• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan, penelitian ini memerlukan teori yang relevan. Teori merupakan komponen penting bagi peneliti untuk digunakan dalam menganalisis dan memahami masalah-masalah yang ada. Konsep-konsep yang dipakai dalam kajian teori ini adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan arena produksi kultural (sastra) Pierre Bourdieu.

Dalam bidang sastra, Bourdieu menolak analisis yang terlalu mementingkan salah satu aspek, yaitu analisis internal atau analisis eksternal saja. Dalam analisis internal, Bourdieu menemukan dua tradisi teoretis sentral yang mendasarinya, yaitu (1) yang berasal dari filsafat neo-Kantian tentang bentuk-bentuk simbolis dan dari tradisi-tradisi yang mencari struktur-struktur ahistoris universal sebagai basis konstruksi sastra dan puisi dunia, (2) strukturalisme, yang bagi Bourdieu dilihat sebagai tradisi yang lebih kuat karena memiliki kadar keilmiahan dalam usaha-usaha analisisnya (Bourdieu, 2010:xxiv).

Bourdieu keberatan dengan analisis internal tersebut karena dinilai analisisnya terlalu ketat terhadap teks-teks yang hanya mencari penjelasan final atas teks entah di dalam teks itu sendiri yang tidak mencarinya di dalam jejaring kompleks relasi-relasi sosial yang melahirkan eksistensi teks-teks tersebut. Dengan mengisolasi teks dari keberadaan sosialnya maka analisis internal itu menghilangkan penelusurannya tentang keberadaan sosial agen sebagai produsen seperti penulis, penyair, pengarang, atau sastrawan. Selain itu, analisis itu mengabaikan hubungan-hubungan sosial yang objektif tempat praktik sastra itu muncul.

Bagi Bourdieu (2010:xxvii), analisis ilmiah terhadap sastra mesti berusaha menghubungkan dua perangkat, yaitu antara ruang kerja/diskursus yang dianggap sebagai posisi-posisi yang berbeda dan ruang posisi yang dipegang oleh mereka yang memproduksinya. Oleh karena itu, karya sastra harus dilihat kembali ke dalam sistem relasi-relasi sosial yang menopangnya. Bukan berarti Bourdieu kemudian menolak terhadap ciri-ciri estetika atau keformalan karya sastra, tetapi

juga sebagai analisis yang didasarkan pada posisi-posisi ciri-ciri itu berada. Bahwa sastra tidak hanya memproduksi material saja tetapi juga simbolis-simbolis karya itu yang berupa nilai-nilai di dalamnya. Mediator artistik seperti penerbit, kritikus, agen-agen seni, akademisi berfungsi sebagai produsen makna dan nilai karya. Setiap karya adalah ekspresi arena secara keseluruhan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, konsep-konsep itu digunakan untuk menganalisis puisi-puisi Paranggi untuk menemukan kesamaan antara nilai-nilai yang terkandung di dalam puisi tersebut dan hubungan sosial yang berada di luarnya.

Arena sastra adalah tempat yang usahanya tidak serta merta langsung membuahkan kesuksesan, nilai yang diperuntukkan buat posisi atau kehormatan tertentu bisa beragam menurut agen yang diteliti, suplai/persediaan justru menciptakan permintaan bukan sebaliknya, senioritas memiliki pengaruh sedikit saja terhadap jalan karier agen tertentu, dan para penulis dengan latar belakang sosial dan geografis yang berbeda bisa hadir bersama-sama meski sering tidak memiliki hubungan dekat antarpribadi selain kepentingan bersama di dalam arena sastra.

Dalam kaitannya dengan arena sastra, Bourdieu (2010:xxxiii) memadukan tiga tingkatan realitas sosial yaitu (1) posisi sastra atau arena seni di dalam arena kekuasaan, yaitu seperangkat relasi kuasa dominan di dalam masyarakat, (2) struktur arena sastra, yaitu struktur posisi-posisi objektif yang ditempati oleh agen-agen yang saling bersaing untuk mendapatkan legitimasi di dalam arena selain juga karakteristik objektif agen-agen itu sendiri, dam (3) asal muasal

habitus produsen, yaitu karakter yang terstruktur dan menstrukturkan yang melahirkan praktik-praktik dalam arena.

