• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji permasalahan berkait dengan: (1) Mengapa Campursari karya Manthous dapat hidup menjadi musik industri? (2) Bagaimana Campursari karya Manthous dapat menempati ruang budaya massa di celah industri seni budaya lain yang menjadi hiburan massa?

Guna mengkaji kedua inti permasalahan ini, maka dalam mengkajinya akan menggunakan payung dari disiplin ilmu karawitanologi dan musikologi. Namun demikian karena dipandang dengan kedua disiplin ilmu itu saja diperkirakan tidak mampu membedah permasalahan ini secara utuh, maka diperlukan sistem analisis yang lebih komprehensif dengan meminjam berbagai teori

32

Joko Tri Laksono, 2010, 12-14; 112.

dan konsep dari disiplin ilmu lain. Berbagai teori dan konsep dari disiplin ilmu lain itu, secara pokok dapat disebutkan seperti, psikologi sosial, sosiologi kebudayaan, ekonomi, komunikasi, dan budaya pop dari sudut pandang disiplin ilmu cultural studies sebagai sebuah pendekatan multi-disiplin.

Model penelitian seperti ini (dalam arti yang menggunakan pendekatan multi-disiplin) dalam seni pertunjukan, salah satunya dilakukan oleh R.M. Soedarsono yang hasil penelitiannya dibukukan dengan judul Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata, diterbitkan tahun 1999.33 Penjelasan pendekatan penelitian yang digunakan Oleh R.M. Soedarsono dalam penelitian itu juga dimuat dalam buku

Metodologi Penelitian Seni pertunjukan dan Seni Rupa, diterbitkan

tahun 2001.34 Demikian pula Marco de Marinis juga menggunakan sebuah pendekatan multi-disiplin dalam penelitian seni pertunjukannya yang dimuat dalam bukunya yang berjudul The

Semiotics of Performance.35 Penelitian R.M. Soedarsono dan Marco de Marinis ini akhirnya oleh penulis dijadikan acuan atau model dalam penelitian ini sekalipun tidak akan persis sama dalam penerapannya.

33

R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 5.

34

Periksa R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: MSPI, 2001), 53.

35

Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Alih bahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Aine O’Healy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 6 – 9.

Disiplin ilmu karawitanologi mengemukakan adanya struktur bentuk gendhing yang dijadikan patokan dalam bermain musik gamelan atau karawitan. Gendhing-gendhing tradisi dalam karawitan memiliki berbagai struktur bentuk gendhing yang dapat digunakan untuk patokan atau dasar memainkan bentuk gendhing tertentu yang diinginkan. Di antara sekian banyak stuktur bentuk gendhing dalam karawitan itu oleh Sri Hastanto dalam buku yang ditulisnya berjudul Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa yang diterbitkan tahun 2009, dicontohkan misalnya adanya stuktur bentuk gendhing

lancaran, ketawang, dan ladrang.36

Dikemukakan lebih lanjut oleh Sri Hastanto bahwa, bentuk

gendhing lancaran itu setiap gongan terdiri dari 1 kalimat lagu, yang

setiap kalimat lagunya terdiri dari 16 sabetan atau 4 gatra. Ketawang, setiap gongan terdiri dari 2 kalimat lagu, yang setiap kalimat lagunya terdiri dari 8 sabetan atau 2 gatra. Ladrang, setiap

gongan terdiri dari 4 kalimat lagu, yang setiap kalimat lagunya terdiri

dari 8 sabetan atau 2 gatra.

Struktur bentuk gendhing lancaran, ketawang, dan ladrang

yang dikemukakan oleh Sri Hastanto ini, belum dapat menjadi patokan yang jelas dalam praktek permainannya. Martono dalam

36

Periksa Sri Hastanto, Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa (Surakarta: ISI Press, 2009), 56.

manuskripnya berjudul “Tuntunan Dasar Bermain Karawitan” tahun 1978 menguraikan secara rinci beberapa struktur bentuk gendhing karawitan yang di antaranya juga ada struktur bentuk gendhing

lancaran, ketawang, ladrang, dan ditambah dengan srepeg. Ada

instrumen struktural yang menjadi kunci pokok untuk menentukan struktur bentuk gendhing tertentu yang dimainkan. Instrumen struktural itu adalah kethuk, kenong, kempul, dan gong.

