• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Diabetes Melitus Tipe 2 a. Definisi dan Klasifikasi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (Gustaviani, 2007). Menurut Guyton dan Hall (2008), terdapat dua tipe utama DM:

1) Diabetes tipe 1, yang juga disebut diabetes melitus tergantung insulin (IDDM), disebabkan kurangnya sekresi insulin.

2) Diabetes tipe 2, yang juga disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas terhadap insulin ini seringkali disebut sebagai resistensi insulin.

Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95 % dari keseluruhan populasi diabetes, umumnya di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini

commit to user

penderita DM tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005).

b. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko untuk DM, terutama tipe 2, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Faktor Risiko DM Tipe 2 Riwayat Diabetes dalam keluarga

Diabetes gestasional

Melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome)

IFG (Impaired Fasting Glucose) atau IGT (Impaired Glucose Tollerance)

Obesitas > 120 % berat badan ideal Umur 20-59 tahun : 8,7 %

> 65 tahun : 18 %

\ > 140/90 mmHg

Hiperlipidemia Kadar HDL rendah < 35 mg/dl Kadar lipid darah tinggi > 250 mg/dl Faktor-faktor

lain

Kurang olah raga

Pola makan rendah serat

(Depkes, 2005) c. Gejala Klinik

Penderita DM tipe 2 mungkin tidak merasakan gejala selama beberapa tahun bahkan beberapa dekade sebelum penderita didiagnosis. Gejalanya hampir tidak kentara (Kishore, 2008). Menurut Depkes (2005) gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain, poliuria (sering buang air kecil),

commit to user

polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar).

Selain itu, sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Penderita DM tipe 2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan saraf (Depkes, 2005). Akhirnya, penderita merasa sangat kelelahan, pandangan menjadi kabur, dan bisa terjadi dehidrasi (Kishore, 2008).

d. Patogenesis

DM tipe 2 dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan kadar gula darah dan merangsang peningkatan sekresi insulin sebagai upaya kompensasi (Guyton dan Hall, 2008).

commit to user

Sebenarnya, hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali bila hebat sekali sehingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Yang berbahaya ialah glikosuria yang timbul, karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis sangat meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada pasien DM yang tidak diobati. Karena ada dehidrasi, maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa kelenjar itu (Suherman, 2008).

e. Diagnosis

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena (Gustaviani, 2007).

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM,

commit to user

hasil pemeriksaan darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk mendiagnosis DM. Diperlukan konfirmasi dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang abnormal tinggi (> 200 mg/dl) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang abnormal tinggi (> 126 mg/dl), atau hasil uji toleransi glukosa oral didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan > 200 mg/dl (Gustaviani, 2007).

Tabel 2. Kriteria Penegakan Diagnosis DM

Glukosa Plasma Puasa

Glukosa Plasma 2 jam setelah makan

Normal < 100 mg/dl < 140 mg/dl

Pra-diabetes IFG atau IGT

100-125 mg/dl -- -- 140-199 mg/dl Diabetes > 126 mg/dl > 200 mg/dl (Depkes, 2005) f. Penatalaksanaan

Menurut Depkes (2005), penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir menurunkan morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai dua target utama, yaitu: 1) Menjaga kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal 2) Mencegah atau meminimalkan terjadinya komplikasi diabetes

Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan nonfarmakologis, yaitu berupa

commit to user

perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obes. Bila dengan langkah tersebut sasaran pengendalian diabetes belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis (Soegondo, 2007). Langkah farmakologis ini dapat berupa terapi insulin, terapi hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005).

g. Komplikasi

Menurut Schteingart (2006), komplikasi-komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu:

1) Komplikasi metabolik akut, meliputi ketoasidosis diabetik (DKA), hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik, dan hipoglikemia.

2) Komplikasi vaskular jangka panjang, meliputi mikroangiopati dan makroangiopati.

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada DM tipe 1. Komplikasi mikrovaskular ini antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Sedangkan, tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer. Walaupun komplikasi makrovaskular dapat terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang

commit to user

umumnya menderita hipertensi, dislipidemia, dan atau kegemukan (Depkes, 2005).