Dengan demikian, teori arena produksi kultural Bourdieu dan metode analisisnya dapat digunakan untuk menganalisis kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang simbolis. Teori Bourdieu tidak hanya mengalisis karya-karya dengan relasi yang bisa dilihat dari ruang kemungkinan-kemungkinan yang tersedia tetapi juga dapat dipakai untuk menganalisis para produsen karya berdasarkan strategi dan lintasan, habitus individu dan kelas, serta posisi objektif mereka dalam arena. Teori Bourdieu ini juga dapat digunakan untuk menganalisis struktur arena yaitu posisi-posisi yang ditempati para produsen (penulis, seniman) dan konsekrasi serta legitimasi yang membuat produk kultural sebagai produk kultural (publik, penerbit, kritikus, galeri, akademi).

Arena sastra atau seni adalah arena kekuatan (a field of forces) dan arena pergulatan (a field of struggle) yang cenderung mengubah ataupun melanggengkan arena kekuatan (Bourdieu, 1993:5). Lebih lanjut Bourdieu mengatakan bahwa jaringan relasi-relasi objektif di antara posisi-posisi tersebut mendorong dan mengorientasikan strategi-strategi yang digunakan para penghuni beragam posisi berbeda dalam pergulatan mempertahankan posisi-posisi mereka. Kekuatan dan bentuk strategi-strategi ini bergantung pada posisi yang ditempati setiap agen di dalam relasi-relasi kekuasaan.

Arena sastra atau seni pada sepanjang waktu adalah pergulatan antara dua prinsip hierarkisasi yaitu prinsip heteronom dan otonom (Bourdieu, 2010:19).

Prinsip heteronom memandang seni sebagai arena ekonomis dan politis yaitu orang-orang yang ada di dalamnya mempunyai dominasi-dominasi tertentu seperti seni borjuis. Berbeda dengan prinsip otonom yang memandang seni untuk seni yaitu para pendukungnya dianugrahi modal spesifik cenderung mengidentifikasi diri dengan tingkat indenpendensi dari ekonomi.

Dalam bidang sastra, dengan basis ideologi karismatik dikatakan bahwa penulis adalah pencipta (creator). Dengan kata lain arena produksi kultural adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan dengan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis dan karenanya kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefinisikan penulis tersebut. Penulis yang telah terkonsekrasi menurut Bourdieu (1993:22) adalah penulis yang memiliki kekuasaan untuk mengonsekrasi dan mendapatkan persetujuan ketika dia mengonsekrasi seorang penulis atau sebuah karya dengan cara memberi kata pengantar, dengan melakukan studi, memberi penghargaan, dan sebagainya. Dengan demikian, Paranggi dapat dikatakan sebagai seorang kreator karena dirinya adalah seorang penulis (penyair).

Ideologi karismatik menjadi dasar terdalam kepercayaan terhadap seni yang menjadi basis bagi berfungsinya arena produksi dan sirkulasi komoditas kultural. Ideologi inilah yang menekan pertanyaan tentang apakah yang memberi otoritas kepada pengarang, apa yang menciptakan otoritas yang dengannya pengarang punya otoritas. Beberapa pertanyaan bisa dimunculkan dalam bentuk yang paling konkret yang terkadang muncul dari pihak agen adalah siapakah produsen

sesungguhnya dari nilai sastra: pelukis ataukah pedagang lukisan, penulis atau penerbit, penulis naskah drama atau manajer teater?

Menurut Salam (2013) hal yang menonjol dari kajian (sosiologi) sastra dalam perspektif Bourdieu adalah bahwa teori Bourdieu membuka peluang untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa seseorang memiliki legitimasi dan “sukses” menjadi sastrawan atau seniman. Pada penelitian ini konsep ideologi karismatik itu digunakan untuk melihat bagaimana Paranggi mendapatkan legitimasi sebagai seniman baik di tingkat nasional maupun regional (Bali).

Ideologi penciptaan yang membuat pengarang menjadi sumber pertama dan terakhir nilai karyanya menyembunyikan fakta bahwa para pebisnis kultural pada saat yang bersamaan adalah orang yang mengeksploitasi kerja pencipta dengan memperdagangkan yang sakral dan sekaligus orang yang meletakkannya di pasar dengan memamerkan, menerbitkan, atau mementaskannya, mengonsekrasi produk yang kalau tidak ditemukannya akan tetap menjadi barang yang alami biasa. Semakin besar konsekrasi yang diterima si pedagang makin kuat dia mengonsekrasi karya.

Para agen seni bukan hanya agen yang memberikan nilai komersial kepada sebuah karya dengan cara membawanya ke pasar, ia bukan hanya menjadi wakil si pengarang, yang akan membela pengarang yang dicintainya tetapi ia adalah pribadi yang bisa memproklamasikan nilai pengarang yang dibelanya lewat katalog-katalog atau komentar-komentar. Bertindak seperti banker simbolis yang menawarkan modal simbolis yang telah ia tumpuk sebagai jaminan keamanan.

