• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH AIR PERASAN KULIT JERUK MANIS (Citrus aurantium sub spesies sinensis) TERHADAP TINGKAT KEMATIAN LARVA Aedes aegypti INSTAR III IN VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH AIR PERASAN KULIT JERUK MANIS (Citrus aurantium sub spesies sinensis) TERHADAP TINGKAT KEMATIAN LARVA Aedes aegypti INSTAR III IN VITRO"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH AIR PERASAN KULIT JERUK MANIS (

Citrus

aurantium sub spesies sinensis)

TERHADAP TINGKAT

KEMATIAN LARVA

Aedes aegypti

INSTAR III

IN VITRO

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

FATNA ANDIKA WATI

G0007069

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Pengaruh Air Perasan Kulit Jeruk Manis (Citrus

aurantium sub spesies sinensis) terhadap Tingkat Kematian Larva

Aedes aegypti Instar III in vitro

Fatna Andika Wati, NIM : G0007069, Tahun : 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Rabu , Tanggal 24 November 2010

Pembimbing Utama

Nama : Darukutni, dr., Sp. Par K

NIP : 19470809 197603 1 001 ( ...)

Pembimbing Pendamping

Nama : Ipop Syarifah, Dra., M. Si

NIP :19560328 198503 2 001 (...)

Penguji Utama

Nama : Sri Haryati, Dra., M. Kes

NIP : 19610120 198601 2 001 (...)

Anggota Penguji

Nama : Balqis, dr., CMFM, Sp. Ak

NIP : 19640719 199903 2 003 (...)

Surakarta, ...

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 24 November 2010

Fatna Andika Wati

(4)

ABSTRAK

Fatna Andika Wati, G0007069, 2010. Pengaruh Air Perasan Kulit Jeruk Manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) terhadap Tingkat Kematian Larva Aedes aegypti Instar III In vitro, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III in vitro dan konsentrasi yang dapat mematikan larva Aedes aegypti sebesar 50% (LC50) dan 99% (LC99).

Metode Penelitian : Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Subjek penelitian adalah larva Aedes aegypti instar III sejumlah 1.025 ekor. Teknik pengambilan sampel dengan metode simple random sampling. Subjek dibagi dalam 1 kelompok kontrol dan 5 kelompok perlakuan, masing-masing berisi 25 ekor larva dan dilakukan 5 kali pengulangan. Kelompok kontrol adalah 100 ml air keran sedangkan kelompok perlakuan menggunakan air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) yang ditambah air keran sampai konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghitung jumlah kematian larva Aedes aegypti instar III setelah pemaparan selama 24 jam. Data diolah dengan uji analisis regresi linier dan analisis probit.

Hasil Penelitian : Dari hasil uji analisis regresi linier, nilai R Square model ~ 1 menunjukan bahwa konsentrasi air perasan merupakan merupakan variabel yang sangat baik untuk menjelaskan variabel jumlah kematian larva. Dengan uji Anova pada analisis regresi didapatkan F hitung > F tabel dengan taraf signifikansi 0.02, maka Ho ditolak, atau dengan kata lain terdapat pengaruh air perasan kulit jeruk manis terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III. Taraf signifikansi < 0.05 menunjukan bahwa variabel konsentrasi air perasan kulit jeruk manis dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III. Dari analisis probit didapatkan LC50 sebesar 0,946% dan LC99 sebesar 4,064%.

Simpulan Penelitian : Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) berpengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III in vitro dengan LC50 sebesar 0,946% dan LC99 sebesar 4,064%.

(5)

ABSTRACT

Fatna Andika Wati, G0007069, 2010. The Influence of Sweet Orange (Citrus aurantium sub spesies sinensis) Peel’s Squeezed Water for Third Instar Aedes aegypti Larva’s Death Level In vitro, Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret, Surakarta.

Objectives : The aims of this study are to determine the influence of sweet orange (Citrus aurantium sub spesies sinensis) peel’s squeezed water for third instar Aedes aegypti larva’s death level in vitro and the 50% death concentration (LC50) and 99% death concentration (LC99).

Method : This study was laboratory experimental. The subject of research was 1.025 third instar Aedes aegypti larvas. The sampling method was simple random sampling. The sample was divided into 1 control group and 5 experimental groups, each had 25 larvas and had 5 repetitions. The control group was 100 ml water and the experimental groups used sweet orange (Citrus aurantium sub spesies sinensis) peel’s squeezed water which added with water until the concentration reached 0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5%. The results were achieved with count the third instar Aedes aegypti death sum after 24 hour. The results were analyzed by linear regression analysis and probit analysis.

Results : By linear regression analysis, the R Square model ~ 1, shows that the sweet orange peel’s squeezed water is a very good variable for explaining the larva death sum. F count > F table has been obtained by the Anova test in regression model with 0.02 significancy, which means H0 is rejected, or in the other words, it shows that the influence of sweet orange peel’s squeezed water for third instar Aedes aegypti larva’s death level in vitro was present. The level of significance < 0.05 shows that the concentration of sweet orange peel’s squeezed water in this study has a significant influence on the third instar Aedes aegypti larva’s death level. The LC50 is 0,946% and LC99 is 4,064% by probit analysis.

Conclusions : This study shows that the sweet orange (Citrus aurantium sub spesies sinensis) peel’s squeezed water have influence for third instar Aedes aegypti larva’s death level in vitro with LC50 0,946% and LC99 4,064%.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia kesehatan dan limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Air Perasan Kulit Jeruk Manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) terhadap Tingkat Kematian Larva Aedes aegypti Instar III In vitro”ini.

Penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. A A. Subijanto, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas Kedokteran UNS.

2. Tim skripsi yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.

3. Darukutni, dr., Sp. Par K sebagai pembimbing utama yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi bagi penulis.

4. Ipop Syarifah, Dra., M.Si sebagai pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi bagi penulis. 5. Sri Haryati, Dra., M.Kes sebagai penguji utama yang telah memberikan

nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 6. Balqis, dr., CMFM, Sp. Ak sebagai anggota penguji yang telah memberikan

nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi. 7. Hasan Boesri, Drs., M.S selaku Kepala Bidang Pelayanan Penelitian di Balai

Besar Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, beserta semua staf B2P2VRP yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

8. Bapak , ibu dan Fata yang telah memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

9. Teman-temanku angkatan 2007 khususnya Kiki, Andra, Elisa, Anggie, Galuh, Esti yang telah sama-sama berjuang di Parasitologi dan Cheppy yang selalu memberi semangat.