Khusus mengenai gendhing srepeg, ada beberapa srepeg yang dikemukakan oleh Martono itu, seperti srepeg Mataram, srepeg

lasem, srepeg sanga, dan lain-lain namun kesemuanya tidak

berstruktur tetap atau berbeda formulasinya dengan struktur bentuk

gending tradisi yang lain. Srepeg Mataram misalnya, letak tabuhan gong pada gendhing srepeg mataram sama seperti srepeg-srepeg yang

lain, dalam pengertian tabuhan gong tidak terletak pada hitungan

sabetan balungan yang sama. Srepeg mataram selain tabuhan gong

secara pokok dapat dikemukan (1) tabuhan kethuk terletak pada setiap hitungan sabetan balungan ganjil, (2) permainan tabuhan instrumen kenong terletak pada setiap sabetan balungan, dan (3) permainan tabuhan kempul terletak pada setiap hitungan genap.37

37

Periksa Martono, “Tuntunan Dasar Bermain Karawitan” Manuskrip (Klaten: Pusat Pelatihan Karawitan Karsantitjala, 1978), 10-15.

Struktur bentuk gendhing lancaran dalam permainannya (1) dalam satu gongan terdapat 16 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 4 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 4 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 4,8, 12, dan 16, (4) dalam satu gongan terdapat 3 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 6, 10, dan 14, serta (5) dalam satu gongan terdapat 8 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan ganjil, yakni 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan 15.

Struktur bentuk gendhing ketawang dalam permainannya (1)

dalam satu gongan terdapat 16 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 4 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 2 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 8 dan 16, (4) dalam satu gongan terdapat 1 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 12, (5) dalam 1 gongan terdapat 8 kali tabuhan kempyang yang terletak pada hitungan ganjil, dan (6) dalam satu gongan terdapat 4 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan 2, 6, 10, dan 14.

Struktur bentuk gendhing ladrang dalam permainannya (1)

dalam satu gongan terdapat 32 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 8 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 4 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 8, 16, 24, dan 32, (4)

dalam satu gongan terdapat 3 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 12, 20, dan 28, (5) dalam satu gongan terdapat 16 kali tabuhan kempyang yang terletak pada hitungan ganjil, dan (6) dalam satu gongan terdapat 8 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan genap.

Jenis struktur bentuk gendhing yang tergolong baru, yang dalam konteks ini dianggap tidak masuk sebagai gendhing tradisi seperti gendhing lancaran, ketawang, dan ladrang, salah satunya ditulis oleh A. Sugiarto dalam buku yang berjudul Gendhing Jawa, diterbitkan tahun 1998/ 1999. Isi salah satu struktur bentuk

gendhing yang ditulis oleh A. Sugiarto itu adalah struktur bentuk gendhing langgam. Menurut A. Sugiarto, bentuk gendhing langgam

dalam musik gamelan Jawa atau karawitan adalah salah satu bentuk

gendhing yang memang relatif baru dibanding gendhing-gendhing

tradisi yang sudah ada sejak masa lampau. Bentuk langgam ini lebih banyak dipengaruhi oleh langgam keroncong.38

Apa yang dikemukakan oleh A. Sugiarto mengenai struktur bentuk gendhing langgam didukung oleh Sito Mardowo dalam tulisannya berjudul “Struktur Bentuk Gendhing dalam Karawitan Jawa”, tahun 2010. A. Sugiarto dan Sito Mardowo sama-sama

38

Periksa A. Sugiarto, Gendhing Jawa (Semarang: Proyek Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Jawa Tengah, 1998/ 1999), 180.

menguraikan struktur bentuk gendhing langgam. Secara teknis permainannya mereka katakan, bentuk gendhing langgam tabuhan

kenong terletak pada sabetan balungan ke-8, tabuhan gong pada

hitungan ke-16, tabuhan kethuk jatuh pada hitungan 1, 1½, 3, 3 ½ dalam tiap gatra, dan tabuhan kempul terletak pada hitungan ke-4 dan ke-12.39

