitas kehidupan tari istana di luar kraton dengan lahirnya Kridha Baksa Wirama tahun 1918. Secara pasti Y. Sumandiyo Hadi memberi penjelasan bahwa masa pemerintahan Hamengku Buwana VI sampai masa pemerintahan Hamengku Buwana VII di dalam istana tidak banyak melakukan kegiatan seni pertunjukan, karena konsentrasinya terlalu diperas untuk urusan konflik keluarga (istana).20
Y. Sumandiyo Hadi selanjutnya memberi keterangan bahwa masa perkembangan-progres wayang wong terjadi pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII (1921-1939). Pada masa
pemerintahan Hamengku Buwana VIII di Kasultanan
Ngayogyakarta suasana sosial politik yang berkaitan dengan konflik keluarga sudah reda. Kegiatan seni pertunjukan oleh karenanya dapat meningkat frekwensinya dan mengalami perkembangan yang baik sehingga dapat ditengarai sebagai
perkembangan kemajuan-progres. Tercatat pada masa
pemerintahan Hamengku Buwana VIII sampai beliau wafat tahun 1939,terjadi pementasan wayang wong sebanyak 11 kali.
Masa perkembangan-pembaharuan wayang wong dibagi menjadi periode pertama tahun 1940-1950, periode kedua tahun
1950-1973, dan periode ketiga tahun 1973-1988.21 Wafatnya
Hamengku Buwana VIII hampir bersamaan dengan meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939 berdampak pada kemerosotan ekonomi Kasultanan Ngayogyakarta. Hamengku Buwana IX setelah dilantik sebagai Sultan tahun 1940, lebih berkonsentrasi pada persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun pada tahun 1941 di kraton berhasil mengujicobakan bêksan golèk
ménak atas prakarsa Sultan sendiri. Selama tahun 1945-1950
pelaksanaan pertunjukan di dalam istana sangat jarang dilakukan sehubungan sejak saat itu Hamengku Buwana IX mendapatkan tugas jabatan kenegaraan sampai tahun 1978 sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Sehubungan dengan kesibukan Hamengku Buwana IX tersebut, pada tahun 1950 Sultan memerintahkan pembentukan Bêbadan Among Bêksa untuk mengelola tari istana termasuk wayang wong. Sultan Hamengku Buwana IX sejak tahun 1971 memprakarsai perlawatan kesenian kraton ke luar negeri, sedangkan tahun 1973 atas kehendak Sultan pula pengelolaan seni tari istana dari Bêbadan Among
Bêksa dikembalikan pengelolaannya ke dalam kraton di bawah Kawêdanan Hagêng Punakawan Kridha Mardawa.
Dalam rentang waktu perkembangan kehidupan wayang
wong yang dibahas oleh Y. Sumandiyo Hadi sejak masa Hamengku
Buwana I sampai masa Hamengku Buwana X memerintah Kasultanan Yogyakarta, telah memaparkan proses sejarah kehidupan wayang wong istana secara lengkap. Dalam hal ini historisitas para Sultan dan prestasi seni budaya yang dihasilkannya telah dijelaskan pula. Hubungannya dengan periodesasi kehidupoan wayang wong, pemikiran sejarah tentang kebijakan para Sultan yang telah ditulis oleh para cendekiawan (non seni pertunjukan) dipakai untuk mempertajam topik
periodesasi kehidupan wayang wong di Kasultanan
Ngayogyakarta.
Y. Sumandiyo Hadi dalam buku ini belum membahas
wayang wong yang hidup di wilayah pedesaan. Dalam rentang
sejarah wayang wong kiranya masih perlu dipaparkan lembaga atau organisasi atau pengelola lain yang secara nyata mendukung penguatan kontinyuitas kehidupan wayang wong. Wayang wong yang berada di wilayah pedesaan dan dipelopori oleh para dalang wayang purwa dan dikelola bersama masyarakat desa merupakan topik menarik dan perlu dibahas. Hal ini sangat penting untuk mengetahui proses kehidupan wayang wong yang pertama muncul di dalam istana kasultanan Ngayogyakarta kemudian berkembang di wilayah desa menjadi wayang wong pêdhalangan.
