Dinamika Pengakuan Hak‐hak Masyarakat (Hukum) Adat dan Lokal Pasca‐ reformasi1
Oleh:
R. Yando Zakaria2
Pendahuluan
Konstitusi Republik Indonesia pada dasarnya telah mengatur soal pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat yang secara sosiologis memang telah lebih dulu ada sebelum Republik itu berdiri.3 Sebagaimana digambarkan dalam Diagram berikut, setidaknya ada 3 (tiga) pasal dalam Undang‐Undang Dasar 1945 yang mengandung pesan dan/atau amanat pengakuan atas hak‐hak masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat adat itu. Yakni Pasal 18B ayat (2), Pasal 28i ayat (3), dan Pasal 32 ayat (2). Lima belas tahun pasca‐proklamasi, Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok‐pokok Agraria pun diberlakukan. Terdapat pasal 5 yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan‐peraturan yang tercantum dalam undang‐undang ini dan dengan peraturan‐perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur‐unsur yang bersandar pada hukum agama”. Pada pasal 3 sebelumnya telah pula dinyatakan bahwa “… pelaksanaan hak‐ulayat dan hak‐hak yang serupa itu dari masyarakat‐ masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
1 Bahan Bacaan yang dipersiapkan untuk Pelatihan ‘Social Affair Specialist’. Diselenggarakan oleh Center of Social Excellence (CSE) – The Forest Trust, 2015.
2 Praktisi antropologi. Pemerhati desa dan masyarakat (hukum) adat. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta. Mantan Tenaga Ahli Pansus RUU Desa DPR RI. Bahan ini dipersiapkan dalam rangka advokasi pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyaakat (hukum) adat di Indonesia.
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang‐undang dan peraturan‐peraturan lain yang lebih tinggi”.4
Namun, belum lagi pengakuan‐pengakuan itu diatur lebih lanjut agar dapat dilaksanakan di tingkat lapangan, terkait dengan kemelut politik dan krisis ekonomi pada tahun‐tahun pada paruh pertama decade 1960‐an, pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat ini justru terbatalkan melalui pemberlakuan beberapa undang‐undang sektoral. Misalnya seperti yang dilakukan melalui Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐pokok Kehutanan, Undang‐undang No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, dan juga Undang‐ undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pengingkaran itu telah menghancurkan kehidupan banyak kelompok masyarakat adat di negeri ini. 5
Pada ranah kehutanan, berdasarkan Undang‐Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan, diterbitkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Dalam peraturan pemerintah ini, atas nama pembangunan sektor kehutanan, tegas‐tegas dinyatakan bahwa hak‐hak adat yang ada di dalam sebuah konsesi pengusahaan hutan dibekukan. Demikian pula dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 251/Kpts‐11/1993 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Aggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan, yang mengatur, antara lain, masyarakat adat diizinkan memungut hasil hutan pada masyarakat adat ‘yang masih ada’ berdasarkan
4 Meski begitu, jika diperhatikan secara sungguh‐sungguh, pengaturan hak adat dalam UUPA
1960 ini masih diwarnai sejumlah bias. Antara lain masih terkandungnya ‘bias adat Melayu’, ‘bias peradaban modern’, dan ‘bias agraris’. Tentang hal ini lihat R. Yando Zakaria & Djaka Soehendera (1994), “Pengaturan Hukum Adat Tanah dalam Perundang‐undangan Nasional dan Rasa
Keadilan”. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional Pluralisme Hukum Pertanahan di Indonesia. Diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Tanggal 7 September 1994.
5 Sekedar menyebut beberapa sumber, tentang hal‐hal ini periksalah Maria R. Ruwiastuti, Noer
Fauzi, dan Dianto Bachriadi, eds., 1997. Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah. Sistem
Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria. Jakarta: Konsorsium Pembaruan
keputusan dari Bupati dan juga harus ada izin dari pejabat kehutanan yang berwenang.6
Problematika terkait pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat dengan keberadaan berbagai perangkat peraturan perundang‐undangan salama ini dapat digambarkan secara ringkas ke dalam tabel berikut. Seperti yang tersaji secara ringkas dalam Tabel dimaksud berikut, terlihat bahwa konflik‐konflik agraria, baik yang bersifat vertikal bahkan juga horizontal, terjadi karena adanya silang‐sengkarut alas hak yang menjadi dasar tata kelola – mencakup tata guna, tata kuasa, dan tata usaha ‐‐ sumber‐sumber agraria di Indonesia. Belum terjadi sinkronisasi antara berbagai sumber hukum, antara perangkat peraturan perundang‐undangan (baca: hukum positif) di satu pihak, dengan berbagai sumber hukum adat yang hidup dan berkembang dalam berbagai komunitas yang disebut sebagai masyarakat (hukum) adat itu di pihak lain. Meskipun, pada tataran konsitusi, yang kemudian ditegaskan ulang dalam berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu telah diakui keberadaannya.7
Silang'sengkarut.alas.hak.para.pihak.dalam.tata.kelola.sumber.agraria. dan.SDA.di.Indonesia.!.Pangkal.konflik.ver;kal.dan.juga.harizontal!.
Sumber'legi+masi' Tata'Guna' Tata'Kuasa' Tata'Usaha'(Administrasi''dan'Teknis)'
Perangkat.Peraturan. sektoral.lain?.!.apa. ar;.‘kawasan.hutan’. Putusanan2.MK.!. MK.35/2012.
Sebelum.Amandemen.:.Pasal.18.!.Penjelasan.II.!.Dalam.territoir.Negara.Indonesia.terdapat.lebih.kurang. 250.“Zel$esturende+landschappen”.dan'“Volksgemeenschappen”,.seper;.desa+di.Jawa.dan.Bali,.negeri0di. Minangkabau,.dusun+dan.marga+di.Palembang.dan.sebagainya..Daerah'daerah.itu.mempunyai.susunan'asli. dan.oleh.karenanya.dapat.dianggap.sebagai.daerah'yang'bersifat'is+mewa..Negara.Republik.Indonesia. menghorma;.kedudukan.daerah'daerah.is;mewa'tersebut.dan.segala.peraturan.negara.yang.mengenai. daerah.itu.akan.menginga;.hak?hak'asal?usul.daerah.tersebut”...