Penerbit hanya satu dari sekian sponsor prestisius yang terang-terangan merekomendasikan kandidat-kandidatnya sendiri. Bahkan, yang lebih jelas lagi adalah peran dealer seni yang secara harfiah harus memperkenalkan seniman dan karyanya kepada lingkaran pergaulan yang lebih selektif seperti pameran bersama, pameran tunggal, koleksi prestius, museum. Dealer seni harus menerapkan kehumasannya yang halus dan lembut dalam mempublikasikan karya seni misalnya lewat resepsi, jamuan makan suatu perkumpulan, dan penilaian yang disampaikan dengan penuh percaya diri dan berwibawa. Dalam hubungannnya dengan konsep itu, keberadaan Paranggi didukung oleh komunitas termasuk juga anggotanya atau media yang menjadikannya besar.

Bourdieu memandang arena sebagai sebuah relasional dibandingkan struktural. Ada sejumlah arena otonom di dunia sosial seperti artistik, religius, perguruan tinggi yang kesemuanya memiliki logika spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan aktor tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan dalam suatu arena. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal yang digunakan dan dimanfaatkan oleh para agen. Namun, adalah arena kekuasaan (politik) yang paling penting; sebuah hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua arena yang lain. Dalam menghadapi kompetisinya, sebagai salah satu agen seni, Paranggi akan mempertaruhkan modal-modal yang telah dimilkinya untuk mendapatkan legitimasi atau konsekrasi.

Dalam menghadapi arena kompetitif itu, para agen sangat dipengaruhi oleh modal-modal yang dimilikinya. Modal menjadi salah satu penyebab terjadinya

perbedaan-perbadaan dalam sebuah kompetisi sebab dalam arena itulah akan terjadi distribusi berbagai jenis modal. Modal adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan (Bourdieu, 1996:114). Dengan demikian, dalam sebuah arena dituntut adanya kepemiliki modal oleh masing-masing agen.

Bourdieu (1989:243–248; Haryatmoko, 2003:12) menggolongkan modal ke dalam empat jenis yaitu (1) modal ekonomi yang mencakup alat-alat reproduksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang: (2) modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga; (3) modal sosial atau jaringan sosial yang dimiliki oleh agen dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa; (4) modal simbolik yaitu berupa segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi dalam diri agen. Salah satu contoh kepemilikan modal Paranggi adalah ketika dirinya mempunyai banyak murid yang dijadikan sebagai jaringan sosial baginya untuk menerapkan konsep-konsep bersastranya (modal simbolik).

Antara modal yang satu dengan modal yang lain bersifat terbuka artinya kepemilikan atas satu modal tertentu oleh agen dapat mendorong munculnya modal-modal yang lain dalam dirinya. Dengan kata lain, modal-modal itu dapat diperoleh dengan akumulasi dari proses penginvestasian dalam bentuk modal-modal yang lain. Di antara keempat modal-modal itu, modal-modal ekonomi adalah jenis modal-modal yang relatif paling independen karena modal ini dengan mudah dapay digunakan

atau ditransformasikan ke dalam arena-arena lain dan lebih fleksibel untuk diberikan atau diwariskan kepada orang lain.

Dalam arena sastra, habitus mempengaruhi keberadaan pengarang. Dalam ruang-ruang sosial tertentu, pengarang melakukan praktik dan bernegoisasi melalui habitus. Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011:174). Menurut Bourdieu (2011:141) habitus seseorang dapat ditelusuri dari sejarah individu, pengalaman yang membentuk masa pertama kanak-kanak, segenap sejarah kolektif keluarga, dan kelas. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan, yaitu berkenaan dengan cara bagaimana agen memahami dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh habitus Paranggi adalah pengalamannya dalam mengikuti kegiatan-kegiatan jurnalistik semasa menjadi mahasiswa sehingga dirinya mempunyai wawasan tentang kejurnalistikan ketika ada yang menawarinya bekerja sebagai redaktur koran.

Arena sastra adalah arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasikan atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada: masing-masing agen melibatkan kekuatannya (modalnya) yang telah dia peroleh dari pergulatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing dalam relasi kekuatan (Bourdieu, 2011:191). Orang yang menduduki posisi dalam arena tertentu menjalankan beragam strategi. Ada hubungan yang stategis antara habitus dan arena.

Di satu sisi, arena mengondisikan habitus sedangkan di sisi lain habitus menciptakan arena sebagai sesuatu yang bermakna yang memiliki rasa dan nilai

dan yang layak untuk mendapatkan investasi energi. Strategi dan lintasan menjadi konsep kunci dalam teori arena Bourdieu. Strategi bisa dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik. Sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari disposisi tidak sadar terhadap praktik. Lintasan mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah arena yang juga silih berganti.

