• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Persada Studi Klub (PSK) merupakan salah satu komunitas sastra yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Persada Studi Klub (PSK) merupakan salah satu komunitas sastra yang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Persada Studi Klub (PSK) merupakan salah satu komunitas sastra yang pernah muncul di Yogyakarta. Di samping PSK, pada tahun 1969–1977, di Yogyakarta muncul beberapa komunitas sastra lain seperti Sanggar Bambu, Sanggar Sastra dan Teater Sila (SST), serta Yabumi atau Yayasan Budaya Masyarakat Indonesia (Atisah, 2010:89). Di Yogyakarta, pada masa itu, juga terdapat komunitas-komunitas sastra baik berada di dalam kelembagaan resmi (sekolah dan universitas) maupun tidak resmi seperti Perwatin, Teater Stemka, Teater Muslim, Teater Mandiri, dan Bengkel Teater (Widati, dkk.: 2008). Di antara komunitas-komunitas tersebut, PSK adalah yang paling menonjol karena didukung oleh banyak pengarang sebagai anggotanya. Menurut catatan Ragil Suwarna Pragolapati, ada 1.555 anggota PSK dan dari jumlah itu tercatat nama-nama yang terus berkembang hingga mereka ditahbiskan di dalam sejumlah leksikon sastra sebagai sastrawan Indonesia (Rampan, 2006:14).

Selain itu, komunitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari peranan Umbu Landu Paranggi (selanjutnya disebut Paranggi), seorang penyair dari Sumba yang kemudian terkenal dengan julukan Presiden Malioboro. PSK didirikan pada tanggal 5 Maret 1969 oleh Paranggi bersama beberapa rekannya, seperti Iman Budhi Santoso, Ragil Suwarna Pragolapati, Ipan Sugiyanto Sugito, Suparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan Teguh Ranusastra Asmara. Komunitas

(2)

tersebut berkembang dengan dukungan sejumlah pengarang muda saat itu, seperti Faisal Ismail, Achmad Munif, dan Mustofa W. Hasyim. PSK juga dapat berkembang dengan baik karena didukung oleh media Pelopor Yogya.

Lewat media itulah para pengarang mengirimkan karya-karyanya kepada Paranggi sebagai redakturnya. Pada mingguan Pelopor Yogya, disediakan ruang “Persada” yaitu rubrik sastra dan kebudayaan sebagai tempat kompetisi para penulis pemula dan ruang “Sabana” yang khusus diperuntukkan bagi para penulis yang sudah dianggap mapan. Kedua kolom itu akan menjadi media penyebaran bagi karya-karya para sastrawan Malioboro yang telah lolos dalam proses penggodokan PSK (Widati, 2008:95).

Sebagian dari anggota dipanggil dengan “sabanawan” bagi anggota senior dan sebagian lainnya adalah “persadawan” bagi anggota junior (Widati, 2008). Anggota PSK umumnya adalah mahasiswa dan siswa yang tengah menempuh studi di sejumlah perguruan tinggi dan sekolah menengah di Yogyakarta, baik di universitas, institut, akademi, sekolah tinggi, maupun sekolah menengah pertama dan sekolah menengah umum (Rampan, 2006:14). Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang turut memberagamkan karya-karya yang berhasil dihimpun oleh harian Pelopor Yogya. Ada sejumlah sastrawan yang sudah dikenal luas dalam masyarakat sastra Indonesia seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, atau Korrie Layun Rampan sempat menjadi murid Paranggi.

Arcana (2012) menyebutkan bahwa Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Yudistira Ardhi Nugraha, serta Agus Dermawan T. dan Ebiet G. Ade adalah “murid-murid” Paranggi yang menonjol. Hal itu yang

(3)

kemudian membuat Paranggi tidak hanya dikenal sebagai seorang penyair tetapi juga sebagai seorang guru, motivator, dan apresiator sastra (Rampan, 2006). Bahkan oleh Arcana (2006) diakui bahwa tokoh-tokoh penting seperti W.S. Rendra, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, dan Joko Pinurbo pernah berproses kreatif dengan Paranggi.

Namun, pada tahun 1975, Paranggi pindah ke Bali. Setibanya di Bali, Paranggi melakukan hal yang sama seperti di Yogyakarta, yakni bekerja di surat kabar yaitu koran Bali Post dan ikut terlibat dalam sebuah komunitas yaitu Sanggar Minum Kopi (SMK). Perkembangan dan pertumbuhan sastra di Bali menjadi pesat semenjak kedatangan Paranggi dengan meredakturi rubrik puisi di koran Bali Post sejak tahun 1979-an. Dari ruang sastra yang diasuh Paranggi itulah kemudian muncul pengarang-pengarang Bali yang kini dikenal di tingkat nasional seperti Oka Rusmini, Raudal Tanjung Banua, Wayan Sunarta, Cok Sawitri, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Riki Dhamparan Putra, Putu Vivi Lestari, Eka Pranita Dewi, dan sejumlah nama lainnya tidak bisa dilepaskan dari bimbingannya.

Nama-nama yang disebutkan itu merupakan hasil kreativitas Paranggi yang selanjutnya muncul di dalam kelompok sastrawan yang digolongkan sebagai sastrawan Angkatan 2000 dalam sastra Indonesia (Rampan, 2006:14). Lebih lanjut dikatakan bahwa Paranggi praktis menjadi tokoh penting yang berada di balik layar kemunculan para sastrawan Indonesia sejak generasi 1960-an sampai 2000-an (Arc2000-ana, 2012). Hal tersebut juga membuat Ramp2000-an (2006) memberi juluk2000-an kepada Paranggi sebagai “bidan” dua angkatan sastra Indonesia modern.

(4)

Dalam sejarah sastra Indonesia, menurut Rampan (2006), puisi-puisi Paranggi dikenal sejak tahun 1962. Namun, kenyataannya puisi-puisinya sudah dimuat di media sejak akhir tahun 1950-an. Sajak-sajak Paranggi ditemukan di beberapa media massa terkenal seperti Mimbar Indonesia, Basis, Pusara, Horison, atau Kompas. Meskipun sajak-sajak Paranggi tersebar di sejumlah media massa, tetapi puisi-puisi Paranggi tidak ada yang terpublikasi lewat buku antologi tunggal. Padahal, buku antologi adalah hal yang sangat penting bagi sastrawan untuk mendapatkan pengakuan atas kepengarangannya. Sajak-sajak Paranggi hanya dapat ditemukan dalam sejumlah buku antologi bersama dengan penyair lainnya.

Hal tersebut memberi gambaran bahwa Paranggi merupakan penyair yang memiliki kepantasan untuk ditempatkan dalam dunia perpuisian Indonesia dengan mengabaikan alasan atas minimnya publikasi karya-karyanya (Sujaya, 2009). Faktanya, karya-karya Paranggi sempat hadir di tengah-tengah masyarakat perpuisian Indonesia. Hanya saja, dengan keterbatasan publikasi karya-karyanya, khususnya himpunan puisinya dalam antologi tunggal, yang menyebabkan para krtikus sastra Indonesia jarang membahasnya. Hanya beberapa kritikus yang sempat mengulas karya-karya Paranggi sebagaimana yang dilakukan oleh Korrie Layun Rampan pada majalah sastra Horison tahun 2006. Ulasan itu pun belum mendalam, hanya menggambarkan kepenyairan Paranggi sejak awal dan singgungan sedikit tentang karakteristik sejumlah puisinya.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Sujaya (2009) dari sudut sosial historis, selain hidup dan berkarya dalam tiga zaman yaitu era Orde Lama, era Orde Baru,

(5)

hingga era Reformasi, Paranggi juga penyair yang melakukan migrasi di tiga daerah yang berbeda secara sosial dan budayanya yaitu Sumba dengan iklim yang gersang dan dekat dengan kultur Kristen, Yogyakarta yang kental dengan tradisi Jawa dan Islam, dan Bali dengan kultur adat, budaya, dan Hindu dengan masa tinggal yang relatif lama.

Jika sastrawan-sastrawan lain yang sebelumnya pernah berproses kreatif di Yogyakarta dari generasi 1950-an hingga 1970-an, pada akhirnya pindah ke Jakarta untuk meneruskan prosesnya, berbeda dengan Paranggi yang kemudian memilih Bali sebagai tempat berproses periode berikutnya. Bukan pula memilih Sumba, sebagai tanah kelahirannya untuk meneruskan segala adat dan budayanya sebagai seorang bangsawan. Seperti yang diakui oleh Rampan (2006) bahwa Paranggi termasuk unik karena tidak ikut bertarung menuju Jakarta sebagaimana dilakukan seniman-seniman lain tetapi justru hijrah ke Denpasar, menciptakan medan tempur baru dengan membina seniman-seniman muda di Bali sebagaimana yang pernah dilakukannya di Yogyakarta.

Gejala semacam ini tentu menarik dikaji dari sudut pandang sosiologi. Dari sudut pandang sosiologis, kebudayaan sebagaimana juga kesusastraan dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Cara berpikir dan bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukan orang tanpa patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Dengan demikian, Paranggi sebagai sastrawan yang masuk ke dalam satuan budaya atau ranah kesastraan, di sisi lain juga sebagai masyarakat pendatang baru yang belum

(6)

mengenal pola tingkah laku masyarakat Bali, tentu akan mengenal dan mempelajari serta membiasakan diri untuk berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan kebudayaan setempat.Dalam persaingan yang semakin ketat itu, sastrawan tersebut dituntut memiliki sejumlah modal yang baik untuk menjalani setiap kompetisi yang telah disediakan atapun yang akan dibangunnya.

Sastra, sebagai salah satu produk budaya bisa dikaji dari berbagai sudut pandang. Keberadaan sastra yang dinamis, memungkinkan dapat dipahami dari bidang ilmu yang lain seperti sosiologi, psikologi, sejarah, atau antropologi. Dengan demikian, sastra bukanlah sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri, yang terlalu otonom tanpa disentuh oleh bidang-bidang yang lain. Sastra sebenarnya mampu memandang realita sosial di masyarakat termasuk menyelesaikan berbagai persoalannya. Bertolak dari itu, sastra kemudian dapat dikaji dari segi sosiologis. Meskipun dewasa ini, sastra telah dikaji dengan ilmu sosiologi, penelitian tersebut ternyata kebanyakan hanya memandang sastra dari segi teks dan reseptifnya.