R.M. Soedarsono dalam disertasinya yang berjudul ―Wayang
Aspects and Characterization‖ (1983) kemudian diterbitkan dalam
bahasa Inggris berjudul Wayang Wong: The State Ritual Dance
Drama in the Court of Yogyakarta (1984, 1990). Edisi dalam bahasa
Indonesia dengan judul Wayang Wong Drama Tari Ritual
Kenegaraan di Kraton Yogyakarta (1997) telah membahas dengan
lengkap dan detail mengenai wayang wong di kraton Kasultanan Ngayogyakarta serta kelahiran tari-tarian lain seperti bêdhaya dan
srimpi. Dijelaskan di dalamnya bahwa perkembangan wayang wong di kraton Kasultanan Ngayogyakarta dimulai sejak masa
pemerintahan Hamengku Buwana I sampai pada zaman keemasan
wayang wong di masa pemerintahan Hamengku Buwana VIII yang
keberadaannya sebagai ritual kenegaraan. Dijelaskan pula mengenai tata busana pada masa pemerintahan Hamengku Buwana VII melalui dokumen fotografi wayang wong dari Groneman, serta keterangan mengenai unsur-unsur pertunjukan
wayang wong.
R.M. Soedarsono memberi penjelasan mengenai
perkembangan wayang wong di luar istana ditandai dengan pendirian Kridha Beksa Wirama atas restu Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Keterangan awal yang disampaikan oleh R.M. Soedarsono ini dapat dipakai sebagai petunjuk kebenaran bahwa memang wayang wong dari Kasultanan Ngayogyakarta tidak hanya hidup dan berkembang di dalam istana saja. R.M.
Soedarsono juga menjelaskan bahwa KBW merupakan organisasi tari pertama yang menyelenggarakan pendidikan tari gaya Yogyakarta di luar istana. Namun dalam tulisan R.M. Soedarsono
belum mencakup perkembangan wayang wong secara
keseluruhan yang ada di organisasi-organisasi kesenian di Yogyakarta dan yang berkembang di masyarakat umum, yakni
wayang wong pêdhalangan.
R.M. Soedarsono dalam Seni Pertunjukan Indonesia di Era
Globalisasi (2002) menguraikan mengenai sejarah lahirnya wayang wong di kraton Mangkunegaran Surakarta dan kraton
Ngayogyakarta. Dijelaskan pula mengenai perbedaan antara
wayang wong gaya Mangkunegaran dan wayang wong gaya
Yogyakarta. Dalam bukunya yang lain berjudul Seni Pertunjukan
Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (2003), R.M. Soedarsono
menjelaskan bahwa sistem kekuasaan memegang peranan penting dalam perkembangan seni pertunjukan. Absolutisme di Perancis yang mendudukkan sang raja memiliki kekuasaan tanpa batas memiliki pengaruh sangat besar terhadap seni pertunjukan yang difungsikan sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Hal demikian juga berlaku di dalam pseudo absolutisme di Indonesia akibat kolonialisasi Belanda atas raja-raja Jawa sebagaimana yang terjadi di kasultanan Ngayogyakarta. Dalam satu sisi raja menerapkan konsep Ratu Gung Binathara, yaitu rakyat memandang bahwa raja
mereka adalah raja besar yang didewakan, di sisi lain raja harus tunduk pada pemerintah kolonial Belanda. Kondisi demikianlah yang mendorong Sultan untuk menggunakan wayang wong sebagai alat legitimasi kekuasaannya.
Claire Holt dalam Melacak Jejak-jejak Perkembangan Seni Di
Indonesia terjemahan R.M. Soedarsono (2000) memberi penjelasan
bahwa perembesan drama tari (wayang wong) dari tembok kraton menuju sekolah tari Kridha Beksa Wirama pada tahun 1918 disponsori kraton Yogyakarta sendiri. Dalam buku ini dijelaskan pula mengenai proses pembelajaran tari, baik di Kridha Beksa
Wirama maupun di kraton serta bagian-bagian penting tata laku
pertunjukan wayang wong di kraton Kasultanan Ngayogyakarta. Holt juga memberikan koreksi atas ketidaksetujuannya tentang kehadiran setting realis berupa pot-pot bunga dalam suatu adegan dan gambaran tiruan gua serta laut yang terbuat dari semacam kertas semen terasa sangat mengganggu keutuhan sajian wayang
wong. Tulisan Holt pada dasarnya hanya mengungkap sepotong
informasi yang menurutnya perlu dikomentari, tetapi tidak mengulasnya secara utuh. Di samping itu Holt juga tidak mengungkap kehidupan wayang wong yang ada di luar kraton.
Sumandiyo Hadi dalam Pasang Surut Tari Klasik Gaya
Yogyakarta (2001), menyinggung sedikit mengenai perkembangan wayang wong namun tidak membahasnya, melainkan hanya
mengemukakan pandangannya bahwa pelembagaan wayang
wong di luar tembok kraton Kasultanan Ngayogyakarta
mengandung dua makna penting, yaitu: pertama, sebagai pendukung legitimasi kedudukan istana sebagai sumber kesenian Jawa; kedua, sebagai transmisi atau pewarisan tradisi dalam rangka melestarikan, membina, dan mengembangkannya. Perkembangan (bila dikaitkan dengan wayang wong) di sini bersifat ke bawah.
