• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka 1. Aedes aegypti

a.. Klasifikasi

Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan menurut Soegijanto (2006) adalah :

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Sub Ordo : Nematocera Infra Ordo : Culicomorpha

Superfamili : Culicoidea

Famili : Culicidae

Sub famili : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

b. Tinjauan umum

Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas, yaitu dengan adanya garis-garis dan bercak-bercak putih keperakan di

atas dasar warna hitam. Ciri khas utamanya adalah dua garis lengkung yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).

Aedes aegypti dalam siklus hidupnya mengalami empat stadium yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Stadium telur, larva dan pupa hidup di genangan air tawar tenang. Genangan air yang disukai sebagai tempat perindukannya adalah genangan air yang terdapat di suatu wadah atau kontainer, bukan genangan di tanah. Larva nyamuk Aedes aegypti dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami empat kali pergantian kulit (ecdysis) yang dipengaruhi oleh hormon ekdison (Soegijanto,2006).

Larva mengambil makanan di dasar kontainer sehingga disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Dalam posisi istirahat membentuk sudut 45° dengan garis pemukaan air dengan bagian kepala berada di bawah. Larva mengambil oksigen dari udara dengan menempatkan siphon-nya tepat pada permukaan air (Hayati, 2006).

Pada stadium larva dikenal empat tingkat jentik yang masing-masing tingkatan dinamakan instar. Larva instar I berukuran paling kecil yaitu 1-2 mm atau satu sampai dua hari setelah telur menetas, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II berukuran 2,5-3,5 mm berumur dua sampai tiga hari setelah telur menetas, duri-duri dada

belum jelas, corong pernapasan sudah mulai menghitam. Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman. Larva instar IV berukuran paling besar yaitu 5-6 mm berumur empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna kepala gelap (Asiah, 2008 cit Hoedojo, 1993). Larva stadium III atau IV lebih mudah diamati dari stadium lain (Asiah, 2008), alat-alat tubuhya sudah terbentuk lengkap (Nurcahyati, 2008) dan bersifat relatif stabil terhadap pengaruh luar (Sari, 2008). Peneliti memilih larva instar III dengan alasan waktu yang dibutuhkan untuk perubahan instar III menjadi pupa lebih lama dibandingkan instar IV menjadi pupa sehingga dikhawatirkan sewaktu diberi perlakuan ada larva instar IV yang berubah menjadi pupa. Pada pupa lapisan kulitnya tebal sehingga senyawa-senyawa aktif larvasida akan sulit masuk. Selain itu, pupa tidak makan sehingga senyawa aktif larvasida dalam air perasan kulit jeruk manis tidak akan efektif.

Ciri-ciri larva Aedes aegypti antara lain

1) Corong udara terdapat pada segmen terakhir, pada segmen-segmen abdomen tidak dijumpai rambut-rambut berbentuk kipas (palmate hairs).

2) Pada corong udara terdapat pecten.

3) Sepasang rambut dijumpai pada corong udara (siphon). 4) Pada abdomen segmen kedelapan ada comb scale.

5) Bentuk individu dari comb scale seperti duri (Hayati, 2006).

Semua instar memiliki struktur yang mirip. Perubahan morfologi selama perkembangan larva terlihat pada palatal brush, pecten, comb scales dan ventral brush dari segmen abdominal sepuluh. Larva instar III dan IV menunjukkan struktur yang mirip dengan hanya sedikit variasi. Palatum dan setae-nya mudah dibedakan. Palatal brush dibagi menjadi 3 golongan, bagian tengah yang muncul dari palatum dengan posisi dorsoventral dari kepala dan kelompok lateral yang terletak pada bagian laterofrontal dari kepala, muncul dari labiopalatum. Palatal brush dari larva instar I dan II tampak sebagai filamen-filamen yang berbentuk uniform. Filamen-filamen ini nampak sebagai struktur yang langsing dan panjang dengan barisan dari gigi-gigi yang uniform. Pada instar IV, lateral brush memiliki susunan yang lebih kompleks dan tersebar berumbai-rumbai. Ujung distal filamen palatal brush pada instar III dan IV berbentuk seperti penggaruk terdapat 4-6 gigi yang menonjol dengan panjang kira-kira 9 µm. Filamen palatal brush dari instar III dan IV lebih banyak, lebih kompleks dan tersebar berumbai-rumbai. Ujung distalnya membentuk sudut 90º terhadap barisan filamen yang lebih kecil (Schaper dan Chavarria, 2006).