Selain struktur bentuk gendhing langgam, Sito Mardowo juga menulis salah satu struktur bentuk gendhing yang relatif baru dalam dunia karawitan, yakni struktur bentuk gendhing dangdut Jawa. Menurut Sito Mardowo itu, Dangdut Jawa diciptakan oleh Ki Nartasabda yang konon digunakan sebagai usaha untuk mendongkrak eksistensi karawitan Jawa yang mulai tergerus keberadaannya akibat merebaknya dangdut Rhoma Irama pada sekitar tahun 1980-an. Pola tabuhan gendhing dangdut Jawa itu adalah (1) dalam satu gongan terdiri 4 kali sabetan balungan, (2) satu

gongan terdiri 4 kali tabuhan kenong, (3) satu gongan terdapat 1 kali

tabuhan kempul yang terletak pada hitungan ketiga, dan (4) bunyi

kethuk ada pada setengah setiap sebelum sabetan balungan.40

39

Periksa Sito Mardowo, “Struktur Bentuk Gendhing dalam Musik Gamelan Jawa” dalam

Manuskrip Pelengkap Pembelajaran Karawitan (Yogyakarta: PPPG Kesenian, 2010), 20.

40

Tidak berbeda dengan disiplin karawitanologi, disiplin musikologi juga menguraikan berbagai hal mengenai bentuk lagu dan iringan lagu. Dalam disiplin ilmu karawitanologi, apa yang dikatakan lagu adalah gendhing. Jika disiplin ilmu karawitanologi mengemukakan struktur bentuk gendhing, disiplin ilmu musikologi menguraikan struktur bentuk lagu dan iringan lagu. Struktur bentuk lagu dalam disiplin ilmu musikologi menurut Karl-Edmund Prier dalam tulisannya yang diberi judul “Ilmu Bentuk dan Analisis Musik” tahun 1989, lebih ke bentuk- bentuk lagu atau bagian-bagian lagu dalam struktur bentuk lagu yang utuh. Sebuah lagu yang utuh selalu memiliki bagian-bagian yang gabungan dari bagian-bagian itu dengan bangunan strukturnya akan menjadi keutuhan lagu. Oleh karena itu lalu muncul berbagai bentuk lagu seperti bentuk lagu satu bagian, bentuk lagu dua bagian, dan bentuk lagu tiga bagian.41

Dikemukakan oleh Karl-Edmund Prier itu bahwa, apa yang dikatakan sebagai bentuk lagu satu bagian adalah wujud lagu yang hanya terdiri dari satu kalimat lagu saja, yaitu kalimat tanya dan kalimat jawab. Bentuk lagu yang demikian biasanya dalam disiplin ilmu musikologi disebut dengan bentuk lagu satu bagian dengan diberi kode A. Bentuk lagu yang lain, yang lazim dikenal dalam dunia

41

Periksa Karl-Edmund Prier, “Ilmu Bentuk dan Analisis Musik”. Draf Buku (Yogyakarta: PML, 1989), 3-8.

musik adalah bentuk lagu dua bagian dan bentuk lagu tiga bagian. Bentuk lagu dua bagian merupakan bentuk lagu dua kalimat, yang antara kalimat pertama dengan kedua, lazimnya meiliki perbedaan tema dengan diberi kode AB. Bentuk lagu yang ketiga adalah bentuk lagu tiga bagian, yang wujudnya antara kalimat pertama, kedua, dan ketiga memiliki perbedaan tema yang biasanya diberi kode ABC. Dalam bentuk lagu tiga bagian ini, juga banyak terjadi bagian ketiganya merupakan pengulangan dari bagian A yang biasa diberi kode ABA.

Bentuk lagu tiga bagian dengan bagian A diulang dua kali menjadi AABA, menurut Harmunah dalam buku yang ditulisnya berjudul Musik keroncong yang diterbitkan tahun 1987, dikatakan banyak didapatkan pada lagu langgam atau lebih dikenal lengkap dengan sebutan langgam keroncong. Ciri lagu langgam keroncong selain berbentuk tiga bagian (AABA) juga mempunyai ciri lain. Ciri lain itu misalnya jumlah biramanya 32 birama, Sukatnya 4/4, intro diambilkan empat birama terakhir dari lagu langgam tersebut, dan

coda berupa kadens lengkap.42

Berangkat dari adanya langgam keroncong, menurut Andjar Any dalam buku yang ditulisnya berjudul Rahasiaku Mencipta Lagu