Jeniffer Lindsay dalam bukunya Klasik, Kitsch, Kontemporer menjelaskan dan membandingkan naskah wayang wong lakon Pragolamurti masa Hamengku Buwana V dan masa Hamengku Buwana VIII. Pada Masa Hemengku Buwana VIII pentas wayang
wong yang menghadirkan kembali lakon Pragolamurti yang disalin
berdasarkan naskah Pragolamurti masa Hamengku Buwana V telah terjadi perubahan. Perubahan itu terjadi pada naskah
pocapan (dialog), dan ringkasan adegan menjadi lebih pendek.
Lindsay juga mengomentari pentas wayang wong lakon Rama Nitis pada tahun 1981 dengan penata tari Ben Suharto, Sunartomo, dan Rama Sasminta Mardawa. Pentas tersebut dikatakan tidak dapat merekonstruksi bentuk asli wayang wong istana era Hamengku Buwana VIII (puncak keemasan). Lindsay dalam bukunya ini juga belum menyinggung kehidupan wayang wong di luar istana, yakni wayang wong pêdhalangan.
Berdasarkan uraian dari karya-karya penelitian tersebut di atas tampak bahwa perkembangan wayang wong di dalam lingkungan kraton Kasultanan Ngayogyakarta pasca Hamengku Buwono VIII dan di luar tembok kraton, terutama organisasi kesenian dan di pedesaan belum mendapat perhatian. Cara masyarakat pedesaan (luar tembok kraton) mensikapi wayang
wong istana untuk ditêdhak, serta perubahan yang terjadi pada wayang wong masa Hamengku Buwana IX dan Hamengku
Buwana X dan wayang wong yang berkembang di pedesaan yang dikelola oleh para dalang wayang purwa dalam bentuk wayang
wong pêdhalangan juga belum dibicarakan. Berdasarkan fakta
yang demikian, penelitian dengan judul Wayang wong Kraton Di Kasultanan Ngayogyakarta dan Perkembangannya Dalam Bentuk
Wayang wong Pêdhalangan ini dipandang penting untuk
dilakukan mengingat belum ada hasil penelitian yang secara detail dan mendalam mengkaji masalah perkembangan wayang wong kraton di Kasultanan Ngayogyakarta dan di luar istana.
E. Landasan Teori
Penelitian mengenai perkembangan wayang wong dengan judul ―Wayang wong Kraton Di Kasultanan Ngayogyakarta dan Perkembangannya Dalam Bentuk Wayang wong Pêdhalangan‖ dengan wilayah penelitian di dalam istana Kasultanan
Ngayogyakarta dan di luar kraton ini menekankan perhatian pada
persoalan pokok tentang proses perkembangan dan
penyebarannya, fungsi dan unsur-unsur pertunjukannya. Dalam kaitan ini ditegaskan bahwa kemunculan wayang wong yang pertama terjadi di dalam istana, baru kemudian menyebar ke luar istana.
Setelah wayang wong yang berasal dari dalam istana kasultanan Ngayogyakarta kemudian hidup di luar istana, masyarakat yang berada di luar istana meresepsi wayang wong sebagai objek untuk ditanggapi. Tanggapan masyarakat dilanjutkan dengan langkah interpretasi untuk memproduksi
wayang wong sesuai dengan kebutuhan masyarakat di luar istana
(jaban bètèng). Sehubungan pengelola wayang wong di organisasi atau kelompok masyarakat di luar istana itu masih dekat dengan sumbernya yaitu istana dan memiliki kedekatan secara genealogis dengan masyarakat istana, wayang wong yang dihasilkannya merupakan bentuk ‗baru‘ sebagai bukti terjadinya transformasi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan yang ada di istana.
Kasus perkembangan wayang wong yang berada di wilayah pedesaan di bawah pengaruh para dalang dapat dijelaskan sebagai berikut. Para dalang meresepsi wayang wong istana dalam kapasistas sebagai abdi Dalêm, setelah membawa wayang wong di tengah masyarakat desa menanggapinya dengan melakukan
interpretasi. Sehubungan masyarakat desa (kawula alit) mengakui kemampuannya tidak dapat menyamai wayang wong kraton, interpretasi yang dilakukan dalang bersama masyarakat desa menghasilkan bentuk yang berbeda dengan wayang wong kraton sebagai sumbernya. Bentuk wayang wong di bawah pengaruh dalang wayang purwa disebut wayang wong pêdhalangan itu merupakan bukti terjadinya transformasi. Keterangan demikian berlaku selanjutnya dalam setiap wilayah perkembangan wayang
wong di pedesaan.