Adanya perubahan dalam jumlah dan bentuk ini mungkin penting karena berkaitan dengan penyediaan makanan karena dengan penambahan jumlah dan perubahan bentuk ini akan membantu dalam

mencengkeram partikel makanan larva yang mencakup bakteri dan protozoa. Perubahan filamen ini juga berkaitan dengan perubahan diet selama maturasi larva. Larva instar I dan II lebih banyak memakan bakteri sedangkan instar III dan IV memakan patikel organik yang besar (Schaper dan Chavarria, 2006).

Ventral brush dari segmen sepuluh pada instar II dibentuk oleh 3 pasang setae yang tipis sedangkan pada instar III dan IV disusun oleh 4 pasang setae yang kuat. Jumlah dari comb scale dan kompleksitasnya meningkat dari instar I hingga IV. Instar I hanya memiliki 5 comb scale yang pada ujung tiap comb scale-nya terdapat 19-21 duri yang uniform. Instar II, III dan IV memiliki 7,8 dan 10 comb scale di mana strukturnya lebih kompleks dari instar I karena comb scale pada instar-instar akhir memiliki sebuah denticle median yang panjang dan sedikit melengkung dan ujung yang lebih prominen. Pada instar II setiap comb scale memiliki 12-14 subapical denticle, instar III ada 14-17 subapical denticle dan instar IV memiliki 10-14 subapical denticle (Schaper dan Chavarria, 2006).

Setiap stadium instar juga menunjukkan adanya modifikasi pecten dalam hal jumlah dan kompleksitasnya. Pecten pada instar I hanya dibentuk oleh 2 duri pecten yang menyangga 7 denticle kecil sementara pada instar lain biasanya ada lebih dari 10 denticle. Salah satu denticle pada duri pecten instar II ternyata lebih prominen dengan 4-5 subapical denticle. Instar III memiliki 11 duri dengan 2-4

subapical denticle dan instar IV memiliki 15-16 duri di mana setiap duri terdapat 1 denticle prominen dan 2-3 subapical denticle (Schaper dan Chavarria, 2006).

Langkah pertama dalam respon fisik keracunan pada larva Aedes aegypti adalah respon fisik dan tingkah lakunya. Secara khas, keracunan racun saraf menimbulkan empat tahap gejala, yaitu eksitasi, kejang (konvulsi), kelumpuhan (paralisis) dan kematian. Pada tahap eksitasi serangga menunjukkan perilaku ”membersihkan badan” . Pada tahap ini tampak bahwa serangga membersihkan antena atau bagian tubuh lainnya dengan mulut. Larva yang keracunan akan menggulung badannya dan melakukan gerakan teleskopik yaitu gerakan turun naik dari permukaan air dengan cepat (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Tarumingkeng, 1992).

Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40°C akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto, 2006).

2. Jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

Jeruk manis mempunyai nama ilmiah Citrus aurantium sub spesies sinensis. Jeruk manis ini termasuk di dalam klasifikasi berikut ini :

a. Kingdom : Plantae b. Subkingdom : Tracheobionta c. Divisi : Magnoliophyta d. Subdivisi : Angiospermae e. Kelas : Magnoliopsida f. Subkelas : Rosidae g. Ordo : Rutales h. Famili : Rutaceae i. Ordo : Rutales j. Genus : Citrus

k. Spesies : Citrus aurantium sub spesies sinensis

Secara umum uraian makroskopik kulit jeruk manis antara lain: a. Kepingan berbentuk spiral dan ada pula yang bentuknya panjang. b. Permukaan luar berwarna coklat agak kekuning-kuningan sampai

coklat jingga, tebal ± 3 mm, keras dan rapuh. c. Permukaan dalam rata, berwarna coklat jingga.

d. Terdapat sedikit jaringan bunga karang, apabila kulit ini dipatahkan akan tampak dengan jelas rongga-rongga minyaknya yang bergaris tengah sekitar 1 mm.

