• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik. Campursari. Manthous lahir di Gunung Kidul pada tanggal 10 April

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik. Campursari. Manthous lahir di Gunung Kidul pada tanggal 10 April"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Manthous dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh musik Campursari. Manthous lahir di Gunung Kidul pada tanggal 10 April 1950 dan meninggal 9 Maret 2012. Ia memiliki latar belakang kehidupan sosial budaya Jawa yang tidak lepas dengan berkeseniannya menggunakan seni Jawa utamanya karawitan. Masa kecil Manthous dalam hari-harinya sangat menyukai karawitan hingga harus datang kemanapun setiap ada pertunjukan di lingkungan tempat tinggalnya untuk melampiaskan keinginannya sekedar membunyikan gamelan. Belajar gamelan secara serius masuk dalam kelompok atau grup musik gamelan memang tidak pernah tetapi ia sangat senang mencoba membunyikan setiap instrumen gamelan.1

Selain karawitan, ketika masa kecilnya Manthous juga sangat

senang dengan musik band dan keroncong hingga walaupun ia

masih muda usia atau masih duduk di Sekolah Dasar, ia telah

bergabung dalam kelompok musik band dan keroncong di

lingkungan tempat tinggalnya. Kondisi untuk mempunyai masa

1

Wawancara dengan Tulus kawan masa kecil Manthous di Rumahnya, Playen Gunung Kidul, tanggal 11 Juli 2010.

(2)

depan yang lebih baiklah, maka ia meninggalkan kampung halamannya, meninggalkan orang tuanya, dan meninggalkan sanak saudara, merantau mengadu nasib ke kota dengan tetap melanjutkan kesenangannya berkesenian.2

Kesenangan Manthous dalam dunia seni ditekuninya hingga ia jadi seniman musik yang perkembangannya ia menjadi sangat terkenal ketika ia memunculkan Campursari. Fenomena Campursari sebagai musik Jawa bernuansa baru akhirnya dikenal oleh masyarakat, terlebih lagi masyarakat Jawa Tengah dan Daerah

Istimewa Yogyakarta.3 Fenomena yang demikian menambah

bertambahnya ragam seni pertunjukan yang ada di Indonesia. Musisi yang dianggap sebagai tokoh seni pertunjukan bidang musik Jawa Campursari adalah Manthous ini, yang ia juga sebagai pendiri dan ketua kelompok Campursari Gunung Kidul (CSGK).4

Tokoh Campursari lain selain Manthous juga ada, yakni Didi Kempot. Ia muncul setelah Manthous dikenal oleh masyarakat. Namun demikian Campursari Didi Kempot berbeda dengan Campursari Manthous sekalipun sama-sama menggunakan label

2

Wawancara dengan Harjono adik kandung Manthous, pada tanggal 9 Juni 2011 di Playen, Gunung Kidul.

3

Joko Wiyoso, “Jejak Campursari” dalam Harmonia (Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. VIII. No. 2. Mei-Agustus, 2007), 108.

4

Periksa Rahayu Supanggah, “Campursari: A Reflection” dalam Asian Music (Texas: University of Texas Press, 2003), 4.

(3)

Campursari. Karya Campursari Didi Kempot tidak menggunakan musik gamelan Jawa sebagai pijakan sebagaimana yang dilakukan oleh Manthous.5

Campursari karya Manthous sebenarnya bukanlah musik Jawa murni gamelan, melainkan jenis musik campuran antara musik gamelan dan musik Barat yang terjelma dalam musik populer

Indonesia.6 Laras musik yang digunakan oleh Manthous itu pun

menggunakan laras musik Barat.7 Musik keroncong dan dangdut

juga dimasukkan di dalamnya dileburkan atau dipadukan dengan musik Gamelan Jawa yang nadanya telah diubah ke dalam laras

musik Barat.8 Namun demikian, berhubung Campursari Manthous

ini oleh sebagian masyarakat dilihatnya sebagai musik Jawa karawitan, maka saat itu banyak kritikan yang bernada mengecam atau menghujat dari para seniman karawitan tentang bentuk garapan musik tersebut.

Musik Campursari karya Manthous itu oleh sebagian seniman karawitan dilihatnya sebagai bentuk garapan musik Jawa yang tidak

5

Wadiyo, “Campursari Musik Etnis Jawa Populer antara Karya Manthous dan Didi Kempot” hasil penelitian dimuat dalam Lingua Artistika (Jurnal Bahasa dan Seni FBS Universitas Negeri Semarang. No.3. Th. XXV September, 2002), 137.

6

Manthous, “Managemen Tradisi dalam Seni Tradisional”, Makalah disajikan pada Serial Seminar Seri 4 Seni Pertunjukan Indonesia 1998-2000, Surakarta: STSI, 1999, 2.

7

Budi Raharja, “Campursari: Sebuah Bentuk Akulturasi Budaya Musik” Laporan Penelitian

(Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta), 1999, 35-36.

8

(4)

memenuhi kaidah-kaidah penggarapan musik Jawa utamanya karawitan yang baik. Campursari Manthous dianggapnya lahir karena bermotifkan ekonomi atau mengejar uang semata-mata, merusak, tanpa memperhatikan kualitas musikalnya, dan rendahan.9

Sementara di lain pihak, Campursari karya Manthous ini jalan terus,

bahkan kasetnya terjual sampai jutaan keping.10 Ketika lagu

Campursari dinyanyikan oleh Manthous sendiri, banyak sekali orang yang senang. Katanya, suara Manthous serak-serak basah dan mempunyai ekspresi atau pembawaan yang khusus.11

Bermula dari kemunculan Campursari Manthous yang begitu dikenal oleh masyarakat, akhirnya menjadikan inspirasi masyarakat pendukung untuk membuat grup-grup atau kelompok-kelompok musik Campursari hingga jumlah grup atau kelompok Campursari di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta apalagi yang juga sampai tersebar di seluruh Indonesia, jumlahnya sampai ribuan.12

9

Joko Wiyoso, “Campursari Suatu Bentuk Akulturasi Budaya dalam Musik Indonesia” (Tesis Diajukan dalam Rangka Mencapai Derajat Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002), 15.

10

Periksa hasil penelitian Joko Wiyoso, “Campursari Manthous” yang menjelaskan kepopuleran lagu Manthous yang kasetnya terjual sampai jutaan keping. Dimuat dalam Harmonia

(Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Edisi Khusus, Maret 2007), 30-37.

11

Wadiyo, “Campusari dan Pembawaannya” Laporan Penelitian (Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2001), 39-40.

12

Data penelitian Balitbang Propinsi Jateng berupa catatan arsip dan informasi lesan dari Pemda Bidang Seni dan Pariwisata Pemda Karanganyar, Boyolali, Tegal, Purwareja, Blora, dan Magelang dalam penelitian mengenai Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemuda Terhadap Kesenian Lokal di Jawa Tengah (Semarang: Balitbang Propinsi Jawa Tengah, 2006). Lihat juga penelitian Budi

(5)

Acara-acara hiburan seperti dalam rangka upacara pernikahan, khitanan, syukuran, pertemuan-pertemuan formal dan tidak formal, serta peringatan-peringatan hari besar nasional misalnya, banyak sekali yang menggunakan musik Campursari ini. Perkembangan sekarang, bentuk penyajian musik Campursari lebih banyak dikemas dalam bentuk permainan Campursari ringkas yang menggunakan beberapa instrumen saja dan bahkan kadang hanya cukup satu instrumen keyboard saja dengan penyanyi.

Secara substansial, Campursari sangat berbeda dengan musik Jawa. Musik Jawa sebagai seni tradisional daerah, awalnya merupakan wadah dari proses reproduksi sosial dan budaya masyarakat pemiliknya, yakni masyarakat Jawa yang selalu terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Saat ini, kedudukan musik Jawa telah berubah. Musik Jawa yang semula dalam masyarakat tradisional Jawa menduduki tempat sentral, karena masyarakat telah melangkah menjadi masyarakat industri maka kedudukan itu menjadi bergeser. Pergeseran itu adalah dari sesuatu yang mewadahi terjadinya proses reproduksi sosial dan budaya, menjadi sekedar

Raharja 1999, 2-3., yang menyatakan munculnya Campursari Manthous menginspirasikan masyarakat pendukung untuk membuat grup-grup Campursari. Lihat pula catatan Rahayu Supanggah, 2003, 1., yang mengemukakan akibat ketenaran Campursari, akhirnya di Kecamatan Kartasura saja di tahun 2000 sudah terbentuk 50 grup Campursari.

(6)

bentuk hiburan atau pengisi waktu senggang.13 Perubahan yang

demikian, saat ini membawa perubahan fisik dan garapan menjadi bentuk musik Campuran yang salah satunya dikenal dengan sebutan Campursari.

Campursari bukan suatu fenomena yang baru sama sekali dalam dunia musik Jawa. Menurut Supanggah permainan musik Campursari pernah ada pada tahun 1960-an namun keberadaannya belum seperti sekarang ini. Kelahirannya bermula dari pergelaran dan siaran musik keroncong. Ketika mereka menampilkan lagu-lagu

langgam Jawa yang berlaras pelog, pada saat itu lah beberapa

instrumen gamelan seperti kendhang, gender, dan siter mulai dilibatkan di dalamnya.14

Istilah Campursari sendiri secara etimologi dalam bahasa Jawa Kuna-Indonesia dan Bausastra Jawi-Indonesia, yang ini juga telah ditulis oleh Joko Tri Laksono dalam tesisnya yang digunakan untuk menyelesaikan studi S-2 pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada tahun 2010, dikatakan sebagai gabungan dari dua kata, yakni campur dan sari. Campur dimengerti sebagai pencampuran dan sari dimengerti

13

Franki Raden, “Musik, Industrialisasi dan Kapitalisme di Indonesia” dalam Laporan Pelaksanaan Temu Ilmiah dan Festival MSPI 1994 tanggal 1-3 Desember 1994 di Maumere, Flores. (Surakarta: MSPI, 1994), 170-183.