10.Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, 13 November 2010

(7)

DAFTAR ISI

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Aedes aegypti ... 6

2. Jeruk Manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) …………... 12

3. Saponin ... 14

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 24

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24

C. Objek Penelitian ... 24

D. Teknik Sampling ... 24

E. Rancangan Penelitian ... 25

(8)

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 27

H. Alat dan Bahan Penelitian ... 28

I. Cara kerja ... 29

J. Teknik Analisis Data ... 32

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ... 33

B. Analisis Data ... 37

BAB V PEMBAHASAN ... 41

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 44

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45

(9)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Komposisi air perasan kulit jeruk manis dan air keran pada konsentrasi

0%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%...30

Tabel 2. Jumlah kematian larva Aedes aegypti setelah diuji dengan air perasan

kulit jeruk manis dalam berbagai konsentrasi pada uji pendahuluan …33

Tabel 3. Jumlah kematian larva Aedes aegypti pada berbagai konsentrasi air

perasan kulit jeruk manis setelah 24 jam perlakuan ………..34

Tabel 4. Jumlah kematian larva Aedes aegypti pada larutan Abate 1 mg dalam

100 ml air setelah 24 jam perlakuan ……...………... 37

(10)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ………..………... 23

Gambar 2. Garis Regresi Linier antara Konsentrasi Air Perasan Kulit Jeruk

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Uji probit

Lampiran 2. Tabel F (α = 0,05) untuk Uji ANOVA

Lampiran 3.Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian di Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit

Salatiga

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah banyaknya warga

yang menderita penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue

Hemorrhagic Fever (DHF) (Suirta et al., 2007 cit Rukmana, 2002). Awal

tahun 2005, tercatat 28.224 kasus demam berdarah terjadi di seluruh

Indonesia, dengan jumlah kematian 348 orang. Kasus ini meningkat hingga

awal Oktober 2005, di mana di 33 provinsi kasus ini mencapai 50.196 kasus,

dengan 701 di antaranya meninggal dunia. Akhir tahun 2006 hingga awal

tahun 2007 kasus demam berdarah terjadi lagi di beberapa daerah di Indonesia

(Suirta et al., 2007).

Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Sejak pertama kali

ditemukan, jumlah kasus DBD menunjukkan kecenderungan meningkat baik

dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu

terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahun (Kristina et al., 2004).

Kebijakan penanggulangan penyebaran penyakit DBD oleh pemerintah

Indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya yaitu dengan memutuskan

rantai penularan penyakit dari penderita ke vektor kemudian dari vektor

kepada orang sehat yaitu dengan cara pemberantasan nyamuk Aedes aegypti

(13)

Kewaspadaan dini penyakit DBD, hal ini berguna untuk mencegah dan

membatasi terjadinya KLB atau wabah penyakit dengan kegiatan bulan bakti

gerakan 3M (menguras tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-rapat

tempat penampungan air dan mengubur atau menyingkirkan barang bekas

yang dapat menampung air), 2. Pemberantasan vektor yang dapat dilakukan

dengan cara : a. Penyemprotan (fogging) yang difokuskan pada lokasi dimana

ditemui kasus b. Penyuluhan gerakan masyarakat dalam PSN (Pemberantasan

Sarang Nyamuk) DBD melalui penyuluhan dengan pemanfaatan berbagai

jalur komunikasi dan informasi yang ada melalui kerjasama lintas program

dan sektor serta dikoordinasi oleh Kepala daerah atau Wilayah c. Abatisasi

dan d. Kerja bakti dengan melakukan 3M (Asiah, 2008 cit Suroso dan Umar,

2002).

Saat ini larvasida yang paling luas digunakan untuk mengendalikan larva

Aedes aegypti adalah temefos (Gafur et al., 2006 cit Ponlawat et al., 2005).

Namun, penggunaan larvasida dalam waktu lama dapat menyebabkan

resistensi. Menurut suatu penelitian (Raharjo, 2006) telah terjadi resistensi

larva Aedes aegypti di Surabaya, Palembang dan beberapa wilayah di

Bandung terhadap temefos. Resistensi larva Aedes aegypti terhadap temefos

juga telah dilaporkan terjadi di Brazil (Braga et al., 2004), Bolivia dan

Argentina (Llinas et al., 2010), Venezuela, Kuba (Gafur et al., 2006 cit

Rodriguez et al., 2001), French Polynesia (Gafur et al., 2006 cit Failloux et

al., 1994), India (Tikar et al., 2009), Karibia (Gafur et al., 2006 cit Rawlins &

(14)

al., 2006 cit Ponlawat et al., 2005). Selain itu, air yang ditaburi temefos

menjadi berbau kurang sedap (Gafur et al., 2006 cit Mulla et al., 2004).

Temefos juga tidak ramah lingkungan karena temefos dan produk

degradasinya sangat persisten (Lacorte, 1996) dan dapat membunuh

zooplankton (Hanazato et al., 1989).

Hal ini mendorong untuk dikembangkannya alternatif lain dengan

menggunakan bahan alami, misalnya bahan dari tumbuhan sebagai larvasida

nabati yang relatif lebih aman karena akan lebih mudah terurai (bio

-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman

bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang (Asiah, 2008 cit

Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2002). Penggunaan toksin yang berasal dari

tanaman dapat digunakan untuk pemberantasan larva nyamuk Aedes aegypti

karena dalam suatu ekstrak tumbuhan selain beberapa senyawa aktif utama

biasanya juga banyak terdapat senyawa lain yang kurang efektif, tapi

keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara keseluruhan

(sinergi), hal ini memungkinkan serangga tidak mudah menjadi resisten

(Utariningsih dan Purwanti, 2010).

Beberapa penelitian telah memanfaatkan tanaman sebagai larvasida, di

antaranya ekstrak daun jeruk purut (Hayati, 2006), ekstrak kulit jeruk manis

(Sari, 2008), ekstrak biji jeruk siam (Al-Anshori, 2006 cit Puri, 2001) dan

lain-lain. Ekstrak kulit jeruk manis memiliki efek larvasida dengan nilai LD

50 sebesar 0,55 % dan LD 100 sebesar 1,1 % (Sari, 2008). Selain dari ekstrak

(15)

air perasan buah mengkudu (Frihartini, 2008) dan belimbing wuluh (Nopianti,

2008) yang terbukti dapat berfungsi sebagai larvasida. Pemakaian air perasan

lebih mudah dibuat daripada ekstrak karena hanya melalui proses pelumatan

dan pelarut yang digunakan adalah air. Selain itu, kulit jeruk yang biasanya

dibuang begitu saja dan menjadi sampah dapat dimanfaatkan sebagai larvasida

oleh masyarakat. Air perasan kulit jeruk manis lebih jernih daripada

ekstraknya maupun air perasan buah mengkudu dan belimbing wuluh.

Buah mengkudu mengandung alkaloid, triterpenoid, saponin, polifenol

dan flavonoid (Frihartini, 2008). Buah belimbing wuluh mengandung alkaloid,

saponin dan flavonoid (Nopianti, 2008). Kulit jeruk manis mengandung

saponin, flavonoid, tanin dan triterpenoid (Sari, 2008). Dengan demikian

terdapat beberapa kandungan kimia yang sama antara buah mengkudu,

belimbing wuluh dan kulit jeruk manis yang diperkirakan dapat berfungsi

sebagai larvasida.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin mengadakan penelitian

mengenai pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub

spesies sinensis) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In

vitro.

B. Rumusan Masalah

Adakah pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub

spesies sinensis) terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In

vitro dan berapa besar konsentrasi yang dapat mematikan larva Aedes aegypti

(16)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In vitro dan

konsentrasi yang dapat mematikan larva Aedes aegypti sebesar 50% (LC50)

dan 99% (LC99).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai

pengaruh air perasan kulit jeruk manis terhadap tingkat kematian larva

Aedes aegypti instar III In vitro dan konsentrasi yang dapat mematikan

larva Aedes aegypti sebesar 50% (LC50) dan 99% (LC99) .