Kulit buah jeruk manis tebalnya 0,3-0,5 cm, dari tepi berwarna kuning atau oranye tua dan makin ke dalam berwarna putih kekuningan sampai putih, berdaging dan kuat melekat pada dinding buah (Rini et al., 2009 cit Pracaya, 2001). Kandungan kimia dalam kulit jeruk manis adalah saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid (Sari, 2008). Kulit buah jeruk manis memiliki bau yang khas aromatik dan rasa pahit, yang mengandung : minyak atsiri 90% yang berisikan limonin, glukosida-glukosida hesperidina, isohesperinda, aurantiamarina dan damar (Rini et al., 2009 cit Kartasapoetra, 2001). Senyawa yang mengandung saponin, flavonoid, triterpenoid, alkaloid dapat berfungsi sebagai larvasida (Mawuntyas dan Tjandra, 2006; Ginting, 2006).

Senyawa bioaktif sebagai zat toksik yang terkandung dalam tanaman dapat masuk melalui dinding tubuh dan mulut larva karena larva mengambil makanan dari tempat hidupnya (Yunita et al., 2009). Dinding tubuh merupakan bagian tubuh serangga yang dapat menyerap zat toksik dalam jumlah besar (Yunita et al., 2009 cit Sastrodihardjo, 1979). Zat toksik relatif lebih mudah menembus kutikula dan selanjutnya masuk ke dalam tubuh serangga karena pada umumnya serangga berukuran kecil sehingga luas permukaan luar tubuh yang terpapar relatif lebih besar (terhadap volume) dibandingkan mamalia. Selain itu, kutikula bersifat hidrofob dan lipofilik sehingga senyawa bioaktif yang bersifat non polar mudah menembus kutikula (Yunita et al., 2009 cit Matsumura, 1976).

3. Saponin

Saponin adalah suatu glikosida yang banyak ditemukan pada tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Struktur kimia saponin :

Sifat-sifat Saponin adalah a. Mempunyai rasa pahit

b. Dalam larutan air membentuk busa yang stabil c. Menghemolisa eritrosit

d. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi

e. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid lainnya

f. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi

g. Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasikan formula empiris yang mendekati.

h. Toksisitasnya mungkin karena dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension). Dengan hidrolisis lengkap akan dihasilkan sapogenin (aglikon) dan karbohidrat (hexose, pentose dan saccharic acid).

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik (sapogenin) berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 (monodesmosidic), tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28 (bidesmosidic). Struktur saponin yang sangat kompleks terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula pada aglikon. Steroid saponin tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Hidrolisis steroid saponin akan memberikan aglikon yang dikenal sebagai sarsaponin. Beberapa contoh steroid saponin adalah Asparagosides, Avenocosides, Disogenin (C23H22O6), Ecdysterone (C27H44O7), Tigogenin (C27H44O3). Saponin triterpenoid tersusun atas suatu triterpen (C30) dengan molekul karbohidrat. Hidrolisis saponin triterpenoid akan memberikan aglikon yang dikenal sebagai sapogenin. Tipe saponin ini merupakan derivat dari β-amyrine. Beberapa contoh saponin triterpenoid adalah Asiaticoside (C48H78O18), Bacoside Cyclamin (C58H94O27), Glychyrhizin (C42H62O16), Panaxadiol and panaxatriol.

Kematian pada ikan, mungkin disebabkan oleh gangguan pernafasan. Ikan yang mati karena racun saponin, tidak toksik untuk manusia bila

dimakan. Tidak toksiknya untuk manusia dapat diketahui dari minuman seperti bir yang busanya disebabkan oleh saponin (Oey Kam Nio, 1999).