Problematika itu makin parah karena adanya berbagai faktor ekternal yang terkait dengan politik ekonomi global dan di nasional di sepanjang dua abad terakhir yang memang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat adat itu.8 Pada satu sisi, bagaimana kedudukan hak‐hak masyarakat hukum adat itu dalam berbagai perangkat peraturan perundang‐undangan yang ada, sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam bagian‐bagian berikut, masih saja menjadi ranah pertarungan perebutan makna, yang pada akhirnya bermuara pada pengabaian pengakuan dan perlindungan atas hak‐hak masyakat hukum adat itu sendiri. Pada sisi yang lain, belum kunjung terealisasinya amanat konstitusi yang mengakui hak‐hak tradisional masyarakat (hukum) adat ini, bersamaan dengan munculnya masalah‐masalah sosial dan lingkungan yang menyertai pembangunan pada era pasca Perang Dunia Kedua, telah pula mendorong lahirnya gelombang pembelaan hak‐hak masyarakat adat (baca: indigenouse peole) di tingkat global, yang belakangan membantu memperbesar gelombang tuntutan pemenuhan hak‐hak sosial, ekonomi, dan budaya komunitas masyarakat (hukum) adat di dalam negeri. Fenomena ini pun mendapat perhatian para ahli luar negeri dan segelintir kaum cerdik‐pandai dalam negeri. Perdebatan pun kemudian berkembang kearah kepatutan dari ‘politik identitas berbasis simbol‐simbol promordialisme’ hingga ‘mitos‐mitos dan pencitraan’ terkait konsep‐konsep akademik tentang ‘masayarakat hukum adat’, ‘masyarakat adat’, ataupun apa yang disebut ‘hukum adat’ itu sendiri.9
Sebagian dari kritik yang disampaikan tentu ada benarnya, dan justru bisa digunakan sebagai pedoman untuk menghindari efek buruk dari gerakan pembelaan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu sendiri, dan sebagian yang lain
8 Lihat Sediono M.P. Tjondronegoro & Gunawan Wiradi, eds., 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah:
Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor; dan Noer Fauzi, 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Poltik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, INSIST Press, dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
9 Tentang hal ini periksalah tulisan‐tulisan yang dihimpun dalam Jamie S. Davidson, David
layak untuk simpan sebagai suatu pengetahuan saja. Dan, di atas segala perdebatan itu semua, dalam konteks penyusunan kebijakan publik terkait pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat adat ini, suatu ‘kesapakatan baru’ perlu diambil agar pengakuan itu efektif bagi perubahan ke arah yang menguntungkan pihak masyarakat hukum adat di satu sisi, dan pada saat yang bersamaan, tidak pula boleh merugikan kelompok‐kelompok warga negara lainnya di sisi yang lain. Hal ini senda dengan apa yang disampaikan Li (2002): … masalahnya (adalah) bagaimana caranya untuk meneruskannya: suatu pengakuan hak atas tanah adat tetap penting bagi mata pencaharian dan kesejahteraan berjuta‐juta penduduk perdesaan. Akan tetapi, ketiadaan pemerintah yang transparan, proses hukum yang jelas, dan kebebasan demokratis yang nyata dari desa sampai tingkat di atasnya, klaim sepihak atas hak‐hak tersebut … mengorbankan kaum pendatang yang sama lemahnya dengan masyarakat adat tersebut dan sering lebih parah … “.10
Jelaslah bahwa, dari pernyataan itu, masalah pengakuan dan perlindungan hak‐ hak masyarakat adat ini mencakup hal‐hal yang kompleks. Namun, kompleksitas masalah tentunya tidak boleh menjadi alasan untuk mengingkari amanat konstitusi. Oleh sebab itu diperlukan suatu strategi yang menyeluruh yang mencakup berbagai masalah yang terkait pada strategi dimaksud. Salah satunya yang penting, untuk tidak mengatakannya terpenting, adalah soal kejelasan tentang siapa subyek dan apa obyek pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu sendiri. Sehingga, seperti yang disampaikan oleh
Hauser-Schäublin, 2013: “…There is a wider range of different actors who identify themselves as masyarakat adat. Grown out of particular historical circumstances of
oppression – colonial as well as post-colonial – all these actors hope to (re-)gain
dignity, recognition, rights, and property,” tidak terjadi lagi.11 Sebab, sebagaimana
yang disampaikan Soepomo, “ … bahwa, penguraian tentang badan-badan
persekutuan itu (baca: masyarakat hukum adat) harus tidak didasarkan atas suatu
10 Tania M. Li, 2002. “Ethnic cleansing, recursive knowledge, and the dilemmas of sedentarism”, dalam International Jounal of Social Sciences, 173: 361 – 71. Dikutip dari Jamie S. Davidson, 2010. “Budaya dan hak dalam kekerasan etnik”, dalam Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010. loc.cit.
11 Brigitta Hauser-Schäublin, 2013. Adat and Indigeneity in Indonesia. Gottingen: Universitätsverlag
dogmatik, melainkan harus berdasarkan kehidupan yang nyata dari masyarakat yang
bersangkutan. …".12 Betapapun, “…syarat pengakuan dan penghormatan masyarakat
hukum adat dalam frasa ― sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, harus dimaknai sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat, karena hukum adat pada umumnya merupakan hukum
yang tidak tertulis dan merupakan living law, artinya merupakan hukum yang
diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang
bersangkutan karena memenuhi rasa keadilan bagi mereka dan sesuai serta diakui
oleh konstitusi. …”.13
Harus jujur diakui bahwa pencegahan efek penyingkiran yang dapat muncul dalam upaya pengakuan hak‐hak masyarakat (hukum) adat itu belum mendapat porsi perhatian sebagaimana yang dibutuhkan. Upaya pembelaan hak‐hak masyarakat adat ini terlalu fokus pada dimensi pengakuan dan perlindungan itu sendiri, sebagaimana yang tergambarkan pada beberapa prinsip yang harus ditegakan dalam upaya‐upaya pembelaan itu, yakni prinsip rights to self determination, human rights, transisional justice, dan pemulihan hak.14
Dalam konteks yang demikian maka hadirnya rumusan Pasal 104 dalam Undang‐ Undang Nomor 6 Tahun 2013 tentang Desa, yang menyebutkan bahwa ”Pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal‐usul dan kewenangan berskala lokal Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dan huruf b serta Pasal 103 diatur da diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
12
Soepomo, 1983. Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, hal. 49. 13
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012. Putusan Perkara No. 35/PUU – X/2012 tentang Uji Materi Undang-Undang No. 49 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana dapat dilihat pada http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1
14 Lihat Martua Sirait, et.al., 2005. “Refleksi Pengembangan Methodologi Identifikasi Masyarakat Adat dan Wilayah Adat Secara Partisipatif di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur,” dalam Konsorsium pembaruan Agraria (KPA), et.al., 2005. Tanah Masih di Langit. Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala dan the Ford Foundation). Bahasan tentang praktek eksklusi pasca‐ politik desentralisasi dan menguatnya tuntutan pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat ini dapat juga dilihat pada Benda‐Beckmann, Franz von, 1990. “Ambonese Adat as Jurisprudence of
Insurgency and Oppression”. Law & Anthropology. Internationales Jahrbuch für
keberagaman” perlu diapresiasi secara khusus. Terlebih, dalam bagian penjelasan untuk Pasal 104 ini disebutkan ulan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘keberagaman’ adalah penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat yang tidak boleh mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu”.
Masyarakat Hukum Adat atau Masyarakat Adat?
Suatu perdebatan yang agak berkepanjangan, sebagaimana akan dikomentari lebih lanjut dalam bagian lain, adalah perdebatan seputar perumusan dan penggunaan dua terma yang ‘serupa tapi tak sama’. Yakni perumusan dan pilihan antara terma masyarakat hukum adat (selanjutnya disingkat MHA) atau ‘masyarakat adat’ (seterusnya disingkat MA). Keduanya, betapapun, memiliki konteks sejarah pertumbuhan dan kontek sosial politik yang berbeda satu sama lainnya, meski tetap dapat ditarik benang merah keterhubungan antara yang satu dan lainnya.15
Terma masyarakat hukum adat dalam wacana politik ‐‐ dan kemudian juga akademik di Indonesia – tentulah hadir bukan tanpa argumen yang melatar‐ belakangi kehadirannya itu. Dalam konteks ini dua nama sarjana berkebangsaan Belanda memiliki peran yang penting, yakni Snouck Hurgronje dan Cornellis van Vollenhoven. Tokoh yang pertama, melalui dua karyanya yang disebutkan sebagai karya penting dari yang bersangkutan, yakni De Atjehers dan Het Gajoland, untuk pertama kalinya terma ‘hukum adat’ (adatrecht) digunakan untuk mengonsepkan ‘adat‐adat yang berakibat hukum’.16
Konsep ini mendapatkan perhatian – dan karenanya terus dikembangkan – van Vollenhoven, yang kemudian memiliki keyakinan bahwa “rakyat pribumi hidup dalam hukumnya sendiri, dan karena itu tidak boleh ada unifikasi hukum, … pemberlakukan hukum Barat kepada rakyat pribumi tidak akan memperkaya
15 Karena itu, sebuah komentar yang mengatakan bahwa “ … sebuah gerakan (yang
memperjuangkan hak‐hak masyarakat (hukum) adat yang kemunculannya hampir tidak diramalkan sebelumnya oleh para pengamat Indonesia … ” (lihat David Henley dan Jamie Davidson, 2010. “Konservatisme radikal – Aneka wajah politik adat”, dalam Davidson, Henley, dan Moniaga, eds., 2010, loc.cit., Hal. 2) tidak lebih sekedar sebuah komentar yang berakar pada ketidakpahaman atas permasalahan yang ada. Hal ini tentu cukup mencengangkan. Sebab, sebagaimana disampaikan Zakaria (2000, loc.cit), jika hal ini tidak mendapatkan perhatian yang semestinya, pengabaian atas apa yang disebut sebagai hakhak masyarakat (hukum) adat ini dapat memicu integrasi nasional.