14

(7)

sebagai inti. Dalam konteks musik lalu dapat dimengerti sebagai perpaduan dari jenis musik yang berbeda dengan masing-masing diambil intinya yang dapat dipadukan untuk mendapatkan bentuk atau wujud baru.15

Istilah Campursari untuk jenis seni yang lain, di antaranya juga pernah digunakan oleh stasiun TV Surabaya di era akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an dalam sebuah acara pemanggunngan kreasi seni tradisional setiap hari jam 17.00. Ketika itu ditampilkan semacam opera yang menggunakan gendhing-gending karawitan dan menggunakan berbagai jenis seni pertunjukan tradisional Jawa yang dikreasi dalam bentuk campuran.16 Dalam sebuah pertunjukan seni Lodrok di Jawa Timur,

mulai tahun 1980-an juga telah banyak menggabungkan musik gamelan dengan dangdut untuk menyemarakkan suasana pemanggungan Lodrok. Namun demikian istilah Campursari tidak

15

Periksa Joko Tri Laksono, “Karya dan Karsa Manthous sebagai Seniman dan Pencipta Campursari” (Tesis Diajukan dalam Rangka Mencapai Derajad Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2010), 80-81.

16

Wawancara dengan Aris Wahyudi, tanggal 7 April 2014. Beliau adalah salah seorang yang mengaku sangat aktif menyaksikan seni tradisional Jawa Campursari yang ditayangkan TVRI Surabaya. Beliau dilahirkan dan dibesarkan di Tulung Agung Jawa Timur, sekarang tinggal di Bantul. Berprofesi sebagai dosen pedalangan ISI Yogyakarta.

(8)

digunakan untuk memberi nama atau sebutan dari bagian atau keseluruhan pertunjukan Lodrok tersebut.17

Tahun 1993 muncul Campursari Manthous dengan label Campursari Gunung Kidul produksi Dasa Studio Semarang yang didukung oleh media massa secara besar-besaran. Pada masa itu lagu-lagu pop Jawa ciptaan Manthous telah banyak muncul untuk hiburan masyarakat termasuk digunakan untuk hiburan pada acara pemanggungan wayang kulit di masyarakat maupun di televisi yang ditayangkan TVRI dan Indosiar yang dimainkan dengan musik gamelan.

Kondisi politik pemerintahan yang stabil di masa itu dengan didukung oleh majunya teknologi yang memungkinkan warga masyarakat bebas melakukan eksperimentasi untuk menghasilkan karya seni atau warna musik baru untuk diapresiasi oleh masyarakat luas, menjadikan Manthous memunculkan Campursari dengan beberapa lagu yang pernah ia ciptakan dalam bentuk pop Jawa yang iringannya diubah dalam bentuk Campursari. Karya Campursari Manthous memiliki style tersendiri yang berbeda dengan Campursari lain yang pernah ada. Di tahun-tahun berikutnya musik Campursari

17

Wawancara dengan Yoyok melalui telpon, tanggal 10 April 2014. Beliau adalah salah seorang yang masa kecilnya tinggal di Kediri, masa remajanya tinggal di Malang, dan sekarang menjadi tenaga pengajar seni musik pada Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Surabaya.

(9)

Manthous itu mencapai puncak kepopulerannya yang oleh banyak pihak dikatakan sebagai budaya massa musik Jawa.18

Pengertian budaya massa di sini disamaartikan dengan budaya populer. Perbedaan antara budaya massa dan budaya populer

menurut Robert Burnett dalam bukunya yang berjudul The Global

Jukebox The International Music Industri yang diterbitkan tahun 1996, hanyalah dari proses pembentukannya. Budaya massa adalah budaya yang pembentukannya dari media massa sedangkan budaya populer pembentukannya lebih dari hasil interaksi antara masyarakat dengan produk hasil budaya industri.19

Budaya massa atau budaya populer menurut W.A. Kadir dalam

bukunya yang berjudul Budaya Populer dalam Masyarakat Melayu

Bandaran terbitan tahun 1988, dimaksudkan sebagai sesuatu yang simbolis yang diminati oleh masyarakat luas atau biasa disebut

dengan khalayak ramai.20 Menurut Ashadi Siregar dalam

18

Wadiyo, “Campursari Budaya Massa Musik Jawa di Semarang (Tesis Diajukan Guna Memperoleh Gelar Magister Sains Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi Universitas Padjadjaran Program Pascasarjana Bandung, 2002), 5.

19

Periksa Robert Burnett, The Global Jukebox The International Music Industri (London: Routledge, 1996), 30-34.

20

W.A. Kadir, Budaya Populer dalam Masyarakat Melayu Bandaran (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988), 4.

(10)

perbincangan sehari-hari, budaya massa berkait erat dengan pola hiburan masyarakat.21

Seperti telah dikemukakan di depan bahwa, ada pertentangan atas kemunculan Campursari antara kaum pelaku dan pecinta musik Jawa asli yang biasanya disebut dengan karawitan dengan kaum pelaku dan atau pencipta musik Campursari. Pertentangan itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang wajar dan perlu disikapi dengan bijak. Di antara banyak seni yang hidup di masyarakat, seni yang demikian itu tampaknya selalu ada dan tetap dapat dilihat sebagai seni warisan yang keberadaannya karena buah pengembangan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Sebagai seni warisan menurut Timbul Haryono, wajar bila terjadi proses transmisi secara vertikal dan horisontal. Sudah barang tentu pula, selama proses transmisi tersebut dapat terjadi perubahan karena pada hakikatnya seni sebagai unsur kebudayaan bersifat dinamis sesuai dengan jiwa jaman.22

21

Ashadi Siregar, “Budaya Massa: Sebuah Catatan Konseptual tentang Produk Budaya dan Hiburan Massa” dalam Seni (Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. V/03-04. Juli, 1997), 137.

22

Timbul Haryono, Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan dan Pelestarian Warisan Budaya Lokal (Orasi Ilmiah disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009), 5.

(11)

B. Rumusan Masalah

Pada latar belakang masalah telah dikemukakan bahwa, Manthous mempunyai latar belakang kehidupan sosial dan budaya Jawa yang dalam hari-harinya selalu berkesenian menggunakan seni Jawa utamanya seni gamelan. Selain berkesenian menggunakan seni gamelan, Manthous kecil juga senang berkesenian menggunakan jenis seni yang lain, yakni musik pop dan keroncong. Kesenangannya terhadap musik pop dan keroncong menjadikannya ia masuk menjadi anggota kelompok band dan keroncong di tempat tinggalnya sekalipun ia masih muda usia duduk di Sekolah Dasar.

Perjalanan waktu akhirnya Manthous mengubah bentuk garapan musik Jawa gamelan yang ia gunakan sebagai sarana berkesenian dalam bentuk musik Jawa garapan baru atau Campursari. Materinya utamanya berupa paduan antara musik gamelan Jawa dengan unsur musik Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia seperti keroncong, dangdut, dan kadang masih ada jenis musik yang lain.

Munculnya Campursari Manthous akhirnya banyak digemari orang, utamanya orang-orang yang berasal dari masyarakat Jawa. Intinya, Campursari Manthous direspons atau ditanggapi positif oleh masyarakat sekalipun ada pihak tertentu yang awalnya kurang

(12)

setuju terhadap kemunculan Campursari ini. Respons atau tanggapan positif itu salah satunya dapat dilihat dari munculnya banyak grup atau kelompok Campursari yang terinspirasikan dari Campursari Manthous. Campursari Manthous akhirnya menjadi salah satu jenis seni hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Campursari Manthous menempati ruang budaya massa musik Jawa dicelah industri seni budaya lain yang menjadi hiburan massa.

Berdasar latar belakang masalah yang dikemukakan dapat dirumuskan dua permasalahan pokok tentang Campursari karya Manthous ini, sebagai berikut.

1. Mengapa Campursari karya Manthous dapat hidup sebagai musik industri?

2. Bagaimana Campursari karya Manthous dapat menempati ruang

budaya massa di celah industri seni budaya lain yang menjadi hiburan massa?

Demikianlah permasalahan penelitian ini dikemukakan. Dua sisi permasalahan tersebut akan dijadikan pijakan dalam setiap gerak atau langkah penelitian ini, mulai dari studi pendahuluan dalam rangka mencari data awal, penetapan landasan konseptual

(13)

dan teori, maupun metode penelitiannya sampai penarikan kesimpulan.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasar latar belakang dan perumusan masalah yang telah

dikemukakan, dapat disampaikan tujuan dan manfaat penelitian. Menentukan tujuan penelitian berarti mencari sesuatu yang mungkin dapat ditemukan. Sesuatu yang sangat menarik tetapi sulit dan bahkan tidak mungkin dapat ditemukan, sebagaimana dikemukakan oleh Adrik Purwasito sebaiknya ditinggalkan.23 Selain itu tujuan

penelitian juga bisa untuk membuktikan segala sesuatu yang mungkin bisa dibuktikan. Penelitian ini hanya bertujuan ingin menemukan sesuatu yang mungkin bisa ditemukan melalui jalur ilmiah yang ditentukan dan berlaku secara umum.