Dari segi teks yaitu bagaimana teks itu mampu merefleksikan kehidupan masyarakat sedangkan dari segi reseptif peneliti hanya mengalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Dengan begitu, kajian sosiologis yang mengarah kepada perspektif biografis belum banyak dilakukan. Padahal, peranan pengarang sebagai penghasil karya sastra sangatlah penting. Dengan demikian, dalam hubungannya dengan masyarakat posisi pengarang dalam masyarakat dapat diteliti (Luxemburg, 1992:23). Tanpa kehadiran pengarang maka karya sastra pun tidak akan lahir di tengah masyarakat. Dari perspektif itu akan diperoleh

(7)

gambaran tentang sejarah dan latar belakang kehidupan pengarangnya secara detail dan mendalam. Karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial (Wellek & Werren, 1989:112).

Dengan adanya kajian sosiologi sastra yang lebih memusatkan kepada perspektif biografis akan diperoleh deskripsi tentang konteks sosial sastrawan. Konteks sosial masyarakat ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Wellek & Werren (1989:111) membagi masalah sosiologi sastra yaitu sosiologi pengarang, isi karya sastra, dan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sasaran sosiologi sastra dalam hubungannya dengan konteks sosial sastrawan, kajiannya akan dipusatkan kepada (1) bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian, apakah ia menerima bantuan dari pengayom, atau dari masyarakat secara langsung, atau bekerja rangkap, (2) profesionalisme dalam kepengarangan, sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, (3) masyarakat yang dituju oleh sastrawan (Damono, 1984:3).

Pada perkembangan selanjutnya, dari sudut pandang sosiologi mutakhir, sastra dipandang sebagai salah satu bentuk arena kultural. Disebut arena karena dipandang dari sosiologi terjadi pertarungan antarpelaku sastra di dalamnya guna mendapatkan legitimasi sebagai sastrawan dan pengakuan terhadap karya-karyanya. Dalam pelegitimasian itulah seorang sastrawan tidak hanya dilakukan oleh seorang kritikus tetapi juga banyak hal yang berperan di dalamnya seperti penerbit, dealer seni, pameran, pedagang seni, sanggar-sanggar sastra, kelompok-kelompok seni, pertemuan-pertemuan budaya, dan sebagainya.

(8)

Pandangan seperti itu lahir dari seorang sosiolog yang sekaligus juga sebagai ahli antropologi dan filsafat yaitu Pierre Bourdieu. Pemikir Prancis itu telah memahami struktur sosial masyarakat sekaligus perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya. Tidak hanya itu, Bourdieu juga mengkaji masalah-masalah yang terjadi dalam bidang pendidikan, budaya, seni, dan sastra. Jika dikaitkan dengan konteks biografis tadi, dalam sebuah esainya tentang arena produksi kultural, Bourdieu mempertanyakan siapakah yang menciptakan ‘pencipta’? Permasalahan ini tentu menarik untuk dikaji mengingat selama ini masalah bagaimana pengarang atau sastrawan itu mendapatkan legitimasi dan konsekrasi masih sedikit dibahas.

Fakta menarik yang bisa dilihat dari kacamata sosiologi yang dikembangkan oleh Bourdieu adalah keberadaan Paranggi sebagai salah satu sastrawan Indonesia. Paranggi, oleh masyarakat sastra, diakui kepenyairan dan karya-karyanya. Selain itu, dengan segala kemisteriusan yang dimilikinya (tempat tinggal yang tidak jelas, sulit dihubungi, kehidupan yang serba tertutup), Paranggi juga diakui sebagai sosok guru yang melahirkan beberapa sastrawan, yang pada akhirnya diakui di tingkat nasional. Memang, nama Paranggi tidak seterkenal Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, atau Korrie Layun Rampan sebagai sastrawan. Justru perannya sebagai “produsen” atau “guru” sastrawan, terutama ketika Paranggi berada di Yogyakarta tidak diragukan oleh masyarakat sastra Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Pada fenomena itulah teori Bourdieu akan diterapkan dalam melihat struktur sosial di luar diri sastrawan yang diinternalisasikan dan kemudian

(9)

menjadi habitus untuk melakukan arena produksi kultural, dalam konteks ini memproduksi karya sastra. Pengarang yang memasuki wilayah baru sebagai tempat berproses akan menjadi anggota masyarakat yang baru pula. Pada dasarnya manusia yang bermasyarakat selalu berbeda berdasarkan lingkungan, waktu, kondisi pada masanya, sehingga interaksinya pun berbeda. Bagi Bourdieu, setiap individu menempati suatu posisi dalam ruang sosial multidimensional. Ruang itu tidak didefinisikan oleh keanggotaan kelas sosial, namun melalui jumlah setiap jenis modal yang dimiliki. Modal itu mencakup nilai jejaring sosial, yang bisa digunakan untuk memproduksi atau mereproduksi budaya.

Hingga kini, Paranggi yang sudah menempati Bali selama lebih dari tiga puluh tahun, dalam kaitannya menempati posisi sosial multidimensional dalam menjalani arena sastranya mempunyai strategi-strategi dalam mempertahankan dirinya sebagai orang yang mempunyai peranan besar dalam kesusastraan di Bali dan Indonesia pada umumnya. Beragam strategi akan dijalankan oleh seseorang ketika menduduki posisi dalam sebuah arena. Dengan strategi itu, orang yang menduduki posisi dalam arena baik secara individu atau kolektif dipakai untuk mempertahankan atau memperbaiki posisi mereka dalam arena. Dengan tinjauan sosiologi Bourdieu, pergulatan Paranggi dalam arena sastra di Bali diharapkan mampu menjawab masalah-masalah itu dengan baik. Pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilakukan sebaik-baiknya asal kritikus tidak melupakan pengarang lengkap dengan kesadaran dan tujuannya (Damono, 1984:13). Dengan demikian, deskripsi tentang sosiologi kehidupan Paranggi dan karya-karyanya akan menjadi jelas dan lengkap.

(10)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. Paranggi telah berhasil membina penyair-penyair berbakat di Yogyakarta. Perannya sangat besar dalam mempertahankan keberlangsungan bersastra di Yogyakarta. Atas kesuksesannya itu, Paranggi semestinya tetap memilih Yogyakarta sebagai tempat pergulatan sastranya. Namun, pada perkembangannya, Paranggi kemudian memilih Bali sebagai arena pergulatannya. Selain itu, minimnya antologi tunggal yang dihasilkan oleh Paranggi tidak lalu mengurangi statusnya sebagai penyair yang terlegitimasi dalam arena sastra nasional.

Meskipun Paranggi telah menempati posisi tertentu dalam arena sastra nasional, tidak banyak masyarakat sastra Indonesia mengetahui bagaimana sebenarnya proses-proses yang dilakukan dalam pencapaian posisi tersebut. Penjabaran posisi itu menjadi penting untuk menjelaskan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam kehidupan Paranggi seperti dirinya diakui sebagai penyair dalam sastra nasional tetapi dirinya tidak berkarya secara berkelanjutan, dirinya diakui sebagai motivator dan apresiator calon-calon penulis nasional tetapi dirinya menolak jika dikatakan sebagai pencipta penyair atau penulis.

Begitu tiba di Bali, Paranggi langsung mendapat sambutan yang baik dalam menghadapi arena sastranya. Paranggi diterima dengan berbagai bentuk penghargaan terhadap keberhasilannya membina kehidupan bersastra di Yogyakarta. Padahal, sebelum kedatangan Paranggi, di Bali sudah ada seniman seperti Paranggi, yaitu membina calon-calon penulis dan mengadakan berbagai

(11)

kegiatan apresiasi sastra Bali. Namun, Paranggi tetap berada pada posisi paling terdepan ketika dihubungkan dengan kegiatan pembinaan dan apresiasi sastra di Bali. Perpindahan dan keberadaan Paranggi ke Bali menjadi masalah yang menarik untuk dikaji dalam bidang sosiologi, khususnya yang dikembangkan oleh Bourdieu dengan perhatiannya terhadap arena produksi kultural. Dalam memasuki arena yang baru sebagai tempat bergulat, tentu Paranggi akan menghadapi persoalan-persoalan sosial yang baru. Dalam hal itu, Paranggi melakukan strategi-strategi dalam menjalani pergulatannya dengan sastra dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, selama tiga puluh tahun lebih membina kehidupan sastra di Bali, tentu Paranggi mempunyai modal dan habitus yang kuat untuk melanggengkan pergulatannya dalam arena sastra.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat dibuat pertanyaan penelitian yaitu: (1) Bagaimana posisi Paranggi dalam arena sastra nasional?; (2) Bagaimana pergulatan Paranggi dalam arena sastra di Bali?; (3) Strategi-strategi apa yang dilakukan oleh Paranggi di Bali dalam menghadapi arena sastranya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dikemukakan, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk meningkatkan apresiasi terhadap Paranggi sebagai penyair dalam usahanya membina sejumlah sastrawan Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) posisi Paranggi dalam arena sastra nasional; (2) pergulatan Paranggi dalam

(12)

arena sastra di Bali; (3) strategi-strategi yang dilakukan oleh Paranggi di Bali dalam menghadapi arena sastranya.

Secara teoretis, penelitian ini, yang menghasilkan deskripsi mengenai pergulatan Paranggi dalam arena sastra di Bali, diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian sastra, khususnya tentang sosiologi sastra berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa, guru, dan dosen sebagai sumber informasi tambahan tentang arena sastra di Bali pada umumnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Untuk mendukung keaslian penelitian ini, berikut ini akan disampaikan beberapa tinjauan pustaka yang telah peneliti lakukan. Tinjauan pustaka itu berupa penelusuran terhadap tulisan-tulisan berupa buku, jurnal, artikel ilmiah, esai, keterangan foto, atau laporan penelitian yang membahas hal-hal yang berkenaan dengan Paranggi. Ada begitu banyak tulisan tentang Paranggi. Tulisan-tulisan yang dimaksud tersebar di sejumlah buku dan media massa.