16 Cornelis van Vollenhoven, 1987. Penemuan Hukum Adat. Jakarta: Penerbit Djambatan dan
peradaban pribumi.” Van Vollenhoven pun kemudian menentang segala upaya administrasi kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum‐hukum adat (misalnya, pada tahun 1914 van Vollenhoven menentang pemberlakuan rancangan Kitab Undang‐Undang Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk Hindia Belanda tanpa terkecuali, dan menjegal usulan amandemen Pasal 62 Regeringsreglement 1984 yang berakibat pada hapusnya perlindungan atas hak‐hak pribumi); mengembangkan konsep dan eksistensi masyarakat hukum adat dan hak‐hak penguasaan atas wilayah adat yang disebutnya sebagai
beschikkingsrecht.17
Apresiasi yang demikian itu – untuk tidak mengatakannya sebagai kesimpulan – tentu berbeda sama sekali dengan kesimpulan Joehana (1989), yang mengatakan bahwa “… the adat law had been utilized more effectively than the brute force of the Dutch colonial armed troops to enforce compliance, not only to rule the adat
law created but also to the interest of the colonialist. Thus, the study of adat law
did more the simply reinforced the Dutch colonialist’s grab for power: it justified
the Dutch colonialism.”18
Masyarakat hukum adat atau yang disebut van Vollenhoven sebagai
rechtsgemeenschap, sebagaimana dinyatakan oleh Wignjosoebroto (2012) adalah sebuah masarakat hukum yang terbentuk oleh adanya kesatuan adat tertentu. Menurut Holleman (1981), masyarakat hukum (adat) itu bisa berbentuk sebuah kelompok kekerabatan, sebuah kelompok territorial atau campuran dari keduanya. Anggota sebuah masyarakat hukum mematuhi kaidah‐kaidah yang ada dalam hukum adat yang melingkari mereka sebagai sebuah cara hidup yang khas dan sebagai sistem yang memenuhi sebagian besar dari fungsi‐fungsi yang ada dalam kelompok masyarakat itu. Kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat itu hidup dalam satuan wilayah di bawah pengaturan hukum adat yang
17 Lihat Upik Djalins dan Noer Fauzi Rahman, 2013. “Pengantar untuk Membaca Karya Cornelis
van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan tanahnya”, dalam Cornelis vn Vollenhoven, 2013. Orang Indonesia dan Tanahnya. Yogyakarta: STPN Press, Sajoyo Institute, Tanah Air Beta, dan HuMa. Lihat juga Soetandyo Wignnjosoebroto, 1984. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Suatu Kajian tentang Dinamika Sosil‐Politik Perkembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia, 1840 – 1990. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
disebut beschikkingsrecht. Konsep ini merujuk pada beberapa prinsip yang menjadi ciri‐ciri dasar konsesi beschikkingsrecht itu. Masing‐masing adalah:
1. Kewenangan komunitas atas tanah yang belum dikerjakan; 2. Pemanfaatan tanah komunitas oleh pihak luar;
3. Pembayaran atas penggunaan tanah komunitas;
4. Kewenangan komunitas atas tanah yang sedang dibudidayakan; 5. Tanggungjawab territorial kolektif terhadap pihak luar;
6. Keabadian hak‐hak komunitas.19
Menurut Burn (2010), konsepsi tentang beschikkingsrecht itu tidak bisa diandalkan, dan itulah penyebab pada dekade terakhir pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tidak mampu lagi menunjukkan efektivitasnya. Hal ini terjadi karena bercampur aduknya apa yang disebut hukum dan adat dalam konsep hukum adat yang dikembangkan von Vollenhoven dan para murudnya itu.20
Kritik Burn ini segara saja mendapatkan pembelaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh F. & K. von Benda‐Beckmann (2011), “kritik terhadap karya akademik colonial memiliki landasan yang keliru dalam berbagai cara, yang menghambat diperolehnya pemahaman yang benar tentang kebangkitan adat di Indonesia belakang ini.” Ada empat kekeliruan yang terkandung dalam kritik itu. Pertama, umumnya kritik‐kritik tersebut dilandaskan pada sebuah konsepsi legalistik tentang ‘hukum’ dan ‘hukum kebiasaan’. Kedua, kritik tersebut cenderung untuk membuat generalisasi tertentu yang ditarik dari penafsiran atas adat dalam konteks tertentu, yaitu retorika politik, keputusan‐keputusan peradilan dan pemerintahan, dan perdebatan‐perdebatan hukum tentang karakter dan status adat dan hukum adat. Kritik tersebut tidak cukup mempertimbangkan apa makna yang dapat ditarik ketika penafsiran tersebut dilakukan melampaui konteks‐konteks yang spesifik ini. F. & K. von Benda‐ Beckmann berpandangan bahwa para pengritik telah salah menilai peran dari masyarakat lokal dan para tokoh intelektual dan politik mereka, serta terlalu
19 J.F. Holleman, 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law: Selection from het Adatrecht van
Netherlandsch‐Indie (Volume 1, 1918; Volume II, 1931), The Hugue: Martinus Nijhoff.
20 Lihat Peter Burn, 2010. Adat, yang mendahului semua hukum, dalam Davidson, Henley, dan
berlebihan dalam menilai kegunaan aktual dari konstruksi hukum kolonial tentang adat dan hukum adat terhadap kehidupan hukum penduduk. Ketiga, butir‐butir utama dari kritik terhadap uraian Adat Law School tentang hukum adat dan kegunaannya dalam politik hukum dan pemerintahan sebagian besar bersifat anakronistik. Terakhir, F. & K. von Benda‐Beckmann juga mengajukan pandangan bahwa para pengritik telah salah dalam memilih sasaran dekonstruksi. Pada dasarnya mereka telah lalai memberikan perhatian kepada para sarjana dan peradilan kolonial, yang berlebih‐lebihan dan seringkali secara sadar melakukan kekeliruan dengan membuat tafsiran atas sistem‐sistem norma lokal berdasarkan kategori‐kategori hukum Belanda. Malahan mereka mengarahkan juga kritisisme kepada para ahli yang berupaya memahami substansi dan proses‐proses tertib hukum lokal, yang sadar akan bahaya ethnosentrisme hukum. Pada kahirnya F. & K. von Benda‐Beckmann berpendapat bahwa interpretasi‐interpretasi kontemporer tentang kesinambungan dan perubahan dalam signifikansi hukum adat telah dipengaruhi oleh analisis yang tidak akurat tentang masa lampau. Sejumlah proposisi dan asumsi dari dekonstruksi‐dekonstruksi kritis ini, yang lebih awal maupun kontemporer, menurut F. & K. von Benda‐Beckmann, perlu dievaluasi kembali. Dengan demikian, memikirkan kembali hukum adat kolonial dan karya Van Vollenhoven sejatinya lebih dari sekedar penelusuran kembali sebuah sejarah yang telah lama berlalu.21
Dalam pada itu, konsep masyarakat adat muncul seiring dengan makin derasnya upaya‐upaya pembelaan hak‐hak ‘masyarakat hukum adat’ di era akhir tahun 1980‐an dan awal tahun 1990‐an. Berbeda dengan terma masyarakat hukum adat, yang kemudian diserap ke dalam wacana politik dan hukum Indonesia, boleh dikata tidak/atau belum memiliki argumentasi yang utuh mengapa terma masyarakat hukum adat tidak memadai dalam memperjuangkan hak‐hak komuntas yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat saja. Beberapa gejala yang sering dikaitkan dengan perlunya sebutan yang baru karena terma ‘masyarakat hukum adat’ berbau warisan kaum kolonial; cendrung menyempitkan makna masyarakat adat yang holistik itu kepada sekedar ‘urusan
hukum dari komunitas‐komunitas’; dan terlalu panjang sehingga kurang praktis digunakan dalam kegiatan‐kegiatan advokasi yang digulirkan. Namun, begitu, tidak bisa dipungkiri, pilihan pada terma masyarakat adat itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh penggunaan terma indigenouse people pada ranah global. Meski terma itu seharusnya diterjemahkan ke dalam terma ‘rakyat asli’, hal ini tidak dilakukan karena disadari penggunaan terjemahan yang demikian itu akan menimbulkan persoalan (diskriminasi) yang baru lagi, sebagaimana yang dicerminkan oleh sikap Pemerintah dalam menolak ratifikasi Konvensi ILO 1969 misalnya: “Semua penduduk Indonesia adalah asli, kecuali mereka yang keturunan non‐pribumi”.