Disadari bahwa permasalahan yang dibahas sangat kompleks, maka perlu menggunakan pendekatan yang bersifat multidisiplin. Pemilihan pendekatan multidisiplin ini dikarenakan model pengkajian yang akan dijalankan bersifat tekstual dan kontekstual. Pendekatan yang dipakai dengan demikian menjadi spesifik yaitu pendekatan ethnochoreology (etnokoreologi),22
dengan melibatkan pula pendekatan sejarah, teori perubahan estetika, dan teori sosiologi.
22Etnokoreologi dapat diartikan sebagai ilmu untuk kajian tari suku bangsa atau etnis. Baca: R.M. Soedarsono, ―Penegakan Etnokoreologi Sebagai Sebuah Didiplin‖ dalam R.M. Pramutomo, Etnokoreologi Nusantara Batasan
Kajian, Sistematika, dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI Press Institut Seni
Indonesia Surakarta, 2007), 2. Tari sebagai pernyataan budaya sebaiknya dipahami menggunakan norma-norma yang lazim bagi lingkungan budaya atau kelompok masyarakat pendukungnya, atau pemilik tari yang bersangkutan. Baca juga: I Wayan Dibia, ―Tari Bali Dalam Kajian Etnokoreologi‖ dalam R.M. Pramutomo, 2007, 14.
Fokus perhatian tentang perkembangan wayang wong lebih diutamakan pada peranan agen. Agen sebagai pembawa perkembangan wayang wong setelah berada pada wilayah masyarakat tertentu, diasumsikan membawa kehidupan wayang
wong dalam wilayah masyarakat berbeda. Wilayah masyarakat
yang berbeda dimaknai sebagai peralihan kehidupan wayang
wong menuju lembaga baru, sehingga kondisi lembaga masyarakat
pengelolanya itu yang menentukan isi budaya sekaligus melakukan kontrol terhadap cara-cara wayang wong diproduksi dan memberikan efek tertentu pada masyarakatnya. Peranan agen dalam perkembangan wayang wong di setiap wilayah dengan demikian dalam penelitian ini menjadi spesifikasi penerapan teori R. William.
Pelacakan terhadap perkembangan wayang wong harus melihatnya secara diakronis. Artinya bahwa realitas wayang wong di dalam dan di luar tembok kraton yang ada sekarang ini merupakan fakta kekinian; dan fakta itu ada atau dibangun oleh fakta-fakta masa lampau dalam suatu perjalanan waktu. Keadaan
wayang wong di dalam dan di luar kraton yang ada sekarang
merupakan nuansa dari arus waktu yang dilalui dalam perjalanan sejarahnya. Artinya bahwa wayang wong yang berada di luar istana tidak dapat lepas dari latar belakang masa lampau wayang
wong itu sendiri. Dalam kepentingan ini perspektif sejarah melihat
masa kini tidak dapat lepas dari masa lampau dan identitasnya.23
Sartono Kartodirdjo menyebutkan bahwa pendekatan sejarah memiliki dua dimensi, yaitu: (1) masa kini, dan (2) masa lampau.24 Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam sejarah sosial
terdapat dua aspek, yaitu aspek proses dan aspek struktural. Aspek proses menekankan pada proses dinamis dari kelompok sosial, sedangkan aspek struktural menekankan pada aspek kelembagaan atau organisasi formal yang ketat.25 Penelitian
perkembangan wayang wong di dalam dan di luar istana
kasultanan Ngayogyakarta ini tidak mengabaikan atau
memutlakkan pada salah satu aspek, baik baik itu pada aspek prosesual maupun struktural. Dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa sebenarnya dua aspek tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan.26
Dalam kepentingan penelitian ini merujuk pada kategori sejarah. Kategori sejarah dirunut bukan selalu merupakan urutan bergantian, tetapi dapat saling tumpang-tindih, sekali pun pada
dasarnya ada urutan kronologisnya.27 Pembicaraan wayang wong
23Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), 41.
24Sartono Kartodirdjo (1992), 42. 25Sartono Kartodirdjo (1992), 50-51. 26Sartono Kartodirdjo (1992), 52.
27Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987), 6.
selanjutnya perlu mengacu pendapat yang diutarakan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, dalam masyarakat patrimonial ada dikotomi sosial dan budaya. Ada budaya istana dan ada budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, simbol dan norma sendiri-sendiri. Di samping adanya dikotomi ada pula mobilitas budaya ke atas atau ke bawah, yang menyebabkan baik lembaga, simbol dan normanya tentu saja mengalami transformasi.28 Dalam kebudayaan tradisional di masa lalu
diwarnai dualisme. Ungkapan ―desa mawa cara, negara mawa
tata” sebagai penunjuk adanya dua subsistem dalam masyarakat
tradisional. Keduanya merupakan unit terpisah, bahkan saling bertentangan, dan pantang memantang. Sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan (Kasultanan) sebagai pusat kekuatan kreativitas yang sah, desa (rakyat) dalam hal ini mengarah pada
wayang wong pêdhalangan sebagai produk budaya yang dikelola
masyarakat luar kraton, hanya diakui sebagai daerah pinggiran budaya dan kreativitasnya dianggap sebagai karya yang belum
selesai dan mentah (congeries).29 Searah dengan pendapat
Kuntowijoyo, di dalam masyarakat di luar kraton terdapat pengakuan dalam ungkapan cêdhak watu adoh ratu yang mencerminkan pengakuan produk budaya rakyat sebagaimana
28Kuntowijoyo, (1987), 7. 29Kuntowijoyo (1987), 24.
diungkap oleh Kuntowijyo. Untuk mempertegas apa yang disampaikan Kuntowijoyo itu penting untuk diberikan penjelasan mengenai institusi budaya yang menghasilkan produk seni dan bagaimana kegiatan produksi (proses) seni serta hasilnya dikendalikan; isi budaya menanyakan apa yang dihasilkan dan simbol apa yang diusahakan, serta norma-norma atau efek budaya apa yang diharapkan dari proses budaya itu. Dalam kepentingan penelusuran ini teori budaya dari Raymond William menjadi alat
pembedah yang tajam dan dapat mejelaskannya.30 Dalam
kepentingan untuk mengupas aras perubahan budaya, akan mengacu pada teori perubahan budaya yang dikemukakan Redfield bahwa suatu budaya yang besar biasanya berpengaruh pada budaya yang lebih kecil, namun bukan sebaliknya. Pada budaya yang sama-sama kuat belum tentu dapat saling
berpengaruh.31 Wayang wong pêdhalangan sebagai produk budaya
masyarakat pedesaan yang dipelopori para dalang wayang purwa, dengan demikian dikategorikan sebagai seni rakyat dan berbeda dengan wayang wong kraton.
Sebagian dalang sebagai pengembang wayang wong
pêdhalangan pada awalnya merupakan abdi Dalêm yang punya
30Raymond William, Culture (Cambridge: Fontana Paperback, 1981).
31 Robert Redfield. The Litle Community Peasant Society and Culture. (London, Chicago: The University of Chicago Press, 1969), 42—43. Baca juga Robert H. Laurer. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Terj. Alimandan. (Jakarta: Bina Aksara, 1977), 403—407.
kesempatan melihat pementasan wayang wong kraton Kasultanan Ngayogyakarta. Dalam hal ini para dalang layak diposisikan sebagai pengamat pentas wayang wong kraton dan meresepsi secara langsung. Tindakan resepsi atau tanggapan para dalang atas wayang wong kraton ditindaklanjuti langkah interpretasi. Interpretasi yang dilakukan para dalang berdasarkan pada kapasitas dan ketrampilan yang dimilikinya. Sehubungan para dalang wayang purwa bukan pelaku wayang wong kraton, produk kreativitasnya (wayang wong pêdhalangan) berbeda dengan
wayang wong kraton, maka terjadilah transformasi.32
Mengenai fungsi wayang wong, R.M. Soedarsono
menjelaskan bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu (1) sebagai sarana ritual, (2) sebagai ungkapan pribadi yang pada umumnya berupa hiburan pribadi, dan (3) sebagai presentasi estetis.33 Dijelaskan lebih lanjut oleh R.M. Soedarsono bahwa seni
ritual memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) diperlukan tempat dan waktu pertunjukan yang terpilih, (2) pemain yang terpilih, (4) diperlukan seperangkat sesaji, (5) tujuan lebih dipentingkan dari pada penampilan estetisnya, dan (6) diperlukan busana yang khas.
Unsur-unsur pokok pertunjukan wayang wong meliputi: lakon yang dipentaskan, struktur dramatik, kandha, kêprak,
32Disarikan dari Kuntara Wiryamartana, Arjunawiwaha (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 10.
33R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 123.
bahasa, antawacana (dialog), suluk, tata busana dan rias, dan karakterisasi dari gerak tari.34 Untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi dapat dicapai melalui studi komparasi pada masing-masing wilayah perkembangan wayang wong sebagai turunannya dengan yang berada di kraton sebagai sumbernya. Selain unsur-unsur pokok tersebut juga diperbandingkan mengenai kualitas gerak (bentuk dan disiplin gerak) serta ragam geraknya. Dalam studi komparasi akan mengacu pada cara-cara yang pernah dilakukan oleh Lindsay yang memasalahkan dua
lakon sama dalam masa yang berbeda.35 Namun perlu
ditambahkan perihal analisis bentuk gerak tari dari
masing-masing wilayah perkembangannya yang kemungkinan
mengandung perbedaan. Dalam kepentingan komparasi antara gerakan tari (koreografi) sangat diperlukan bantuan penggunaan notasi Laban.