2. Manfaat aplikatif

Penelitian ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.

Penelitian lebih lanjut tersebut dapat berupa uji toksisitas air perasan

(17)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Aedes aegypti

a.. Klasifikasi

Kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan

menurut Soegijanto (2006) adalah :

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Diptera

Sub Ordo : Nematocera

Infra Ordo : Culicomorpha

Superfamili : Culicoidea

Famili : Culicidae

Sub famili : Culicinae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti

b. Tinjauan umum

Nyamuk Aedes aegypti dikenal dengan sebutan black white

mosquito atau tiger mosquito karena tubuhnya memiliki ciri yang khas,

(18)

atas dasar warna hitam. Ciri khas utamanya adalah dua garis lengkung

yang berwarna putih keperakan di kedua sisi lateral dan dua buah garis

lengkung sejajar di garis median dari punggungnya yang berwarna

dasar hitam (lyre shaped marking) (Soegijanto, 2006).

Aedes aegypti dalam siklus hidupnya mengalami empat

stadium yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Stadium telur, larva dan

pupa hidup di genangan air tawar tenang. Genangan air yang disukai

sebagai tempat perindukannya adalah genangan air yang terdapat di

suatu wadah atau kontainer, bukan genangan di tanah. Larva nyamuk

Aedes aegypti dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami

empat kali pergantian kulit (ecdysis) yang dipengaruhi oleh hormon

ekdison (Soegijanto,2006).

Larva mengambil makanan di dasar kontainer sehingga disebut

pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Dalam posisi istirahat

membentuk sudut 45° dengan garis pemukaan air dengan bagian

kepala berada di bawah. Larva mengambil oksigen dari udara dengan

menempatkan siphon-nya tepat pada permukaan air (Hayati, 2006).

Pada stadium larva dikenal empat tingkat jentik yang

masing-masing tingkatan dinamakan instar. Larva instar I berukuran paling

kecil yaitu 1-2 mm atau satu sampai dua hari setelah telur menetas,

duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan

(siphon) belum menghitam. Larva instar II berukuran 2,5-3,5 mm

(19)

belum jelas, corong pernapasan sudah mulai menghitam. Larva instar

III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur

menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna

coklat kehitaman. Larva instar IV berukuran paling besar yaitu 5-6 mm

berumur empat sampai enam hari setelah telur menetas dengan warna

kepala gelap (Asiah, 2008 cit Hoedojo, 1993). Larva stadium III atau

IV lebih mudah diamati dari stadium lain (Asiah, 2008), alat-alat

tubuhya sudah terbentuk lengkap (Nurcahyati, 2008) dan bersifat

relatif stabil terhadap pengaruh luar (Sari, 2008). Peneliti memilih

larva instar III dengan alasan waktu yang dibutuhkan untuk perubahan

instar III menjadi pupa lebih lama dibandingkan instar IV menjadi

pupa sehingga dikhawatirkan sewaktu diberi perlakuan ada larva instar

IV yang berubah menjadi pupa. Pada pupa lapisan kulitnya tebal

sehingga senyawa-senyawa aktif larvasida akan sulit masuk. Selain itu,

pupa tidak makan sehingga senyawa aktif larvasida dalam air perasan

kulit jeruk manis tidak akan efektif.

Ciri-ciri larva Aedes aegypti antara lain

1) Corong udara terdapat pada segmen terakhir, pada segmen-segmen

abdomen tidak dijumpai rambut-rambut berbentuk kipas (palmate

hairs).

2) Pada corong udara terdapat pecten.

3) Sepasang rambut dijumpai pada corong udara (siphon).

(20)

5) Bentuk individu dari comb scale seperti duri (Hayati, 2006).

Semua instar memiliki struktur yang mirip. Perubahan

morfologi selama perkembangan larva terlihat pada palatal brush,

pecten, comb scales dan ventral brush dari segmen abdominal sepuluh.

Larva instar III dan IV menunjukkan struktur yang mirip dengan hanya

sedikit variasi. Palatum dan setae-nya mudah dibedakan. Palatal brush

dibagi menjadi 3 golongan, bagian tengah yang muncul dari palatum

dengan posisi dorsoventral dari kepala dan kelompok lateral yang

terletak pada bagian laterofrontal dari kepala, muncul dari

labiopalatum. Palatal brush dari larva instar I dan II tampak sebagai

filamen-filamen yang berbentuk uniform. Filamen-filamen ini nampak

sebagai struktur yang langsing dan panjang dengan barisan dari

gigi-gigi yang uniform. Pada instar IV, lateral brush memiliki susunan

yang lebih kompleks dan tersebar berumbai-rumbai. Ujung distal

filamen palatal brush pada instar III dan IV berbentuk seperti

penggaruk terdapat 4-6 gigi yang menonjol dengan panjang kira-kira 9

µm. Filamen palatal brush dari instar III dan IV lebih banyak, lebih

kompleks dan tersebar berumbai-rumbai. Ujung distalnya membentuk

sudut 90º terhadap barisan filamen yang lebih kecil (Schaper dan

Chavarria, 2006).

Adanya perubahan dalam jumlah dan bentuk ini mungkin

penting karena berkaitan dengan penyediaan makanan karena dengan

(21)

mencengkeram partikel makanan larva yang mencakup bakteri dan

protozoa. Perubahan filamen ini juga berkaitan dengan perubahan diet

selama maturasi larva. Larva instar I dan II lebih banyak memakan

bakteri sedangkan instar III dan IV memakan patikel organik yang

besar (Schaper dan Chavarria, 2006).

Ventral brush dari segmen sepuluh pada instar II dibentuk oleh

3 pasang setae yang tipis sedangkan pada instar III dan IV disusun

oleh 4 pasang setae yang kuat. Jumlah dari comb scale dan

kompleksitasnya meningkat dari instar I hingga IV. Instar I hanya

memiliki 5 comb scale yang pada ujung tiap comb scale-nya terdapat

19-21 duri yang uniform. Instar II, III dan IV memiliki 7,8 dan 10

comb scale di mana strukturnya lebih kompleks dari instar I karena

comb scale pada instar-instar akhir memiliki sebuah denticle median

yang panjang dan sedikit melengkung dan ujung yang lebih prominen.

Pada instar II setiap comb scale memiliki 12-14 subapical denticle,

instar III ada 14-17 subapical denticle dan instar IV memiliki 10-14

subapical denticle (Schaper dan Chavarria, 2006).

Setiap stadium instar juga menunjukkan adanya modifikasi

pecten dalam hal jumlah dan kompleksitasnya. Pecten pada instar I

hanya dibentuk oleh 2 duri pecten yang menyangga 7 denticle kecil

sementara pada instar lain biasanya ada lebih dari 10 denticle. Salah

satu denticle pada duri pecten instar II ternyata lebih prominen dengan

(22)

subapical denticle dan instar IV memiliki 15-16 duri di mana setiap

duri terdapat 1 denticle prominen dan 2-3 subapical denticle (Schaper

dan Chavarria, 2006).