Oleh sebab itu, karena belum tersedianya definisi kerja yang ketat, karena definisi masyarakat adat yang ada demikian longgarnya, maka terma masyarakat adat bisa saja digunakan sebagai ‘terma payung’ yang dapat ‘membawahi’ terma‐ terma ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisional’, ataupun ‘kebudayaan daerah’ yang memang disebutkan dalam konstitusi Indonesia.
(
Arizona,*2014,*dilengkapi*RYZ
)*
Masyarakat*Tradisional*
Dengan demikian, membicarakan masyarakat adat tentulah menbicarakan persoalan ‘masyarakat hukum adat’, ‘masyarakat tradisioal’, dan ‘masyarakat daerah’. Begitu pula sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam upaya mewujudkan pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu, beberapa pengertian‐pengertian teknis yang sudah ada pada terma masyarakat hukum adat, sampai batas‐batas tertentu, akan sangat membantu dalam pencapain tujuan gerakan masyarakat adat.
Pembaruan Hukum Pasca‐reformasi
Salah satu latar belakang yang sering disebut sebagai alasan mengapa pengaturan yang lebih operasional tentang pengakuan hak‐hak masyarakat adat itu tidak kunjung datang adalah karena norma yang ada Pasal 18 itu bersifat ambigu.22 Oleh sebab itu, ketika arus reformasi bergulir, Pasal 18 pun diamandemen, dan diubah menjadi beberapa pasal baru, termasuk hadirnya Pasal 18 ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐ kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang” (cetak tebal ditambahkan). Dalam rumusan baru ini terjadi beberapa perubahan pilihan terminologi. Terma volksgemeenschappen dan susunan asli tidak digunakan lagi dan digantikan dengan terma masyarakat hukum adat, mengikuti penerjemahan yang lazim ada dalam kajian (ilmu) hukum adat. Demikian pula dengan terma ‘hak asal‐usul’ yang digantikan oleh terma hak‐hak tradisional. Meski secara teoritik pergantian terma ini bisa menimbulkan masalah baru, namun orginal intended perumusan (kembali) mandat konstitusi ke dalam Pasal 18B: ayat (2) itu jelas dimaksudkan untuk menegaskan (kembali) pengakuan negara atas apa yang disebut sebagai susunan asli dan/atau masyarakat hukum adat itu.23
Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan termasuk undang‐undang yang direvisi pada kesempatan pertama di awal
22 Lihat Risalah resmi tentang proses amandemen Pasal 18, dalam Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, 2010. Khususnya Bab 5.
23 Lihat R. Yando Zakaria, 2004. Merebut Negara. Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya
Pengakuan, Pengembalian dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama dan
reformasi. Undang‐Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diberlakukan sebagai penggantinya. Meski undang‐undang baru disebut‐sebut sebagai hasil amanat reformasi, dan meski mengakui apa yang disebut sebagai hutan adat, namun dalam pengaturan lebih lanjutnya hutan adat itu termasuk ke dalam apa yang disebut sebagai ‘kawasan hutan negara’ (Pasal 1 ayat 6), karenanya pengaturannya berada dalam kewenagan Pemerintah cq. Kementerian Kehutanan (pasal 4 ayat 2).
Dalam ranah peraturan perundang‐undangan yang mengatur masalah agraria, mendahului pembaruan hukum sektor kehutanan dan bahkan amandemen Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Hukum Adat atas Tanah Adat. Kebijakan ini seolah ingin menjawab tuntutan berbagai pihak yang mencapai titik kulminasinya pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada tahun 1999. Meski begitu, hingga hari ini dapat dikatakan kebijakan ini tidak membawa perubahan yang berarti. Sedikit sekali komunitas masyarakat hukum adat yang telah memanfaatkan peluang ini.24
Beberapa Kebijakan Terkait Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat: Ingin mengakui atau mengingkari?
Hingga saat ini ada 19 (sembilanbelas) peraturan perundangan‐undangan setingkat undang‐undang yang terkait dengan soal pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan dan perlindungan hak‐hak masyarakat hukum adat ini.25
24 Penjelasan lebih lanjut tentang penerapan Permenagraria/Ka BPN Nomor 5 Tahun 1999 akan
dibahas leboh lanjut dalam bagian lain Pedoman ini.
25 Masing‐masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41
Di samping itu terdapat pula 1 (satu) Keputusan Presiden (tentang Komunitas Adat Terpencil/KAT); dua peraturan menteri (yakni Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat).
Baru‐baru ini terbit pula Peraturan Bersama yang melibatkan 4 (empat) kementerian, yakni Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐II/2014; Nomor 17/PRTM/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan.26
Selain itu, terdapat pula 1 (satu) surat edaran menteri, dalam hal ini Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 522/8900/SJ, Tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat.
Beberapa hal yang mendapatkan perhatian lebih dari para pengamat dan aktifis pembela hak‐hak masyarakat adat adalah persoalan masih dianutnya pendekatan pengakuan bersyarat, penggunaan atau pilihan terma yang digunakan, definisi, macam kriteria dan kondisionalitas, dan mekanime pengakuan yang diatur – yang nyatanya – memang tidak seragam dalam perangkat peraturan perundangan‐undangan yang ada itu. Para pengamat dan pelaku pembela hak‐hak masyarakat adat itu akhirnya berkesimpulan bahwa belum ada model pengaturan yang komprehensif, baik secara substansi maupun kerangka implementasinya. Berbagai pembaruan peraturan yang ada pasca‐ amandemen konstitusi itu masih berjalan sendiri‐sendiri. Alih‐alih
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundang‐ undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat”.
26 Dari sekian peraturan perundang‐undangan yang sudah disebut dalam dokumen ini hanya
menyelesaikan masalah, yang terjadi justru memperuncing masalah sektoralisme.27
Tentu perlu cicatat di sini bahwa perhatian yang besar pada permasalahan‐ permasalahan dimaksud bukannya tidak penting karena memang bisa bermuara pada kerumitan, kesulitan, atau bahkan pengingkaran atas niat untuk mengakui dan menghormati hak‐hak masyarakat hukum adat itu sendiri. Misalnya, sebagaimana yang telah terjadi pada kasus Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999 yang telah disinggung tadi. Perhatian khusus memang harus diberikan kepada beberapa permasalahan itu, terutama sekali soal ‘kriteria dan indikator’ yang akan digunakan untuk memverifikasi apakah suatu ‘persekutuan sosial’ tertentu dapat disebut sebagai ‘masyarakat hukum adat’ ataupun ‘masyarakat adat’ atau tidak; dan apakah masing‐masing ‘masyarakat hukum adat’ itu memang memerlukan satu kebijakan yang dituangkan ke dalam berbagai pilihan kebijakan di tingkat daerah. Kedua hal ini memang perlu diklarifikasi lebih jauh jika memang kita hendak menyelesaikan masalah dan/atau kasus‐kasus konflik (agraria) yang telah disingung di atas.