Ketika berada dalam arena, agen membutuhkan strategi untuk mempertahankan atau mengubah distribusi modal-modal yang dimilikinya. Dengan demikian, strategi dibutuhkan sebagai manuver para agen untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena (sastra) dalam hal ini untuk mendapatkan pengakuan, otoritas, modal, atau akses atas posisi-posisi kekuasaan yang terkait dengan strategi yang digunakan oleh para agen. Paranggi sebagai salah satu agen yang terlibat dalam arena sastra akan membutuhkan strategi khusus dalam memperjuangkan dan mempertahankan posisi dan pencapaian yang telah diperolehnya. Ini sebagai bentuk usaha untuk melanggengkan modal-modal yang diperolehnya lewat kekuasaan yang dibentuknya.

Secara umum, Bourdieu membagi strategi menjadi dua tipe yaitu strategi reproduksi dan strategi penukaran kembali (Bourdieu, 1984). Strategi reproduksi merupakan sekumpulan praktik. Strategi ini dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. Jumlah dan komposisi modal serta kondisi sarana produksi menjadi patokan utama dalam strategi ini. Strategi penukaran kembali berkenaan dengan pergerakan-pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi yaitu keseluruhan

jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan terdominasi (Mutahir, 2011:71–72). Selain itu, secara lebih spesifik, Bourdieu membagi strategi yang dilakukan oleh agen menjadi lima jenis yaitu strategi investasi biologis, strategi suksesif, strategi edukatif, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi simbolik (Mutahir, 2011:72).

Strategi investasi biologis mencakup dua hal yaitu kesuburan dan pencegahan. Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin stransmisi modal dengan cara membatasi jumlah anak. Sedangkan strategi pencegahan bertujuan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari penyakit. Strategi suksesif ditujukan untuk menjamin pengalihan harta warisan antargenerasi, dengan menekankan pemborosan seminim mungkin. Strategi edukatif berupaya menghasilkan agen sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial serta mampu memperbaiki jenjang hierarki yang ditempuh lewat jalur pendidikan baik secara formal maupun nonformal.

Strategi investasi ekonomi merupakan upaya mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal yaitu gabungan antara modal ekonomi dan modal sosial. Modal sosial dipakai untuk melanggengkan dan membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek dan panjang. Hubungan-hubungan itu bisa dibangun dengan modal ekonomi. Strategi investasi simbolik merupakan strategi dalam upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang cocok dengan properti mereka dan menghasilkan

tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misal, Paranggi tetap bergerak dalam komunitas sastra dalam mempertahankan jejaring sosialnya atau semakin menguatkan kecintaannya kepada puisi sebagai salah satu strateginya dalam mempertahankan modal simboliknya.

Demikianlah beberapa konsep arena kultural (sastra) menurut Bourdieu. Masalah yang telah diungkapkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep tersebut. Teori tersebut nanti akan dipakai untuk menjelaskan gejala-gejala yang ditemukan sesuai dengan permasalahan. Penjelasan tersebut tidak hanya dilakukan dengan mengemukakan, melukiskan gejala-gejala tetapi juga dengan keterangan tentang gejala tersebut baik dengan membandingkan, menghubungkan, memilah-milah, atau mengombinasikannya dengan teori Bourdieu.

1.6 Hipotesis

Hipotesis diturunkan dari masalah sesuai dengan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Hipotesis pertama, dalam arena sastra nasional Paranggi menempati posisi-posisi objektif sebagai penyair yang terlegitimasi dengan karakteristik tertentu dalam produk kulturalnya, dengan menempatkan seni untuk seni. Selain itu, Paranggi juga menempati posisi sebagai agen yang menciptakan penyair dengan modal dan habitus yang dimilikinya sebagai orang yang secara total mencintai puisi.

Hipotesis kedua, dalam menjalankan pergulatannya dalam arena sastra di Bali Paranggi tidak bisa dilepaskan dari peran media (Bali Post), komunitas

sastra, dan sekolah-sekolah sebagai jaringan untuk mendukung kegiatan apresiasi kepuisiannya. Hipotesis ketiga, strategi investasi simbolik adalah strategi yang paling menonjol dilakukan oleh Paranggi dalam menghadapi arena sastranya di Bali dalam pencapaiannya ke arah strategi reproduksi untuk tetap dapat mempertahankan atau meningkatkan modalnya ke arah masa depan.

Dokumen terkait