• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) pada Pemilukada Kabupaten Simalungun Tahun 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) pada Pemilukada Kabupaten Simalungun Tahun 2016."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA

NAIAMBATON (PARNA) PADA PEMILUKADA

KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2016

SKRIPSI

Disusun Oleh : BRYAN ANDERSON

NIM. 1221305005

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA

NAIAMBATON (PARNA) PADA PEMILUKADA

KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2016

SKRIPSI

Disusun Oleh : BRYAN ANDERSON

NIM. 1221305005

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Ilmu

Politik pada Program Studi Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

melimpahkan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PUNGUAN POMPARAN RAJA NAIAMBATON

(PARNA) PADA PEMILUKADA KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN

2016. Skripsi ini disusun dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik pada program studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berhasil

tanpa bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana yang memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis

dalam menyelesaikan studi Strata satu di Universitas Udayana.

2. Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa, M.Si selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, yang telah menyetujui dan mengeluarkan Surat Keputusan mengenai topik skripsi ini.

3. Kedua orang tua, kakak dan keluarga besar penulis yang telah memberikan doa, semangat, kasih dan motivasi untuk segera

(6)

vi

4. Dr.Piers Andreas Noak, SH., M.Si selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan dedikasi, kesabaran dan ketekunan membimbing penulis

dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Muhammad Ali Azhar, SIP., MA selaku Dosen Pembimbing II yang dengan penuh kasih, kesabaran dan teliti dalam membimbing penulis

untuk memberikan gambaran bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

6.

Tedi Erviantono, SIP., M.Si juga Bandiyah, S.Fil.,MA dan Drs.I

Wayan Budiasa, M.Si selaku dosen penguji yang telah dengan penuh dedikasi memberikan masukan, bimbingan serta mtivasi agar skripsi ini semakin baik.

7.

Keluarga Amangboru Sinaga serta Namboru di Tigadolok dan seluruh

keluarga besar Opung Negeri Dolok yang terus memberikan doa dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Pengurus dan Anggota Punguan Parna Kabupaten Simlaungun yang telah memberikan waktu, informasi dan dukungan dalam tahapan

membantu pelaksanaan penelitian ini.

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Politik yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu atas pengajaran dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama perkuliahan.

10.Seluruh pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politi

yang telah membantu penulis dalam mengurus administrasi selama penulis menjalani studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(7)

vii

11.Yang terkasih kepada Joice Sari Tampubolon yang selalu memberikan doa, waktu, kasih, bimbingan dan semangat untuk menyelesaikan

skripsi ini.

12.Teman-teman PMK FISIP, saudara KTB-ku Yeri, Reinhard, ka Edwin dan adik-adik KTB-ku Roland, Ananta, Daniel, Dody, Tomi, Olav,

Fiero yang selalu mendukung dalam doa juga motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

13.Seluruh teman-teman seperjuangan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis berterima kasih atas loyalitas dukungan, perhatian dan motivasi yang diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis bersyukur atas segala doa, dukungan dan bimbingan tersebut, besar harapan penulis semoga amal baik Bapak/Ibu/Saudara(i) mendapat balasan

terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan rendah hati penulis berharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Sebagai

akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak karena skripsi ini dipersembahkan kepada almamaterku tercinta.

Denpasar, 18 April 2016

(8)

viii

2.2 Kerangka Konseptual ... 15

2.2.1 Punguan Batak ... 15

2.2.2 Pemilukada ... 16

2.2.3 Demokrasi ... 19

(9)

ix

2.3.1 Teori Politik Identitas ... 22

2.4 Kerangka Pemikiran ... 28

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 29

3.1 Jenis Penelitian ... 29

3.2 Sumber Data ... 30

3.2.1 Sumber Data Primer ... 30

3.2.1 Sumber Data Sekunder ... 30

3.3 Unit Analisis ... 30

3.4 Teknik Penentuan Informan ... 31

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 33

3.6 Teknik Analisis Data ... 34

3.7 Teknik Penyajian Data ... 36

BAB IV PEMBAHASAN ... 37

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Simalungun ... 37

4.2 Profil Punguan Parna ... 42

4.3 Hasil Temuan ... 47

4.3.1 Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Simalungun Tahun 2016 ... 47