Wayang wong di luar istana sebagai turunan dari wayang wong yang berada di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta,
kemunculannya dapat dipandang sebagai produk budaya ―baru‖. Dalam kasus ini Hatcher berpandangan bahwa suatu produk budaya merupakan unikum spesifik yang terwujud berdasarkan
34Periksa Soedarsono, (1997), 363.
35Lindsay membandingkan lakon Pragolamurti masa Hamengku Buwana V dan Pragolamurti masa Hamengku Buwana VIII. Baca: Jennifer Lindsay, Klasik
Kitsch Kontemporer Sebuah Studi tentang Seni Pertunjukan Jawa(Yogyakarta:
kompleksitas latar belakang masyarakat yang memproduknya. Untuk memahaminya harus menggunakan pendekatan budaya. Bila suatu masyarakat berubah maka produk budayanya akan berubah pula. Hal ini juga berlaku internal pada proses perubahan
wayang wong di istana. Pengertian masyarakat berubah dapat
dianalogikan sebagai ―masyarakat‖ kraton yang berbeda dengan masyarakat di luar kraton. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dalam melihat suatu kesenian (wayang wong) harus memahami tentang: tempat diproduknya wayang wong, tokoh yang memproduknya, penggunaan, fungsinya, makna wayang wong bagi orang-orang yang membuat dan memilikinya.36 Berdasarkan
lima persoalan ini dapat ditarik sebuah penegasan bahwa tokoh yang memproduksinya merupakan embrio dari produk budaya ―baru‖ tersebut. Kedudukan tokoh yang memproduk dapat dipandang sebagai pembawa atau penyebar dalam konteks perkembangan wayang wong dalam penelitian ini. Pandangan sosiologis dari Hauser, mengantarkan pemahaman bahwa wayang
wong pada masing-masing wilayah atau kelompok tersebut atau
hasil atau produknya akan memiliki ciri yang berbeda-beda tergantung dari beberapa faktor, yaitu: faktor alam dan budaya, geografi dan masyarakatnya, waktu dan tempat, biologi dan
36Evelyn Hatcher, Arts as Cultural: An Introduction to the Anthropology of
psikologi, dan taraf ekonomi dan klas sosial masing-masing
masyarakat pengembangnya.37
F. Metode Penelitian
Pada hakikatnya penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menguak tentang wayang wong di dalam istana dan di luar istana. Wayang wong di dalam istana Kasultanan Ngayogyakarta yang ada sekarang merupakan produk budaya masyarakat kraton yang telah mengalami perubahan. Wayang wong yang hidup di luar kraton sebagai hasil turunan dari wayang wong istana kasultanan Ngayogyakarta dalam proses perkembangannya sebagai produk budaya ‗baru‘.
Pembahasannya memerlukan satu metode yang tepat agar hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.38 Dalam penelitian ini
disadari bahwa permasalahan dalam proses perkembangan
wayang wong di dalam dan di luar kraton sangat kompleks. Hal
ini tentu tidak mungkin dapat dijelaskan hanya dengan satu disiplin, harus multidisiplin yang tidak dapat mengabaikan pendekatan sejarah. Di samping itu harus pula melalui studi banding guna mendapatkan kemiripan dan perbedaannya, dan
37Arnold Hauser, The Sociology of Art, translated by Kenneth J. Northcott (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), 94.
38R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 39.
dengan pelacakan atas perkembangannya akan didapatkan sebab-sebab perubahannya. Atas dasar objek formal dan material dari kajian ini, maka penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berada di bawah payung etnokoreologi. R.M. Soedarsono memberi gambaran bahwa penelitian kualitatif ibarat sebuah ‗teka-teki‘ atau sebuah ‗misteri‘, untuk menjawab teka-teki itu harus menjawab pertanyaan ‗mengapa‘ dan bukan menjawab pertanyaan ‗apa‘. Untuk menjawab berbagai persoalan dalam penelitian ini, disusun langkah-langkah atau tindakan sebagai metode penelitian dengan tahapan sebagai berikut.
1. Persiapan
Hal yang dilakukan dalam tahap ini adalah pemilihan topik yang menarik dan penting untuk dilakukan penelitian, kemungkinan pencarian data, maupun analisisnya. Atas pertimbangan persoalan tersebut peneliti menetapkan untuk studi tentang perkembangan wayang wong baik di dalam maupun di luar istana. Hal yang sangat menarik adalah proses penyebarannya serta hasil perkembangannya (produk budaya). Untuk mendapatkan keyakinan atas objek dan topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah dengan cara studi pustaka.