42

Merdu yang diterbitkan tahun 2001, akhirnya muncul langgam

Jawa. Masih menurut Andjar Any, pada dasarnya lagu langgam Jawa hanya mengembangkan langgam keroncong. Perkembangannya tampak sekali pada tangganada yang digunakan. Semula langgam keroncong mengguankan tangganada diatonis. Setelah menjadi langgam Jawa maka tangganada yang digunakan cenderung lebih banyak menggunakan tangganada pentatonis pelog dan slendro. Harmonisasi langgam Jawa menyesuaikan tangganada yang digunakan. Cepat lambatnya tempo permainan lagu langgam Jawa, sangat berbeda dengan langgam keroncong. Langgam keroncong temponya cenderung tetap sedangkan langgam Jawa cenderung berubah-ubah.43

Disiplin ilmu musikologi dalam kajiannya lebih berpegang pada musik diatonis dengan menggunakan unsur musik yang terdiri dari melodi, irama, harmoni, dan warna sura. Ketika sebuah lagu harus diiringi menggunakan instrumen musik, demikian menurut Nikolay Rimsky-Korsakov dalam buku yang ditulisnya berjudul Principles of

Orchestration yang diterbitkan tahun 1964, maka iringan itu harus

menyesuaikan melodi yang diiringinya. Harmonisasi, irama, dan warna suara harus dibuat yang sesuai, selaras, dan serasi dengan

43

Periksa Andjar Any, Rahasiaku Mencipta Lagu Merdu (Surakarta: Yayasan Seni Musik Hanjaringrat, 2001), 42.

melodi atau lagu yang diiringi itu. Dengan demikian fungsi sebuah iringan melodi atau lagu, jelas sebagai pendukung melodi atau lagu. Sebuah iringan melodi atau lagu yang menggunakan beberapa instrumen atau banyak instrumen, haruslah seluruh instrumen itu saling mengisi menuju kesebuah susasana melodi atau lagu yang diiringi.44 Dalam hubungannya dengan Campursari karya Manthous, aspek karawitan atau musik gamelan dengan aspek musik diatonis sebagaimana yang telah dikemukakan itu, dapat digunakan tuk memahami dari sisi wujud fisik garapannya.

Apa yang dilakukan oleh Manthous dalam menghasilkan

sebuah karya musik tidak lepas dari daya kreativitasnya untuk mewujudkan karya baru. Teori kreativitas dari Mihaly Csikszentmihalyi yang datang dari disiplin ilmu psikologi sosial, melihat sebuah kreativitas tidak saja dari sisi psikologis dengan mengutamakan penemuan sesuatu yang baru atau hasil karya baru yang dianggap orisinil sebagaimana konsep kreativitas yang banyak digunakan oleh kaum psikologikal umum. Mihaly Csikszentmihalyi yang datang dari disiplin ilmu psikologi sosial itu, melihat sebuah kreativitas dengan cakrawala yang lebih luas. Menurut Mihaly Csikszentmihalyi kreativitas setidaknya dilihat dari kacamata budaya

44

Periksa Nikolay Rimsky-Korsakov, Principles of Orchestration. Editor Maximilian Steinberg. English translation by Edward Agate (New York: Dover Publications, 1964), 5.

dan sosial dalam apa yang dikatakan sebagai sebuah peristiwa psikologis.45 Ditegaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, apa yang disebut kreativitas adalah sebuah fenomena yang dibentuk melalui sebuah interaksi antara produsen dan hasil produksinya. Kreativitas bukan suatu produk dari satu orang saja, tetapi sebuah sistem sosial yang membangun sebuah penilaian tentang produk individu.

Kreativitas adalah sebuah proses yang dapat diamati dari titik temu di mana individu-individu, domain, dan medan berinteraksi. Domain adalah komponen penting dari kreativitas karena tidaklah mungkin untuk memperkenalkan sebuah variasi tanpa referensi dari pola yang sudah ada sebelumnya. Apa yang dikatakan baru, sebetulnya karena disandingkan dengan yang lama. Apa yang dilakukan Manthous dalam karya Campursarinya dan apa tanggapan masyarakat terhadap kreativitas Manthous sebenarnya karena adanya sebuah sistem sosial yang membangun sebuah penilaian tentang produk individu Manthous tersebut. Penilaian masyarakat menggunakan acuan musik yang telah ada dan kebetulan sekali musik tersebut sebagai budaya musik masyarakat yang menilai itu. Dengan demikian masyarakat dapat menaggapinya dengan mudah

45

Mihaly Csikszentmihalyi, “Implications of a Systems Perspective for the Study of Creativity” dalam Handbook of Creativity. Edited by Robert J. Sternberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 313-338.

sekalipun mungkin saja tanggapan itu bisa berupa tanggapan positif maupun bisa pula berupa tanggapan negatif atau tidak senang.