4.3.2 Politik Identitas Punguan Parna ... 53

4.4 Analisis Temuan Penelitian ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

5.1 Kesimpulan ... 66

5.2 Saran ... 68

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Daftar Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun Tahun

2016 ... 5

Tabel 3.1 Daftar Informan dalam Penelitian ... 32

Tabel 4.1 Data Kependudukan Kabupaten Simalungun tahun 2010 ... 39

Tabel 4.2 Pemeluk Agama di Kabupaten Simalungun tahun 2010 ... 40

Tabel 4.3 Susunan Pengurus Punguan Parna Periode Tahun 2015-2020 ... 47

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Faktor pengaruh Punguan Parna dalam pemilukada

Kabupaten Simalungun tahun 2016 ... 28 Gambar 3.1 Bagan Analisis Data ... 35

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

xiii ABSTRAK

Sistem kekerabatan masyarakat Batak dikenal sebagai kumpulan suatu kelompok yang terbentuk karena terdapatnya kesamaan marga dalam garis keturunan seorang raja. Sistem kekerabatan itu disebut sebagai Punguan Batak. Salah satu Punguan Batak yaitu Punguan Pomparan Raja Naiambaton (PARNA) terdapat di berbagai daerah Indonesia salah satunya Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Teori yang digunakan adalah teori politik identitas dengan pendekatan primordialisme. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data penelitian dengan observasi, wawancara mendalam dan dokumen. Hasil penelitian ini menemukan bahwa, legitimasi Punguan Parna sebagai mayoritas mendominasi masyarakat di Kabupaten Simalungun. Dampak politik dari legitimasi tersebut terhadap dominasi Punguan Parna di Kabupaten Simalungun salah satunya terlihat pada pemilukada dengan mendukung salah satu pasangan calon bupati yang merupakan dongan tubu (saudara semarga). Berdasarkan hasil temuan ditemukan bahwa masyarakat di Kabupaten Simalungun masih mengutamakan anak daerah untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Hal ini juga dapat dilihat dari cara menentukan pilihan terhadap calon bupati, masyarakat Kabupaten Simalungun masih didasari oleh beberapa faktor yaitu hubungan darah, ras, agama, dan daerah. Penulis menganalisis bahwa faktor pengaruh Punguan Parna digunakan melalui nilai-nilai identitas dengan konsep pendekatan primordial untuk menarik simpati masyarakat agar memilih pasangan calon bupati JR Saragih-Amran Sinaga melalui semangat kesamaan hubungan darah, ras, agama, dan daerah. Penulis menganalisis bahwa faktor pengaruh Punguan Parna mendukung penuh, dengan harapan JR Saragih-Amran Sinaga menang agar dapat merepresentasikan kepentingan identitas Punguan Parna.

(14)

xiv ABSTRACT

Batak’s kinship system known as a collection of a group that was formed because there are a similarity clans within the lineage of a king. Kinship system is referred to as Batak Association. One of Batak Association is Punguan Pomparan Raja

Naiambaton (PARNA) that located in different regions of Indonesia including

District of Simalungun, North Sumatra. The purpose of this study to determine and describe the influence factors of Parna Association in the election District of Simalungun 2016. The theory used is theory of identity politics with primordial approach. This research method is descriptive qualitative. Research data collection techniques by observation, interview and documents. The results of this study found that Parna Association legitimacy as a majority is dominating community in District of Simalungun. The political impact of the legitimacy Parna Association in District of Simalungun seen at the election by supporting one candidate regent that have relation. Based on the findings found that people in District of Simalungun still give prioritize aboriginal to become a leader in the region. It can also be seen from the way determining the choice of candidates, people of Simalungun still based on several factors: blood ties, races, religions, and regions. The author analyzes the factors that influence Parna Association used through the values of identity with the concept of primordial approach to attract public sympathy in order to choose the candidate regent JR Saragih-Amran Sinaga through the spirit of similarity blood relations, race, religion, and region. The author analyzes the factors that influence support of Parna Association, with the hope JR Saragih-Amran Sinaga be able to represent the interests of Parna Association identity.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masyarakat kelompok Suku Batak terdiri dari enam kelompok besar yaitu

Batak Toba, Pakpak, Mandailing, Simalungun, Angkola dan Karo. Adapun kelompok-kelompok suku ini berawal dari bagian Provinsi Sumatera Utara yang memiliki ciri-ciri kebudayaan tertentu. Hal ini terlihat dari pembagian

beberapa marga yang bermukim menurut daerah, bahasa serta pakaian adat dari kelompok-kelompok Suku Batak yang berbeda. Orang Batak berasal dari si Radja Batak yang memiliki dua anak yaitu Guru Tateabulan dan Raja

Isumbaon sekaligus menjadi dua belahan atau cabang seluruh Orang Batak sehingga disebut Lontung dan Sumba.