Salah satu tulisan tentang Paranggi ditulis secara singkat oleh B.S. Adipoetra pada tanggal 13 Maret 1973 di harian Sinar Harapan dengan judul “Umbu Landu Paranggi dan “Pesada” Studi Klub-nya”. Tulisan ini dalam bentuk wawancara mengenai PSK dan kehidupan Paranggi. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa antara PSK dan Pelopor Yogya sesungguhnya tidak ada hubungan organisatoris. Anggota PSK lebih mementingkan kemerdekaan dan kreativitas. Dalam artikel itu disebutkan juga bahwa PSK telah banyak menemukan

(13)

calon-calon penyair atau penulis yang berbakat seperti Bambang Indra Basuki, Iman Budhi Santosa, Suwarno Pragola, Naning Indratni, Teguh Ranusastra Asmara, Djoko Affandi, dan Emha Ainun Nadjib.

Kecintaan Paranggi kepada puisi terungkap dalam artikel berjudul “Penyair yang Suka Baca Sajak di Kampus” yang ditulis oleh Ym Uddin Effendi di harian Sinar Harapan tanggal 28 Desember 1973. Apresiasi menurut Paranggi adalah menumbuhkan rasa cinta dan selera, bersusastra, berpuisi. Itulah sebabnya Paranggi lebih suka membaca puisi di kampus-kampus dan kampung-kampung. Bagi Paranggi, membacakan sajak di TIM (Taman Ismail Marzuki) terlalu mentereng dan gagah. Paranggi tidak terlalu mementingkan honorarium tetapi adanya kesediaan mahasiswa untuk mendengarkan sajak-sajak sudah menggembirakan baginya.

Pada tanggal 17 Juni 1974 di harian Sinar Harapan, Hans menulis tentang Paranggi dalam menyanyikan puisi-puisinya. Tulisan yang berjudul “Catatan dari Yogya: Puisi Umbu Bisa Bernyanyi” ini menyebutkan bahwa banyak orang tidak menduga kalau Paranggi bersedia tampil di depan publik menyanyikan puisi-puisinya. Puisi-puisi itu digubahnya sendiri dalam sebuah kamar kecil di Malioboro. Di sanalah Hans kemudian memberikan penghormatan atas usaha yang dilakukan oleh Paranggi itu. Pada tulisan yang lain dengan judul Yogya Kota Penyair, Hans menyebutkan bahwa Paranggi sangat berjasa untuk Yogyakarta, buat penyair-penyair muda, karena Paranggi mau mendengarkan kegelisahan mereka lewat puisi.

(14)

Paranggi kerap melakukan ceramah tentang puisi. Hal itu terungkap dalam artikel berjudul “Pandangan-pandangan Keliru terhadap Kesusastraan dan Puisi” yang dimuat di harian Sinar Harapan. Menurut Paranggi, pandangan yang keliru dan kurang tepat terhadap kesusastraan khususnya puisi, tidak jarang memberi pengaruh negatif terhadap pengajaran dan pendidikan. Sastra masih merupakan pelajaran sambilan buat guru bahasa Indonesia, padahal kesusastraan mempunyai derajat abstraksi yang lebih luas dan tinggi dari pelajaran bahasa itu sendiri. Lebih lanjut bagi Paranggi, deklamasi adalah lanjutan dari pengajaran puisi, tetapi harus dilihat sebagai cara yang paling efektif untuk menanam dan menumbuhkan selera dan cinta kepada puisi. Puisi akan menemukan pemaknaannya yang agak lengkap dalam pembacaannya. Suasana, warna kata, intonasi, irama, unsur organis, dan juga kesatuan puisi akan terjelma bila telah diucapkan atau dideklamasikan.

Masih di harian yang sama, tanggal 25 Februari 1975 pada artikel bertajuk “Apresiasi Seni di Kampus” yang ditulis oleh YM Uddin Effendy disebutkan bahwa Paranggi sempat diundang oleh Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Seni IKIP Yogyakarta dalam acara ceramah puisi. Lewat tema kegiatan “Kehidupan Puisi Menyongsong Kehidupan Terdidik”, Paranggi menyebutkan bahwa kehidupan puisi sebagai basis penciptaan seni. Lalu, dari pelajaran puisi atau dari apresiasi puisi yang tepat akan bisa mencapai tujuan pendidikan yang menumbuhkan, mengembangkan, dan memelihara kebulatan kepribadian manusia.

Sementara itu, di harian Sinar Harapan tanggal 17 Maret 1976 dimuat profil Paranggi. Dalam profil itu, Yogi Iswara menyebutkan bahwa kesetiaan Paranggi

(15)

terhadap puisi tidak tertandingi oleh siapa pun. Kebohemian Paranggi dimulai tahun 1965 setelah keluar dari kuliah di Sospol UGM. Paranggi menganggur total dan benar-benar gelandangan. Namun, segera menjadi redaktur Pelopor Yogya yang oplahnya menaik gara-gara Paranggi membuat pawai puisi sehalaman penuh pada harian tersebut. Juga disebutkan bagaimana Paranggi menerima dengan ramah para penyair muda Yogyakarta dan melakukan apresiasi dari satu tempat ke tempat lain dengan sistem political therapi.

Made Reta menuliskan hasil wawancaranya dengan Paranggi di Mingguan Mahasiswa tahun 1976. Ada hal penting disampaikan dalam hasil wawancara tersebut yaitu Paranggi pernah menjadi koresponden mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung dan menjadi redaktur mingguan Mahasiswa Sendi di Yogyakarta bersamaan ketika menjadi redaktur Pelopor Yogya. Lebih lanjut dikatakan bahwa menurut Paranggi kerja sebagai seniman adalah pertama-tama mendengar dan mengamati yang menjadi permulaan kreativitas. Menulis puisi bagi Paranggi adalah juga tindakan politik, ekonomi, militer, dan sosial. Oleh karena itu, pejabat diharapkan dapat memahami dongeng atau puisi dengan baik karena puisi tetap relevan dalam dunia yang mekanis, dalam kemungkinan-kemungkinan, serta alternatif-alternatif manusia dalam mengarungi dan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan modern.

Selain itu, masih ada artikel lain yang berbicara tentang Paranggi seperti yang ditulis oleh Yoko S. Passandaran di harian Suara Karya tanggal 16 Juni 1978. Artikel dengan judul “Umbu Landu Paranggi: Penyair Yogya yang Pulang ke Padang Sabana” menjelaskan tentang PSK, dengan Paranggi sebagai

(16)

presidennya. Dalam tulisan itu diungkapkan bahwa keistimewaan Paranggi dengan klubnya adalah tidak hanya menerima tulisan-tulisan para anggotanya saja tetapi terbuka sebagai arena dialog seluas-luasnya dengan mengutamakan konteks kehidupan dan kesenian khususnya di Yogyakarta. Paranggi dikatakan sebagai sosok yang melepaskan diri dari pretensi material karena lebih banyak menggarap yang spiritual, terutama memelihara suasana tumbuhnya calon-calon penulis lebih-lebih penyair. Di bagian akhir tulisan disebutkan bahwa sebagai suatu fenomena, Paranggi akan tetap hidup dalam khasanah kesusastraan Indonesia, hidup dalam diri penyair dan puisi-puisinya.

Selanjutnya, pada edisi Oktober 1978, I. K. Parwita menulis esai singkat dengan judul “Dunia Puisi Umbu Landu Paranggi” di koran Semangat. Dalam tulisan itu dibahas tentang perjalanan proses kreatif Paranggi dari Sumba hingga ke Yogyakarta. Bagaimana pengalaman pahit tentang pendidikan Paranggi dibahas dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini juga dikatakan bahwa penyair seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Iman Budhi Santosa, Yudhistira Ardi Nugraha, dan Suwarna Pragolapati kurang tepat dikatakan sebagai produk PSK.

Bagi Paranggi, penyair tidak bisa diproduksi, tidak bisa dicetak. Nama-nama penyair yang disebut itu, menurut Paranggi hanyalah akibat sampingan apresiasi PSK dan kemungkinan karena pergaulan yang cukup merangsang kreativitas. Yang menarik dari tulisan ini adalah, disebutkan bahwa Paranggi mempunyai kumpulan sajak pertamanya bertajuk Sarang 45. Namun, sampai sekarang antologi yang dimaksud tidak bisa ditemukan. Hal lain juga disebutkan

(17)

bahwa Paranggi mengakui dirinya bukan penyair kritikus atau penyair esais, tetapi sebagai tukang apresiasi, propagandis puisi, atau tukang “jual jamu”.

Tjok Raka Pemajun pernah menulis artikel berjudul “Yang Perlu Ditiru dari Umbu: Kecintaannya pada Indonesia dan Kefanatikannya pada Puisi” pada tanggal 17 Juni 1979 di harian Bali Post. Dalam tulisan tersebut dibahas tentang keyakinan Paranggi terhadap puisi, kehidupannya selama di Yogyakarta, singgungan singkat tentang manuskrip puisi-puisinya, juga kemisteriusan kehidupannya. Paranggi disamakan dengan penyair Belanda, Jan Jacob Slauerhoff, karena sama-sama menyukai petualangan dan fanatik terhadap puisi. Pada bagian akhir tulisan disebutkan bahwa Paranggi anti terhadap latah-latahan. Paranggi akan menerbitkan kumpulan sajak menunggu momen yang paling baik. Namun, diakui Tjok bahwa Paranggi terlalu lama menunggu momen, terlalu banyak penantian sehingga waktu menjadi terbuang percuma.