Saponin sebagai bahan yang mirip deterjen mempunyai kemampuan untuk merusak membran tubuh larva (Yunita et al., 2009 cit Hopkins dan Huner, 2004). Bahan deterjen dapat meningkatkan penetrasi senyawa toksik karena dapat melarutkan bahan-bahan lipofilik dengan air. Deterjen tidak hanya mengganggu lapisan lipoid dari epikutikula tetapi juga mengganggu lapisan protein endokutikula sehingga senyawa toksik dapat masuk dengan mudah ke dalam tubuh larva (Yunita et al., 2009 cit Matsumura, 1976; Tarumingkeng, 1992). Saponin dapat menyebabkan destruksi saluran pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan permukaan sehingga selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif (Nurcahyati, 2008 cit Aminah et al., 2001). Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Nopianti, 2008).

4. Tanin

Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman, seperti kulit buah, daun, buah yang belum matang , batang dan kulit kayu. Tanin dikatakan sebagai sumber asam pada buah. Tanin terdiri dari golongan tanin yang dapat terhidrolisis, golongan yang tak dapat terhidrolisis dan pseudotanin. Salah satu contohnya adalah asam galat (gallic acid) yang memiliki rumus molekul C6H2(OH)3COOH dengan struktur kimia :

Sifat-sifat tanin:

a. Dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan sepat b. Mengendapkan larutan gelatin dan larutan alkaloid

c. Tidak dapat mengkristal

d. Larutan alkali mampu mengoksidasi oksigen

e. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim proteolitik.

Sifat kimia tanin:

a. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal.

b. Tanin dapat diidentifikasi dengan kromotografi.

c. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna.

Mekanisme kerja tanin hampir sama dengan saponin yaitu sama-sama dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan sehingga tanin dan saponin bersifat sebagai racun perut (Asiah, 2008 cit Nursal dan Pasaribu, 2003). Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tanin akan mengendapkan protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan. Hal

tersebut mengakibatkan proses penyerapan protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu (Yunita et al., 2009 cit Hopkins dan Huner, 2004).

5. Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia flavonoid :

flavonoid isoflavon

neoflavonoid

Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, di mana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur senyawa flavonoid yaitu flavonoid atau 1,3-diarilpropana, isoflavonoid atau 1,2-diarilpropana dan neoflavonoid atau 1,1-diarilpropana. Flavonoid seperti quersetin memiliki rumus molekul C15H10O7, isoflavonoid C15H10O2 sedangkan neoflavonoid

C15H12O2. Sebagian besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, di mana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya ikatan glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus karbonil dari gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida di mana satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air dan sedikit larut dalam pelarut organik seperti eter, benzen, kloroform dan aseton (Lenny, 2006).

Flavonoid yang merupakan golongan fenol dapat menyebabkan penggumpalan protein. Denaturasi protein tersebut menyebabkan permeabilitas dinding sel dalam saluran pencernaan menurun. Hal ini akan mengakibatkan transpor nutrisi terganggu sehingga perumbuhan terhambat dan akhirnya larva nyamuk akan mati (Hayati, 2006). Selain itu, menurut Dinata (tanpa tahun) flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang bersifat racun. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang sangat tajam, dapat larut dalam air dan pelarut organik serta mudah terurai pada temperatur tinggi. Flavonoid digunakan sebagai bahan aktif dalam pembuatan insektisida nabati. Flavonoid masuk ke dalam mulut serangga/lubang alami di tubuh serangga dan menimbulkan kelayuan pada saraf.

6. Limonoid

Senyawa dengan golongan terpenoid yaitu limonoida yang berfungsi sebagai larvasida (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Ferguson, 2002). Senyawa limonoida terdapat dalam 2 bentuk yaitu limonoida aglicones (LA) dan limonoida glucosida (LG). Limonoida aglicones (LA) menyebabkan rasa pahit pada jeruk dan tidak larut dalam air. Sedangkan limonoida glucosoida tidak menyebabkan rasa pahit pada jeruk dan dapat larut dalam air. Limonoida aglicones selama proses maturasi (pemasakan) dari buah proses ini disebut natural debithoring process (Utariningsih dan Purawnti cit Jiaxing, 2001). Limonoida aglycones dibagi lagi menjadi 4 golongan yaitu limonin, colamin, ichangensin dan 7a-acetate limonoida. Di antara empat golongan tersebut yang paling dominan dan menyebabkan rasa pahit pada jeruk dan mempunyai efek larvasida paling potensial adalah limonin. Kandungan senyawa limonoida paling tinggi pada tanaman jeruk didapatkan pada bagian biji yaitu 927 µg/100 mg, pada bagian daun tanaman adalah 36,6 µg/100 mg, pada bagian kulit 2,5 µg/100 mg, dan yang paling sedikit pada buah yaitu hanya 0,7 µg/100 mg. Limonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat racun. Limonoid dinyatakan sebagai modifikasi triterpenes, yang mempunyai 4,4,8 trimethyl-17 furanyl steroid. Susunan sub grup dan struktur ikatan itu mempengaruhi karakteristik sifat dasar yang dibentuk selama pertumbuhan pada produk tanaman yang menghasilkannya. Rumus molekul limonin adalah C26H30O8. Struktur kimia limonin :