Skema 1. Sistem kreativitas dari Mihaly Csikszentmihalyi.46

Berikut ini dikemukakan teori itu secara lebih rinci mulai dari kreativitas konteks budaya, dilanjutkan konteks sosial, dan yang terakhir konteks individu yang nanti dari ketiganya itu dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Kreativitas dalam Konteks Budaya

Dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, apa yang disebut kreativitas selalu melibatkan perubahan dalam sistem simbolik, perubahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pemikiran dan perasaan seluruh anggota dari budaya tertentu. Perubahan yang tidak bisa merubah pemikiran, perasaan, dan tindakan, belum bisa

46

Periksa Mihaly Csikszentmihalyi, 1999, 315.

Kreativitas Konteks Individu Kreativitas Konteks Budaya

disebut sebagai sebuah kreativitas. Oleh karena itu kreativitas mengisyaratkan sebuah komunitas yang berbagi cara pikir dan bertindak dan yang belajar satu sama lain dan meniru tindakannya. Musik gamelan dan musik diatonis yang terjelma dalam musik populer Indonesia oleh Manthous diubah dan dibuat dalam bentuk musik campuran yang selanjutnya dikenal dengan sebutan musik Campursari. Campursari Manthous itu akhirnya banyak digunakan sebagai sarana berkesenian oleh masyarakat luas sebagai pendukungnya. Dalam permainannya, musik itu juga banyak ditirukan oleh masyarakat luas dalam bentuk grup-grup Campursari atau dalam bentuk apapun seperti misalnya permainan organ tunggal yang dibuat dalam bentuk garapan Campursari. Itulah tampaknya kreativitas dalam konteks budaya sebagaimana dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi.

Mengapa musik Campursari karya Manthous ini dijadikan sebagai sarana berkesenian dan banyak ditirukan oleh masyarakat luas? Pertanyaan ini akan dijelaskan menggunakan teori kreativitas individu versus bentuk budaya mapan dari sosiologi kebudayaan Georg Simmel.47 Menurut Georg Simmel, sebuah kreativitas, apapun

47

Donald N. Levine, “Simmel as Educator: Individuality and Modern Culture” dalam Theory

Culture & Society. Vol.8. No.3 (New Jersey: Sage Publications, 1991), 99-115. Periksa AB. Widyanto, Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2002),

117-wujud kreativitas itu yang dalam konteks ini termasuk kreativitas seni, akan mendapat dukungan dari masyarakat luas manakala hasil kreativitas itu berpijak pada budaya yang telah ada pada masyarakat yang akan menggunakannya. Mengapa demikian sebab budaya yang ada di masyakat itu, menurut Georg Simmel senantiasa akan selalu digunakan dan dijadikan sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat yang bersangkutan.

Georg Simmel memberi acuan awal untuk berpikir tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Singkatnya dalam kerangka ini dapat dikemukakan, kebudayaan adalah produk kegiatan manusia yang kreatif. Kreativitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mendapat dukungan dari masyarakat pasti telah ada modelnya terlebih dahulu. Model itu senantiasa melekat pada diri individu manusia atau kelompok masyarakat yang menciptakan produk budaya tersebut. Berhubungan dengan itu maka, hasil dari produk sebagaimana dimaksud selalu merupakan wujud gabungan dari apa yang sudah ada dimasa lalu dan mungkin di masa sekarang dengan pengalaman subjektif yang diekspresikan dalam sebuah produk budaya itu.

154. Periksa juga Doyle Paul Johnson “Kreativitas Individu Versus Bentuk Budaya Mapan” dalam

Teori sosiologi kebudayaan yang berkait dengan kreativitas individu versus bentuk budaya mapan dari Georg Simmel ini tampaknya tepat sekali digunakan untuk membantu teori kreativitas Mihaly Csikszentmihalyi dalam melihat Campursari Manthous. Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa, Campursari karya Manthous merupakan paduan dari musik gamelan Jawa dengan musik Barat yang telah banyak terjelma dalam musik populer Indonesia. Dua-duanya, baik itu musik gamelan maupun musik Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia, sama-sama telah dikenal oleh masyarakat Jawa. Untuk itulah maka menjadi wajar manakala Campursari Manthous itu banyak digunakan sebagai sarana berkesenian sehari-hari oleh masyarakat Jawa karena pijakan karya itu dari budaya musiknya sendiri.