Di harian Pos Sore tanggal 8 September 1979, Syamsudin Noer Moenadi menulis artikel bertajuk “Penyair Terkenal Yogyakarta Umbu Landu Paranggi”. Tulisan tersebut menggambarkan bagaimana sejumlah penyair Yogyakarta merindukan sosok Paranggi sebagai peletak dasar tradisi kepenyairan di Yogyakarta. Ada keinginan di kota-kota lain untuk meniru gaya Paranggi dan PSK-nya dalam menghimpun penyair-penyair muda. Dalam tulisan itu juga dimuat tiga buah sajak Paranggi berjudul “Solitude”, “Ramba Rumba”, dan “Doa Alit”. Paranggi dikatakan sebagai petualang yang membawa keberanian, kelaparan, dan kemiskinan. Namun, bagi penyair Suwarna Pragolapati dalam harian Masa Kini menyebutkan bahwa merindukan sosok Paranggi secara

(18)

berlebihan adalah sikap yang tidak baik karena akan menjadi manusia yang bernostalgia. Buat apa menyanjung-nyanjung Paranggi jika kenyataannya di daerah asalnya sendiri Paranggi tidak banyak orang yang mengetahuinya, lebih-lebih oleh generasi pengarang yang lebih-lebih muda.

Di majalah Pelita tanggal 18 November 1980, sebuah artikel tentang Paranggi ditulis oleh Arief Joko Wicaksono TR. Judul artikel tersebut “Dunia Umbu Landu Paranggi”. Arief menyebutkan bahwa Paranggi mempunyai sikap yang langka dengan penyerahan hidup kepada totalitas berkesenian, sebagai seniman tulen. Paranggi dikatakan sebagai orang yang memproletarkan dirinya untuk menggumuli puisi, yang dari segi ekonomi kurang menguntungkan bagi kehidupannya. Namun, justru di sanalah Paranggi menemukan kebahagiaan dalam karena bergaul dengan puisi, kapasitas jiwanya bertambah isi. Dalam tulisan itu juga dimuat beberapa puisi Paranggi yang dikutip dari beberapa sumber.

Di harian Sinar Harapan tanggal 15 Januari 1983, Tjok Raka Pemajun menulis artikel berjudul “Apresiasi Puisi Umbu Landu Paranggi di Bali”. Tjok memaparkan bagaimana kegiatan apresiasi Paranggi setelah tinggal di Bali. Bersama Sanggar “Pos Remaja”, Paranggi telah melakukan lebih dari 40 apresiasi puisi di kalangan sekolah di seluruh Bali dari Januari hingga Desember 1982. Apresiasi itu dikatakan hanya sebagai salah satu alternatif yang disodorkan oleh Paranggi dalam dunia pendidikan. Adanya kegiatan pendidikan formal yang ditunjang dengan kegiatan apresiasi puisi diharapkan siswa dapat mengenal lingkungan, tata nilai masyarakat, rasa cinta dan dekat dengan alam. Bagi

(19)

Paranggi menjalankan apresiasi harus mengeluarkan biaya sendiri itu sudah biasa, karena tugas itu dilakukan dengan pengabdian tanpa pamrih.

Majalah Tempo, edisi 26 Februari 1983 memuat tulisan Emha Ainun Nadjib tentang Paranggi dengan judul “Ustadz Umbu”. Emha memaparkan bahwa Paranggi merupakan seorang penyair kehidupan yang tata nilai kepenyairannya tidak mampu dihitung. Seorang guru paling setia, yang tidak mungkin akan dilahirkan kembali oleh Indonesia. Lebih lanjut dikatakan Paranggi adalah seorang penggali, penumbuh, pemacu, pelecut, tukang bakar, dan tukang bikin gila. Menurut Emha, sastra Yogyakarta seringkali menjadi nostalgik, romantik, dan nyinyir sepeninggal Paranggi tahun 1975. Dalam tulisan itu juga disebutkan bagaimana Paranggi membina penulis-penulis muda lewat koran Pelopor Yogya dan PSK. Di bagian akhir tulisan dikatakan bahwa sastra Indonesia ditantang oleh ‘gagasan besar’ dan Paranggi sedang melakukan sesuatu yang besar, yang tidak seorang pun melakukannya hanya saja Paranggi tidak melapor ke ‘pusat sastra’.

Pada tanggal 9 April 1983, di harian Sinar Harapan, disebutkan bahwa pada tahun 1975 Paranggi meninggalkan Yogyakarta. Pulang ke Sumba karena dipaksa menikah oleh orang tuanya. Sejak saat itu, Paranggi tidak kembali lagi ke Yogyakarta dan memilih menetap di Bali. Namun, keberadaannya di Bali sangat sulit mencari tempat tinggalnya yang tetap. Dalam majalah Sarinah, 27 Oktober 1985, dimuat perihal tokoh dan peristiwa Paranggi oleh Yon Ks. Dalam tulisan tersebut disampaikan tentang kesetiaan Paranggi kepada puisi. Sejak kedatangan Paranggi ke Bali, dikatakan kegiatan apresiasi kesenian menjadi marak. Paranggi dikatakan telah mampu mengasah kepenyairan Tjok Raka Pamayun dan Dewa

(20)

Raka Kusuma. Pada harian Merdeka, 26 Januari 1984, sebuah artikel yang ditulis oleh Suryanto Sastroatmodjo menyebutkan bahwa Paranggi merupakan pencetus dan pengelola paling telaten PSK yang selama hampir 20 tahun memberikan warna budaya lokal khas di Yogyakarta. Mampu membentuk budayawan muda yang berpanji Jawa dengan taraf nasional.

Selanjutnya, pada tanggal 22 September 1983, di harian Merdeka, Redi Panuju menulis artikel berjudul “Krisis Penyair Yogya: Setelah Kepergian Umbu Landu”. Adanya isu bahwa Yogyakarta mengalami krisis penyair setelah ditinggalkan oleh penyair Paranggi dibantah oleh Redi karena sebutan krisis dirasakan terlalu ekstrem, seolah-olah menunjukkan ketiadaan penyair. Bagi Redi, Yogyakarta masih menyimpan segudang penyair hanya saja penyair yang beridentitas bukan penyair. Di Yogyakarta diskusi-diskusi puisi masih berlangsung hanya saja kesan subjektifnya lebih menonjol dibandingkan dengan kesan objektifnya. Terhadap kegelisahan itu, menurut Redi, surat kabar mingguan Eksponen kemudian memuat tulisan “Umbu, Apa Perlu Dipanggil Kembali ke Yogya?”. Lebih lanjut dikatakan bahwa kelesuan sastra di Yogyakarta sepeninggal Paranggi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kurang adilnya perlakuan, kesempatan, dana, dan prasarana antara penyair daerah dan pusat yang membuat penyair merasa frustrasi.

Pembahasan lebih panjang tentang Paranggi ditulis oleh Korrie Layun Rampan dengan judul “PSK dan Sajak-sajak Presiden Malioboro”. Tulisan tersebut terdapat dalam buku Suara Pancaran Sastra yang terbit pada tahun 1984. Dalam tulisan itu, Korrie hanya membicarakan tentang kiprah Paranggi di

(21)

awal-awal pendirian PSK dan membahas beberapa sajaknya. Namun, pembahasan yang dilakukan belum dalam, hanya membicarakan karakteristik sajak Paranggi yang dikatakan lebih banyak berbicara tentang sunyi dan kerinduan.

Minggu Pagi tanggal 28 Oktober 1984 pernah memuat hasil wawancara Redi Panuju dengan Putu Arya Tirtawirya tentang kehidupan Paranggi. Hasil wawancara itu diberi judul “Komentar Putu Arya Tirtawirya tentang Umbu Landu Paranggi”. Wawancara tersebut membahas tentang sosok Paranggi dari segi keterkenalannya, perkembangan dan warna puisinya, metode dalam kegiatan apresiasi, krisis penyair Yogya, dan keberhasilan proses pembinaannya di Bali.

Hasil wawancara imajiner Arifin Brandan terhadap Paranggi pernah dimuat di majalah Eksponen tanggal 28 Juli–3 Agustus 1985. Tulisan mendeskripsikan bagaimana pergulatan murid-murid Paranggi, setelah meninggalkan Yogyakarta. Paranggi dituduh sebagai ‘biang keladi’ timbulnya semacam ‘krisis kepenyairan’ di Yogyakarta. Dalam tulisan itu terungkap bahwa seniman muda harus diprioritaskan karya-karyanya dimuat dalam sebuah media, sebab bagi Paranggi mereka masih membutuhkan latihan-latihan yang intens dan praktis. Paranggi menolak sistem dikte atau doktrinasi dalam berkesenian karena dunia seniman bukan dunia militer yang berisi kudeta-kudetaan, intrik, dan isu yang menyesatkan.

Wawancara singkat pernah dilakukan oleh majalah Eksponen dengan Paranggi yang hasilnya dimuat tanggal 16 Maret 1986. Dalam wawancara itu disebutkan bahwa Paranggi sudah mantap tinggal di Bali. Baik Yogyakarta maupun Bali bagi Paranggi sama-sama sebagai pusat budaya yang sangat

(22)

menentukan inti pernyataan sastra termasuk puisi. Informasi lain yang disebutkan dalam wawancara itu adalah Paranggi pernah mengikuti lomba penulisan puisi di Solo yang diselenggarakan oleh PPKI tahun 1967. Sayang, dalam wawancara tersebut tidak terungkap puisi yang dikirim Paranggi menang atau tidak dalam lomba tersebut. Beserta jumlah dan judul puisi-puisi yang dikirimnya juga tidak disebut dalam tulisan itu.

Nirwanto Ki. S. Hendrowinoto tanggal 3 Juni 1988 menulis hasil wawancaranya dengan Paranggi dengan judul “Malam Ini Kita Cerita tentang Pelacur Saja”. Dalam tulisan itu disebutkan kesederhanaan Paranggi dalam menjalani petualangan kehidupannya. Hal yang menarik adalah informasi tentang perpindahannya dari Sumba ke Yogyakarta dan sebaliknya dari kota Yogyakarta ke Sumba. Mulanya, tujuan Paranggi pergi ke Yogyakarta adalah untuk belajar. Kehidupannya di desa membuatnya dekat dengan alam sehingga Paranggi memutuskan untuk mencari suasana lain di kota. Merantau baginya adalah sesuatu yang menyenangkan.