Langkah pertama dalam respon fisik keracunan pada larva

Aedes aegypti adalah respon fisik dan tingkah lakunya. Secara khas,

keracunan racun saraf menimbulkan empat tahap gejala, yaitu eksitasi,

kejang (konvulsi), kelumpuhan (paralisis) dan kematian. Pada tahap

eksitasi serangga menunjukkan perilaku ”membersihkan badan” . Pada

tahap ini tampak bahwa serangga membersihkan antena atau bagian

tubuh lainnya dengan mulut. Larva yang keracunan akan menggulung

badannya dan melakukan gerakan teleskopik yaitu gerakan turun naik

dari permukaan air dengan cepat (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit

Tarumingkeng, 1992).

Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40°C

akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kecepatan

pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh beberapa

faktor yaitu temperatur, tempat, keadaan air dan kandungan zat

makanan yang ada dalam tempat perindukan. Pada kondisi optimum,

larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan

dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa memerlukan

(23)

2. Jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

Jeruk manis mempunyai nama ilmiah Citrus aurantium sub spesies

sinensis. Jeruk manis ini termasuk di dalam klasifikasi berikut ini :

a. Kingdom : Plantae

b. Subkingdom : Tracheobionta

c. Divisi : Magnoliophyta

d. Subdivisi : Angiospermae

e. Kelas : Magnoliopsida

f. Subkelas : Rosidae

g. Ordo : Rutales

h. Famili : Rutaceae

i. Ordo : Rutales

j. Genus : Citrus

k. Spesies : Citrus aurantium sub spesies sinensis

Secara umum uraian makroskopik kulit jeruk manis antara lain:

a. Kepingan berbentuk spiral dan ada pula yang bentuknya panjang.

b. Permukaan luar berwarna coklat agak kekuning-kuningan sampai

coklat jingga, tebal ± 3 mm, keras dan rapuh.

c. Permukaan dalam rata, berwarna coklat jingga.

d. Terdapat sedikit jaringan bunga karang, apabila kulit ini dipatahkan

akan tampak dengan jelas rongga-rongga minyaknya yang bergaris

(24)

Kulit buah jeruk manis tebalnya 0,3-0,5 cm, dari tepi berwarna

kuning atau oranye tua dan makin ke dalam berwarna putih kekuningan

sampai putih, berdaging dan kuat melekat pada dinding buah (Rini et al.,

2009 cit Pracaya, 2001). Kandungan kimia dalam kulit jeruk manis adalah

saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid (Sari, 2008). Kulit buah jeruk

manis memiliki bau yang khas aromatik dan rasa pahit, yang mengandung

: minyak atsiri 90% yang berisikan limonin, glukosida-glukosida

hesperidina, isohesperinda, aurantiamarina dan damar (Rini et al., 2009 cit

Kartasapoetra, 2001). Senyawa yang mengandung saponin, flavonoid,

triterpenoid, alkaloid dapat berfungsi sebagai larvasida (Mawuntyas dan

Tjandra, 2006; Ginting, 2006).

Senyawa bioaktif sebagai zat toksik yang terkandung dalam

tanaman dapat masuk melalui dinding tubuh dan mulut larva karena larva

mengambil makanan dari tempat hidupnya (Yunita et al., 2009). Dinding

tubuh merupakan bagian tubuh serangga yang dapat menyerap zat toksik

dalam jumlah besar (Yunita et al., 2009 cit Sastrodihardjo, 1979). Zat

toksik relatif lebih mudah menembus kutikula dan selanjutnya masuk ke

dalam tubuh serangga karena pada umumnya serangga berukuran kecil

sehingga luas permukaan luar tubuh yang terpapar relatif lebih besar

(terhadap volume) dibandingkan mamalia. Selain itu, kutikula bersifat

hidrofob dan lipofilik sehingga senyawa bioaktif yang bersifat non polar

(25)

3. Saponin

Saponin adalah suatu glikosida yang banyak ditemukan pada

tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi

pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan

tahap pertumbuhan. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui,

mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste

product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Kemungkinan lain adalah

sebagai pelindung terhadap serangan serangga. Struktur kimia saponin :

Sifat-sifat Saponin adalah

a. Mempunyai rasa pahit

b. Dalam larutan air membentuk busa yang stabil

c. Menghemolisa eritrosit

d. Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi

e. Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksisteroid

lainnya

f. Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi

g. Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasikan formula

(26)

h. Toksisitasnya mungkin karena dapat menurunkan tegangan permukaan

(surface tension). Dengan hidrolisis lengkap akan dihasilkan sapogenin

(aglikon) dan karbohidrat (hexose, pentose dan saccharic acid).

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa,

xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon

hidrofobik (sapogenin) berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid.

Aglikon dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh. Rantai

oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3 (monodesmosidic), tetapi

beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28

(bidesmosidic). Struktur saponin yang sangat kompleks terjadi akibat

bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan

gugus gula pada aglikon. Steroid saponin tersusun atas inti steroid (C27)

dengan molekul karbohidrat. Hidrolisis steroid saponin akan memberikan

aglikon yang dikenal sebagai sarsaponin. Beberapa contoh steroid saponin

adalah Asparagosides, Avenocosides, Disogenin (C23H22O6), Ecdysterone

(C27H44O7), Tigogenin (C27H44O3). Saponin triterpenoid tersusun atas

suatu triterpen (C30) dengan molekul karbohidrat. Hidrolisis saponin

triterpenoid akan memberikan aglikon yang dikenal sebagai sapogenin.

Tipe saponin ini merupakan derivat dari β-amyrine. Beberapa contoh

saponin triterpenoid adalah Asiaticoside (C48H78O18), Bacoside Cyclamin

(C58H94O27), Glychyrhizin (C42H62O16), Panaxadiol and panaxatriol.

Kematian pada ikan, mungkin disebabkan oleh gangguan pernafasan.

(27)

dimakan. Tidak toksiknya untuk manusia dapat diketahui dari minuman

seperti bir yang busanya disebabkan oleh saponin (Oey Kam Nio, 1999).

Saponin sebagai bahan yang mirip deterjen mempunyai

kemampuan untuk merusak membran tubuh larva (Yunita et al., 2009 cit

Hopkins dan Huner, 2004). Bahan deterjen dapat meningkatkan penetrasi

senyawa toksik karena dapat melarutkan bahan-bahan lipofilik dengan air.

Deterjen tidak hanya mengganggu lapisan lipoid dari epikutikula tetapi

juga mengganggu lapisan protein endokutikula sehingga senyawa toksik

dapat masuk dengan mudah ke dalam tubuh larva (Yunita et al., 2009 cit

Matsumura, 1976; Tarumingkeng, 1992). Saponin dapat menyebabkan

destruksi saluran pencernaan larva dengan cara menurunkan tegangan

permukaan sehingga selaput mukosa saluran pencernaan menjadi korosif

(Nurcahyati, 2008 cit Aminah et al., 2001). Hal tersebut akan

menyebabkan menurunnya aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan

makanan (Nopianti, 2008).

4. Tanin

Tanin merupakan substansi yang tersebar luas dalam tanaman,

seperti kulit buah, daun, buah yang belum matang , batang dan kulit kayu.

Tanin dikatakan sebagai sumber asam pada buah. Tanin terdiri dari

golongan tanin yang dapat terhidrolisis, golongan yang tak dapat

terhidrolisis dan pseudotanin. Salah satu contohnya adalah asam galat

(gallic acid) yang memiliki rumus molekul C6H2(OH)3COOH dengan

(28)

Sifat-sifat tanin:

a. Dalam air membentuk larutan koloidal yang bereaksi asam dan sepat

b. Mengendapkan larutan gelatin dan larutan alkaloid

c. Tidak dapat mengkristal

d. Larutan alkali mampu mengoksidasi oksigen

e. Mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan protein

tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim proteolitik.