Berkait dengan itu dapat disampaikan tujuan penelitian ini secara singkat, yakni sebagai berikut.

1. Memperoleh pengetahuan mengenai unsur-unsur atau elemen-elemen tekstual dari tradisi musik Jawa, yang diubah oleh Manthous dalam bentuk musikal Campursari.

23

Adrik Purwasito, Semiologi Komunikasi (Surakarta: Masyarakat Semiologi Komunikasi FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2001), 12.

(14)

2. Memperoleh pemahaman mengenai kedudukan Campursari Manthous sebagai industri dalam hubungannya dengan budaya massa.

Berkenaan dengan tujuan penelitian, penelitian ini mempunyai aspek yang dapat bermanfaat bagi kepentingan dunia pengembangan ilmu dan kepentingan praktis.

1. Aspek pengembangan ilmu, hasil penelitian tentang Campursari karya Manthous ini diharapkan dapat berguna bagi para pengkaji seni untuk dapat dikaji lebih dalam dan luas sampai menghasilkan aspek-aspek teoretik yang mendasari pengembangan keilmuan dalam bidang seni khususnya musik industri yang berbasis pada musik lokal.

2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi lembaga-lembaga kesenian, lembaga-lembaga pendidikan seni, praktisi seni, pengambil kebijakan, serta masyarakat pengguna untuk dijadikan pedoman dalam menentukan sikap terhadap Campursari ini bagi kegunaan dan pengembangannya yang lebih berdaya guna, baik dari sisi industri maupun aspek sosial budayanya.

(15)

D. Tinjauan Pustaka

Kepustakaan yang mengkaji musik Campursari karya Manthous sekalipun ada, masih terdapat banyak celah untuk dapat didalami lebih jauh. Salah satu tujuan penting dari dilakukannya sebuah tinjauan pustaka ini adalah, untuk menunjukkan bahwa permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini belum diteliti orang lain atau orang lain tidak mengkhususkan masalah penelitiannya sebagaimana masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Titiksinggung dari yang telah diteliti oleh orang lain, tentunya ada. Oleh karena itu lah kajian yang sudah ada itu dijadikan acuan untuk mengkaji permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan harapan penelitian ini nanti permasalahannya dapat dijawab serta dijelaskan secara lebih luas dan mendalam.

Penelitian yang telah ada tentang Campursari dalam tinjauan pustaka ini akan dimulai dari apa yang telah dilakukan oleh Budi Raharja dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Campursari sebuah Bentuk Akulturasi Budaya Musik” tahun 1999. Budi Raharja memusatkan perhatiannya pada Campursari yang ketika itu Campursari Manthous sedang mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Menurut apa yang telah diteliti oleh Budi Raharja itu bahwa, Campursari karya Manthous merupakan bentuk musik

(16)

campuran antara musik pentatonis gamelan Jawa dengan musik diatonis Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia. Musik Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia itu dalam konteks ini utamanya adalah langgam keroncong serta dangdut.

Ditegaskan lagi oleh Budi Raharja bahwa, percampuran unsur-unsur musik dalam Campursari Manthous utamanya didominasi oleh unsur musik langgam keroncong dan karawitan sekalipun juga ada unsur jenis musik lain seperti dangdut. Perpaduan aransemen keroncong dan musik gamelan atau karawitan tampak dalam bentuk lagu dan aransemen yang menggunakan gending, pola tabuhan, dan cengkok lagu. Suara-suara instrumen musik sangat didominasi oleh

suara keyboard yang banyak digunakan untuk membantu atau

mengganti instrumen-instrumen manual, baik untuk nada-nada gamelan atau nada-nada musik diatonis.24 Dalam kaitannya dengan

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, jelaslah bahwa Budi Raharja tidak mengkaji tentang musik tersebut dari sudut pandang industri dan budaya massa. Apa yang dikaji oleh Budi Raharja lebih ke arah unsur-unsur dari materi karya Campursari itu yang masih perlu diperkembangkan lagi.

24

Budi Raharja, “Campursari: Sebuah Bentuk Akulturasi Budaya Musik” Laporan Penelitian

(17)

Tinjauan lebih lanjut tentang Campursari karya Manthous ini adalah apa yang telah ditulis oleh Supanggah dalam sebuah artikel lepas dengan judul “Campursari Sebuah refleksi” tahun 2000.25

Supanggah mengkaji Campurasari karya Manthous dengan melihat Manthous masih terlihat konsisten dan konsekuen dalam memasukkan unsur budaya musik Jawa dalam karya-karya Campursarinya. Manthous mencipta Campursari menurut Supanggah untuk tujuan melestarikan salah satu bentuk hasil karya budaya Jawa, yaitu musik.

Melalui banyak tembang-tembangnya, demikian dikemukakan oleh Supanggah, Manthous pada intinya mengajak para pendengar untuk menyatukan niat demi kelestarian budaya bangsa dalam wujud musik Jawa ini. Berkait dengan itu atau untuk mendukung ajakannya itu, musik Campursari Manthous pun yang digunakan untuk mengiringi nyanyian ini juga cukup kental dengan nuansa musik gamelan Jawanya sekalipun dipadukan dengan musik Barat diatonis yang telah terjelma dalam musik populer Indonesia seperti langgam keroncong, dangdut, dan berbagai unsur musik lainnya.

25

Periksa Rahayu Supanggah, “Campursari Sebuah Refleksi” dalam Artikel Lepas (Surakarta: STSI, 2000), 1-11.

(18)

Secara khusus, Supanggah memang juga mengkaji instrumen-instrumen musik yang digunakan oleh Manthous dalam menciptakan karya Campursarinya. Manthous menggunakan beberapa keyboard.

Satu keyboard berfungsi memberi iringan dengan akor-akornya,

sedangkan keyboard lainnya berfungsi sebagai pengganti beberapa instrumen gamelan dan instrumen-instrumen musik Barat seperti biola, flute, cak, drum, dan ada keyboard lagi sebagai sampling yang dapat menirukan berbagai jenis alat musik lewat memori dan programnya.

Berkait dengan keperluan untuk melengkapi perangkat orkes Campursarinya dalam sebuah pertunjukan, Manthous dalam Campursari Gunung Kidul (CSGK) menggunakan berbagai alat musik gamelan seperti saron, demung, siter, kendhang, gender, dan gong,

ditambah dengan beberapa alat musik yang pemilihan serta penggunaannya menuruti kebutuhan yang khusus seperti mengikuti bentuk, jenis, genre, gaya musik, dan kebutuhan estetik lainnya. Sebagaimana yang telah dikaji oleh Budi Raharja, Supanggah secara khusus juga belum mengkaji permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yakni berkait dengan musik Jawa dihubungkan dengan industri musik dan dihubungkannya lagi dengan budaya massa.

(19)

Kajian Campursari berikutnya merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wadiyo yang dibantu oleh kawan-kawan tahun

2001, berjudul “Campursari Manthous dan Pembawaannya”.26

Campursari yang diteliti dalam konteks ini terutama sekali berkait dengan bunyi yang dihasilkan dari masing-masing instrumen dalam permainan musik Campursari dan peran masing-masing instrumen dalam permainan Campursari. Pembawaan Campursari di panggung pertunjukan juga menjadi fokus dalam penelitian ini, namun pembawaan yang dimaksud lebih ke arah penampilan para pemain dan penyanyi bukan pembawaan yang berhubungan dengan pengekspresian nyanyian atau musik. Penelitian yang telah dilakukan oleh Wadiyo dan kawan-kawan ini sama sekali tidak menyinggung tentang musik industri dan budaya massa sebagaimana permasalahan yang diangkat dalam penelitian untuk kepentingan disertasi ini.

Tinjauan pustaka selanjutnya yang dikaji adalah berkait dengan tesis Wadiyo berjudul “Campursari Budaya Massa Musik Jawa di Semarang” untuk menyelesaikan studi S-2 pada Program Studi Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Sosiologi Antropologi di

26

Wadiyo, Joko Wiyoso, dan Slamet Haryono, “Campursari dan Pembawaannya” Laporan Penelitian (Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2001), 15-32.

(20)

Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2002.27 Sasaran kajian yang

dilakukan oleh Wadiyo terutama sekali berhubungan dengan minat masyarakat remaja Semarang terhadap Campursari karya Manthous yang telah banyak menjadi hiburan massa masyarakat Semarang. Melalui hasil penelitian yang didapatkan diketahui, antara remaja yang berasal dari golongan atas dan golongan bawah mempunyai pola hiburan yang tidak sama. Campursari karya Manthous diminati lebih tinggi oleh masyarakat remaja golongan bawah jika dibanding dengan masyarakat remaja golongan atas. Sekalipun tesis Wadiyo juga berhubungan dengan Campursari, namun demikian tesis Wadiyo tidak mengkaji bagaimana Campursari diciptakan oleh Manthous sebagai produk industri musik dan bagaimana budaya massa menjadi ruang bagi kemunculan dan kepopuleran Campursari Manthous.

Kajian yang lain lagi dari hasil penelitian Wadiyo dengan kawan-kawan adalah mengenai “Campursari antara Karya Manthous dan Didi Kempot” tahun 2002.28 Fokus yang dikaji adalah mengenai

bagaimana garapan musik Campursari Manthous dan bagaimana

27

Periksa Wadiyo, 2002, 5-7., 169-172.

28

Wadiyo, Joko Wiyoso, dan Slamet Haryono, “Campursari Musik Etnis Jawa Populer antara Karya Manthous dan Didi Kempot” dalam Lingua Artistika (Jurnal Bahasa dan Seni FBS Universitas Negeri Semarang. N0. 3. Th. XXV September, 2002), 137-149.