Di Yogyakarta, Paranggi merasa berhasil menjadi seniman dengan menciptakan suasana apresiasi yang semarak. Paranggi mengakui perpindahannya ke Sumba karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Saat itu, ibunya mengutus seseorang untuk bertemu dengan Paranggi di Yogyakarta dan mengajaknya pulang. Setelah menikah di Sumba dan mempunyai anak, Paranggi masih senang berjalan di sabana yang luas. Di sanalah Paranggi kemudian mengajarkan anaknya kepada kehidupan yang bebas. Pada akhirnya, Paranggi memilih Bali sebagai panggilan jiwanya.

(23)

“Rinduku pada Umbu” merupakan artikel yang ditulis oleh Ahmad Gazali di Singgalang tanggal 8 Agustus 1988. Dalam artikel itu disebutkan bahwa Paranggi adalah penyair tanpa mau memublikasikan karya-karyanya. Tentang kelangkaan publikasi karya Paranggi tersebut, Ahmad menyebutkan bahwa kurang bisa diterima akal jika berkenalan dan bergaul dengan seseorang selama sepuluh tahun tidak pernah melihat apalagi membaca karyanya; tanpa melihat dan membaca karya seseorang karena karismanya berbicara soal puisi maka Paranggi dianggap Nabi puisi oleh pengagumnya; seandainya ada puisinya dimuat, itu berarti hasil curian; dan jika Paranggi sudah mati, terbitlah puisinya yang sudah mencapai lebih dari seribu buah. Dalam tulisan itu juga disebutkan sisi-sisi kehidupan pribadi Paranggi dan penjelasan singkat penafsiran Ahmad terhadap beberapa puisi Paranggi.

Pada tanggal 17 Januari 1994, di harian Republika, Ahmadun Yosi Herfanda menulis “Umbu, Sang Penyair Mitos”. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Paranggi ketika di Bali tidak bisa berbuat banyak dalam melahirkan penyair-penyair muda sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya di Yogyakarta. Paranggi mengakui bahwa bakat penyair-penyair Bali sebenarnya tidak kalah dengan penyair Yogyakarta hanya saja lingkungan Bali dengan budaya yang menekankan ketentraman, keserasian, dan keharmonisan kurang mampu merangsang tumbuhnya kreativitas dan pembaharuan kesenian. Lebih lanjut dikatakan, Paranggi sangat selektif dalam memublikasikan karya-karyanya. Paranggi akan memublikasikan puisi-puisinya setelah diyakini benar-benar bagus. Dengan gaya Paranggi seperti itu mengantarkan dirinya menjadi sebuah mitos.

(24)

Majalah Basis bulan Oktober 1994 memuat tulisan I Nyoman Darma Putra dengan judul “Kebangkitan Puisi Indonesia Modern di Bali”. Tulisan ini lebih lengkap menggambarkan bagaimana kegiatan kesusastraan di Bali setelah kedatangan Paranggi. Dikatakan bahwa setelah kedatangan Paranggi di Bali, kegiatan apresiasi sastra berupa diskusi, permbacaan puisi, dan pertunjukan tampak bergairah. Dalam tulisan itu juga disebutkan, konsep-konsep pembinaan yang dipakai Paranggi dalam mengasuh rubrik sastra Bali Post dan konsep apresiasi serta motivasinya terhadap penulis-penulis muda.

Pada tanggal 15 Januari 1996, Putu Fajar Arcana pernah menulis “Jalan Sunyi Umbu Landu Paranggi” di harian Kompas. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa semenjak kedatangan Paranggi, di Bali tumbuh semacam kesadaran baru bagi para penggelut sastra akan pentingnya kesusastraan bagi kehidupan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paranggi dalam tulisan itu bahwa betapa pentingnya ‘menyastrakan’ diri karena seluruh tatanan kehidupan ini dibangun dari puisi. Oleh karena itu, menurut Paranggi perlunya melakukan revitalisasi kitab suci karena kitab suci sebagai dasar kehidupan adalah puisi itu sendiri.

Pada era 2000-an, tulisan tentang Paranggi dan puisi-puisinya diawali oleh Putu Fajar Arcana bertajuk “Lagu-Puisi (Bukan) Romantisme Umbu” di harian Kompas. Artikel yang dimuat tanggal 24 Desember 2000 menyatakan bahwa sejumlah puisi-puisi Paranggi dilagukan oleh Tan Lioe Ie. Namun, puisi-puisi yang dilakukan itu hanya berjumlah delapan buah, itu pun puisi-puisi lama. Lebih lanjut dikatakan bahwa Paranggi memang terkenal pelit dalam publikasi karya dan menjadi misteri dalam kehidupan sastra Indonesia. Paranggi dikatakan sebagai sisi

(25)

gelap sejarah sastra Indonesia jika penyusunan sejarahnya berdasarkan pada karya-karya yang terpublikasi. Menurut tulisan itu, pilihan hidup Paranggi yang diliputi cerita-cerita yang tidak tuntas bukanlah sebuah romantisme pada hidupnya melainkan lebih merupakan introspeksi diri.

Di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Maret 2002, wartawan Soeparno S. Adhy membuat artikel dengan judul “Umbu Landu Paranggi, Apa yang Kau Cari?”. Ada beberapa hal penting yang dimuat dalam hasil wawancara tersebut. Pertama, setelah Yogyakarta, Paranggi sebenarnya ingin ke Bandung, menjadi pengasuh mingguan Mahasiswa Indonesia hanya saja media tersebut kena bredel dari pemerintah. Gagal ke Bandung pada tahun 1976 Paranggi ke Bali. Kemudian tahun 1998, Paranggi hampir saja ke Surabaya ditawari oleh Gladdy untuk kerja di Surabaya Post. Kedua, julukan Presiden Malioboro kali pertama diberikan oleh pelukis Hardi saat Paranggi menghadiri pertemuan penyair di TIM tahun 1970-an. Meskipun judul hasil wawancara itu berupa pertanyaan tetapi dalam wawancara itu tidak diungkap apa sebenarnya yang dicari oleh Paranggi.

Harian Kompas juga pernah memuat tulisan F. Rahardi tentang Paranggi. Tulisan yang dimuat tanggal 14 Mei 2006 diberi judul “Umbu dan Puisi Modern Indonesia”. Tulisan tersebut menggambarkan bagaimana sosok Paranggi dan perkembangan puisi Indonesia modern. Dikatakan bahwa di tengah kondisi puisi Indonesia modern yang loyo dan memprihatinkan, di Bali, Paranggi tetap konsisten dengan perannya seperti ketika bermukim di Yogyakarta. Namun, bagi Rahardi, sulit untuk merumuskan peran Paranggi dalam perkembangan puisi

(26)

Indonesia modern. Namun, sayang, Rahardi tidak memberikan penjelasan lebih panjang tentang kesulitan dalam merumuskan peran Paranggi tersebut.

Tulisan ini kemudian ditanggapi oleh Binhad Nurrohmat pada media yang sama tanggal 21 Mei 2006 dengan judul “Menganiaya Puisi”. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Paranggi memang pernah berperan bagus dalam perpuisian Indonesia modern. Namun, Paranggi dikatakan bukan orang satu-satunya dalam urusan itu. Paranggi dikatakan bohemian dan penasihat ‘spiritual’ kepenyairan sejumlah penyair di Yogyakarta dan Bali. Dalam konteks itu, Paranggi dikatakan berbeda dengan H.B. Jassin yang tertib akademis dan berperan sebagai kritikus ‘intelektual’ banyak penyair terkemuka di negeri ini melalui ulasan-ulasan di majalah sastra atau surat-menyurat yang intens, kritis, dan hangat dengan para penyair di Jakarta dan daerah.

Selain itu, pada tahun 2006, pada majalah Horison (Kakilangit) dimuat ulasan tentang Paranggi oleh Korrie Layun Rampan. Tulisan ini merupakan pengulangan kembali dari tulisan yang sudah pernah dimuat dalam buku Suara Pancaran Sastra. Ulasan terhadap sejumlah puisi dan proses kreatif Paranggi dideskripsikan secara lebih jelas. Pada bagian ulasan puisi disebutkan bahwa sajak-sajak Paranggi sebagian besar melukiskan tentang pengembaraan, kebimbangan, penyerahannya kepada nasib, pelukisan tanah kelahiran, serta cinta dan kasih sayang. Pada bagian ulasan proses kreatifnya, Paranggi oleh Korrie Layun Rampan dikatakan sebagai “Bidan Dua Angkatan Sastra Indonesia Modern”.

(27)

Sri Widati dkk. pada tahun 2008, melakukan penelitian tentang sastra Indonesia di Yogyakarta. Hasil penelitian itu kemudian dibukukan dengan judul Sastra Indonesia di Yogyakarta. Pada subbab “Perkembangan Puisi di Yogyakarta” dibahas tentang kiprah Paranggi dan PSK di Yogyakarta. Namun, pembahasan tersebut masih bersifat umum, hanya mendeskripsikan secara singkat tentang awal berdirinya PSK yang dimotori oleh para penyair Yogyakarta kala itu, salah satunya adalah Paranggi.

Tahun 2009, I Made Sujaya melakukan penelitian terhadap puisi-puisi Paranggi dengan judul “Spiritualitas dalam Sajak-sajak Umbu Landu Paranggi”. Penelitian itu menyimpulkan bahwa sajak-sajak Paranggi mengandung semangat introspektif atau kontemplatif. Sajak-sajaknya sangat kental dengan spiritualitas yang melampaui kungkungan religiositas, kotak agama, keyakinan, ataupun etnis tertentu. Paranggi dikatakan sebagai pribadi yang memahami dunia melalui dirinya sendiri. Konteks sosial yang terdapat dalam sajak-sajak Paranggi dikatakan menggambarkan pandangan dunianya di dalam berkarya yaitu penyair mesti selalu menoleh kepada hati nuraninya sendiri sehingga bisa memberi respons yang jernih terhadap gejala atau fenomena sosial kultural yang terjadi.

Dalam rangka Reuni Apresiasi Sastra 30 Tahun Umbu Landu Paranggi pada tahun 2009, I Nyoman Darma Putra membuat sebuah makalah dengan judul “Sastra Indonesia di Bali Sebelum dan Semasa Umbu Landu Paranggi”. Dalam makalah itu disebutkan bagaimana periode awal aktivitas Paranggi dalam membina kreativitas anak muda dalam bentuk apresiasi ke sekolah-sekolah di

(28)

beberapa kabupaten di Bali dan sistem berjenjang Paranggi dalam menyeleksi puisi-puisi yang masuk ke redaksi Bali Post.