2. Stroke

a. Definisi dan Klasifikasi

Stroke adalah suatu defisit neurologik yang terjadi secara tiba-tiba, dapat setempat atau global, akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah yang mensuplai otak dalam waktu lebih dari 24 jam (Teramihardja, 2007). Pembagian klinisnya adalah:

1) Stroke non-hemoragik yang mencakup:

a) TIA

b) Stroke in evolution

c) Thrombotic stroke disebabkan oleh thrombosis otak, paling

sering diperberat oleh plak aterosklerosis. Onset gejala bervariasi, mulai dari beberapa menit sampai beberapa hari

d) Embolic stroke disebabkan oleh embolisme otak. Onset

gejala biasanya mendadak, mencerminkan hilangnya aliran darah secara mendadak pada daerah arteri yang tersumbat.

e) Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses di luar

arteri, seperti tumor, abses, dan granuloma

2) Stroke hemoragik

commit to user b. Faktor Risiko

Menurut Syamsuddin (2009) dan Japardi (2002), terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami stroke, antara lain riwayat keluarga, bertambahnya usia, jenis kelamin pria, ras berkulit hitam lebih rentan stroke, hipertensi, peningkatan kadar kolesterol LDL dan fibrinogen plasma, merokok, diabetes, obesitas, penyakit jantung, riwayat stroke atau TIA, kadar homosistein meningkat, dan faktor risiko lain, seperti peminum alkohol, penggunaan obat terlarang seperti kokain, serta stres yang tidak terkontrol.

Pasien diabetes mempunyai risiko 1,5-4 kali lebih besar terserang stroke dibandingkan dengan populasi umum. Hiperglikemia kronik yang dipantau melalui peningkatan HbA1c

berhubungan dengan peningkatan risiko stroke. Selain itu, hipertensi, hiperglikemia, sindrom metabolik, hiperurisemia, dan proteinuria juga dilaporkan sebagai prediktor stroke pada pasien DM (Sander et al., 2008).

c. Gejala Klinik

1) Kelemahan/kelumpuhan sebelah anggota badan 2) Gangguan sensorik

3) Gangguan bicara (afasia/disartria) 4) Gangguan penglihatan

commit to user d. Patogenesis

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan system vertebrobasiler atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20 menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya sendiri dapat berupa:

1) Keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan.

2) Berkurangnya perfusi sebagai akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah.

3) Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.

4) Ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid. (Hartwig, 2006)

commit to user

Kebanyakan kasus stroke disebabkan oleh plak aterosklerotik yang terjadi pada satu atau lebih arteri yang memberi makanan ke otak. Plak dapat mengaktifkan mekanisme pembekuan darah yang menghasilkan bekuan darah dan menghambat aliran darah di arteri, sehingga akan menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut pada area yang terlokalisasi. Efek neurologis stroke ditentukan oleh area otak yang terpengaruh (Guyton dan Hall, 2007).

Penyakit serebrovaskuler menyebabkan 20 % dari seluruh kematian pada diabetes. Terdapat perbedaan stroke yang dialami pasien dengan diabetes dan tanpa diabetes. Pasien diabetes lebih sering mengalami stroke iskemik dan adanya peningkatan proporsi stroke lacunar yang tidak tampak secara klinis. Selain itu, infark intratentorial lebih sering pada diabetes (Sander et al., 2008). e. Diagnosis

Menurut Rubenstein et al. (2007), berikut ini langkah diagnosis untuk stroke:

1) Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pasti Perbedaan antara perdarahan dan infark serebral memerlukan

CT Scan atau MRI. Pada CT adanya daerah hipodens tampak

beberapa jam setelah infark serebri, sedangkan setelah perdarahan langsung timbul daerah hiperdens. MRI lebih sensitif mendeteksi stroke iskemik, namun lebih mahal, lama, dan memerlukan kerjasama pasien.

commit to user

2) Pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi

a) Pemeriksaan darah lengkap, LED, pembekuan, dan skrining trombofilia, ureum, dan elektrolit, glukosa, dan lipid

b) EKG dan enzim jantung c) Rontgen toraks

d) CT/MRI kepala

e) Ekokardiografi mendeteksi sumber emboli dari jantung f) Pencitraan duplex arteri karotis ekstrakranial dan arteri

vertebra f. Penatalaksanaan

Menurut Teramihardja (2007), stroke pada fase akut ditangani oleh bagian neurologi, sedangkan untuk fase subakut dan kronik diperlukan usaha-usaha rehabilitasi medik.

Manajemen glukosa sangat diperlukan dan harus segera diturunkan hingga level aman dalam penanganan stroke fase akut pada pasien diabetes. Ini berarti kadar glukosa darah sekitar 120-140 mg/dl. Penggunaan insulin taraf awal sangat disetujui. Mengandalkan turunnya glukosa lewat pengendalian makanan padahal kadarnya melebihi 200 mg/dl akan mengundang perluasan infark dengan cepat (Budiarto, 2011).