Meskipun begitu, dari beberapa peraturan perundang‐undangan yang telah adat itu hanya ada beberapa saja yang mengandung pengaturan yang bersifat operasional, meski beberapa di antaranya tetap juga masih memerlukan perangkat pengaturan yang lebih lanjut. Sebagian besar dari undang‐undang
27 Lihat misalnya Sirait, et.al., 2005., op.cit.; Sumardjono, Maria S.W., “Kedudukan Hak Ulayat dan Pengaturannya dalam Berbagai Peraturan Perundang‐undangan” dan “Kasus‐kasus Pertanahan Menyangkut Tanah Ulayat dalam Pembangunan di Papua”, dalam Maria S.W. Sumardjono, 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: KOMPAS; Yance Arizona, 2010. “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat. Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak‐ hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia (1999 – 2009), dalam Yance Arizona, ed., 2010. Antara Teks dan Konteks. Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumberdaya Alam di Indonesia. Jakarta: HuMa; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
2011. Naskah Akademik untuk Penyusunan Rencana Undang‐Undang Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat.; R. Yando Zakaria, 2012, op.cit. Setelah sempat berhenti untuk beberapa saat, baru‐baru ini pokok perhatian yang sama muncul kembali. Misalnya dalam Maria Rita Roewiastoeti, 2014. “Dampak Sosial Politik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU‐ X/2012”, dalam dalam WACANA, Jurnal Transformasi Sosial, Nomor. 33 Tahun XVI, 2014, dengan tajuk khusus tentang “Masyarakat Adat dan Perebutan Penguasaan Hutan”. Yogyakarta:
Indonesia Society for Social Transformation; Myrna A. Safitri & Luluk Uliyah, 2014. Adat dan Pemerintah Daerah. Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan
yang mengatur soal pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu umumnya hanya berupa pengaturan yang bersifat deklaratif semata.
Tabel berikut, sebagai contoh saja, berisikan ringkasan kebijakan dari 3 undang‐ undang yang memuat pasal yang (ingin) mengakui hak‐hak masyarakat adat. Masing‐masing adalah Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil; dan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
a. masyarakatnya%masih%dalam%bentuk% paguyuban%(
rechtsgemeenschap;-b. ada%kelembagaan%dalam%bentuk%perangkat% penguasa%adatnya;%
c. ada%wilayah%hukum%adat%yang%jelas;%% d. ada%pranata%dan%perangkat%hukum,%
khususnya%peradilan%adat,%yang%masih% ditaaB;%
e. dan%%masih%mengadakan%pemungutan%hasil% hutan%di%wilayah%hutan%sekitarnya%untuk% sosial,%dan%hukum%!%%
dilanjutkan lagi saat ini. Demikian pula yang terjadi pada kasus Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil. Bahkan mungkin lebih tidak jelas karena undang‐undangnya sendiri memang tidak menyebutkan bagaimana pengaturan lebih lanjut dari pengakuan yang dikandung oleh Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil.
Dari ketiga undang‐undang itu yang dapat dikatakan telah melangkah lebih jauh adalah Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Dalam rangka pengakuan hak‐hak masyarakat hukum adat menurut Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup ini Kementerian Lingkungan Hidup (dulu) telah menyusun apa yang disebut sebagai “Pedoman Tata Cara Inventarisasi Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, Kearifan Lokal, dan Hak‐hak Masyarakat yang Terkait dengan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup”.28
Meski begitu, pedoman ini, setidaknya sampai saat ini, belum dijadikan pedoman operasional yang hasil pengkajiannya bisa bermuara pada penetapan keberadaan suatu masyarakat hukum adat secara hukum. Pedoman ini baru digunakan Kementerian Lingkungan Hidup untuk ‘menemukan’ kesatuan‐ kesatuan masarakat hukum adat yang masih hidup selaras dengan alam, dan sebagian di antaranya telah diberikan penghargaan dalam bidang lingkungan yang disebut Penghargaan Kalpataru itu.
Suatu yang pasti dari upaya mendalami undang‐undang dimaksud, setidaknya sebagaimana yang diterapkan dalam Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang‐Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, adalah bahwa dalam proses verifikasi keberadaan suatu masyarakat hukum adat akan menggunakan kriteria‐kriteria penanda secara akumulaif. Artinya setiap masyarakat hukum adat yang hendak diakui keberadaannya haruslah memenuhi kriteria‐kriteria yang telah ditetapkan oleh masing‐masing undang‐undang, yang jika dicermati, bersifat
28 Kementerian Lingkungan Hidup, 2011. Sebagaimana bisa diakses via
anti‐perubahan. Jika begitu pendekatannya, apakah benar masing‐masing undang‐undang tulus ingin mengakui hak‐hak masyarakat hukum adat itu, atau, dengan penerapan kriteria yang sedemikian rupa bukankah pada dasarnya, melalui undang‐undang ini, pemerintah hendak menginkari – atau setidak‐ tidaknya membatasi ‐‐ pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri? Pertanyaan ini akan dijawab dalam bagian‐bagian berikut.
Babak Baru Pengakuan Hak‐hak Masyarakat Adat
Pengakuan bersyarat, beragamnya sebutan, definisi, kriteria berikut kondisionalitas pemenuhannya, serta beragamnya mekanisme pengakuan hak‐ hak masyarakat hukum adat itu, betapapun, adalah akibat langsung pengaturan di tingkat Konstitusi, yang memang menyatakan kondisionalitas ‘… sepanjang masih hidup … dan diatur dalam undang‐undang’. Artinya memang harus ada syarat yang harus dipenuhi dan – karena memang hak‐hak masyarakat hukum adat yang akan diakui itu begitu beragam – diatur dengan sejumlah undang‐ undang.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dsampaikan Manan (2002), bahwa pengakuan dan penghormatan tersebut tidak berarti menjadi hak yang tidak dapat disentuh atau diatur lebih anjut oleh negara. Negara atau pemerintah berwenang mengatur berbagai hak tradisional tersebut untuk sebesar‐besarnya kemakmuran bersama, tanpa merugikan kepentingan masyarakat yang mempunyai hubungan dengan hak tradisional tersebut.29
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Bagaimana wujud pengaturan itu?; dan prinsip‐prinsip apa yang tidak boleh dilanggar dalam pemberlakuakn bersyarat itu? Terkait pertanyaan ini mungkin bisa diajukan adigum bahwa ‘pengaturan lebih lajut tidaklah boleh mengingkari niat awal yang menjadi dasar perlunya pengakuan dan penghormatan itu sendiri’. Misalnya, dalam kasus HP3 yang diatur oleh Undang‐Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Daerah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil misalnya, pengaturan untuk memperoleh
29 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII,
hak itu, jika dikaitkan dengan kapasitas masyarakat hukum adat yang bersangkutan, akan membuat hak itu ‘tidur’ karena kalah bersaing dengan kelompok lain yang memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk memproses perolehan hak itu.30
Sejatinya pengakuan bersyarat yang terkandung pada Pasal 18: 2 sesungguhnya sudah terjadi pada masa‐masa sebelumnya, seperti yang terjadi pada Undang‐ Undang Pokok Agraria 1960. Banyak argument yang dapat disampaikan sebagai ‘opini tanding’ yang bisa diajukan dalam menafsirkan makna pembatasan‐ pembatasan itu. Menurut Manan (2002), pembatasan ini betapapun perlu untuk mencegah tuntutan seolah‐olah suatu masyarakat hukum masih ada, sedangkan kenyataan telah sama sekali berubah atau hapus, antara lain karena terserap pada satuan pemerintahan lainnya. Juga harus tunduk pada prinsip negara kesatuan. Ini sesuatu yang wajar. Satuan masyarakat hukum atau satuan pemerintahan lainnya adalah subsistem Negara kesatuan, karena itu harus tetap tunduk pada prinsip‐prinsip Negara kesatuan.31
Terkait dengan adanya persyaratan dalam pengakuan dan penghormatan itu,
Satjipto Rahardjo,32 mengajukan dua catatan yang perlu dicermati dalam rangka
memahami kehadiran Pasal 18B: 2 ini. Pertama, Pasal 18B sudah menjadi hukum
positip, sehingga setiap warga negara terikat kepadanya. Terikat berarti
menerima dan harus dimulai dengan membaca isi peraturan tersebut. Namun,
membacanya bukan sekedar mengeja kalimat demi kalimat, akan tetapi
memberi makna terhadap peraturan tersebut. Makna yang diberikan haruslah bertolak dari tata pikiran (mind‐set) bahwa hukum adat adalah suatu hukum
yang khas mengandung bahan‐bahan muatan sosio‐antropologis Indonesia.