Selanjutnya, pada pahun 2010, Atisah melakukan penelitian tentang Paranggi dan PSK dengan judul “Umbu Landu Paranggi dalam Pembinaan Sastrawan Indonesia: Studi Kasus Pesada Studi Klub”. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa hubungan antara Paranggi, PSK, dan rubrik kebudayaan “Persada” dan “Sabana” sangat penting dan bermanfaat bagi pembinaan sastrawan pemula dan sastrawan muda Indonesia khususnya di Yogyakarta pada masa 1969– 1975.

Dalam PSK, Paranggi dikatakan sebagai sosok panutan yang diidolakan karena perannya sebagai guru, motivator, dan apresiator sastra Indonesia modern. Model yang dipakai Paranggi dalam pembinaan tersebut adalah dengan menggunakan model persuasif, secara disiplin, dan mandiri. Lebih lanjut dikatakan bahwa PSK merupakan komunitas yang fenomenal dan diperhitungkan keberadaannya terutama pada masa 1969–1975 dengan kontribusi terhadap sistem pembelajaran bersastra melalui strategi keindonesiaan yang khas yaitu saling asah, asih, dan asuh. Terakhir dikatakan bahwa semua proses itu memerlukan dukungan media massa dalam menampung hasil pembelajaran anggota komunitas.

Selain itu, pada tahun 2010 juga terbit sebuah buku Orang-orang Malioboro: Refleksi dan Pemaknaan Kiprah PSK 1969–1977 di Yogyakarta. Buku itu merupakan kumpulan esai yang mengulas kiprah Paranggi dan PSK di Yogyakarta secara lebih lengkap dan panjang. Buku itu dieditori oleh Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim, Emha Ainun Nadjib, Budi Ismanto, dan Mahwi Air

(29)

Tawar. Esai-esai dalam buku tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu bagian I tentang PSK, akar kelahiran, dan suburnya komunalisme kreatif di Yogyakarta, bagian II tentang gerakan membangun membangun komunitas sastra di Yogyakarta, bagian III tentang pernik kisah pengalaman bersastra versi PSK, dan bagian IV tentang kesaksian, refleksi, dan kesan terhadap PSK.

Pada 24 Oktober 2010, di harian Kompas, Satyaputra menulis artikel dengan membandingkan dua penyair Indonesia yaitu Paranggi dengan Sutardji Calzoum Bachri. Dalam tulisan yang berjudul “Pertemuan Dua Presiden Penyair” itu disebutkan bahwa keduanya adalah tokoh yang berpengaruh dalam sejarah sastra Indonesia. Hanya saja keduanya menempuh cara yang berbeda dalam mengembangkan sastra. Dalam berproses kreatif, Sutardji dikatakan sebagai penyair yang ekstrovert tampilannya di atas panggung yang dramatik dan nyeleneh dan dengan karya-karyanya yang penuh kejutan serta menyimpang dari mainstream perpuisian. Di sisi lain, Paranggi diingat orang sebagai sosok yang introvert, lebih mengemuka selaku motivator, menghindar dari publikasi, bahkan hingga kini belum memiliki antologi puisi tunggal. Selanjutnya disebutkan jika Sutardji layaknya seorang single figther yang menonjol secara individual, Paranggi lebih memilih di luar ring, hidup bersahaja dalam semangat komunal.

Tulisan berikutnya tentang Paranggi dibuat oleh Putu Fajar Arcana, dimuat di harian Kompas, pada tanggal 18 November 2012 dengan judul “Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata”. Tulisan tersebut berisi wawancara singkat tentang perpuisian, kepenyairan Indonesia secara umum, dan proses kreatif Paranggi sejak di Yogyakarta hingga di Bali. Lebih lanjut dikatakan bahwa

(30)

Paranggi adalah sosok yang benar-benar total melakukan pengabdian kepada puisi. Dalam tulisan tersebut terungkap bahwa menurut Paranggi puisi tidak hanya milik penyair, puisi harus hidup di hati, kepala, dan lidah semua orang termasuk politisi.

Masih di media yang sama, tanggal 16 Desember 2012, Emha Ainun Nadjib menulis esai tentang Paranggi dengan judul “Presiden Malioboro”. Dalam tulisan tersebut disebutkan profil Paranggi dan bagaimana proses kreatifnya selama berada di Yogyakarta. Yang menarik dari tulisan itu adalah tentang kehidupan puisi Paranggi yang serba meninggalkan kemasyuran dan segala bentuk popularitas.

Di harian Bernas, dimuat sebuah tulisan “Yogya Era Umbu dan Perlunya Anak Nakal”. Dalam tulisan itu terungkap ada upaya untuk mendemitologisasi, rasionalisasi, atau objektivikasi terhadap mitos-mitos tentang Paranggi. Tujuannya adalah agar tidak hanyut dalam nostalgia selalu dibayang-bayangi masa lalu sehingga berpengaruh terhadap kreativitas dan kepercayaan diri penyair muda sekarang. Proses itu bisa dilakukan dengan penyadaran bahwa yang disebut PSK dan Paranggi bukan gejala yang berdiri sendiri. Kehadiran PSK itu erat kaitannya dengan format sosial masyarakat pada dasarwarsa 1960-an dan 1970-an yang menempatkan Yogakarta sebagai kota budaya sehingga seniman dan kaum intelektual bisa berkumpul secara intens. Era Paranggi bisa mempunyai greget yang tinggi kreativitas karena memang dialektis dengan formal sosial zamannya. Dalam tulisan itu juga dikatakan bahwa situasi semacam itu sangat sulit

(31)

diciptakan sekarang karena infrastruktur sosial memang tidak mendukung atau negara sesungguhnya tidak berkenan terhadap kreativitas putra-putranya.

Ulasan terkini tentang Paranggi dimuat pada edisi perdana majalah Sabana yang ditulis oleh Soeparno S. Adhy. Tulisan yang berjudul “Tukang Kebun Peradaban Bernama Umbu Landu Paranggi” itu, isinya hampir mirip dengan apa yang sudah ditulis oleh Soeparno di koran Kedaulatan Rakyat tahun 2002. Hanya saja ditambahkan tentang kegiatan Paranggi selama di Yogyakarta dan Bali, serta sisi kehidupan keluarganya. Menurutnya, bahwa Paranggi suatu saat nanti akan pulang kampung ke Sumba untuk menulis dan menerbitkan buku.

Secara umum, tulisan-tulisan tentang Paranggi itu polanya hampir sama. Tulisan selalu diawali dengan identitas Paranggi, kehidupannya di Yogyakarta (dengan PSK-nya) dan di Bali, beberapa karya puisinya, serta pengungkapan keunikan dan kemisteriusan sosoknya. Pembahasan-pembahasan tentang Paranggi yang dilakukan oleh beberapa penulis dan peneliti di atas belum secara jelas memberikan informasi tentang bagaimana sebenarnya pengakuan masyarakat sastra Indonesia terhadap Paranggi sebagai penyair yang terlegitimasi. Begitupun tentang alasan Paranggi memilih Bali sebagai arena sastra setelah Yogyakarta termasuk juga strategi-strategi yang dilakukan dalam menghadapi arena sastranya. Analisis-analisis yang dilakukan terhadap kepenyairan Paranggi dan karya-karyanya dalam penelitian tersebut masih menggunakan kerangka teori yang bersifat umum sehingga masalah-masalah yang lebih spesifik belum terjawab dengan baik. Untuk itulah, dalam penelitian ini masalah-masalah tersebut dicoba dengan tinjauan sosiologi Pierre Bourdieu.

(32)

Penelitian dengan perspektif sosiologi Bourdieu pernah dilakukan oleh Syahril pada tahun 2012 yang digunakan untuk menganalisis arena produksi kultural dan kekerasan dalam sebuah novel. Judul penelitiannya “Arena Produksi Kultural dan Kekerasan Simbolik Analisis Terhadap Novel Banât al-Riyâdh Perspektif Sosiologi Pierre Bourdieu”. Banât al-Riyâdh adalah sebuah novel yang ditulis oleh pengarang Saudi Arabia bernama al-Sanea. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa novel Banât al-Riyâdh merupakan suatu proses pertarungan kultural yang berimplikasi pada beberapa kekerasan simbolik. Al-Sanea menjadi salah satu agen sosial yang melakukan sebuah praktik kultural hingga melahirkan satu karya Banât al-Riyâdh. Kekerasan simbolik dalam novel tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan simbolik terhadap masyarakat, kekerasan simbolik patriarki, dan kekerasan simbolik keluarga terhadap anak.

Selain itu, lewat novel Sang Pemimpi, Kukuh Yudha Karnanta meneliti trajektori Andrea Hirata dalam arena sastra Indonesia dengan menggunakan konsep-konsep arena produksi kultural Bourdieu. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa dalam arena sastra, Andrea Hirata meraih legitimasi populer dan borjuis atau pemerintah melalui transformasi karya-karyanya ke dalam media film. Legitimasi itu memungkinkan dirinya melakukan mobilitas kelas sosial secara vertikal dari posisi awal yang ditempatinya. Lewat novel itu, penelitian ini berhasil menemukan narasi modernism serta praktik borjuasi sebagai pandangan yang ditawarkan oleh Andrea kepada masyarakat Indonesia kekinian.

Pada tahun 2013, teori Bourdieu juga pernah digunakan oleh Saeful Anwar dalam menganalisis keberadaan PSK. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa PSK

(33)

menempati posisi yang terdominasi oleh kekuasaan Orde Baru sehingga melakukan resistensi dalam bentuk pemupukan modal simbolis dalam persaingan arena sastra nasional. Penelitian ini hanya menitikberatkan pada persoalan eksternal saja tanpa analisis internal terhadap teks-teks yang dihasilkan dalam PSK. Analisis internal itu sulit dilakukan mengingat PSK adalah sebuah komunitas, sehingga sulit mencari sampel teks yang refresentatif untuk menggambarkannya dalam arena sastra nasional.