(21)

garapan musik Campursari Didi Kempot. Peneliti menggunakan metode perbandingan sebab antara Manthous dan Didi Kempot sama-sama menggunakan label Campursari. Hasil kajian menunjukkan, antara Campursari karya Manthous dengan Campursari karya Didi Kempot memiliki perbedaan yang sangat menonjol.

Perbedaan yang sangat menonjol itu pertama, Manthous menggunakan tangganada pentatonis yang nada-nadanya menggunakan frekuensi nada-nada diatonis. Didi Kempot menggunakan tangganada diatonis murni. Kedua, harmonisasi yang digunakan Manthous menggunakan harmonisasi pentatonis gamelan Jawa sedangkan Didi Kempot harmonisasi yang diterapkan adalah harmonisasi musik diatonis. Ketiga, irama musik Campursari Manthous merupakan paduan dari unsur irama gamelan, langgam/ keroncong, dan dangdut secara dominan. Irama musik Campursari Didi Kempot menggunakan irama dangdut secara dominan. Kajian perbandingan garapan musik antara Campursari karya Manthous dan Didi Kempot sangat berbeda dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Kajian selanjutnya yang dilakukan oleh Wadiyo dan kawan-kawan adalah mengenai “Bentuk Musik dan Lagu antara Karya

(22)

Nartasabda dan Manthous” tahun 2004. Mengapa bentuk musik dan lagu karya Nartasabda dan Manthous ini dikaji untuk diperbandingkan sebab musik lagu ciptaan keduanya sama-sama populer di masyarakat utamanya masyarakat Jawa. Hasil kajian menunjukkan pertama, lagu-lagu karya Nartasabda murni menggunakan tangganada pentatonis yang berlaras pelog dan slendro sedangkan lagu-lagu Campursari karya Manthous menggunakan tangganada pentatonis pelog slendro yang nada-nadanya menggunakan nada-nada yang disesuaikan dengan frekuensi nada-nada musik diatonis. Kedua, lagu-lagu karya Nartasabda diiringi musik gamelan murni sedangkan lagu-lagu Campursari karya Manthous diiringi menggunakan instrumen musik gabungan antara gamelan dengan intrumen musik Barat.29

Kesamaan antara lagu-lagu karya Nartasabda dan Manthous juga ada, yakni musik iringannya digunakan untuk lebih menghidupkan lagu dan pesan lagu-lagunya sama-sama mencerminkan kondisi sosial budaya masyarakat pendukungnya. Kajian ini secara khusus tidak mengkaji permasalahan yang diangkat

29

Wadiyo, Joko Wiyoso, dan Slamet Haryono, “Bentuk Musik Karya Nartasabda dan Manthous dalam Kajian Musik Umum” dalam Imajinasi (Jurnal Seni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, tanpa Vol. dan No., Juli, 2004), 17-26.

(23)

dalam penelitian ini yang berkait dengan industri musik yang dihubungkan dengan budaya massa.

Tinjauan atas kajian Campursari selanjutnya adalah buah

kajian yang dilakukan oleh Joko Wiyoso yang dimuat dalam Jurnal Seni Harmonia, 2007 dengan judul “Campursari sebagai Akulturasi Budaya Musik”.30 Kajiannya mengupas tentang Campursari karya

Manthous yang intinya ia katakan, bahwa Campursari karya Manthous merupakan seni pertunjukan yang materi musiknya merupakan gabungan dari musik Jawa pentatonis gamelan dengan musik populer Indonesia seperti langgam keroncong dan dangdut. Dalam hasil penelitian ini tidak bicara pula secara khusus dan mendalam mengenai bagaimana Campursari diciptakan oleh Manthous sebagai buah produk pengembangan industri musik dan apakah budaya massa menjadi ruang bagi kemunculan dan kepopuleran Campursari Manthous sebagaimana permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Tinjauan Campurasari karya Manthous berikut dalam tinjauan pustaka ini adalah sebuah kajian dari Kusnadi yang dimuat dalam

Jurnal Seni dan Pendidikan Seni Imajinasi tahun 2006 yang

30

Joko Wiyoso, “Campursari Suatu Bentuk Akulturasi Budaya dalam Musik” dalam

(24)

menyoroti tentang melodi dan lirik Campursari karya Manthous.31

Menurut Kusnadi, lagu-lagu Campursari ciptaan Manthous banyak menggunakan atau mengacu gendhing-gendhing dan lagu tradisional

khususnya langgam Jawa konvensional, lelagon dolanan, atau

campuran keduanya. Hiasan sastra yang paling dominan dipergunakan pada lirik-lirik lagu Campursari Manthous, adalah

purwakanthi guru swara, parikan, wangsalan, dan menyelipkan ungkapan-ungkapan tradisional, senggakan, dan bebasan paribasan. Kajian Campursari Manthous yang dilakukan oleh Kusnadi ini tidak menyinggung bentuk garapan musik sebagai industri dan tidak menyinggung pula tentang pola hiburan masyarakat dan atau budaya massa.

Tinjauan pustaka yang terakhir sekali dikaji tentang Campursari Manthous ini adalah berupa karya tesis dari Joko Tri Laksono yang digunakan untuk menyelesaikan studi S-2 pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada tahun 2010. Masalah penelitian yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai bagaimana perjalanan kehidupan Manthous dan bagaimana kesenimanan Manthous dalam Campursari. Joko Tri Laksono tidak menghubungkan secara khusus

31

Kusnadi, “Melodi dan Lirik Lagu Campursari Ciptaan Manthous” dalam Imaji (Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, Vol.4. No.1., Februari 2006), 109-123.

(25)

antara Campursari Manthous dengan industri dan budaya massa. Dalam hal karya Campursari, dikemukakan oleh Joko Tri Laksono bahwa, pola garap musik Campursari Manthous masih menggunakan idiom-idiom karawitan, seperti ketawang, langgam, lancaran, dan dangdut Jawa. Namun demikian jenis lagu apa saja yang diiringi menggunakan ketawang, langgam, lancaran, dan dangdut Jawa tidak diuraikan dengan jelas.

Tinjauan pustaka yang ada pada tesis Joko Tri Laksono juga mengupas hasil penelitian sebelumnya, misalnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Arif Fatma Chana dalam bentuk tesis dari Program Studi Sosiologi UGM tahun 2002, berjudul “Hibrida dalam Musik Campursari: Studi tentang Bentuk Revitalisasi Musik Lokal terhadap Musik Global”. Dikaji juga tentang “Pengaruh Karawitan Campursari pada Vokalisnya dalam Skala Nada Pentatonis dan Diatonis” dari Desy Irmawati untuk tesis pada Program Pascasarjana UGM, Studi Teknik Elektro tahun 2004.

Selain tesis dari Arif Fatma Chana dan Desy Irmawati, oleh Joko Tri Laksono dikaji pula tesis tentang “Komodifikasi dan Popularisasi Musik Campursari: Seni Tradisi Jawa dalam Bayang-bayang Kapitalisme Global” tulisan Hari Jumanto, Program Pascasarjana UGM, Prodi Sosiologi tahun 2007. Kesemua tesis itu

(26)

tidak ada yang bicara Campursari Manthous dalam konteks industri dan budaya massa secara spesifik sebagaimana permasalahan yang diangkat dalam disertasi ini. Sedikit ada titiksinggung berkait dengan industri dan budaya massa adalah tulisan Hari Jumanto ini yang mengemukakan bahwa, semangat kapitalisme membangkitkan produk massal yang mengakibatkan harga musik menjadi lebih murah.32

E. Landasan Teori

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji permasalahan berkait dengan: (1) Mengapa Campursari karya Manthous dapat hidup menjadi musik industri? (2) Bagaimana Campursari karya Manthous dapat menempati ruang budaya massa di celah industri seni budaya lain yang menjadi hiburan massa?

Guna mengkaji kedua inti permasalahan ini, maka dalam mengkajinya akan menggunakan payung dari disiplin ilmu karawitanologi dan musikologi. Namun demikian karena dipandang dengan kedua disiplin ilmu itu saja diperkirakan tidak mampu membedah permasalahan ini secara utuh, maka diperlukan sistem analisis yang lebih komprehensif dengan meminjam berbagai teori

32

Joko Tri Laksono, 2010, 12-14; 112.

(27)

dan konsep dari disiplin ilmu lain. Berbagai teori dan konsep dari disiplin ilmu lain itu, secara pokok dapat disebutkan seperti, psikologi sosial, sosiologi kebudayaan, ekonomi, komunikasi, dan budaya pop dari sudut pandang disiplin ilmu cultural studies sebagai sebuah pendekatan multi-disiplin.

Model penelitian seperti ini (dalam arti yang menggunakan pendekatan multi-disiplin) dalam seni pertunjukan, salah satunya dilakukan oleh R.M. Soedarsono yang hasil penelitiannya dibukukan dengan judul Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata, diterbitkan tahun 1999.33 Penjelasan pendekatan penelitian yang digunakan

Oleh R.M. Soedarsono dalam penelitian itu juga dimuat dalam buku

Metodologi Penelitian Seni pertunjukan dan Seni Rupa, diterbitkan tahun 2001.34 Demikian pula Marco de Marinis juga menggunakan

sebuah pendekatan multi-disiplin dalam penelitian seni

pertunjukannya yang dimuat dalam bukunya yang berjudul The

Semiotics of Performance.35 Penelitian R.M. Soedarsono dan Marco de

Marinis ini akhirnya oleh penulis dijadikan acuan atau model dalam penelitian ini sekalipun tidak akan persis sama dalam penerapannya.