Sifatnya yang penuh dengan afeksi membuat para penggunanya merasa bahagia.
Hal ini menjadi alasan penting untuk menjaga dan merawatnya. Kedua, tata pikir
(mind‐set) yang demikian itu harus menjadi pemandu dalam mencermati dan
memahami keempat syarat yang telah disebutkan terdahulu. Dengan catatan
yang dikemukakannya itu maka, menurut Rahardjo, persyaratan sepanjang
30 Lihat Risalah Lengkap Keputasan JR tentang HP3.
31 Sebagaimana dikutip oleh Pietersz, 2010.
32 Satjipto Rahardjo, Hukum Adat dalam Negara Kesatuan RI,” Makalah Bahan Bacaan Program
masih hidup perlu dimaknai bahwa persyaratan tersebut perlu diteliti dengan
seksama dan hati‐hati, tidak hanya menggunakan tolok ukur kuantitatif‐rasional,
melainkan lebih dengan empati dan partisipasi. Kita tidak semata‐mata
melakukan pengamatan dari luar, melainkan juga dari dalam, dengan menyelami
perasaan masyarakat setempat. Metode yang digunakan adalah partisipatif. 33
Prihatin dengan situasi yang ada, terutama yang berkaitan langsung dengan Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang juga mengatur soal hutan adat yang menjadi salah satu kekayaan masyarakat hukum adat dalam menopang kehidupannya sehari‐hari, telah mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), bersama Kenegarian Kuntu dan Kasepuhan Cisitu berinisiatif mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan sejumlah pasal yang ada pada Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang merugikan masyarakat adat itu pada tahun 2011 lalu. Meski tidak semua permohonan dikabulkan, Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 yang memuat putusan atas gugatan AMAN Cs. itu mengandung perubahan yang sangat mendasar. Melalui putusan itu ditegaskan bahwa (1) hutan adat tidak (lagi) merupakan hutan Negara; (2) hutan adat adalah bagian dari wilayah adat/ulayat suatu masyarakat hukum adat; dan (3) untuk memastikan status subyek hukum dari masyarakat hukum adat atas wilayah adat/ulayat dimaksud maka sebelum ada undang‐undang lain yang mengaturnya secara khusus, masyarakat hukum adat yang bersangkutan dapat ditetapkan keberadaannya melalui Peraturan Daerah.34
Selain itu Putusan MK 35/2012 ini juga mengandung ‘5 pelajaran berharga’ dalam memperjelas dan sifat konstitusionalitas pengaturan tentang kriteria dan mekanisme penetapan keberadaan suatu masyarakat hukum adat. Termasuk soal masyarkat hukum adat sebagai masyarakat yang bersifat dinamis dan tidak statis, dan bagaimana pula mengimplementasikan ‘pengakuan bersyarat’ yang
33 Diskusi lebih jauh soal pengakuan bersyarat ini dapat dilihat pada Zakaria, 2012, op.cit.
banyak dipermasalahkan para pihak, dan dituding sebagai biang bagi tidak terwujudnya pengakuan konstitusi itu di tingkat lapangan.35
Sebenarnya, sebelum adanya Putusan MK 35 Tahun 2012, sudah ada setidaknya ada 4 (empat) Putusan Mahkamah Konstitusi lain yang menjelaskan kriteria dan kondisionalitas yang harus dipenuhi dalam proses penetapan atas pengakuan keberadaan suatu masyarakat hukum adat. Masing‐masing adalah Putusan No. 010/PUU‐I/2003 perihal Pengujian Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang‐Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam; Putusan No. 31/PUU‐V/2007 perihal Pengujian Undang‐Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di provinsi Maluku; Putusan No. 6/PUU‐Vl/2008 perihal Pengujian Undang‐ Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan Putusan No. 45/PUU‐IX/2011 perihal Pengujian Undang‐Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan cq. Pasal 1 Angka 3, dst. Melalui Putusan MK 35 Tahun 2012 untuk pertama kalinya MK tidak hanya menetapkan kriteria masyarakat hukum adat tetapi menggunakan ketieria‐kriteria itu untuk menetapkan posisi hukum kedua komunitas masyarakat hukum adat yang turut mengajukan judicial review bersama AMAN itu.
Tiga%Kriteria%Utama%dan%Kondisionalitas%Pengakuan%Keberadaan% Masyarakat%(Hukum)%Adat%
Tiga%kriteria%MHA% Penjelasan%tentang%kondisionalitasnya%(indikator%penjelas)%
Merujuk pada Putusan MK 35/2012 yang menganggap masyarakat hukum adat itu adalah masyarakat yang dinamis dan tidak statis, dan juga merujuk pendangan ahli hukum tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshaddiqi, SH, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang mengatakan bahwa kebijakan untuk mengakui hak‐ hak masarakat adat itu, karena telah drusak sendiri oleh negara makan haruslah bersifat affirmative action,36 Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menerapkan pendekatan baru dalam pemenuhan ‘pengakuan bersyarat’ yang masih dalam pengakuan hak‐hak masyarakat adat ini. Berbeda dari yang pernah ada sebelumnya, undang‐undang ini memperkenalkan nomenklatur baru, yakni apa yang disebut sebagai ‘desa adat’.37
Keterkaitan)MK)35/20012)dgn)UU)No.)6/2014:)
UU)Desa)sebagai)uu)organik)untuk)pelaksanaan)MK)35/2012?)