Berdasarkan uraian tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang pergulatan Paranggi dalam arena sastra di Bali belum pernah dikaji. Data atau informasi-informasi yang diperoleh dari hasil tinjauan terhadap penelitian tersebut bisa digunakan sebagai data tambahan dalam menjawab masalah-masalah yang diajukan dalam penelitian ini. Dengan demikian, tinjauan pustaka yang telah dilakukan akan benar-benar memberikan input bagi penelitian ini serta semakin menguatkan tingkat keaslian penelitian yang dilakukan.

1.5 Landasan Teori

Untuk menjawab permasalahan yang telah diajukan, penelitian ini memerlukan teori yang relevan. Teori merupakan komponen penting bagi peneliti untuk digunakan dalam menganalisis dan memahami masalah-masalah yang ada. Konsep-konsep yang dipakai dalam kajian teori ini adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan arena produksi kultural (sastra) Pierre Bourdieu.

(34)

Dalam bidang sastra, Bourdieu menolak analisis yang terlalu mementingkan salah satu aspek, yaitu analisis internal atau analisis eksternal saja. Dalam analisis internal, Bourdieu menemukan dua tradisi teoretis sentral yang mendasarinya, yaitu (1) yang berasal dari filsafat neo-Kantian tentang bentuk-bentuk simbolis dan dari tradisi-tradisi yang mencari struktur-struktur ahistoris universal sebagai basis konstruksi sastra dan puisi dunia, (2) strukturalisme, yang bagi Bourdieu dilihat sebagai tradisi yang lebih kuat karena memiliki kadar keilmiahan dalam usaha-usaha analisisnya (Bourdieu, 2010:xxiv).

Bourdieu keberatan dengan analisis internal tersebut karena dinilai analisisnya terlalu ketat terhadap teks-teks yang hanya mencari penjelasan final atas teks entah di dalam teks itu sendiri yang tidak mencarinya di dalam jejaring kompleks relasi-relasi sosial yang melahirkan eksistensi teks-teks tersebut. Dengan mengisolasi teks dari keberadaan sosialnya maka analisis internal itu menghilangkan penelusurannya tentang keberadaan sosial agen sebagai produsen seperti penulis, penyair, pengarang, atau sastrawan. Selain itu, analisis itu mengabaikan hubungan-hubungan sosial yang objektif tempat praktik sastra itu muncul.

Bagi Bourdieu (2010:xxvii), analisis ilmiah terhadap sastra mesti berusaha menghubungkan dua perangkat, yaitu antara ruang kerja/diskursus yang dianggap sebagai posisi-posisi yang berbeda dan ruang posisi yang dipegang oleh mereka yang memproduksinya. Oleh karena itu, karya sastra harus dilihat kembali ke dalam sistem relasi-relasi sosial yang menopangnya. Bukan berarti Bourdieu kemudian menolak terhadap ciri-ciri estetika atau keformalan karya sastra, tetapi

(35)

juga sebagai analisis yang didasarkan pada posisi-posisi ciri-ciri itu berada. Bahwa sastra tidak hanya memproduksi material saja tetapi juga simbolis-simbolis karya itu yang berupa nilai-nilai di dalamnya. Mediator artistik seperti penerbit, kritikus, agen-agen seni, akademisi berfungsi sebagai produsen makna dan nilai karya. Setiap karya adalah ekspresi arena secara keseluruhan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian, konsep-konsep itu digunakan untuk menganalisis puisi-puisi Paranggi untuk menemukan kesamaan antara nilai-nilai yang terkandung di dalam puisi tersebut dan hubungan sosial yang berada di luarnya.

Arena sastra adalah tempat yang usahanya tidak serta merta langsung membuahkan kesuksesan, nilai yang diperuntukkan buat posisi atau kehormatan tertentu bisa beragam menurut agen yang diteliti, suplai/persediaan justru menciptakan permintaan bukan sebaliknya, senioritas memiliki pengaruh sedikit saja terhadap jalan karier agen tertentu, dan para penulis dengan latar belakang sosial dan geografis yang berbeda bisa hadir bersama-sama meski sering tidak memiliki hubungan dekat antarpribadi selain kepentingan bersama di dalam arena sastra.

Dalam kaitannya dengan arena sastra, Bourdieu (2010:xxxiii) memadukan tiga tingkatan realitas sosial yaitu (1) posisi sastra atau arena seni di dalam arena kekuasaan, yaitu seperangkat relasi kuasa dominan di dalam masyarakat, (2) struktur arena sastra, yaitu struktur posisi-posisi objektif yang ditempati oleh agen-agen yang saling bersaing untuk mendapatkan legitimasi di dalam arena selain juga karakteristik objektif agen-agen itu sendiri, dam (3) asal muasal

(36)

habitus produsen, yaitu karakter yang terstruktur dan menstrukturkan yang melahirkan praktik-praktik dalam arena.

Dengan demikian, teori arena produksi kultural Bourdieu dan metode analisisnya dapat digunakan untuk menganalisis kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang simbolis. Teori Bourdieu tidak hanya mengalisis karya-karya dengan relasi yang bisa dilihat dari ruang kemungkinan-kemungkinan yang tersedia tetapi juga dapat dipakai untuk menganalisis para produsen karya berdasarkan strategi dan lintasan, habitus individu dan kelas, serta posisi objektif mereka dalam arena. Teori Bourdieu ini juga dapat digunakan untuk menganalisis struktur arena yaitu posisi-posisi yang ditempati para produsen (penulis, seniman) dan konsekrasi serta legitimasi yang membuat produk kultural sebagai produk kultural (publik, penerbit, kritikus, galeri, akademi).

Arena sastra atau seni adalah arena kekuatan (a field of forces) dan arena pergulatan (a field of struggle) yang cenderung mengubah ataupun melanggengkan arena kekuatan (Bourdieu, 1993:5). Lebih lanjut Bourdieu mengatakan bahwa jaringan relasi-relasi objektif di antara posisi-posisi tersebut mendorong dan mengorientasikan strategi-strategi yang digunakan para penghuni beragam posisi berbeda dalam pergulatan mempertahankan posisi-posisi mereka. Kekuatan dan bentuk strategi-strategi ini bergantung pada posisi yang ditempati setiap agen di dalam relasi-relasi kekuasaan.

Arena sastra atau seni pada sepanjang waktu adalah pergulatan antara dua prinsip hierarkisasi yaitu prinsip heteronom dan otonom (Bourdieu, 2010:19).

(37)

Prinsip heteronom memandang seni sebagai arena ekonomis dan politis yaitu orang-orang yang ada di dalamnya mempunyai dominasi-dominasi tertentu seperti seni borjuis. Berbeda dengan prinsip otonom yang memandang seni untuk seni yaitu para pendukungnya dianugrahi modal spesifik cenderung mengidentifikasi diri dengan tingkat indenpendensi dari ekonomi.

Dalam bidang sastra, dengan basis ideologi karismatik dikatakan bahwa penulis adalah pencipta (creator). Dengan kata lain arena produksi kultural adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan dengan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis dan karenanya kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefinisikan penulis tersebut. Penulis yang telah terkonsekrasi menurut Bourdieu (1993:22) adalah penulis yang memiliki kekuasaan untuk mengonsekrasi dan mendapatkan persetujuan ketika dia mengonsekrasi seorang penulis atau sebuah karya dengan cara memberi kata pengantar, dengan melakukan studi, memberi penghargaan, dan sebagainya. Dengan demikian, Paranggi dapat dikatakan sebagai seorang kreator karena dirinya adalah seorang penulis (penyair).

Ideologi karismatik menjadi dasar terdalam kepercayaan terhadap seni yang menjadi basis bagi berfungsinya arena produksi dan sirkulasi komoditas kultural. Ideologi inilah yang menekan pertanyaan tentang apakah yang memberi otoritas kepada pengarang, apa yang menciptakan otoritas yang dengannya pengarang punya otoritas. Beberapa pertanyaan bisa dimunculkan dalam bentuk yang paling konkret yang terkadang muncul dari pihak agen adalah siapakah produsen

(38)

sesungguhnya dari nilai sastra: pelukis ataukah pedagang lukisan, penulis atau penerbit, penulis naskah drama atau manajer teater?

Menurut Salam (2013) hal yang menonjol dari kajian (sosiologi) sastra dalam perspektif Bourdieu adalah bahwa teori Bourdieu membuka peluang untuk bertanya apa, bagaimana, dan mengapa seseorang memiliki legitimasi dan “sukses” menjadi sastrawan atau seniman. Pada penelitian ini konsep ideologi karismatik itu digunakan untuk melihat bagaimana Paranggi mendapatkan legitimasi sebagai seniman baik di tingkat nasional maupun regional (Bali).

Ideologi penciptaan yang membuat pengarang menjadi sumber pertama dan terakhir nilai karyanya menyembunyikan fakta bahwa para pebisnis kultural pada saat yang bersamaan adalah orang yang mengeksploitasi kerja pencipta dengan memperdagangkan yang sakral dan sekaligus orang yang meletakkannya di pasar dengan memamerkan, menerbitkan, atau mementaskannya, mengonsekrasi produk yang kalau tidak ditemukannya akan tetap menjadi barang yang alami biasa. Semakin besar konsekrasi yang diterima si pedagang makin kuat dia mengonsekrasi karya.

Para agen seni bukan hanya agen yang memberikan nilai komersial kepada sebuah karya dengan cara membawanya ke pasar, ia bukan hanya menjadi wakil si pengarang, yang akan membela pengarang yang dicintainya tetapi ia adalah pribadi yang bisa memproklamasikan nilai pengarang yang dibelanya lewat katalog-katalog atau komentar-komentar. Bertindak seperti banker simbolis yang menawarkan modal simbolis yang telah ia tumpuk sebagai jaminan keamanan.