2. Studi pustaka
Tahapan ini adalah mencermati karya-karya tulis yang berkenaan dengan wayang wong. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti didapatkan persoalan-persoalan yang belum tersentuh, di antaranya adalah proses perkembangan wayang wong pasca Hamengku Buwana VII dan yang terjadi di luar tembok istana kraton Ngayogyakarta dan bentuk transformasinya.
Atas dasar temuan tersebut, penelitian ini membahas tentang proses perkembangan wayang wong, tokoh-tokoh penyebarnya, makna bagi masyarakat pengembangnya, serta cara masyarakat dalam mengembangkan wayang wong. Melalui cara ini diharapkan diperoleh penjelasan mengenai proses perkembangan wayang wong dalam kontinuitas dan sekaligus diskontinuitasnya. Selain itu dicermati pula sumber pustaka yang berkenaan dengan metode penelitian, landasan teori, serta konsep-konsep yang mendukung analisis.
3. Pengumpulan data
Disadari bahwa data dan informasi merupakan bagian terpenting dari sebuah penelitian. Data merupakan bagian yang akan dikaji sedangkan informasi diperlukan untuk
membantu dalam analisis data. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui dua cara yaitu kerja lapangan dan studi pustaka. Data dari lapangan diperoleh melalui wawancara terhadap tokoh yang terlibat langsung dalam wayang wong istana dan para pendiri kelompok
wayang wong di masing-masing wilayah, terdiri tokoh-tokoh
awal yang terlibat pada pendirian kelompok wayang wong atau paling tidak yang mengetahui sejarah kelahiran kelompok wayang di wilayahnya.
Tokoh-tokoh yang dapat memberikan keterangan lisan secara langsung dikategorikan menjadi informan kunci. Informan kunci ditentukan sesuai dengan kapasitas dan ketokohannya sebanyak enam orang, berasal dari masyarakat kraton dan di luar kraton serta dari setiap pimpinan wayang wong pêdhalangan di pedesaan. Selain itu wawancara juga dilakukan dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi mengenai pandangan mereka terhadap wayang wong, baik yang di istana maupun di luar istana. Ditambah cara kedua, pelacakan melalui studi pustaka yaitu cara mencari informasi melalui pelacakan dan pembacaan atas naskah-naskah utamanya yang digunakan dalam pertunjukan wayang wong istana yang tersimpan di perpustakaan kraton. Dalam hal ini pengertian sumber
primer terdiri dari para tokoh dan pelaku wayang wong kraton yang pernah memberikan keterangan langsung kepada peneliti, maupun tokoh atau pelaku yang memberi keterangan sewaktu penelitian dilakukan. Sumber primer yang lain berupa manuskrip-manuskrip yang berkenaan dengan catatan tentang wayang wong kraton. Manuskrip diperlakukan sebagai sumber primer berhubungan dengan fakta bahwa catatan dalam manuskrip tersebut memang pernah dipakai secara langsung dalam pentas-pentas
wayang wong kraton. Kedua jenis sumber primer dalam
penelitian ini dianggap dapat saling melengkapi kebutuhan data yang diperlukan.
Instrumen wawancara yang digunakan terdiri alat perekam audio dan perekam audiovisual. Bentuk wawancara bebas tanpa memberi batasan waktu. Model pertanyaan bebas, pertanyaan dalam bentuk tidak terstruktur dalam bentuk wawancara langsung untuk mengumpulkan informasi dan pengalaman informan secara lengkap dan untuh.
4. Analisis data
Data yang telah terkumpul kemudian diseleksi atas dasar kategori-kategori yang telah ditentukan dan kemudian dianalisis menggunakan teori yang telah dirumuskan.
Perkembangan wayang wong baik di dalam lingkungan istana maupun di luar istana tentunya terjadi dalam proses dialektik dan berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Dialektika yang terjadi secara internal di dalam istana akan menghasilkan inovasi, sedangkan yang terjadi di luar istana merupakan akulturasi. Diumpamakan bahwa produk
wayang wong bermuatan budaya masyarakat dalam istana
bertemu dengan budaya masyarakat luar istana, sehingga kemungkinan produk wayang wong yang dihasilkan oleh masyarakat di luar kraton akan berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini analisis sejarah berurusan dengan persoalan yang berhubungan dengan proses perkembangan wayang wong, secara diakronis baik untuk memahami fakta kekinian maupun untuk mengetahui proses perubahan wayang wong bentuk ―baru‖ yang diperbandingkan dengan fakta masa lampaunya. Begitu pula dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam istana Kasultanan Ngayogyakarta. Analisis sosiologi akan berurusan dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan wayang wong. Analisis gerak dan karakter berurusan dengan perbandingan kualitas gerak dan pengkarakteran tokoh-tokoh dalam masing-masing wayang wong bentuk ―baru‖ tersebut. Analisis koreografi
digunakan untuk mengupas perubahan unsur-unsur wayang
wong pada masing-masing kelompok.
