• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kajian Pustaka

2.3 Landasan Teori

Demokrasi erat kaitannya dengan kebebasan individu sehingga secara keseluruhan toleransi antara eksistensi demokrasi dan kebebasan individu sangat tinggi. Arus gelombang demokrasi menandai adanya reformasi di segala bidang sebagai pemantik utama bagi kelahiran kembali suatu identitas budaya dalam eksistensi gerak dinamika budaya lokal. Dialog internal dan interaksi sosial membangun sebuah ikatan antarindividu di dalam masyarakat berdasarkan budaya dan psikologis seseorang dalam suatu komunitas sosial budayanya untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai tujuan yang diperjuangkannya. Menguatnya politik identitas berbasis simbol adat, kesukuan, agama dan nilai-nilai kultural merupakan hasil dari suatu proses sosial yang secara kultural melekat sebagai suatu gerakan sosial yang normal dalam dinamika suatu etnis.

Identitas kelompok atau identitas etnis yang telah muncul dengan baik merupakan dasar untuk mengangkat kepentingan dan perjuangan kelompoknya masing-masing, tetapi dalam suatu bangunan dan tatanan kebudayaan yang memegang prinsip multikultur, perjuangan politik identitas harus diletakan pada suatau kerangka kesatuan di setiap keberagaman yang artinya bahwa semua manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan kesetaraan.

2.3Landasan Teori

Pada bagian ini peneliti mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan teori-teori ini didasari dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Teori berfungsi sebagai landasan untuk menjawab

22

pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis menggunakan teori politik identitas yang terkonstruksi berdasarkan beberapa konsep yang relevan dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Manuel Castells dan Clifford Geertz mengenai pembangunan identitas dan primordialisme. Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

2.3.1 Teori Politik Identitas

Secara empiris, politik identitas merupakan aktulisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus. Politik identitas Punguan Parna bermula dari proses pembentukan pembangunan identitas masyarakat Batak. Hubungan politik dan kekuasaan dari identitas dalam politik identitas, dikontruksikan pada pembentukan pembangunan identitas oleh seseorang atau sekelompok orang. Konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan.

Castells (2010:8) menyebutkan tiga bentukan pembangunan identitas, yaitu:

a. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial.

b. Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotip oleh pihak-pihak lain, sehingga membentuk

23

resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas.

c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru pada masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan.

Heller maupun Morowitz memperlihatkan sebuah keterkaitan yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik perbedaan. Konsep ini juga yang mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional diselenggarakan di Wina pada 1994. Selain itu pertemuan Wina memunculkan lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Di sisi lain menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, mengemukakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh setiap pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka untuk setiap “orang pendatang” harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas hanya digunakan sebagai alat memanipulasi demi untuk menggalang politik agar memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Heller dan Morowitz (1998) sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis, dimana biasanya digunakan

24

sebagai alat memanipulasi dalam menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran pada bagian yang lain dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.

Clifford Geertz (1992) mengatakan kemerdekaan yang baru dialami oleh negara-negara berkembang sering dihadapkan pada sentimen-sentimen primordial. Hal ini membuat bergesernya konsepsional tentang pengertian-pengertian bangsa (nation), kebangsaan (nationality) dan nasionalisme

(nationalism) yang sering dibahas dalam setiap karya yang mencoba

menelaah masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Primordial juga sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis massa suatu kelompok yang dapat digerakkan.

Identitas etnis terafiliasi oleh setiap unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya dan warisan-warisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002:79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis yaitu bahwa kelompok tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain dan tiap-tiap etnis dapat menerima gagasan-gagasan dan ide-ide dalam perbedaan di antara mereka secara kultural.

25

Pendekatan primordialisme ini berfungsi untuk menjelaskan pengaruh ikatan primordial dalam Punguan Parna terhadap pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Melalui teori politik identitas peneliti akan melihat ikatan-ikatan primordial Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Ikatan primordial mengacu pada beberapa sebab yang biasanya muncul bersama dan berlawanan tujuan secara deskriptif meliputi masalah-masalah yang timbul dalam beberapa hal, yaitu:

a. Hubungan darah

Kekeluargaan menjadi hal yang penting dalam hal ini karena hubungan yang nyata akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis seperti kesukuan.

b. Ras

Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis. Jika ditelaah lebih dalam terdapat perbedaan diantara keduanya. Ciri utamanya yaitu bentuk-bentuk fisik yang fenotipe terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan dan bentuk rambut. Masalah perkauman (communalism) di Malaya sebagian besar timbul dari perbedaan ini sekalipun kedua pihak berasal dari jenis fenotipe Mogoloid yang sama.

26

c. Bahasa

Linguistik merupakan sesuatu hal yang belum dapat diterangkan secara memuaskan, sehingga muncul permasalahan di India dan Malaya secara sporadis juga terjadi dibeberapa tempat di dunia. Bahasa seringkali dipandang sebagai pijakan essensi konflik-konflik nasional, secara tegas dalam hal ini linguistik bukanlah suatu akibat yang berawal dari keanekaragaman bahasa. Perbedaan bahasa tidak selalu menuju pada awal perpecahan atau menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul ketidakpahaman mengenai penggunaan bahasa. Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang mencolok, seperti di Libanon. d. Daerah

Hal ini menjadi faktor yang terjadi di hampir setiap belahan dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah geografis yang heterogen. Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi justru yang paling menentukan, ini diakibatkan karena secara teritorial negara itu tidak bersambungan. e. Agama

Agama menjadi kasus yang terkemuka di Partisi India. Di sisi lain, Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang Sikh di Punjab, India menjadi contoh terkenal tentang kekuatan ikatan

27

keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.

f. Kebiasaan

Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering menjadi salah satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama memliki peran penting dalam hal dimana satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah penduduk lain yang dianggap kasar karena berpedoman pada golongan yang mendominasi. Perlu diketahui bahwa golongan yang berbeda dengan yang lain dapat menjalankan gaya hidup umum yang sama.

Menurut Sjamsuddin (1993) dalam bukunya Dinamika Sistem Politik Indonesia menyatakan primordialisme dimiliki seseorang sejak dilahirkan hal ini dikarenakan oleh perasaan-perasaan yang telah mengkiat seseorang. Faktor-faktor primordial ini tidak dapat ditentukan sendiri sebab kondisi tersebut harus diterima untuk selama-lamanya seperti tempat kelahiran, suku, ikatan darah, daerah, ras, agama dan rasa.

Berdasarkan teori politik identitas Castells di atas, penulis mencoba menggunakan konsep pembangunan identitas dan konsep pendekatan primordialisme Punguan Parna. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Dokumen terkait