Sifat kimia tanin:

a. Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang

sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal.

b. Tanin dapat diidentifikasi dengan kromotografi.

c. Senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan

pemberi warna.

Mekanisme kerja tanin hampir sama dengan saponin yaitu

sama-sama dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan

makanan sehingga tanin dan saponin bersifat sebagai racun perut (Asiah,

2008 cit Nursal dan Pasaribu, 2003). Tanin dapat mengganggu serangga

dalam mencerna makanan karena tanin akan mengendapkan protein dalam

(29)

tersebut mengakibatkan proses penyerapan protein dalam sistem

pencernaan menjadi terganggu (Yunita et al., 2009 cit Hopkins dan Huner,

2004).

5. Flavonoid

Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang

terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat

warna merah, ungu dan biru dan sebagai zat warna kuning yang ditemukan

dalam tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia flavonoid :

flavonoid isoflavon

neoflavonoid

Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15

atom karbon, di mana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai

propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. Susunan ini

dapat menghasilkan tiga jenis struktur senyawa flavonoid yaitu flavonoid

atau 1,3-diarilpropana, isoflavonoid atau 1,2-diarilpropana dan

neoflavonoid atau 1,1-diarilpropana. Flavonoid seperti quersetin memiliki

(30)

C15H12O2. Sebagian besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam

bentuk glikosida, di mana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Glikosida

adalah kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling

berikatan melalui ikatan glikosida. Pada prinsipnya ikatan glikosida

terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus

karbonil dari gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau

triglikosida di mana satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul

flavonoid terikat oleh gula. Poliglikosida larut dalam air dan sedikit larut

dalam pelarut organik seperti eter, benzen, kloroform dan aseton (Lenny,

2006).

Flavonoid yang merupakan golongan fenol dapat menyebabkan

penggumpalan protein. Denaturasi protein tersebut menyebabkan

permeabilitas dinding sel dalam saluran pencernaan menurun. Hal ini akan

mengakibatkan transpor nutrisi terganggu sehingga perumbuhan terhambat

dan akhirnya larva nyamuk akan mati (Hayati, 2006). Selain itu, menurut

Dinata (tanpa tahun) flavonoid merupakan salah satu jenis senyawa yang

bersifat racun. Flavonoid mempunyai sifat yang khas yaitu bau yang

sangat tajam, dapat larut dalam air dan pelarut organik serta mudah terurai

pada temperatur tinggi. Flavonoid digunakan sebagai bahan aktif dalam

pembuatan insektisida nabati. Flavonoid masuk ke dalam mulut

serangga/lubang alami di tubuh serangga dan menimbulkan kelayuan pada

(31)

6. Limonoid

Senyawa dengan golongan terpenoid yaitu limonoida yang

berfungsi sebagai larvasida (Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Ferguson,

2002). Senyawa limonoida terdapat dalam 2 bentuk yaitu limonoida

aglicones (LA) dan limonoida glucosida (LG). Limonoida aglicones (LA)

menyebabkan rasa pahit pada jeruk dan tidak larut dalam air. Sedangkan

limonoida glucosoida tidak menyebabkan rasa pahit pada jeruk dan dapat

larut dalam air. Limonoida aglicones selama proses maturasi (pemasakan)

dari buah proses ini disebut natural debithoring process (Utariningsih dan

Purawnti cit Jiaxing, 2001). Limonoida aglycones dibagi lagi menjadi 4

golongan yaitu limonin, colamin, ichangensin dan 7a-acetate limonoida.

Di antara empat golongan tersebut yang paling dominan dan menyebabkan

rasa pahit pada jeruk dan mempunyai efek larvasida paling potensial

adalah limonin. Kandungan senyawa limonoida paling tinggi pada

tanaman jeruk didapatkan pada bagian biji yaitu 927 µg/100 mg, pada

bagian daun tanaman adalah 36,6 µg/100 mg, pada bagian kulit 2,5 µg/100

mg, dan yang paling sedikit pada buah yaitu hanya 0,7 µg/100 mg.

Limonoid adalah salah satu jenis senyawa yang bersifat racun. Limonoid

dinyatakan sebagai modifikasi triterpenes, yang mempunyai 4,4,8

trimethyl-17 furanyl steroid. Susunan sub grup dan struktur ikatan itu

mempengaruhi karakteristik sifat dasar yang dibentuk selama pertumbuhan

pada produk tanaman yang menghasilkannya. Rumus molekul limonin

(32)

Sifat dasar limonoid mencakup: kegunaannya sebagai insektisida,

regulasi pertumbuhan insek, insek antifidan dan pengaruh medis terhadap

binatang dan manusia seperti antibakteri, viral dan antifungi (Utariningsih

dan Purawanti, 2010). Berpotensi sebagai antifidan terhadap serangga, zat

pengatur tumbuh dan zat toksik pada kutu beras, larvasida, anti mikroba,

penolak serangga (repellent) dan penghambat reproduksi (Utariningsih dan

Purwanti, 2010 cit Jiaxing, 2001). Senyawa limonoida merupakan analog

hormon juvenille pada serangga yang berfungsi sebagai pengatur

pertumbuhan kutikula larva (Ruberto, 2002).

Sebagai racun perut, limonoid dapat masuk ke dalam tubuh larva

Aedes aegypti melalui sistem pencernaan dan menyebabkan mekanisme

penghambatan makan (Mendel et al., 1991; Ruberto et al., 2002;

Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Jiaxing, 2001). Saraf pusat pada larva

Aedes aegypti terdiri dari sepasang rantai saraf yang terdapat di sepanjang

tubuh bagian ventral. Pada tiap segmen terjadi suatu pengumpulan saraf

yang disebut ganglion. Limonoid dapat menyebar ke jaringan saraf dan

(33)

Selain itu limonoid dapat masuk ke dalam tubuh larva Aedes

aegypti melalui kulit atau dinding tubuh dengan cara osmosis karena kulit

atau dinding tubuh larva bersifat permeable terhadap senyawa yang

dilewati. Limonoid tersebut akan masuk ke sel-sel epidermis yang selalu

mengalami pembelahan dalam proses pergantian kulit, sehingga sel-sel

epidermis mengalami kelumpuhan (paralisis) dan akhirnya mati

(Utariningsih dan Purwanti, 2010 cit Sastrodiarjo, 1984).

7. Sitronela

Senyawa sitronela yang terdapat dalam minyak atsiri mempunyai

sifat racun dehidrasi (desiccant). Racun tersebut merupakan racun kontak

yang dapat masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit, celah atau

lubang alami pada tubuh atau langsung mengenai mulut serangga serta

dapat menyebabkan kematian larva Aedes aegypti karena kehilangan

cairan terus-menerus (Aryanto, 2008 cit Abidillah, 2007). Mekanisme

kerja sitronela menghambat enzim asetilkolinesterase dengan melakukan

fosforilasi asam amino serin pada pusat asteratik enzim yang

bersangkutan. Gejala keracunannya, karena adanya penimbunan

asetilkolin yang menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf pusat,

kejang, kelumpuhan pernafasan dan kematian (Yanur et al., 2007 cit

Mutchler, 1991). Rumus molekul sitronela adalah C10H18O dengan

(34)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

berpengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In vitro. Air perasan kulit jeruk manis

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium,

yaitu penelitian dengan memberikan perlakuan atau manipulasi kepada subjek

penelitiannya dan observasi dilakukan untuk membuktikan adanya efek dari

perlakuan yang dilakukan di laboratorium (Murti, 2006).

B. Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa

Tengah. Penelitian dilakukan pada tanggal 15-17 Juni 2010.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium

sub spesies sinensis) yang digunakan sebagai larvasida terhadap Aedes aegypti

instar III.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel larva Aedes aegypti dilakukan secara Simple

Random Sampling (SRS) yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan

cara sedemikian rupa sehingga setiap anggota sampel memiliki kesempatan

yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Taufiqqurahman, 2003). Besar

(36)
(37)

P2 : perlakuan 2 dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk

manis 1%

P3 : perlakuan 3 dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk

manis 1,5%

P4 : perlakuan 4 dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk

manis 2%

P5 : perlakuan 5 dengan konsentrasi air perasan kulit jeruk

manis 2,5%

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang

menyebabkan berubahnya nilai dari variabel terikat dan merupakan

variabel pengaruh yang paling diutamakan. Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub

spesies sinensis).

2. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang diduga nilainya akan berubah

karena adanya pengaruh dari variabel bebas. Variabel terikat dalam

penelitian ini adalah jumlah kematian larva Aedes aegypti instar III.

3. Variabel kendali

Variabel kendali adalah variabel yang diduga berpengaruh terhadap

variabel terikat, tetapi dalam penelitian ini diupayakan agar mempunyai

pengaruh sama terhadap variabel terikat. Variabel kendali dalam penelitian

(38)

a. Stadium larva : instar III

b. Media hidup, dikendalikan dengan menggunakan air dari tempat dan

waktu yang sama. Gelas plastik yang digunakan terbuat dari bahan dan

ukuran yang sama.

c. Kepadatan larva, dikendalikan dengan menyamakan jumlah larva

dalam satuan volume air tiap kelompok uji.

d. Lama pemaparan : selama 24 jam.

e. Makanan larva : selama penelitian, pada semua kelompok uji tidak

diberikan bahan makanan.

4. Variabel pengganggu

Variabel pengganggu adalah variabel pengaruh yang tidak termasuk

kelompok variabel bebas dan variabel kendali yang juga berpengaruh

terhadap variabel terikat tetapi dalam penelitian ini tidak dapat

dikendalikan. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah kesehatan

larva Aedes aegypti instar III.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

Air perasan adalah larutan dalam air dan memiliki seluruh bahan

yang terkandung dalam tumbuhan segarnya, sebanding dengan material

awalnya, yang tetap tinggal hanyalah bahan yang tidak terlarut

(39)

dilakukan dengan maksud agar larutan yang diperas dapat terpisahkan

dari bahan padat pengotor. Cairan yang diperoleh melalui cara perasan

umumnya dibebaskan dari partikel-partikel kecil pengotor melalui cara

penyaringan. 100 gr kulit jeruk manis yang sudah dibersihkan dan diiris

kecil dilarutkan dengan 100 ml aquades, diblender dan diperas. Hasil

tersebut dianggap sebagai konsentrasi 100%. Skala pengukuran yang

digunakan adalah skala interval.

2. Jumlah kematian larva

Jumlah kematian larva adalah jumlah larva yang mati dalam setiap

kelompok uji, skala variabel rasio.

Kematian larva, larva dianggap mati apabila :

a. Larva diberi rangsangan gerakan air tidak ada respon gerakan.

b. Larva disentuh dengan lidi tidak ada respon gerakan.

3. Tingkat kematian larva

Tingkat kematian larva adalah jumlah larva uji yang masuk dalam

kriteria mati.

H. Alat dan Bahan Penelitian

1. Instrumen penelitian

a. Pisau

b. Blender merk Miyako

(40)

d. Timbangan jarum merk Camry

e. Gelas plastik ukuran 240 ml

f. Gelas ukur 100 ml

g. Pipet ukur 10 ml

h. Pipet tetes 5 ml

2. Bahan penelitian

a. Larva Aedes aegypti instar III

b. Kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

c. Air keran

d. Aquades

I. Cara kerja

1. Tahap pembuatan air perasan kulit jeruk manis

a. 100 gr kulit jeruk manis dicuci bersih dengan air mengalir untuk

menghilangkan kotoran yang menempel dan diangin-anginkan

b. Kulit tersebut kemudian diiris kecil-kecil untuk mempermudah dalam

memperoleh hasil perasan.

c. Irisan itu dilarutkan dengan 100 ml aquades dan dilumatkan dengan

blender

d. Hasil blenderan diperas dan disaring dengan saringan plastik yang dilapisi

kain, kemudian berikutnya dengan kertas saring

2. Tahap uji pendahuluan

a. Ditentukan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis yang akan digunakan.

(41)

mengacu pada penelitian tentang toksisitas ekstrak kulit jeruk manis

sebagai larvasida nabati pembasmi larva nyamuk Aedes aegypti.

b. Air perasan kulit jeruk manis diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan

ke dalam gelas ukur. Volume air perasan kulit jeruk manis yang diambil

dihitung dengan rumus pengenceran sebagai berikut :

(Kitti, 1996 dalam Wijaya, 2009)

Keterangan :

V1 : Volume larutan mula-mula

M1 : Konsentrasi larutan mula-mula

V2 : Volume larutan sesudah diencerkan

M2 : Konsentrasi larutan sesudah diencerkan

Tabel 1 : Komposisi air perasan kulit jeruk manis dan air keran pada

konsentrasi 0%, 1%, 2%, 3%, 4% dan 5%.

Konsentrasi (%) Komposisi

Air perasan kulit

(42)

d. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase kematian larva

pada jam ke-24.

3. Tahap uji penelitian

a. Ditentukan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis yang akan digunakan

setelah dilakukan uji pendahuluan.

b. Air perasan kulit jeruk manis diambil dengan pipet ukur lalu dimasukkan

ke dalam gelas ukur. Volume air perasan kulit jeruk manis yang diambil

dihitung dengan rumus :

(Kitti, 1996 dalam Wijaya, 2009)

Keterangan :

V1 : Volume larutan mula-mula

M1 : Konsentrasi larutan mula-mula

V2 : Volume larutan sesudah diencerkan

M2 : Konsentrasi larutan sesudah diencerkan

c. Setiap konsentrasi dilakukan 5 kali ulangan dengan mengacu pada rumus

Federer :

(t - 1) (r - 1) ≥ 15

(5 – 1) (r – 1) ≥ 15

4r – 4 ≥ 15

r ≥ 4,6 Æ 5 x ulangan

di mana t : jumlah perlakuan

r : jumlah pengulangan

(43)

15 : konstanta (bilangan tetap)

d. Dibuat kontrol positif sebagai pembanding dengan Abate, yaitu Abate 1

mg dicampurkan ke dalam 100 ml air dengan pengulangan 5 kali.

e. Jumlah larva yang mati dihitung pada jam ke-24 jam setelah perlakuan

diberikan (Wijaya, 2009 cit Calvacanti et al., 2004).