Sifat dasar limonoid mencakup: kegunaannya sebagai insektisida, regulasi pertumbuhan insek, insek antifidan dan pengaruh medis terhadap binatang dan manusia seperti antibakteri, viral dan antifungi (Utariningsih dan Purawanti, 2010). Berpotensi sebagai antifidan terhadap serangga, zat pengatur tumbuh dan zat toksik pada kutu beras, larvasida, anti mikroba, penolak serangga (repellent) dan penghambat reproduksi (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Jiaxing, 2001). Senyawa limonoida merupakan analog hormon juvenille pada serangga yang berfungsi sebagai pengatur pertumbuhan kutikula larva (Ruberto, 2002).

Sebagai racun perut, limonoid dapat masuk ke dalam tubuh larva Aedes aegypti melalui sistem pencernaan dan menyebabkan mekanisme penghambatan makan (Mendel et al., 1991; Ruberto et al., 2002; Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Jiaxing, 2001). Saraf pusat pada larva Aedes aegypti terdiri dari sepasang rantai saraf yang terdapat di sepanjang tubuh bagian ventral. Pada tiap segmen terjadi suatu pengumpulan saraf yang disebut ganglion. Limonoid dapat menyebar ke jaringan saraf dan mempengaruhi fungsi-fungsi saraf. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya

Selain itu limonoid dapat masuk ke dalam tubuh larva Aedes aegypti melalui kulit atau dinding tubuh dengan cara osmosis karena kulit atau dinding tubuh larva bersifat permeable terhadap senyawa yang dilewati. Limonoid tersebut akan masuk ke sel-sel epidermis yang selalu mengalami pembelahan dalam proses pergantian kulit, sehingga sel-sel epidermis mengalami kelumpuhan (paralisis) dan akhirnya mati (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Sastrodiarjo, 1984).

7. Sitronela

Senyawa sitronela yang terdapat dalam minyak atsiri mempunyai sifat racun dehidrasi (desiccant). Racun tersebut merupakan racun kontak yang dapat masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit, celah atau lubang alami pada tubuh atau langsung mengenai mulut serangga serta dapat menyebabkan kematian larva Aedes aegypti karena kehilangan cairan terus-menerus (Aryanto, 2008 cit Abidillah, 2007). Mekanisme kerja sitronela menghambat enzim asetilkolinesterase dengan melakukan fosforilasi asam amino serin pada pusat asteratik enzim yang bersangkutan. Gejala keracunannya, karena adanya penimbunan asetilkolin yang menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf pusat, kejang, kelumpuhan pernafasan dan kematian (Yanur et al., 2007 cit Mutchler, 1991). Rumus molekul sitronela adalah C10H18O dengan struktur kimia :

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) berpengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In vitro.

Air perasan kulit jeruk manis

Minyak atsiri

Sitronela Limonoid

(limonin)

Larva Aedes aegypti instar III Mati Racun dehidrasi/dessicant Antifidan, mengganggu fungsi saraf dan pergantian kulit Saponin Flavonoid Denaturasi protein Tanin Gangguan permeabilitas membran sel saluran pencernaan Meningka tkan penetrasi senyawa toksik Membuat mukosa saluran cerna korosif Mengganggu aktivitas enzim dan penyerapan makanan Mengganggu penyerapan makanan Mengendap kan protein Merusak membran kutikula larva

Dokumen terkait