33

R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999), 5.

34

Periksa R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

(Bandung: MSPI, 2001), 53.

35

Marco de Marinis, The Semiotics of Performance. Alih bahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Aine O’Healy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 6 – 9.

(28)

Disiplin ilmu karawitanologi mengemukakan adanya struktur

bentuk gendhing yang dijadikan patokan dalam bermain musik

gamelan atau karawitan. Gendhing-gendhing tradisi dalam karawitan memiliki berbagai struktur bentuk gendhing yang dapat digunakan untuk patokan atau dasar memainkan bentuk gendhing tertentu yang diinginkan. Di antara sekian banyak stuktur bentuk gendhing

dalam karawitan itu oleh Sri Hastanto dalam buku yang ditulisnya

berjudul Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa yang diterbitkan

tahun 2009, dicontohkan misalnya adanya stuktur bentuk gendhing lancaran, ketawang, dan ladrang.36

Dikemukakan lebih lanjut oleh Sri Hastanto bahwa, bentuk

gendhing lancaran itu setiap gongan terdiri dari 1 kalimat lagu, yang setiap kalimat lagunya terdiri dari 16 sabetan atau 4 gatra. Ketawang, setiap gongan terdiri dari 2 kalimat lagu, yang setiap kalimat lagunya terdiri dari 8 sabetan atau 2 gatra. Ladrang, setiap

gongan terdiri dari 4 kalimat lagu, yang setiap kalimat lagunya terdiri dari 8 sabetan atau 2 gatra.

Struktur bentuk gendhing lancaran, ketawang, dan ladrang yang dikemukakan oleh Sri Hastanto ini, belum dapat menjadi patokan yang jelas dalam praktek permainannya. Martono dalam

36

Periksa Sri Hastanto, Konsep Pathet dalam Karawitan Jawa (Surakarta: ISI Press, 2009), 56.

(29)

manuskripnya berjudul “Tuntunan Dasar Bermain Karawitan” tahun 1978 menguraikan secara rinci beberapa struktur bentuk gendhing

karawitan yang di antaranya juga ada struktur bentuk gendhing lancaran, ketawang, ladrang, dan ditambah dengan srepeg. Ada instrumen struktural yang menjadi kunci pokok untuk menentukan

struktur bentuk gendhing tertentu yang dimainkan. Instrumen

struktural itu adalah kethuk, kenong, kempul, dan gong.

Khusus mengenai gendhing srepeg, ada beberapa srepeg yang

dikemukakan oleh Martono itu, seperti srepeg Mataram, srepeg

lasem, srepeg sanga, dan lain-lain namun kesemuanya tidak berstruktur tetap atau berbeda formulasinya dengan struktur bentuk

gending tradisi yang lain. Srepeg Mataram misalnya, letak tabuhan

gong pada gendhing srepeg mataram sama seperti srepeg-srepeg yang lain, dalam pengertian tabuhan gong tidak terletak pada hitungan

sabetan balungan yang sama. Srepeg mataram selain tabuhan gong

secara pokok dapat dikemukan (1) tabuhan kethuk terletak pada setiap hitungan sabetan balungan ganjil, (2) permainan tabuhan instrumen kenong terletak pada setiap sabetan balungan, dan (3) permainan tabuhan kempul terletak pada setiap hitungan genap.37

37

Periksa Martono, “Tuntunan Dasar Bermain Karawitan” Manuskrip (Klaten: Pusat Pelatihan Karawitan Karsantitjala, 1978), 10-15.

(30)

Struktur bentuk gendhing lancaran dalam permainannya (1) dalam satu gongan terdapat 16 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 4 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 4 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 4,8, 12, dan 16, (4) dalam satu gongan terdapat 3 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 6, 10, dan 14, serta (5) dalam satu gongan terdapat 8 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan ganjil, yakni 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan 15.

Struktur bentuk gendhing ketawang dalam permainannya (1)

dalam satu gongan terdapat 16 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 4 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 2 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 8 dan 16, (4) dalam satu gongan terdapat 1 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 12, (5) dalam 1 gongan terdapat 8 kali tabuhan kempyang

yang terletak pada hitungan ganjil, dan (6) dalam satu gongan

terdapat 4 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan 2, 6, 10, dan 14.

Struktur bentuk gendhing ladrang dalam permainannya (1)

dalam satu gongan terdapat 32 hitungan sabetan balungan, (2) dalam satu gongan terdapat 8 gatra, (3) dalam satu gongan terdapat 4 kali tabuhan kenong yang terletak pada hitungan 8, 16, 24, dan 32, (4)

(31)

dalam satu gongan terdapat 3 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan 12, 20, dan 28, (5) dalam satu gongan terdapat 16 kali tabuhan kempyang yang terletak pada hitungan ganjil, dan (6) dalam satu gongan terdapat 8 kali tabuhan kethuk yang terletak pada hitungan genap.

Jenis struktur bentuk gendhing yang tergolong baru, yang dalam konteks ini dianggap tidak masuk sebagai gendhing tradisi seperti gendhing lancaran, ketawang, dan ladrang, salah satunya ditulis oleh A. Sugiarto dalam buku yang berjudul Gendhing Jawa, diterbitkan tahun 1998/ 1999. Isi salah satu struktur bentuk

gendhing yang ditulis oleh A. Sugiarto itu adalah struktur bentuk

gendhing langgam. Menurut A. Sugiarto, bentuk gendhing langgam

dalam musik gamelan Jawa atau karawitan adalah salah satu bentuk

gendhing yang memang relatif baru dibanding gendhing-gendhing

tradisi yang sudah ada sejak masa lampau. Bentuk langgam ini lebih banyak dipengaruhi oleh langgam keroncong.38

Apa yang dikemukakan oleh A. Sugiarto mengenai struktur

bentuk gendhing langgam didukung oleh Sito Mardowo dalam

tulisannya berjudul “Struktur Bentuk Gendhing dalam Karawitan Jawa”, tahun 2010. A. Sugiarto dan Sito Mardowo sama-sama

38

Periksa A. Sugiarto, Gendhing Jawa (Semarang: Proyek Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Jawa Tengah, 1998/ 1999), 180.

(32)

menguraikan struktur bentuk gendhing langgam. Secara teknis permainannya mereka katakan, bentuk gendhing langgam tabuhan

kenong terletak pada sabetan balungan ke-8, tabuhan gong pada hitungan ke-16, tabuhan kethuk jatuh pada hitungan 1, 1½, 3, 3 ½ dalam tiap gatra, dan tabuhan kempul terletak pada hitungan ke-4 dan ke-12.39

Selain struktur bentuk gendhing langgam, Sito Mardowo juga menulis salah satu struktur bentuk gendhing yang relatif baru dalam

dunia karawitan, yakni struktur bentuk gendhing dangdut Jawa.

Menurut Sito Mardowo itu, Dangdut Jawa diciptakan oleh Ki

Nartasabda yang konon digunakan sebagai usaha untuk mendongkrak eksistensi karawitan Jawa yang mulai tergerus keberadaannya akibat merebaknya dangdut Rhoma Irama pada sekitar tahun 1980-an. Pola tabuhan gendhing dangdut Jawa itu adalah (1) dalam satu gongan terdiri 4 kali sabetan balungan, (2) satu

gongan terdiri 4 kali tabuhan kenong, (3) satu gongan terdapat 1 kali tabuhan kempul yang terletak pada hitungan ketiga, dan (4) bunyi

kethuk ada pada setengah setiap sebelum sabetan balungan.40

39

Periksa Sito Mardowo, “Struktur Bentuk Gendhing dalam Musik Gamelan Jawa” dalam

Manuskrip Pelengkap Pembelajaran Karawitan (Yogyakarta: PPPG Kesenian, 2010), 20.

40

(33)

Tidak berbeda dengan disiplin karawitanologi, disiplin musikologi juga menguraikan berbagai hal mengenai bentuk lagu dan iringan lagu. Dalam disiplin ilmu karawitanologi, apa yang dikatakan lagu adalah gendhing. Jika disiplin ilmu karawitanologi mengemukakan struktur bentuk gendhing, disiplin ilmu musikologi menguraikan struktur bentuk lagu dan iringan lagu. Struktur bentuk lagu dalam disiplin ilmu musikologi menurut Karl-Edmund Prier dalam tulisannya yang diberi judul “Ilmu Bentuk dan Analisis Musik” tahun 1989, lebih ke bentuk- bentuk lagu atau bagian-bagian lagu dalam struktur bentuk lagu yang utuh. Sebuah lagu yang utuh selalu memiliki bagian-bagian yang gabungan dari bagian-bagian itu dengan bangunan strukturnya akan menjadi keutuhan lagu. Oleh karena itu lalu muncul berbagai bentuk lagu seperti bentuk lagu satu bagian, bentuk lagu dua bagian, dan bentuk lagu tiga bagian.41

Dikemukakan oleh Karl-Edmund Prier itu bahwa, apa yang dikatakan sebagai bentuk lagu satu bagian adalah wujud lagu yang hanya terdiri dari satu kalimat lagu saja, yaitu kalimat tanya dan kalimat jawab. Bentuk lagu yang demikian biasanya dalam disiplin ilmu musikologi disebut dengan bentuk lagu satu bagian dengan diberi kode A. Bentuk lagu yang lain, yang lazim dikenal dalam dunia

41

Periksa Karl-Edmund Prier, “Ilmu Bentuk dan Analisis Musik”. Draf Buku (Yogyakarta: PML, 1989), 3-8.