MK#35/2012:# Hutan#adat#BUKAN#hutan#
negara;#
Hutan#adat#berada#dlm# wilayah#adat#MHA;# MHA#ditetapkan#dalam#
Peraturan#Daerah;# (dgn)#kriteria#yang#sdh# ditetap#dan#digunakan# dlm#berbagai#putusan#MK#
UU#6/2014:# Desa#Adat#adalah#MHA#
(psl.#96);# (dgn)#kriteria##dlm# putusan2#MK#(Psl#97);#
Kewenangan#untuk# mengatur#dan#mengurus#
ulayat/wilayah#adat;# Ditetapkan##dgn#Perda#(Psl#
98);#
Dilampiri#peta#(Psl.#17:#2)#
‘Desa adat’ pada dasarnya adalah masyarakat hukum adat yang menurut undang‐undang ini dapat ditetapkan memiliki hak untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’. Menurut Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat hukum ada yang bisa ditetapkan sebagai ‘desa adat’ itu sekurang‐kurangnya memiliki ‘wilayah’ (karena desa adat
memang akan memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan di wilayah terentu), dan memenuhi salah satu syarat lainnya. Pilihan syarat lainnya dimaksud adalah (1) adanya sekelompok orang memiliki rasa sebaga satu kelompok masyarakat hukum adat tertentu; (2) adanya pranata pemerintahan adat; (3) memiliki harta kekayaan adat; dan (4) norma‐norma hukum adat yang masih ditaati bersama. Adapaun mekanisme penetapannya, mengingat nomenklatur ‘desa adat’ ini kan berkaitan dengan hak untuk ‘mengatur pemerintahn dan pembangunan’, karenanya juga akan berkaitan dengan penggunaan sumberdaya‐sumberdaya Negara, seperti keuangan Negara misalnya, ‘desa adat’ harus, pertama‐tama diatur oleh sebuah peraturan daerah tentang pengaturan penerapan desa adat di Propinsi tertentu, dan ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penetapan desa adat di tingkat kabupaten/kota. Pada dasarnya, sebagai fakta sosial tentunya ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, seperti yang dapat dilihat di Propinsi Bali, misalnya.38 Berbeda dengan apa yang telah terjadi di Bali saat ini, ‘desa adat’ dalam konteks Undang‐ Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa tidak lagi dilihat sekedar sebagai fakta social dan budaya, melainkan ‘ditinggikan derajatnya’ sebagai ‘fakta politik dan hukum’, sebagaimana yang dicerminkan oleh diberikannya hak untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’. Dengan demikian, jika warga masyarakat ‘desa adat’ di Bali itu mau dan disepakati oleh berbagai pihak, termasuk oleh ‘desa dinas’ yang juga sudah ada dalam kehidupan masyarakat di Bali, maka masyarakat Bali dapat ‘meniadakan eksistensi desa dinas’, dalam arti menempatkan ‘desa dinas’ itu dalam system pengaturan ‘desa adat’ yang telah ditinggikan derajat pengakuannya itu.
Dengan demikian saat ini tersedia 3 perangkat peraturan perundang‐undangan yang dapat digunakan ‐‐ secara operasional – dalam memperoleh pengakuan secara hukum. Masing‐masing, diurut berdasarkan tahun penetapannya, adalah: (1) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat; (2) Unadng‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan (3) Peraturan
38 Tentang hal ini lihat Daddi H. Gunawan, 2014. Perubahan Sosial di Pedesaan Bali. Dualitas,
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Sebagaimana yang terjadi pada masa‐masa sebelum ini, nyatanya juga belum terjadi sinkronisasi di antara ketiganya. Jika Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Putusan MK 35 Tahun 2012 dan Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tentulah dapat dimaklum karena kebijakan itu memang telah terlebih dahulu ada ketimbang dua kebijakan yang disebutkan kemudian. Namun, sangat sulit dimengerti jika Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengambil jalur yang berbeda sama sekali dengan Putusan MK 35 Tahun 2012, dan makin lebih sulit dimengerti mengingat perturan ini keluar dari kementerian yang sama dengan pengampu utama – setidaknya pada saat proses legislasi – Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Desa. Entah apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Sama sulit dimengertinya ketika Kementrian Dalam Negeri ini juga memberlakukan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 522/8900/SJ, Tanggal 20 Desember 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat ketika beberapa ketentuan pokok menyangkut pengakuan atas desa adat sudah disepakati.
(3)%dasar%keturunan%!%
Pasal%2%(2:%a):%(1)%sekelompok%orang%
a. masyarakat%yang%warganya%
memiliki%perasaan%bersama%dalam% kelompok;%%
b. pranata%pemerintahan%adat;%
c. harta%kekayaan%dan/atau%benda%
adat;%dan/atau%
d. perangkat%norma%hukum%adat.%
Keberadaan Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999, seperti telah disinggung di atas nyatanya tidak efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat. Setidaknya ada 7 (tujuh) alasan mengapa terjadi demikian. Masing‐masing adalah sebagai berikut.
1. Kebijakan ini hanya mengatur tanah adat yang bersifat komunal. Padahal banyak tanah adat yang hendak diklaim ulang juga mencakup dan/berupa tanah‐tanah perorangan.
2. Pemberlakuan kriteria yang digunakan untuk menilai ‘apakah sepanjang menurut kenyataannya masih ada’ yang bersifat akumulatif dan ‘tidak bertentangan dengan undang‐undang dan peraturan‐peraturan lain yang lebih tinggi’ telah menimbulkan ‘ketidak‐adilan’ baru. Suatu penelitian yang menggunakan pedoman ini, yang dilakukan melalui kerjasama dua universitas terkemuka di dua kabupaten yang ada di Kalimantan Timur, berkesimpulan bahwa tidak ada lagi masyarakat hokum di daerah peneliatiannya itu. Pertanyaannya, lalu mau disebut apa warga dan komunitas dengan latar belakang sosio‐kultural tertentu yang nyata‐ nyata ‘hidup dengan tradisinya sendiri’ di daerah itu? untuk kasus penerapan di Sumatera Barat
terjadi di Kalimantan Tengah, Pemerintah Daerah setempat telah pula memberlakukan sebuah kebijakan daerah yang mengatur pengakuan hak‐ hak individual atas tanah adat itu, meski telah menimbulkan permasalahan yang lain lagi.39
4. Menurut Permenagraria 5/1999 ini pengakuan atas hak‐hak masyarakat adat tidak berlaku surut pada bidang‐bidang tanah yang telah dibebani hak‐hak lain sebelum pemberlakuan Permenagraria 5/1999 ini. Padahal, sebagaimana yang dapat dilihat dari ratusan kasus konflik agraria yang melibatkan satu masyarakat hukum adat dan berbagai kelompok lainnya, utamanya pihak Pemerintah dan dunia usaha, umumnya tanah‐tanah adat ini telah dibebani oleh hak‐hak lain yang diberikan Negara melalui sejumlah mekanisme izin‐izin pengusahaan. Baik pada sector perkebunan, kehutanan, dan yang terakhir makin banyak pula adalah izin usaha pertambangan. Oleh sebab itulah di Sumatera Barat, kebijakan ini juga mendapat penolakan yang hebat. Dalam sebuah lokakarya yang diselenggarakan oleh organisasi masyarakat sipil setempat, kebijakan itu dikatakan sebagai ‘suntikan untuk membunuh masyarakat hukum adat’.40
Wilayah Adat Lusan (53.542 Ha)
Hutan Lindung
(21.750,933 Ha)
HPH HGU
PT. Trimadu Murni
Asri (3.026 Ha)
Konsensi Pertambangan
WilayaTersisa
(409 Ha)
CONTOH KASUS JIKA PERMENAGRARIA DITERAPKAN PADA WILAYAH ADAT LUASAN, KECAMATAN MUARA
KOMAM KAB. PASER-KALTIM
PERUSAHAAN! Luas (Ha)!
PT. RIZKI KACIDA
REANA! 18043,16!
PT. TELAGA MAS
KALIMANTAN! 9639,43!
PERUSAHAAN! Luas!
PT. RAHAYANA INDONESIA! 3081,48!
PT. INTEREK SACRA RAYA! 6683,06!
PT. HAMISAH! 21997,2!
PT. SATRIA PRATAMA BERLIAN! 258,9!
PT. TAMINDO BUMI LESTARI! 10158,07!
Hasil Olahan Riza (JKPP)
39 Tentang hal ini lihat R. Yando Zakaria dan Paramita Iswari, Pelembagaan Mekanisme
Penyelesaian Sengketa di Kalimantan Tengah. Laporan Penelitian. Kerjasama Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Kemitraan, 2013.