Menurut Budiarto (2011), sebagai pedoman sasaran terapi pasien pasca stroke dengan diabetes dapat diusahakan supaya:

commit to user 2) Berat badan diturunkan hingga ideal

3) Hipertensi diobati dengan ACE-inhibitor atau angiotensin II reseptor antagonis

4) Dislipidemia diobati dengan statin

5) Semua pasien diberikan aspirin dosis rendah

6) Metformin diberikan untuk pasien yang gemuk, kecuali terdapat kontraindikasi

7) Perubahan dosis dan macam insulin disesuaikan secara individual oleh dokter

3. Asam Urat a. Definisi

Asam urat adalah produk akhir katabolisme purin pada primata (Dorland, 2002). Asam urat merupakan asam lemah yang terdapat di dalam cairan tubuh. Asam urat ini diekskresikan tubuh dalam bentuk urin. Urin pada pH 5 hanya dapat melarutkan sekitar sepersepuluh total urat (15 mg/dl) yang dapat dilarutkan oleh urin pada pH 7 (150-200 mg/dl) dan pada pH urin yang normal secara khas berada di bawah 5,8. Dengan demikian, kristal saluran kemih berupa natrium urat ditemukan di sebelah proksimal lokasi asidifikasi urin (tubulus distal dan duktus koligentes), dan kristal asam urat ditemukan di sebelah distal (Rodwell et al., 2003).

commit to user b. Pembentukan

Asam urat pada manusia dibentuk sebagai hasil katabolisme purin (salah satu unsur protein) yang menyusun material genetik. Pada mamalia yang bukan primata, enzim urikase akan memecah asam urat dengan membentuk produk akhir alantoin yang bersifat sangat larut dalam air. Namun demikian, karena manusia tidak memiliki enzim urikase, maka produk akhir katabolisme purin pada manusia adalah asam urat (Rodwell et al., 2003).

Manusia mengubah nukleosida purin yang utama, yaitu adenosin dan guanin menjadi produk akhir asam urat yang diekskresikan keluar. Adenosin pertama mengalami deaminasi menjadi inosin oleh enzim adenosin deaminase. Fosforolisis ikatan N-glikosidat inosin dan guanosin, yang dikatalisasi oleh enzim nukleosida purin fosforilase, akan melepas senyawa ribose 1-fosfat dan basa purin. Hipoxantin dan guanin selanjutnya membentuk xantin dalam reaksi yang dikatalisasi oleh enzim xantin oksidase dan guanase. Kemudian xantin teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalisasi oleh enzim xantin oksidase (Rodwell et al., 2003).

Enzim xantin oksidase tersebar luas dan terdapat di dalam susu, usus halus, ginjal, serta hati (Mayes, 2003a). Salah satu sumber spesies reaktif adalah xantin oksidase, yang menghasilkan superoksida (misal selama cedera reperfusi pada organ iskemik)

commit to user

dan siklooksigenase serta lipooksigenase yang menghasilkan radikal hidroksil serta peroksil (Mayes, 2003b). Secara ringkas, pembentukan asam urat digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Pembentukan Asam Urat (Widodo, 2008)

Asam urat (dimakan dalam bentuk nukleoprotein)

Enzim proteolitik di usus

Nuklease (DNase & RNase) di getah pankreas

Asam nukleat

Polinukleotidase = fosfoesterase di usus

Nukleotida

Mononukleotida

Nukleotidase & fosfatase

Nukleosida Fosforilase di usus Basa pirimidin Basa purin Adenosin Guanin Adenosin deaminase Inosin Deaminase Guanin Nukleosidase Hipoxantin Oksidase Xantin Xantin Xantin Oksidase

Asam Urat (Absorbsi di usus) Ekskresi sebagai asam urat di urin

commit to user c. Nilai normal

Nilai rujukan kadar asam urat nomal dalam darah adalah 3-7 mg/dl, tetapi kadar normal setiap laboratorium dapat bervariasi (Dugdale, 2009). Sedangkan nilai rujukan kadar asam urat normal pada urin adalah 250-750 mg/24 jam (Lelyana, 2008).

d. Ekskresi

Ekskresi netto asam urat total pada manusia normal adalah 400-600 mg/24 jam. Banyak senyawa yang secara alami terdapat di alam dan senyawa farmakologik mempengaruhi absorbsi serta sekresi natrium urat pada ginjal (Rodwell et al., 2003).