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis secara statistik

menggunakan :

1. Uji Analisis Regresi Linier

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara jumlah kematian

larva dengan air perasan kulit jeruk manis.

2. Analisis Probit

Untuk mengetahui daya bunuh air perasan kulit jeruk manis terhadap

larva Aedes aegypti instar III yang dinyatakan dalam Lethal Concentration

(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Uji pendahuluan

Setelah dilaksanakan uji pendahuluan pada tanggal 15-16 Juni 2010

selama 24 jam, diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 2 : Jumlah Kematian Larva Aedes aegypti pada Berbagai

Konsentrasi Air Perasan Kulit Jeruk Manis setelah 24 Jam

Perlakuan.

Hasil uji pendahuluan, sebagaimana tercantum dalam tabel 2,

selanjutnya dilakukan analisis probit, didapatkan LC50 pada konsentrasi

1,038 % dengan interval antara 0,723 % dan 1,278 % . Sedangkan LC99

(45)

Hasil ini yang mendasari penentuan konsentrasi percobaan sesungguhnya.

Kisaran konsentrasi yang akan digunakan untuk uji sesungguhnya dengan

menggunakan deret hitung sebanyak 6 konsentrasi yaitu 0% (kontrol),

0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%. Pada uji sesungguhnya dilakukan ulangan

sebanyak 5 kali dengan jumlah larva pada masing-masing perlakuan

sebanyak 25 ekor sehingga jumlah larva yang dibutuhkan adalah 750 ekor.

2. Uji penelitian

Penelitian yang telah dilakukan pada tangal 16-17 Juni 2010 di

Laboratorium Balai Besar penelitian dan Pengembangan Vektor dan

Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 3 : Jumlah Kematian Larva Aedes aegypti pada Berbagai

Konsentrasi Air Perasan Kulit Jeruk Manis setelah 24 Jam

Perlakuan.

pada ulangan ke- (ekor)

(46)

Berdasarkan data pada tabel 3 dapat diketahui bahwa pada kelompok

kontrol tidak ditemukan adanya kematian larva pada semua ulangan. Pada

kelompok perlakuan rata-rata kematian larva terendah terdapat pada

konsentrasi 0,5 % yaitu 19,2 % sedangkan rata-rata kematian larva

tertinggi terdapat pada konsentrasi 2,5 % yaitu 93,6 %. Selain itu dapat

diketahui bahwa jumlah kematian larva meningkat seiring dengan

peningkatan konsentrasi. Berdasarkan jumlah kematian larva pada setiap

perlakuan dapat dibuat grafik jumlah kematian larva yang dapat dilihat

pada grafik berikut.

Grafik 1. Grafik Jumlah Kematian Larva Aedes aegypti pada Berbagai

Konsentrasi setelah 24 Jam Perlakuan.

Berdasarkan grafik 1 dapat diketahui bahwa semakin tinggi

konsentrasi maka semakin tinggi pula persentase kematian larva Aedes

(47)

larva sebesar 100%, tetapi penelitian ini masih dapat diterima karena

menurut Purwanto et al. (1997) larvasida dinyatakan efektif bila memiliki

daya bunuh antara 50-100%.

Garis regresi linier untuk menggambarkan hubungan antara

konsentrasi air perasan kulit jeruk manis dengan kematian larva Aedes

aegypti dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Garis Regresi Linier Antara Konsentrasi Air Perasan Kulit

Jeruk Manis dengan Kematian Larva Aedes aegypti instar III.

Pada gambar 2, garis regresi linier dengan persamaan y = 0,790 +

10,274x menggambarkan hubungan antara konsentrasi air perasan kulit

jeruk manis dengan kematian larva Aedes aegypti instar III. Semakin tegak

garis regresi berarti dengan penambahan konsentrasi sedikit saja akan

(48)

Tabel 4 : Jumlah Kematian Larva Aedes aegypti pada Larutan Abate 1 mg

dalam 100 ml Air setelah 24 Jam Perlakuan

Konsentrasi Jumlah

Larva

Uji

(ekor)

Jumlah Kematian Larva pada Ulangan

ke- (ekor)

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa Abate 1 mg dalam 100

ml air dapat membunuh larva Aedes aegypti dengan efektivitas 100%.

B. Analisis Data

1. Uji analisis regresi linier

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi linier untuk

mencari hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Model

regresi linier sederhana dari populasi adalah :

Dengan

X adalah variabel bebas

Y adalah variabel terikat

β0 adalah intercept

β1adalah slope

(Suharjo, 2008)

(49)

Dari hasil analisis regresi linier didapatkan hasil bahwa terdapat

hubungan antara jumlah kematian larva Aedes aegypti instar III dan air

perasan kulit jeruk manis. Model persamaan regresi linier yang didapatkan

adalah y = 0,790 + 10,274 x.

Tabel 5 : Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana

Coefficientsa

a. Dependent Variable: mort

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 461.829 1 461.829 57.649 .002a

Residual 32.044 4 8.011

Total 493.873 5

a. Predictors: (Constant), conc

b. Dependent Variable: mort

Kualitas persamaan hasil analisis regresi linier tersebut dapat dinilai

dengan melihat hasil uji ANOVA dan Model Summary. Tampak bahwa Model Summary

(50)

nilai R Square model sebesar 0,935. Artinya bahwa variabel bebas

konsentrasi air perasan dapat menjelaskan variabel terikat jumlah kematian

larva secara linier sebesar 93,5%. Atau ada sebesar 6,5% yang tidak dapat

dijelaskan secara linier oleh konsentrasi air perasan. Dengan demikian

maka variabel konsentrasi merupakan variabel yang sangat baik untuk

menjelaskan variabel jumlah kematian larva. Semakin mendekati 100%

maka persamaan yang diperoleh semakin baik. Pada hasil uji anova

tersebut menunjukkan bahwa nilai F hitung sebesar 57,649 dengan taraf

signifikansi sebesar 0,002. Nilai ini kemudian dibandingkan dengan nilai F

tabel yang dihitung pada derajat bebas pembilang (df pembilang) sebesar 1

dan derajat bebas penyebut (df penyebut) sebesar 4 pada sebesar 0,05 yang

nilainya adalah 7,71. Tampak sangat jelas bahwa nilai F hitung = 57,649

lebih besar dari pada F tabel sebesar 7,71. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa model yang dihasilkan adalah baik dan variabel jumlah kematian

larva dapat dijelaskan secara bersama oleh variabel konsentrasi air perasan

dan intercept-nya. Kemudian, makna yang dapat diambil adalah bahwa

jumlah larva yang mati bila konsentrasinya 0% maka larva yang mati

mencapai 0,790. Sedangkan penambahan konsentrasi air perasan akan

berpengaruh terhadap jumlah kematian larva dengan laju perubahan

jumlah sebesar 10,274 setiap penambahan konsentrasi air perasan sebesar

(51)

2. Analisis probit

Data dari penelitian dianalisis Probit dengan program SPSS 16.0 for

Windows dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan LC50 pada

konsentrasi 0,946 % dengan interval antara 0,763 % dan 1,117 %.