5. Menurut aturan pelaksanaannya, mekanisme pembuktian yang dibutuhkan relatif rumit, tidak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat hukum adat, dan harus melibatkan banyak tenaga ahli. Padahal, sebagaimana diketahui pedoman ini menganut pendekatan di mana pihak masyarakat hukum adat sebagai pihak yang harus aktif untuk memajukan permohonan pengakuan hak, sementara proses penetapan apakah pemohon benar‐benar merupakan pihak yang berhak atau tidak berada pada ‘komite ahli’ dan Pemerintah Daerah yang nota bene bukan bagian dari pemohon. Akibatnya,
6. Proses pegakuan versi Permenagraria 5/1999 ini juga berbiaya tinggi. 7. Situasinya makin tidak kondusif mengingat, dalam proses pengambilan
keputusan posisi masyarakat hukum adat yang relatif lemah.41
Oleh sebab itulah, dari pada mengeluarkan kebijakan yang tidak sinkron dengan kebijakan lain yang bertujuan sama, lebih baik Kementerian Dalam Negeri menyiapkan kebutuhan peraturan turunan pelaksanaan desa adat itu ke dalam Peraturan Menteri dan membantu Propinsi untuk menetapkan Peraturan Daerah Propinsi tentang Desa Adat, sebagai alternatif dari Permenagraria Nomor 5 Tahun 1999 dan sekaligus sebagai peraturan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang‐Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Tidak justru menyusun kebiajakan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengakuan hak‐hak masyarakat adat yang hakiki, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel berikut.
Jika dicermati secara sungguh‐sungguh, tujuan Permendagri Nomor 52 Tahun 2013 ini sama sekali tidak jelas. Hak‐hak masyarakat adat seperti apa yang akan diakui dan terlindungi jika suatu masyarakat hukum adat sdh ditetapkan melalui mekanisme yang ditawarkan? Syarat pengakuan yang disebutkan pada Pasl 5 (2) saja tidak sama dengan apa yang ytelah ditetapkan oleh berbagai Putusan MK dan UU Desa. Dikaitkan dengan UU Desa, posisi Permendagri ini juga tidak jelas. Padahal, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat telah jelas bahwa disusun
menurut aturan legislasi yang ada, sebagaimana yang diatur oleh UU 11/2012 dalam'Pasal'12''ditetapkan'dalam'Peraturan'Daerah'(Kabupaten/Kota).'
Pasal'101'(2)'
Penataan'Desa'Adat'sebagaimana'dimaksud'pada'ayat'(1)'ditetapkan'dalam'Peraturan'Daerah'(Kabupaten/Kota).'
Pasal'109'
Susunan'kelembagaan,'pengisian'jabatan,'dan'masa'jabatan'Kepala'Desa'Adat''berdasarkan'hukum'adat' ditetapkan'dalam'Peraturan'Daerah'Provinsi.'
Pasal'116'(2)'
Pemerintah'Daerah'Kabupaten/Kota'menetapkan'Peraturan'Daerah'tentang'penetapan'Desa'dan'Desa'Adat'di' wilayahnya.'
Peraturan'Pemerintah' 43/2014'
Pasal'28'
Ketentuan'mengenai'tata'cara'pengubahan'status'desa'menjadi'desa'adat'diatur'dengan'Peraturan'Menteri.''
Pasal'32''
Ketentuan'lebih'lanjut'mengenai'penataan'Desa'diatur'dengan'Peraturan'Menteri.'
Permendagri'52/2014' membantu Propinsi dan Kabupaten dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, sebagaimana yang diperintahkan pada UU Desa, Pasal 109, serta Pasal 14, Pasal 101 (2), dan Pasal 116 (2); serta sebagaimana diatur dalam PP 43/2014, pada Pasal 28 dan Pasal 32. Tanpa komitmen Kemendagri yang tinggi, political will terkait desa adat ini tidak akan pernah terimplementasikan di tingkat lapangan.
masyarakat adat. Termasuk, kriteria dan indikator serta mekanisme mana yang akan diperjuangkan dalam RUU PPHMHA yang tengah berproses.
Betapapun, pemberlakukan pemenuhan syarat K & I secara akumulatif jelas akan mengeklusi masyarakat‐masyarakat adat yang telah berubah ke dalam proses pengakuan dan perlindungan. Yang akan terakui dan terlindungi adalah kemuntitas‐komunitas adat yang telah mengalami perubahan yang tidak berarti, sebagaimana yang dapat kita dilihat apda apa yang sekarang dikategorikan oleh Pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil saja.
Atas dasar pandangan bahwa perubahan yang dialami oleh komunitas masyarakat adat tidaklah semata‐mata akibat internal melainkan implikasi dari kebijakan dari negara (kolonial dan Nasional), maka diperlukan suatu pendekatan pengakuan dan perlindungan yang mengandung semangat afirmatif, sebagai upaya ‘bayar hutang’ atas kesalahan‐kesalahan negara di masa lalu. Kebijakan bersemangat afrmatif itulah yang ditempuh oleh UU Desa, dengan jalan memperlakukan K & I itu secara fakultatif cq. ada wilayah + salah satu dari 4 kriteria yang lain. Agar proses penetapan keberadaan desa adat ini tidak terperangkap pada kepentingan penguasa (baca: eksekutuf) maka disepakati pula bahwa proses penetapan itu menggunakan proses legislasi daerah.
Demikian pula, Undang‐undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah pula satu tahun lebih usianya. Apakah undang‐undang ini telah atau akan membawa perubahan yang lebih berarti dibanding dengan beberapa kebijakan yangada sebelumnya adalah sesuatu yang menarik untuk ditunggu dan dicermati lebih lanjut. Sebenarnya, pemberlakukan nomenklatur ‘desa adat’ ini dapat menyelesaikan sengketa tata batas antara ‘wilayah adminisrasi desa’ dengan kawasan hutan yang konon mencakup 33.000 dari 74.000 desa yang ada saat ini; dan meliputi sekitar 70 – 90 Juta Ha yang dapat diklasifikasikan sebagai ‘wilayah adat/ulayat’ yang kini berada dalam ‘kawasan hutan’.
Terkait upaya ini, ada beberapa cacatan yang perlu dicarikan jalan keluarnya sesegera mungkin. Pertama, belum ada respons yang jelas dari Pemda, baik Propinsi maupun Kabupaten. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah belum ada Peraturan Pemerintah tentang Desa Adat. Padahal, dalam UU Desa sangat jelas diatur bahwa PP khusus tentang Desa Adat tidak diperlukan, pengaturan lebih lanjut tentang desa adat ada dalam 2 PP yang telah dikeluarkan pemerintah. Diduga tidak terdapat akumulasi pengetahuan tentang desa adat pada khususnya ataupun masyarakat hukum adat pada umumnya, sehingga urgensitas pelaksanaan desa adat tidak mengemuka. Atau, boleh jadi yang terjadi adalah sebaliknya, ada pengetahuan yang cukup namun pemberlakukan kebijakan baru itu akan mengganggu ‘kemampanan’ para pihak tertentu.42
Sebagaimana telah di singgung di atas, Pemerintahan (Pusat) juga tidak konsisten. Bersamaan dengan diundangkannya UU Desa, salah satu Direktorat yang ada di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kementerian Dalam Negeri, juga memberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.43
Demikian pula dengan pemberlakukan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 79 Tahun 2014; Nomor PB.3/Menhut‐II/2014; Nomor 17/PRTM/2014; Nomor 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan. Setidaknya ada 2 masalah utama yang akan dihadapi. Pertama, pendekatan kriteria yang seperti apa yang akan digunakan? Apakah model akumulatif sebagaimana yang digunakan dalam Permenagraria 5/1999 atau model fakultatif yang diperkenalkan oleh UU Desa? Kedua, apakah memang pengakuan atas hak‐hak pihak ketiga, termasuk masyarakat hukum adat, harus ditindaklanjuti dengan mengeluarkannya dari kawasan hutan? Lalu, siapa yang akan menjamin ‘fungsi
42 Dengan alasannya tersendiri, pihak gerakan masyarakat adat, utamanya yang dimotori oleh
AMAN masih ragu‐ragu mengoptimalisasi keberadaan UU Desa. Dalam suatu kesempatan Sekrerais Jenderal AMAN pernah berucap: “AMAN tidak menolak, namun belum menerima UU Desa”.