(34)

musik adalah bentuk lagu dua bagian dan bentuk lagu tiga bagian. Bentuk lagu dua bagian merupakan bentuk lagu dua kalimat, yang antara kalimat pertama dengan kedua, lazimnya meiliki perbedaan tema dengan diberi kode AB. Bentuk lagu yang ketiga adalah bentuk lagu tiga bagian, yang wujudnya antara kalimat pertama, kedua, dan ketiga memiliki perbedaan tema yang biasanya diberi kode ABC. Dalam bentuk lagu tiga bagian ini, juga banyak terjadi bagian ketiganya merupakan pengulangan dari bagian A yang biasa diberi kode ABA.

Bentuk lagu tiga bagian dengan bagian A diulang dua kali menjadi AABA, menurut Harmunah dalam buku yang ditulisnya berjudul Musik keroncong yang diterbitkan tahun 1987, dikatakan banyak didapatkan pada lagu langgam atau lebih dikenal lengkap dengan sebutan langgam keroncong. Ciri lagu langgam keroncong selain berbentuk tiga bagian (AABA) juga mempunyai ciri lain. Ciri lain itu misalnya jumlah biramanya 32 birama, Sukatnya 4/4, intro diambilkan empat birama terakhir dari lagu langgam tersebut, dan

coda berupa kadens lengkap.42

Berangkat dari adanya langgam keroncong, menurut Andjar Any dalam buku yang ditulisnya berjudul Rahasiaku Mencipta Lagu

42

(35)

Merdu yang diterbitkan tahun 2001, akhirnya muncul langgam Jawa. Masih menurut Andjar Any, pada dasarnya lagu langgam Jawa hanya mengembangkan langgam keroncong. Perkembangannya tampak sekali pada tangganada yang digunakan. Semula langgam keroncong mengguankan tangganada diatonis. Setelah menjadi langgam Jawa maka tangganada yang digunakan cenderung lebih banyak menggunakan tangganada pentatonis pelog dan slendro. Harmonisasi langgam Jawa menyesuaikan tangganada yang digunakan. Cepat lambatnya tempo permainan lagu langgam Jawa, sangat berbeda dengan langgam keroncong. Langgam keroncong temponya cenderung tetap sedangkan langgam Jawa cenderung berubah-ubah.43

Disiplin ilmu musikologi dalam kajiannya lebih berpegang pada musik diatonis dengan menggunakan unsur musik yang terdiri dari melodi, irama, harmoni, dan warna sura. Ketika sebuah lagu harus diiringi menggunakan instrumen musik, demikian menurut Nikolay Rimsky-Korsakov dalam buku yang ditulisnya berjudul Principles of Orchestration yang diterbitkan tahun 1964, maka iringan itu harus menyesuaikan melodi yang diiringinya. Harmonisasi, irama, dan warna suara harus dibuat yang sesuai, selaras, dan serasi dengan

43

Periksa Andjar Any, Rahasiaku Mencipta Lagu Merdu (Surakarta: Yayasan Seni Musik Hanjaringrat, 2001), 42.

(36)

melodi atau lagu yang diiringi itu. Dengan demikian fungsi sebuah iringan melodi atau lagu, jelas sebagai pendukung melodi atau lagu. Sebuah iringan melodi atau lagu yang menggunakan beberapa instrumen atau banyak instrumen, haruslah seluruh instrumen itu saling mengisi menuju kesebuah susasana melodi atau lagu yang diiringi.44 Dalam hubungannya dengan Campursari karya Manthous,

aspek karawitan atau musik gamelan dengan aspek musik diatonis sebagaimana yang telah dikemukakan itu, dapat digunakan tuk memahami dari sisi wujud fisik garapannya.

Apa yang dilakukan oleh Manthous dalam menghasilkan sebuah karya musik tidak lepas dari daya kreativitasnya untuk mewujudkan karya baru. Teori kreativitas dari Mihaly Csikszentmihalyi yang datang dari disiplin ilmu psikologi sosial, melihat sebuah kreativitas tidak saja dari sisi psikologis dengan mengutamakan penemuan sesuatu yang baru atau hasil karya baru yang dianggap orisinil sebagaimana konsep kreativitas yang banyak digunakan oleh kaum psikologikal umum. Mihaly Csikszentmihalyi yang datang dari disiplin ilmu psikologi sosial itu, melihat sebuah kreativitas dengan cakrawala yang lebih luas. Menurut Mihaly Csikszentmihalyi kreativitas setidaknya dilihat dari kacamata budaya

44

Periksa Nikolay Rimsky-Korsakov, Principles of Orchestration. Editor Maximilian Steinberg. English translation by Edward Agate (New York: Dover Publications, 1964), 5.

(37)

dan sosial dalam apa yang dikatakan sebagai sebuah peristiwa psikologis.45 Ditegaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, apa yang

disebut kreativitas adalah sebuah fenomena yang dibentuk melalui sebuah interaksi antara produsen dan hasil produksinya. Kreativitas bukan suatu produk dari satu orang saja, tetapi sebuah sistem sosial yang membangun sebuah penilaian tentang produk individu.

Kreativitas adalah sebuah proses yang dapat diamati dari titik temu di mana individu-individu, domain, dan medan berinteraksi. Domain adalah komponen penting dari kreativitas karena tidaklah mungkin untuk memperkenalkan sebuah variasi tanpa referensi dari pola yang sudah ada sebelumnya. Apa yang dikatakan baru, sebetulnya karena disandingkan dengan yang lama. Apa yang dilakukan Manthous dalam karya Campursarinya dan apa tanggapan masyarakat terhadap kreativitas Manthous sebenarnya karena adanya sebuah sistem sosial yang membangun sebuah penilaian tentang produk individu Manthous tersebut. Penilaian masyarakat menggunakan acuan musik yang telah ada dan kebetulan sekali musik tersebut sebagai budaya musik masyarakat yang menilai itu. Dengan demikian masyarakat dapat menaggapinya dengan mudah

45

Mihaly Csikszentmihalyi, “Implications of a Systems Perspective for the Study of Creativity” dalam Handbook of Creativity. Edited by Robert J. Sternberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 313-338.

(38)

sekalipun mungkin saja tanggapan itu bisa berupa tanggapan positif maupun bisa pula berupa tanggapan negatif atau tidak senang.

Skema 1. Sistem kreativitas dari Mihaly Csikszentmihalyi.46

Berikut ini dikemukakan teori itu secara lebih rinci mulai dari kreativitas konteks budaya, dilanjutkan konteks sosial, dan yang terakhir konteks individu yang nanti dari ketiganya itu dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Kreativitas dalam Konteks Budaya

Dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, apa yang disebut

kreativitas selalu melibatkan perubahan dalam sistem simbolik, perubahan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pemikiran dan perasaan seluruh anggota dari budaya tertentu. Perubahan yang tidak bisa merubah pemikiran, perasaan, dan tindakan, belum bisa

46

Periksa Mihaly Csikszentmihalyi, 1999, 315.

Kreativitas Konteks Individu Kreativitas Konteks Budaya

(39)

disebut sebagai sebuah kreativitas. Oleh karena itu kreativitas mengisyaratkan sebuah komunitas yang berbagi cara pikir dan bertindak dan yang belajar satu sama lain dan meniru tindakannya. Musik gamelan dan musik diatonis yang terjelma dalam musik populer Indonesia oleh Manthous diubah dan dibuat dalam bentuk musik campuran yang selanjutnya dikenal dengan sebutan musik Campursari. Campursari Manthous itu akhirnya banyak digunakan sebagai sarana berkesenian oleh masyarakat luas sebagai pendukungnya. Dalam permainannya, musik itu juga banyak ditirukan oleh masyarakat luas dalam bentuk grup-grup Campursari atau dalam bentuk apapun seperti misalnya permainan organ tunggal yang dibuat dalam bentuk garapan Campursari. Itulah tampaknya kreativitas dalam konteks budaya sebagaimana dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi.

Mengapa musik Campursari karya Manthous ini dijadikan sebagai sarana berkesenian dan banyak ditirukan oleh masyarakat luas? Pertanyaan ini akan dijelaskan menggunakan teori kreativitas individu versus bentuk budaya mapan dari sosiologi kebudayaan Georg Simmel.47 Menurut Georg Simmel, sebuah kreativitas, apapun

47

Donald N. Levine, “Simmel as Educator: Individuality and Modern Culture” dalam Theory Culture & Society.Vol.8. No.3 (New Jersey: Sage Publications, 1991), 99-115. Periksa AB. Widyanto,

(40)

117-wujud kreativitas itu yang dalam konteks ini termasuk kreativitas seni, akan mendapat dukungan dari masyarakat luas manakala hasil kreativitas itu berpijak pada budaya yang telah ada pada masyarakat yang akan menggunakannya. Mengapa demikian sebab budaya yang ada di masyakat itu, menurut Georg Simmel senantiasa akan selalu digunakan dan dijadikan sebagai pedoman untuk bersikap dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat yang bersangkutan.

Georg Simmel memberi acuan awal untuk berpikir tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Singkatnya dalam kerangka ini dapat dikemukakan, kebudayaan adalah produk kegiatan manusia yang kreatif. Kreativitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mendapat dukungan dari masyarakat pasti telah ada modelnya terlebih dahulu. Model itu senantiasa melekat pada diri individu manusia atau kelompok masyarakat yang menciptakan produk budaya tersebut. Berhubungan dengan itu maka, hasil dari produk sebagaimana dimaksud selalu merupakan wujud gabungan dari apa yang sudah ada dimasa lalu dan mungkin di masa sekarang dengan pengalaman subjektif yang diekspresikan dalam sebuah produk budaya itu.