Pada suhu dan pH normal, asam urat berada dalam bentuk ion urat di dalam darah dan plasma, serta mengalami eliminasi di ginjal. Kurang dari sepertiganya mengalami degradasi enzimatik oleh bakteri colon. Glomerulus ginjal menyaring asam urat sebelum melalui tubulus proximal, kemudian dilanjutkan dengan reabsorpsi dan sekresi. Kebanyakan urat direabsorpsi sehingga hanya 10 % yang diekskresikan ke dalam urin (Pearson, 2006).

Alkohol mempengaruhi baik produksi maupun eliminasi asam urat. Alkohol mengandung kalori yang besar yang dapat menyebabkan obesitas, guanosin pada beberapa bir dikonversikan menjadi asam urat oleh bakteri usus dan konsumsi dalam jumlah yang besar akan meningkatkan produksi urat melalui penambahan kecepatan pemecahan ATP di liver. Alkohol juga menyebabkan

commit to user

dehidrasi yang menyebabkan peningkatan asam urat (Pearson, 2006).

e. Gangguan Metabolisme Asam Urat

Nilai kadar asam urat serum pada manusia ditentukan oleh keseimbangan antara intake purin, produksi urat, serta eliminasinya oleh ginjal maupun ekstrarenal (Heinig dan Richard, 2006).

Gangguan metabolisme asam urat dapat berupa: 1) Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme asam urat, penurunan pengeluarannya di urin, atau gabungan keduanya (Putra, 2007).

Hiperurisemia sebagai prediktor kuat dari berkembangnya komplikasi serebrovaskuler pada pasien DM tipe 2 (Mahmood, 2007). Kegagalan pengaturan asam urat dapat menyebabkan arthritis, batu ginjal, blok tubulus ginjal oleh kristal urat, serta gagal ginjal (Akram et al., 2011). Hiperurisemia juga diduga menjadi faktor risiko hipertensi, aterosklerosis, dan penyakit jantung koroner (Hidayat, 2009).

2) Hipourisemia

Hipourisemia merupakan defisiensi asam urat dalam darah, bersama dengan xanthinuria, disebabkan oleh defisiensi xanthin oksidase (Dorland, 2002).

commit to user

4. Hubungan Asam Urat dengan Stroke pada DM tipe 2

Hiperglikemia mempunyai peran penting dalam pathogenesis komplikasi vaskuler pada pasien diabetes (Agosti et al., 2008). Hiperglikemia kronis pada penderita DM tipe 2 mengakibatkan peningkatan stres oksidatif melalui empat mekanisme, yaitu meningkatnya polyol pathway flux, bentukan Advanced Glycation End-Products (AGE), aktivasi PKC, hexosamine pathway flux, dan Aldose reductase (Brownlee, 2005; Newsholme et al., 2007; Tjokoprawiro, 2007). Keempat jalur di atas merupakan suatu hipotesis yang menerangkan bagaimana hiperglikemia menyebabkan disfungsi endotel dan komplikasi DM (Maiti dan Neeraj, 2007). Kelainan utama pada disfungsi endotel adalah berkurangnya produksi NO dan atau meningkatnya ROS yang menyebabkan stres oksidatif (Lele, 2008).

AGE adalah mediator utama dalam pathogenesis dari semua komplikasi DM, melalui memodifikasi LDL-C sehingga mudah teroksidasi dan tersimpan pada dinding pembuluh darah memudahkan terbentuknya streak. Penelitian memperlihatkan AGE berperan dalam pembentukan dan progresivitas aterosklerosis (Peppa et al., 2003).

Kondisi lain yang terlibat dalam patofisiologi stroke pada diabetes adalah kondisi resistensi insulin yang terjadi pada sel yang terlibat dalam penyakit vaskuler (Agosti et al., 2008).

Resistensi terhadap antilipolitik dari insulin pada jaringan adiposa mengakibatkan lepasnya Free Fatty Acid (FFA) dan gliserol

commit to user

ke dalam sirkulasi yang berdampak terhadap homeostasis glukosa (Matthael et al., 2000). FFA yang beredar dalam sirkulasi meningkat pada diabetes. FFA dapat merusak fungsi endotel dengan meningkatkan produksi oxygen-derived free radical, aktivasi protein kinase C (PKC), dan eksaserbasi dislipidemia (Agosti et al., 2008).

Hiperinsulinemia sebagai konsekuensi dari resistensi insulin meningkatkan konsentrasi asam urat serum baik melalui penurunan sekresi asam urat dari ginjal maupun akumulasi substrat untuk produksi asam urat (Kodama et al., 2009). Kadar insulin yang meningkat dapat mengurangi ekskresi asam urat dari ginjal dan meningkatkan reabsorpsi urat di ginjal (Bhole et al., 2010).