Sebuah budaya, sebenarnya merupakan sistem dari berbagai

domain yang terkait satu sama lain. Demikian ditegaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi. Pernyataan tersebut oleh Mihaly Csikszentmihalyi digunakan untuk memahami kreativitas dari sudut pandang budaya yang memiliki sistem dan banyak subsistem. Masing-masing sub sistem merupakan domain yang sangat mungkin bisa diubah untuk diwujudkan dalam sebuah kreativitas.

Dalam konteks ini, kreativitas itu dilihatnya sebagai perubahan domain yang digunakan untuk mewujudkan sesuatu yang baru atas pijakan domain tersebut. Perkembangan model penyaluran atas hasil kreativitas, yakni dengan adanya alat-alat hasil teknologi akan berdampak pada tingkat lebih cepat tersampainya produk baru tersebut diterima oleh masyarakat pengguna untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya dan atau ditirukan. Masyarakat begitu mudah memanfaatkan Campursari Manthous untuk kepentingan apapun termasuk kepentingan masyarakat untuk menirukan bagaimana Manthous memainkan dan membuat musik Campursari itu.

Skema 2. Kreativitas konteks budaya dari Mihaly Csikszenmihalyi, 1999, 316-321., diskemakan oleh Wadiyo.

Kreativitas Konteks Sosial

Sebagaimana telah dikemukakan, awalnya kaum psikologikal

umum dengan tegas mengatakan sebuah kreativitas lepas sama

Perubahan Domain Musik

Dijadikan Sarana Berkesenian

sekali dari apa yang disebutnya dengan ‘tindakan sosial’.48

Kreativitas hanya disebut sebagai buah karya atau tindakan manusia yang berbeda dari yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh D.P. Ausubel dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Meaningful

Verbal Learning: An Introduction to School Learning tahun 1962,

bahwa apa yang disebut dengan istilah kreativitas akan selalu dihubungkan dengan karya manusia atau perilaku manusia atau tindakan manusia yang berbeda dari yang kebanyakan ada.49

Senada dengan pemahaman kreativitas yang dikemukakan oleh Ausubel itu adalah apa yang dikemukakan oleh J.W. Santrock dalam bukunya yang berjudul Psychology: The Science of Mind and

Behavior, diterbitkan tahun 1988. Menurut J.W. Santrock,

kreativitas mengacu pada tindakan manusia untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau yang berbeda dari yang lain, baik itu verbal, non verbal, nyata, maupun abstrak.50 Apa yang dikemukakan oleh J.W. Santrock itu juga jelas mengacu pada perilaku manusia yang

48

Istilah ‘tindakan sosial’ ada dalam ilmu sosial yang dimengerti sebagai suatu bentuk tindakan yang secara nyata diarahkan ke orang lain. Periksa George Ritzer, Sosiologi Ilmu

Pengetahuan Berparadigma Ganda. Alih bahas Alimandan (Jakarta: Raja wali, 1992), 44.

49

D.P. Ausubel, The Psychology of Meaningful Verbal Learning: An Introduction to School

Learning (New York: Grune and Staton, 1962), 98.

50

J.W. Santrock, Psychology: The Education of Mind and Behavior (Dubuque, Iowa: Wm.C. Brown Publishers, 1988), 273.

bersifat individu dengan tidak melihat kreativitas dari sisi tindakan sosial.

Menurut A. Carin & R.B. Sund dalam bukunya yang berjudul

Creative Questioning and Sensitive Listening Techniques: A Self Concept Approach yang diterbitkan tahun 1987, manusia selalu

memiliki potensi kreatif. Bila manusia terlibat dalam tindakan kreatif, maka itu akan dapat lebih menumbuhkan konsep diri yang dimilikinya dan akhirnya akan menjadikan manusia itu lebih sadar sebagai individu.51 Pernyataan A. Carin & R.B. Sund itu dapat dilihat juga sebagai pernyataan yang mengindikasikan sebuah kreativitas sebagai bentuk tindakan atau perilaku individu yang tidak mengacu pada aspek tindakan sosial pula.

Menurut Csikszentmihalyi, saat ini para psikolog yang selalu berorientasi pada individu itu, setuju bahwa agar bisa disebut kreatif, maka apa yang menjadi hasil karya atau sikap tindak

Dokumen terkait