154. Periksa juga Doyle Paul Johnson “Kreativitas Individu Versus Bentuk Budaya Mapan” dalam

(41)

Teori sosiologi kebudayaan yang berkait dengan kreativitas individu versus bentuk budaya mapan dari Georg Simmel ini tampaknya tepat sekali digunakan untuk membantu teori kreativitas Mihaly Csikszentmihalyi dalam melihat Campursari Manthous. Sebagaimana telah dikemukakan di depan bahwa, Campursari karya Manthous merupakan paduan dari musik gamelan Jawa dengan musik Barat yang telah banyak terjelma dalam musik populer Indonesia. Dua-duanya, baik itu musik gamelan maupun musik Barat yang terjelma dalam musik populer Indonesia, sama-sama telah dikenal oleh masyarakat Jawa. Untuk itulah maka menjadi wajar manakala Campursari Manthous itu banyak digunakan sebagai sarana berkesenian sehari-hari oleh masyarakat Jawa karena pijakan karya itu dari budaya musiknya sendiri.

Sebuah budaya, sebenarnya merupakan sistem dari berbagai

domain yang terkait satu sama lain. Demikian ditegaskan oleh Mihaly Csikszentmihalyi. Pernyataan tersebut oleh Mihaly Csikszentmihalyi digunakan untuk memahami kreativitas dari sudut pandang budaya yang memiliki sistem dan banyak subsistem. Masing-masing sub sistem merupakan domain yang sangat mungkin bisa diubah untuk diwujudkan dalam sebuah kreativitas.

(42)

Dalam konteks ini, kreativitas itu dilihatnya sebagai perubahan domain yang digunakan untuk mewujudkan sesuatu yang baru atas pijakan domain tersebut. Perkembangan model penyaluran atas hasil kreativitas, yakni dengan adanya alat-alat hasil teknologi akan berdampak pada tingkat lebih cepat tersampainya produk baru tersebut diterima oleh masyarakat pengguna untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya dan atau ditirukan. Masyarakat begitu mudah memanfaatkan Campursari Manthous untuk kepentingan apapun termasuk kepentingan masyarakat untuk menirukan bagaimana Manthous memainkan dan membuat musik Campursari itu.

Skema 2. Kreativitas konteks budaya dari Mihaly Csikszenmihalyi, 1999, 316-321., diskemakan oleh Wadiyo.

Kreativitas Konteks Sosial

Sebagaimana telah dikemukakan, awalnya kaum psikologikal

umum dengan tegas mengatakan sebuah kreativitas lepas sama

Perubahan Domain Musik

Dijadikan Sarana Berkesenian

(43)

sekali dari apa yang disebutnya dengan ‘tindakan sosial’.48

Kreativitas hanya disebut sebagai buah karya atau tindakan manusia yang berbeda dari yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh D.P. Ausubel dalam bukunya yang berjudul The Psychology of Meaningful Verbal Learning: An Introduction to School Learning tahun 1962, bahwa apa yang disebut dengan istilah kreativitas akan selalu dihubungkan dengan karya manusia atau perilaku manusia atau tindakan manusia yang berbeda dari yang kebanyakan ada.49

Senada dengan pemahaman kreativitas yang dikemukakan oleh Ausubel itu adalah apa yang dikemukakan oleh J.W. Santrock dalam bukunya yang berjudul Psychology: The Science of Mind and Behavior, diterbitkan tahun 1988. Menurut J.W. Santrock, kreativitas mengacu pada tindakan manusia untuk menghasilkan sesuatu yang baru atau yang berbeda dari yang lain, baik itu verbal, non verbal, nyata, maupun abstrak.50 Apa yang dikemukakan oleh

J.W. Santrock itu juga jelas mengacu pada perilaku manusia yang

48

Istilah ‘tindakan sosial’ ada dalam ilmu sosial yang dimengerti sebagai suatu bentuk tindakan yang secara nyata diarahkan ke orang lain. Periksa George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Alih bahas Alimandan (Jakarta: Raja wali, 1992), 44.

49

D.P. Ausubel, The Psychology of Meaningful Verbal Learning: An Introduction to School Learning (New York: Grune and Staton, 1962), 98.

50

J.W. Santrock, Psychology: The Education of Mind and Behavior (Dubuque, Iowa: Wm.C. Brown Publishers, 1988), 273.

(44)

bersifat individu dengan tidak melihat kreativitas dari sisi tindakan sosial.

Menurut A. Carin & R.B. Sund dalam bukunya yang berjudul

Creative Questioning and Sensitive Listening Techniques: A Self Concept Approach yang diterbitkan tahun 1987, manusia selalu memiliki potensi kreatif. Bila manusia terlibat dalam tindakan kreatif, maka itu akan dapat lebih menumbuhkan konsep diri yang dimilikinya dan akhirnya akan menjadikan manusia itu lebih sadar sebagai individu.51 Pernyataan A. Carin & R.B. Sund itu dapat dilihat

juga sebagai pernyataan yang mengindikasikan sebuah kreativitas sebagai bentuk tindakan atau perilaku individu yang tidak mengacu pada aspek tindakan sosial pula.

Menurut Csikszentmihalyi, saat ini para psikolog yang selalu berorientasi pada individu itu, setuju bahwa agar bisa disebut kreatif, maka apa yang menjadi hasil karya atau sikap tindak seseorang itu harus bisa dihargai secara sosial. Tanpa adanya beberapa penilaian sosial, sangat tidak mungkin untuk membedakan pemikiran-pemikiran yang ganjil dengan yang benar-benar kreatif. Pernyataan di sini menegaskan bahwa, sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara reaksi masyarakat dari kontribusi seseorang.

51

A. Carin & R.B. Sund, Creative Questioning and Sensitive Listening Techniques: A Self Concept Approach (Colombus: Charles E. Merril Publishing Company, 1978), 77.

(45)

Sesuatu yang orisinal belum tentu dilihat sebagai sebuah perbuatan atau produk kreatif dari sudut pandang sosial.

Campursari karya Manthous ketika kemunculannya yang masih baru dan ada gejala akan menjadi populer, dicerca habis-habisan oleh mereka yang mengatasnamakan seniman karawitan akademisi dan seniman karawitan adiluhung. Standar penilaian yang digunakan mereka adalah standar untuk menilai karawitan Jawa. Cercaan habis-habisan menjadi kendor ketika standar penilaiannya tidak menggunakan standar garapan musik Jawa tradisional atau karawitan Jawa lagi. Bahkan cercaan itu berubah menjadi sebuah pengakuan bahwa Campursari Manthous adalah sebuah kreativitas musik Jawa baru yang dapat mengembalikan ingatan masyarakat Jawa akan eloknya atau indahnya seni musik gamelan Jawa. Sekalipun Campursari Manthous hanya menggunakan beberapa unsur dari musik gamelan Jawa yang itu pun diubah dari beberapa sisinya.

Pertanyaan berdasar sisi pemikiran sosiologis menurut Mihaly Csikszentmihalyi adalah, siapa yang berhak menentukan bahwa hasil atau proses dari sebuah pekerjaan atau produk itu adalah sebuah kreativitas. Ide-ide baru memang sering dimunculkan dalam proses kolaborasi seni ataupun kegiatan ilmiah dan hal sama memainkan

(46)

peran penting dalam mendukung sebuah kreativitas individu. Bila berdasar pada sebuah pendekatan individu pertanyaan mengenai siapa yang menentukan bahwa itu kreatif mungkin sekali tidak masalah. Namun demikian untuk bidang seni pasar, tentunya yang menilai adalah pasar. Seberapapun dinilai pakar seni bahwa karya itu sebuah kreativitas tinggi demikian dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, namun jika gagal melalui uji pasar yang akan menggunakan dan nyatanya seni itu tidak laku di pasaran, maka dikatakan seni itu kreatif dalam konteks seni untuk seni bukan seni untuk pasar. Kriteria kreativitas untuk seni pasar penentunya adalah aspek ekonomi.

Skema 3. Kreativitas konteks sosial dari Mihaly Csikszentmihalyi, 1999, 321-327., Diskemakan oleh Wadiyo.

Perubahan Domain Musik

Mempunyai Akses Ekonomi/ Laku di Pasaran

Penilaian dari yang berkewenangan/ pasar/ masyarakat

(47)

Berdasar pada pemahaman tentang kreativitas pada konteks sosial itu, apakah karya Campursari Manthous bisa dikatakan kreatif? Campursari Manthous telah melalui uji pasar yang sangat sukses. Campursari Manthous sebagai industri musik Jawa garapan baru benar-benar menjadi barang industri yang tidak bisa diragukan lagi. Jutaan keping kaset telah terjual dan musik Campursari Manthous telah dijadikan sebagai sarana berkesenian masyarakat pendukungnya hampir setiap hari. Musik Campursari Manthous ditirukan oleh banyak kelompok amatir dan banyak juga dari peniruan itu akhirnya menjadi kelompok Campurasari profesional. Dengan demikian berdasar kriteria kreativitas dalam konteks sosial, karya Campursari Manthous ini termasuk sebuah karya musik yang kreatif.

Dalam kasus apapun, banyak kreativitas tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak individu mencoba untuk mengubah domain, namun juga seberapa mudah suatu bidang menerima inovasi. Tampaknya musik, termasuk sebuah domain yang sangat terbuka untuk diubah oleh siapapun. Namun demikian tidaklah mudah mengubah musik ini sebagai suatu bidang untuk sampai diakui dan atau dijadikan sebagai sarana berkesenian sehari-hari oleh masyarakat.