Menurut Wisesa dan Ketut (2009), hubungan positif antara asam urat dengan resistensi insulin sebagian disebabkan karena hiperinsulinemia meningkatkan reabsorpsi sodium di tubulus ginjal, akibatnya kemampuan ginjal mengekskresikan sodium dan asam urat menurun dan hasil akhirnya konsentrasi asam urat serum meningkat.

Hiperglikemia merupakan salah satu faktor risiko hiperurisemia (Yoo et al., 2006; Becker et al., 2006). Asam urat merupakan salah satu antioksidan endogen dalam tubuh yang bersifat larut air. Peningkatan asam urat dalam sirkulasi merupakan indikator bahwa tubuh berusaha melindungi diri dari dampak buruk radikal bebas dengan meningkatkan produksi antioksidan endogen, seperti asam urat (Lehto et al., 1998). Padahal, kenaikan stres oksidatif terjadi pada

commit to user

penderita DM (Fonseca et al., 2004). Namun, asam urat juga dapat bersifat sebagai prooksidan dengan berikatan dengan sistem intraseluler dari generasi superoksida melalui oksidasi NADPH (Sautin dan Johnson, 2010). Konsentrasi asam urat sebagai antioksidan alami adalah 2,6-7,5 mg/dl pada pria dan 2-5,7 mg/dl pada wanita premenopause (Ames et al., 1981).

Observasi menunjukkan bahwa hiperurisemia dapat menginduksi disfungsi endotel pada tikus (Feig, 2008). Hiperurisemi berhubungan dengan obesitas dan resistensi insulin, sehingga berhubungan dengan DM tipe 2 (Koenig dan Christa, 2008).

Satu kelainan yang dapat diperiksa secara dini di pembuluh darah yang menjadi cikal bakal aterosklerosis adalah kerusakan endotel vaskular, sehingga monosit dan lipid (kebanyakan berupa lipoprotein berdensitas rendah) yang beredar mulai menumpuk di tempat yang mengalami kerusakan. Penimbunan lipid dan proliferasi sel dapat menjadi sangat besar sehingga plak menonjol ke dalam lumen arteri dan sangat mengurangi aliran darah, yang kadang-kadang menyumbat seluruh pembuluh darah. Arteri yang mengalami aterosklerosis kehilangan distentisibilitasnya dan karena daerah di dinding pembuluhnya berdegenerasi, pembuluh menjadi mudah robek. Pada tempat penonjolan plak ke dalam aliran darah, permukaan plak yang kasar dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah dengan akibat pembentukan trombus atau embolus sehingga dapat menyumbat

commit to user

semua aliran darah di dalam arteri dengan tiba-tiba (Guyton dan Hall, 2008).

Gejala trombosis tergantung dari lokasi dan besarnya trombus. Trombosis pada arteri cerebral mengakibatkan TIA atau stroke iskemik. Trombosis pada arteri koroner mengakibatkan angina pektoris atau infark miokard. Trombosis pada arteri perifer akan menyebabkan klaudikasio intermiten atau nekrosis/gangren (Tambunan, 2007).

commit to user B. Kerangka Pikir

↑ Kerusakan endotel vaskular

↑ Plak atherosklerosis

Belum ada manifestasi tromboemboli

Tanpa komplikasi Oksidatif stres Asam urat Oksidatif stres Hexosamine Pathway, AGE, Polyol, PKC ↑ Absorpsi urat ginjal ↑ FFA DM tipe 2 tanpa komplikasi

HGK RI

↑↑↑ Plak atherosklerosis

Thromboemboli pembuluh darah otak

Stroke

a. Usia d. Obesitas

b. Jenis kelamin e. LDL ↑

c. Merokok f. Penyakit

↑↑↑ Kerusakan endotel vaskular

1. Usia 4. Penyakit

2. Jenis kelamin 5. Asupan

3. Obat 6. Genetik Oksidatif stres ↑↑↑ Asam urat Oksidatif stres ↑↑↑ Absorpsi urat ginjal ↑↑↑ FFA DM tipe 2 dengan stroke

HGK RI ↑↑↑ Hexosamine Pathway, AGE, Polyol, PKC

commit to user Keterangan:

---: faktor yang mempengaruhi : tidak diteliti

: diteliti

DM : Diabetes Melitus HGK : Hiperglikemi kronis RI : Resistensi Insulin

AGEs : Advance Glycation End-Products PKC : Protein kinase C

FFA : Free Fatty Acids

LDL : Low Density Lipoprotein

C. Hipotesis

Ada perbedaan kadar asam urat serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan stroke dan tanpa komplikasi.

commit to user

27

Dokumen terkait