Sedangkan LC99 pada konsentrasi 4,064 % dengan interval antara 2,933 %

dan 7,333 %. Hasil analisis Probit selengkapnya dapat dilihat pada

(52)

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan rata-rata

kematian larva Aedes aegypti seiring dengan peningkatan konsentrasi air perasan

kulit jeruk manis. Hal ini sesuai dengan pendapat Adam (2005) yang menyatakan

bahwa semakin tinggi konsentrasi larvasida yang digunakan maka semakin tinggi

pula rata-rata kematian larva Aedes aegypti. Dengan demikian dapat diasumsikan

bahwa kematian pada larva uji disebabkan karena kandungan senyawa kimia

dalam air perasan kulit jeruk manis. Menurut komisi pestisida (1995), kriteria

pengujian insektisida yang diuji berdasarkan kematian dalam suatu periode, harus

mencapai paling sedikit 90% dalam waktu 24 jam. Hasil uji penelitian pada tabel

3 didapatkan persentase kematian tertinggi adalah 93,6% dengan konsentrasi 2,5%

sehingga hasil tersebut masih memenuhi kriteria pengujian.

Analisis probit digunakan untuk mengetahui daya bunuh air perasan kulit

jeruk manis terhadap kematian larva Aedes aegypti yang dinyatakan dengan LC

(Lethal Concentration). Pada penelitian ini dipilih istilah LC dan tidak LD atau

Lethal Dose karena sulit untuk menentukan dosis (jumlah air perasan kulit jeruk

manis yang masuk ke dalam tubuh larva) sehingga dipilih LC yang secara tepat

menggambarkan konsentrasi air perasan kulit jeruk manis pada media percobaan

(Matsumura, 1975).

LC50 adalah estimasi besar konsentrasi air perasan kulit jeruk manis yang

(53)

%. Pada penelitian lain terhadap larva Aedes aegypti dengan menggunakan

ekstrak kulit jeruk manis didapatkan LD50 sebesar 0,55%, pada penelitian dengan

air perasan buah belimbing wuluh didapatkan hasil LC50 sebesar 1,580% dan

dengan air perasan buah mengkudu didapatkan hasil LC50 sebesar 13,218%.

Semakin rendah nilai LC50 suatu zat berarti zat tersebut mempunyai aktivitas yang

lebih tinggi dalam membunuh hewan coba. Karena dengan zat tersebut perlu

konsentrasi yang lebih rendah untuk mematikan hewan coba dalam waktu yang

sama (Chang, 2004). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa air perasan kulit

jeruk manis mempunyai aktivitas larvasida yang lebih rendah dibandingkan

dengan ekstrak kulit jeruk manis tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan air

perasan buah mengkudu maupun buah belimbing wuluh.

Estimasi besar LC99 air perasan kulit jeruk manis terhadap larva Aedes

aegypti didapatkan pada konsentrasi 4,064%. Sedangkan LD100 dari ekstrak kulit

jeruk manis sebesar 1,1%, LC99 air perasan buah belimbing wuluh 5,502% dan air

perasan buah mengkudu 25,751%. Dengan demikian, air perasan kulit jeruk manis

mempunyai aktivitas larvasida yang lebih rendah dari ekstrak kulit jeruk manis

tetapi lebih tinggi dari air perasan buah belimbing wuluh maupun buah

mengkudu.

Estimasi konsentrasi larvasida yang diperlukan untuk mendapatkan probabilitas

0,99 untuk membunuh seekor serangga (LC99) sangat penting karena

menggunakan dosis yang lebih besar dari nilai estimasi ini dapat berbahaya bagi

lingkungan, kehidupan binatang lain dan kehidupan manusia. Sedangkan

(54)

mungkin akan berakibat adanya resistensi terhadap insektisida tersebut (Wijaya,

2009 cit Payton et al., 2003).

Menurut data pada tabel 4 dapat disimpulkan bahwa untuk membunuh

larva Aedes aegypti sebesar 100% diperlukan abate sejumlah 1mg dalam 100 ml

air sedangkan untuk air perasan kulit jeruk manis dibutuhkan sebesar 4,064 ml

dalam 100 ml air. Dengan kata lain, abate memiliki efektivitas yang lebih tinggi

dalam membunuh larva Aedes aegypti. Namun, bukan berarti air perasan kulit

jeruk manis lebih buruk secara keseluruhan karena air perasan kulit jeruk manis

memiliki kebaikan-kebaikan tersendiri dalam penggunaannya, yaitu tidak

mencemari lingkungan karena mudah diuraikan oleh alam dan tidak mudah

menimbulkan resistensi pada larva. Selain itu, dari data tabel 4 juga dapat

disimpulkan bahwa larva yang digunakan dalam penelitian ini belum resisten

(55)

BAB VI

SIMPULAN DAN HASIL

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa

air perasan kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis)

berpengaruh terhadap tingkat kematian larva Aedes aegypti instar III In vitro

dengan LC50 sebesar 0,946% dan LC99 sebesar 4,064%.

B. SARAN

Mengingat keterbatasan dalam penelitian ini maka peneliti ingin

menyarankan sebagai berikut :

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang berapa lama efek air perasan

kulit jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) dalam

membunuh larva Aedes aegypti.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang efek toksik air perasan kulit

jeruk manis (Citrus aurantium sub spesies sinensis) terhadap

binatang-binatang dengan tingkatan yang lebih tinggi.

3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang zat dalam air perasan kulit jeruk

Gambar

Tabel 2. Jumlah kematian larva Aedes aegypti setelah diuji dengan air perasan
Gambar 2. Garis Regresi Linier antara Konsentrasi Air Perasan Kulit Jeruk
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 1 : Komposisi air perasan kulit jeruk manis dan air keran pada
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu solusi untuk meningkatkan ketelitian dan kewaspadaan dalam proses belajar adalah penggunaan aromaterapi minyak esensial kulit jeruk manis (Citrus

AKTIVITAS ANTIDIABETES MELITUS EKSTRAK KULIT BUAH JERUK MANIS (Citrus sinensis) DAN KULIT BUAH KELENGKENG (Euphoria longan (Lour.) Steud) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR

Pada penelitian ini ekstrak daun tiga jenis jeruk, yaitu jeruk purut ( Citrus hystrix ), jeruk limau ( Citrus amblycarpa ), dan jeruk bali ( Citrus maxima ) diujikan terhadap larva

Pada penelitian ini ekstrak daun tiga jenis jeruk, yaitu jeruk purut ( Citrus hystrix ), jeruk limau ( Citrus amblycarpa ), dan jeruk bali ( Citrus maxima ) diujikan terhadap larva

Maka dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari minyak kulit buah jeruk manis (Citrus sinensis Osb.) dan minyak kulit batang kayu manis (Cinnamomum burmanni Nees ex BI)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Efektivitas Perendaman Larutan Gula Terhadap Mutu Manisan Basah Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis L)

Skripsi yang berjudul, “Uji Efektifitas Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Manis ( Citrus sinensis ) Sebagai Tabir Surya Secara Spektrofotometer UV-Vis” yang disusun oleh Fatma

Pembuatan Lilin Aromaterapi dari Minyak Atsiri Kulit Jeruk Manis (Citrus sinensis) terdapat 2 sampel yaitu lilin dengan tambahan minyak atsiri 3 mL untuk sampel 1 dan 5 mL sampel