(48)

Dalam konteks masalah musik Jawa, tentunya banyak individu-individu yang mencoba berkreasi mengembangkan musik Jawa ini untuk diterima oleh masyarakat. Manthous sebagai salah seorang yang tentunya dari sekian banyak individu lain yang mencoba mengubah musik Jawa ini untuk diterima oleh masyarakat, telah lolos. Manthous telah berhasil mengkreasi musik Jawa ini menjadi industri musik Jawa garapan baru. Melalui tangan Manthous, terwujudlah musik industri dengan label Campursari yang menggunakan referensi musik gamelan Jawa sebagai pijakan. Campursari karya Manthous laku di pasaran, digunakan sebagai sarana berkesenian sehari-hari oleh masyarakat pendukung, dan banyak ditirukan.

Kreativitas Konteks Individu

Sebagaimana penjelasan para psikolog yang telah dikemukakan pada sesi kreativitas konteks sosial, V. Lowenfeld dan W.L. Brittain, dalam bukunya yang berjudul Creative and Mental Growth yang diterbitkannya tahun 1982 pun juga menjelaskan bahwa, ketika kreativitas masuk pada level individu, kreativitas itu berada dalam dasar yang lebih dikenal oleh banyak orang. Penelitian psikologis mengasumsikan bahwa kreativitas merupakan

(49)

karakteristik individu yang harus dipahami dengan kajian individu.52 Sekalipun demikian bukan berarti V. Lowenfeld dan W.L.

Brittain, menolak kreativitas dikaji secara lebih luas, hanya saja ia tetap fokus pada sebuah kreativitas yang dikaji dari konteks individu. Kreativitas dalam konteks individu memperhatikan bahwa pertama, adanya fakta bahwa sebelum seseorang dapat mengenalkan variasi kreatif, dia harus telah memiliki akses ke suatu domain dan harus ingin belajar menampilkan berdasarkan aturannya. Namun demikian sering ada sejumlah faktor yang biasanya diabaikan, misalnya faktor kognitif dan motivasi yang berinteraksi dengan situasi domain dan bidang. Kedua, model sistem kreatif ini menegaskan lagi pentingnya faktor individu yang menyebabkan proses kreatif. Orang berinovasi cenderung memiliki karakteristik kepribadian lebih suka melanggar peraturan yang melalui percobaan awal membuat mereka ingin melakukannya lagi.

Teori kreativitas dari Mihaly Csikszentmihalyi yang juga didukung oleh V. Lowenfeld dan W.L. Brittain itu dapat digunakan untuk melihat kondisi Manthous berkait dengan kemungkinan akses Manthous ke dalam domain kreativitas yang diwujudkan ke dalam karya Campursarinya untuk ditampilkan atau disuguhkan pada

52

V. Lowenfeld dan W.L. Brittain, Creative and Mental Growth (New York: Macmillan, 1982), 69-70.

(50)

masyarakat. Suatu fakta bahwa, sebenarnya Manthous adalah seniman musik populer termasuk juga pemain musik keroncong. Manthous mempunyai pula latar belakang budaya musik Jawa yang kuat sebab ia dilahirkan dan hidup di lingkungan keluarga Jawa dan masyarakat Jawa. Keadaan demikian lah yang tampaknya dapat untuk memahami bahwa Manthous memiliki akses masuk ke domain musik Jawa dalam bentuk kreasi yang dikenal dengan sebutan Campursari itu. Musik Jawa yang ia kreasikan menjadi musik industri berbekal dari pengalamannya pula menjadi musisi musik populer yang berhasil.

Dean Keith Simomton dalam tulisannya yang berjudul

Creativity from a Historiometric Perspective, tahun 1999 juga menjelaskan adanya faktor latar belakang individu yang dapat mendorong individu menjadi manusia kreatif, namun ada karakteristik yang lebih menonjol dari individu kreatif, yakni jiwa yang selalu ingin tahu, dan minat yang selalu diperbaruhi pada apapun yang terjadi di sekitar mereka. Tanpa minat seseorang tidak mungkin akan menjadi terbenam dalam suatu domain untuk merubahnya.53

53

Dean Keith Simonton “Creativity from a Historiometric Perspective” dalam Handbook of Creativity. Edited by Robert J. Sternberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 121.

(51)

Kreativitas dari sudut pandang pemikiran konteks individu, menurut Mihaly Csikszentmihalyi, si kreator haruslah terlebih dahulu menghayati aturan domain atau bidang. Dengan demikian nanti dapat memilih, dalam hal mana kreativitas itu nanti diterima oleh golongan. Lebih utama dari itu menurut Mihaly Csikszentmihalyi, seseorang harus memiliki gambaran internal kuat tentang ide mana yang bagus dan mana yang buruk sehingga seseorang dapat memilih yang sekiranya nanti diterima oleh suatu bidang.

Berkait dengan suatu keinginan untuk mengubah domain atau

bidang dalam kaitannya dengan kegiatan kreatif, Mihaly Csikszentmihalyi mengemukakan beberapa hal yang harus dapat dilakukan oleh seseorang. Pertama, harus menguasai informasi dalam jumlah besar atau menguasai materi yang akan dijadikan bahan untuk melakukan sebuah kegiatan kreatif. Sebagai ilustrasi, jika ingin jadi seorang kreator musik, demikian dikemukakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, harus lah tahu tentang musik dan berpengalaman tentang musik. Kedua, muncul ketertarikan dan mempunyai ide untuk memproduksinya dalam wujud yang baru. Ketiga, mempunyai kemampuan memilih ide-ide yang bagus untuk dikembangkan dengan membuang ide yang tidak bagus untuk tidak

(52)

diteruskan. Skema atau diagram untuk memberikan gambaran sederhana tentang kreativitas dari sebuah kreativitas konteks individu sebagai berikut.

Skema 4. Kreativitas konteks individu Mihaly Csikszentmihalyi, 1999, 332-333. Diskemakan oleh wadiyo.

Kreativitas Musik Industri

Karya musik untuk industri merupakan produk dari sebuah kreativitas. Bagaimana Manthous berkreativitas mencipta Campursari untuk tujuan industri baik dalam konteks individu, budaya, dan sosial dari perspektif psikologi sosial dan sosiologi kebudayaan, telah dikemukakan. Berikut adalah mengenai konsep kreativitas musik industri itu sendiri yang erat berkait dengan dunia perekaman.

Dalam dunia perekaman untuk tujuan menghasilkan produk musik yang akan dijual atau untuk tujuan industri, sebagaimana

Memiliki latar belakang domain/ bidang

Berkemampuan mengubah domain/ bidang dalam wujud baru

Berkemampuan milih ide dengan meninggalkan yg tdk perlu

(53)

dikemukakan oleh Peter Tschmuck dalam buku yang ditulisnya berjudul Creativity and Innovation in The Music tahun 2006, memerlukan adanya kreativitas. Kreativitas tidak hanya dilihat dari sisi seniman sebagai yang secara utama menciptakan muatan produk tetapi juga harus dilihat peran dari pihak perusahaan rekaman dan atau produser yang memikirkan produk musik itu untuk dijual sebagai kepentingan komersial.54

Apa yang dilihat dari Manthous sebagai musisi atau seniman berdasar konsep musik industri dari Peter Tschmuck itu tentu adalah mengenai muatan produknya. Muatan produk itu menurut Shelly Field dalam bukunya yang berjudul Career Opportunities in The Music Industry yang diterbitkan tahun 201055 harus yang

memunculkan daya tarik bagi pasar. Untuk memunculkan daya tarik bagi pasar tentu memerlukan observasi atau analisis pasar untuk mengetahui kebutuhan pasar. Di sinilah diperlukan kerjasama yang baik antara musisi dengan produser.

Masih menurut Shelly Field, dari tangan produser akan dapat ditentukan jenis musik dan artis yang dimunculkan. Seorang

54

Peter Tschmuck, Creativity and Innovation in The Music Industry (Netherlands: Springer, 2006), 136; 240. Periksa juga Matthew David, Peer to Peer and The Music Industry. The Criminalization of Sharing (London: Sage, 2010), 131.

55

Periksa Shelly Field, Career Opportunities in The Music Industry. Edisi keenam (New York: Ferguson, 2010), 20.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Klien mengeluh nyeri dada 3 minggu sebelum MRS, timbul terutama saat batuk dan sesak nafas sejak 2 hari sebelum MRS, dan apabila melakukan aktifitas sehari-hari bertambah sesak,

Pencucian adalah cara paling efektif untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme pada Pencucian adalah cara paling efektif untuk menghilangkan sebagian besar mikroorganisme

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti apakah terdapat perbedaan kecenderungan melakukan kecurangan akuntansi antara individu yang memiliki level penalaran moral

Parengge (nelayan yang menggunakan alat tangkap rengge ) yang ada di Kaili memiliki sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan aktivitas menangkap ikan yang diwarisi dari

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis data dengan menggunakan tiga buah model yaitu regresi logistik, k-Nearest Neighbor dan Decision Tree (C4.5).. Kinerja

Hadirin yang saya muliakan, Pada kesempatan yang baik dan berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar saya dengan judul: PERCEPATAN

Kemudian pada 2013 dilakukan penyempurnaan dan pengembangan perangkat keras elektronik log book berupa perubahan ukuran layar sentuh menjadi lebih besar, penambahan

Dengan kata lain mereka yang memiliki kekuasaan, khususnya terhadap sumberdaya publik akan berpeluang besar untuk melakukan perbuatan korupsi,sedangkan dalam konteks