(39)

Penerbit hanya satu dari sekian sponsor prestisius yang terang-terangan merekomendasikan kandidat-kandidatnya sendiri. Bahkan, yang lebih jelas lagi adalah peran dealer seni yang secara harfiah harus memperkenalkan seniman dan karyanya kepada lingkaran pergaulan yang lebih selektif seperti pameran bersama, pameran tunggal, koleksi prestius, museum. Dealer seni harus menerapkan kehumasannya yang halus dan lembut dalam mempublikasikan karya seni misalnya lewat resepsi, jamuan makan suatu perkumpulan, dan penilaian yang disampaikan dengan penuh percaya diri dan berwibawa. Dalam hubungannnya dengan konsep itu, keberadaan Paranggi didukung oleh komunitas termasuk juga anggotanya atau media yang menjadikannya besar.

Bourdieu memandang arena sebagai sebuah relasional dibandingkan struktural. Ada sejumlah arena otonom di dunia sosial seperti artistik, religius, perguruan tinggi yang kesemuanya memiliki logika spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan aktor tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan dalam suatu arena. Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal yang digunakan dan dimanfaatkan oleh para agen. Namun, adalah arena kekuasaan (politik) yang paling penting; sebuah hierarki hubungan kekuasaan dalam arena politik berfungsi menstrukturkan semua arena yang lain. Dalam menghadapi kompetisinya, sebagai salah satu agen seni, Paranggi akan mempertaruhkan modal-modal yang telah dimilkinya untuk mendapatkan legitimasi atau konsekrasi.

Dalam menghadapi arena kompetitif itu, para agen sangat dipengaruhi oleh modal-modal yang dimilikinya. Modal menjadi salah satu penyebab terjadinya

(40)

perbedaan-perbadaan dalam sebuah kompetisi sebab dalam arena itulah akan terjadi distribusi berbagai jenis modal. Modal adalah sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat digunakan (Bourdieu, 1996:114). Dengan demikian, dalam sebuah arena dituntut adanya kepemiliki modal oleh masing-masing agen.

Bourdieu (1989:243–248; Haryatmoko, 2003:12) menggolongkan modal ke dalam empat jenis yaitu (1) modal ekonomi yang mencakup alat-alat reproduksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda), dan uang: (2) modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga; (3) modal sosial atau jaringan sosial yang dimiliki oleh agen dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa; (4) modal simbolik yaitu berupa segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi dalam diri agen. Salah satu contoh kepemilikan modal Paranggi adalah ketika dirinya mempunyai banyak murid yang dijadikan sebagai jaringan sosial baginya untuk menerapkan konsep-konsep bersastranya (modal simbolik).

Antara modal yang satu dengan modal yang lain bersifat terbuka artinya kepemilikan atas satu modal tertentu oleh agen dapat mendorong munculnya modal-modal yang lain dalam dirinya. Dengan kata lain, modal-modal itu dapat diperoleh dengan akumulasi dari proses penginvestasian dalam bentuk modal-modal yang lain. Di antara keempat modal-modal itu, modal-modal ekonomi adalah jenis modal-modal yang relatif paling independen karena modal ini dengan mudah dapay digunakan

(41)

atau ditransformasikan ke dalam arena-arena lain dan lebih fleksibel untuk diberikan atau diwariskan kepada orang lain.

Dalam arena sastra, habitus mempengaruhi keberadaan pengarang. Dalam ruang-ruang sosial tertentu, pengarang melakukan praktik dan bernegoisasi melalui habitus. Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik (Bourdieu, 2011:174). Menurut Bourdieu (2011:141) habitus seseorang dapat ditelusuri dari sejarah individu, pengalaman yang membentuk masa pertama kanak-kanak, segenap sejarah kolektif keluarga, dan kelas. Habitus merupakan seperangkat pengetahuan, yaitu berkenaan dengan cara bagaimana agen memahami dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh habitus Paranggi adalah pengalamannya dalam mengikuti kegiatan-kegiatan jurnalistik semasa menjadi mahasiswa sehingga dirinya mempunyai wawasan tentang kejurnalistikan ketika ada yang menawarinya bekerja sebagai redaktur koran.

Arena sastra adalah arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasikan atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada: masing-masing agen melibatkan kekuatannya (modalnya) yang telah dia peroleh dari pergulatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing dalam relasi kekuatan (Bourdieu, 2011:191). Orang yang menduduki posisi dalam arena tertentu menjalankan beragam strategi. Ada hubungan yang stategis antara habitus dan arena.

Di satu sisi, arena mengondisikan habitus sedangkan di sisi lain habitus menciptakan arena sebagai sesuatu yang bermakna yang memiliki rasa dan nilai

(42)

dan yang layak untuk mendapatkan investasi energi. Strategi dan lintasan menjadi konsep kunci dalam teori arena Bourdieu. Strategi bisa dimengerti sebagai orientasi spesifik praktik. Sebagai produk habitus, strategi tidak didasarkan pada kalkulasi sadar, melainkan lebih merupakan hasil dari disposisi tidak sadar terhadap praktik. Lintasan mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah arena yang juga silih berganti.

Ketika berada dalam arena, agen membutuhkan strategi untuk mempertahankan atau mengubah distribusi modal-modal yang dimilikinya. Dengan demikian, strategi dibutuhkan sebagai manuver para agen untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena (sastra) dalam hal ini untuk mendapatkan pengakuan, otoritas, modal, atau akses atas posisi-posisi kekuasaan yang terkait dengan strategi yang digunakan oleh para agen. Paranggi sebagai salah satu agen yang terlibat dalam arena sastra akan membutuhkan strategi khusus dalam memperjuangkan dan mempertahankan posisi dan pencapaian yang telah diperolehnya. Ini sebagai bentuk usaha untuk melanggengkan modal-modal yang diperolehnya lewat kekuasaan yang dibentuknya.

Secara umum, Bourdieu membagi strategi menjadi dua tipe yaitu strategi reproduksi dan strategi penukaran kembali (Bourdieu, 1984). Strategi reproduksi merupakan sekumpulan praktik. Strategi ini dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. Jumlah dan komposisi modal serta kondisi sarana produksi menjadi patokan utama dalam strategi ini. Strategi penukaran kembali berkenaan dengan pergerakan-pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi yaitu keseluruhan

(43)

jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan terdominasi (Mutahir, 2011:71–72). Selain itu, secara lebih spesifik, Bourdieu membagi strategi yang dilakukan oleh agen menjadi lima jenis yaitu strategi investasi biologis, strategi suksesif, strategi edukatif, strategi investasi ekonomi, dan strategi investasi simbolik (Mutahir, 2011:72).

Strategi investasi biologis mencakup dua hal yaitu kesuburan dan pencegahan. Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin stransmisi modal dengan cara membatasi jumlah anak. Sedangkan strategi pencegahan bertujuan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari penyakit. Strategi suksesif ditujukan untuk menjamin pengalihan harta warisan antargenerasi, dengan menekankan pemborosan seminim mungkin. Strategi edukatif berupaya menghasilkan agen sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial serta mampu memperbaiki jenjang hierarki yang ditempuh lewat jalur pendidikan baik secara formal maupun nonformal.

Strategi investasi ekonomi merupakan upaya mempertahankan atau meningkatkan berbagai jenis modal yaitu gabungan antara modal ekonomi dan modal sosial. Modal sosial dipakai untuk melanggengkan dan membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek dan panjang. Hubungan-hubungan itu bisa dibangun dengan modal ekonomi. Strategi investasi simbolik merupakan strategi dalam upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang cocok dengan properti mereka dan menghasilkan

(44)

tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misal, Paranggi tetap bergerak dalam komunitas sastra dalam mempertahankan jejaring sosialnya atau semakin menguatkan kecintaannya kepada puisi sebagai salah satu strateginya dalam mempertahankan modal simboliknya.

Demikianlah beberapa konsep arena kultural (sastra) menurut Bourdieu. Masalah yang telah diungkapkan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan konsep-konsep tersebut. Teori tersebut nanti akan dipakai untuk menjelaskan gejala-gejala yang ditemukan sesuai dengan permasalahan. Penjelasan tersebut tidak hanya dilakukan dengan mengemukakan, melukiskan gejala-gejala tetapi juga dengan keterangan tentang gejala tersebut baik dengan membandingkan, menghubungkan, memilah-milah, atau mengombinasikannya dengan teori Bourdieu.

1.6 Hipotesis

Hipotesis diturunkan dari masalah sesuai dengan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Hipotesis pertama, dalam arena sastra nasional Paranggi menempati posisi-posisi objektif sebagai penyair yang terlegitimasi dengan karakteristik tertentu dalam produk kulturalnya, dengan menempatkan seni untuk seni. Selain itu, Paranggi juga menempati posisi sebagai agen yang menciptakan penyair dengan modal dan habitus yang dimilikinya sebagai orang yang secara total mencintai puisi.

Hipotesis kedua, dalam menjalankan pergulatannya dalam arena sastra di Bali Paranggi tidak bisa dilepaskan dari peran media (Bali Post), komunitas

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Berdasarkan gambar 4.39 diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai kualitas suatu sistem (quality) maka kinerja sistem tersebut semakin baik, semakin tinggi

Berdasarkan hasil uji-t pada tabel 7 maka leverage, ukuran perusahaan, dan nilai perusahaan berpengaruh signifikan terhadap cash holding secara simultan pada

Masing-masing pemisahan fungsi keuangan pada organisasi gereja yang berada di rayon Bantul belum sepenuhnya sesuai dengan PTKAP, hal ini telihat secara tertulis sudah

Kemudian ketika mendesain sebuah board game untuk keluarga dapat dilihat contohnya dari jenis board game dengan genre family games , kemudian perlu

Skripsi yang berjudul “TANGGUNGJAWAB HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA BELI KENDARAAN BERMOTOR OLEH PEGAWAI NEGERI SIPIL” ini diajukan untuk melengkapi syarat ujian

Seandainya pendekatan ini benar-benar direalisasikan dengan penuh kesungguhan, tampaklah kepada kita kandungan- kandungan al-Qur’an berupa: penerapan syari’at yang

Permasalahan yang dialami saat ini adalah belum membudayanya mengkonsumsi olahan susu sapi seperti yoghurt karena belum ada tahap pengenalan atau promosi sebelumnya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dan harga diri dengan konsep diri.Hasil uji hipotesis pertama yang dihitung