Berdasarkan konsep-konsep di atas kiranya dapat dibuat skema analisis sebagai berikut:
Bagan 1. Model Analisis Sejarah Wayang wong
Model Bagan 1 dibuat oleh Supadma Peristiwa I Peristiwa II Pro-ses di-a- lek-ti-ka Dimen-si ruang dan waktu Peristiwa ‗n‘ Proses perkem-bangan wayang wong
Bagan 2. Model Analisis Persebaran Wayang wong
Model Bagan 2 dibuat oleh Supadma Penyebar 1
Wayang wong Turunan 1
Wayang wong kraton
Penyebar 2
Wayang wong Turunan 2
Penyebar n
Masyarakat
P xn P x2 P x1
Bagan 3. Model Analisis Komparasi
Model Bagan 3 dibuat oleh Supadma
Perkembangan wayang wong di luar kraton secara geografis dapat dibedakan menjadi dua yaitu masyarakat di lingkungan atau sekitar kraton (cêdhak ratu) dan masyarakat pedesaan yang jauh dari kraton (adoh ratu cêdhak watu). Mereka memiliki alam dan budaya, biologis dan psikologis, serta tingkat ekonomi dan klas sosial yang berbeda. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh pada produk budayanya, yaitu bentuk turunan pertunjukan
wayang wong.
Wayang wong kraton
Turunan wayang wong I Turunan wayang wong II
Analisis gerak dan karakter, analisis tari
Analisis gerak dan karakter, analisis tari
Ditemukan perubahan nya Studi perban-dingan
Analisis gerak dan karakter, analisis tari
wayang wong pêdhalan gan
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan secara keseluruhan terbagi ke dalam enam bab, dan dilengkapi dengan daftar pustaka serta glosarium. Sejumlah gambar juga disertakan sebagai pendukung laporan. Adapun ke-enam bab tersebut adalah sebagai berikut.
BAB I berisi latar belakang permasalahan dari objek kajian yang mengarahkan pada indikator-indikator munculnya permasalahan penelitian. Selanjutnya disusun dalam bentuk rumusan masalah agar penelitian ini berjalan sesuai dengan inti masalah yang diteliti. Setelah beberapa masalah ditentukan, maka ditentukan pula tujuan penelitiannya berdasarkan pada masalah-masalah yang diajukan. Untuk memperkokoh penelitian diperlukan adanya pustaka-pustaka pendukung agar tidak terjadi pengulangan dan plagiasi dalam penelitian, maka dilakukan pula tinjauan pustaka yang terkait dengan topik penelitian. Untuk menjalankan proses penelitian perlu suatu panduan penelitian berupa kerangka teoritik yang berhubungan dengan masalah kebudayaan utamanya berhubungan dengan objek yang diteliti. Untuk itu selanjutnya ditentukan landasan teori yang dipakai pada penelitian ini. Bagian akhir penuangan cara-cara penelitian yang dilakukan berupa suatu metode dalam melakukan penelitian.
BAB II berisi latar belakang kemunculan dan peta kehidupan
wayang wong di Yogyakarta. Diawali dengan pengantar berisi
kisah heroik perjuangan dan keberhasilan P. Mangkubumi sampai menjadi raja atau Sultan yang berkedudukan di Ngayogyakarta. Sifat yang dimiliki dan citra kharismatiknya setelah menjadi Sultan Hamengku Buwana I dijelaskan sebagai faktor penentuan
wayang wong sebagai seni pertunjukan kebesaran Kasultanan
Ngayogyakarta. Penjelasannya melalui kedekatan Sultan dengan berbagai artefak pusaka serta kedudukan Sultan pada penyelenggaraan pentas wayang wong dalam pemahaman ratu
gung binathara. Dalam konteks pertunjukan wayang wong di
istana seorang Sultan dengan demikian juga dihubungkan dengan model politik pemerintahan yang dijalankan. Tahap berikutnya menyinggung kehidupan wayang wong di luar istana pada organisasi-organisasi yang ada, dilanjutkan keberadaan wayang
wong di wilayah pedesaan di bawah pengaruh dalang wayang
purwa menjadi wayang wong pêdhalangan.
BAB III berisi tentang perkembangan wayang wong yang dirunut melalui karya sastra Jawa Kuna yang mewartakan asal-usul adanya pertunjukan yang diindikasikan sebagai awal pertunjukan
wayang wong sampai peristiwa palihan nagari tahun 1755 yang