Dalam garis keturunannya masyarakat Batak memiliki sebuah kesamaan yaitu adanya marga. Marga merupakan nama belakang keluarga yang dimiliki

setiap Orang Batak dengan penamaan yang berbeda-beda. Namun mengenai awal struktur marga di kalangan Orang Batak tidak diketahui dengan pasti, sebab hanya dikatakan bahwa marga sudah ada sejak adanya Orang Batak.

Bahkan menurut cerita asli rakyat Batak, debata mulajadi sendiri yang menetapkannya (Hutagalung, 1963:17). Marga juga sebagai suatu kelompok

kekerabatan eksogam, baik secara matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Berdasarkan sejarah budaya Batak, garis keturunan akan diwarisi oleh anak laki-laki sehingga apabila tidak ada anak laki-laki maka garis

(16)

2

disebut patrilineal yang didasarkan menurut garis keturunan ayah, sehingga seorang Batak akan menyebut anggota marganya dengan sebutan dongan

sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang sama). Sistem kekerabatan

patrilineal itulah yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang

terdiri dari turunan-turunan marga dan kelompok-kelompok suku, lalu kemudian saling dihubungkan menurut garis laki-laki (Vergouwen, 1986:1).

Sistem kekerabatan masyarakat Batak dikenal sebagai kumpulan suatu

kelompok yang terbentuk karena terdapatnya kesamaan marga dalam garis keturunan seorang raja. Sistem kekerabatan itu disebut sebagai Punguan

Batak. Punguan Batak memiliki fungsi untuk memelihara identitas dan akar budaya Batak itu sendiri dari tiap-tiap garis keturunan agar dongan tubu (saudara semarga) tetap eksis dalam menjaga kesatuan dan persatuan ke dalam

dan keluar marganya.

Salah satu Punguan Batak yaitu Punguan Pomparan Raja Naiambaton

(PARNA) yang dikenal sebagai punguan terbesar karena memiliki 48 marga dalam satu garis keturunan Raja Naiambaton. Punguan Parna juga terdapat di berbagai daerah Indonesia, salah satunya yaitu di Kabupaten Simalungun,

Sumatera Utara. Munculnya rasa memiliki satu sama lain dalam diri para anggota Punguan Parna di Kabupaten Simalungun membuat punguan ini

mampu menjaga eksistensinya di era globalisasi saat ini. Maka oleh karena itu penting adanya bagi Punguan Parna untuk tetap menjaga rasa menghargai dan melestarikan keutuhan marga sebagai dasar agar tidak digerus oleh kemajuan

(17)

3

Pada era demokrasi, persamaan hak menjadi hal yang penting bagi setiap individu dan kelompok budaya dalam mengekspresikan identitas, aspirasi

secara bebas, terbuka dan adil. Terdapatnya ruang untuk mengekspresikan diri membuat fenomena identitas terus berkembang secara signifikan dalam

mewujudkan perjuangan identias. Gelombang demokrasi ini disikapi secara antusias oleh masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan budaya dan nilai lokal masing-masing. Kehadiran identitas

bukan hanya berbicara mengenai persamaan saja tetapi lebih dari itu fenomena identitas bertransformasi sebagai alat politik untuk menarik simpati publik.

Selanjutnya, fenomena identitas menjadi alat bagi setiap kandidat untuk ikut serta dalam konstelasi demokrasi di tingkat lokal yaitu pemilukada dalam mencapai tujuan tertentu. Di sisi lain, primordial juga menjadi bagian dari

pemilukada yang masih menjadi kekuatan untuk memperoleh legitimasi dan menghegemoni masyarakat.

Melihat fenomena yang terjadi, muncul penguatan dan pengentalan identitas dalam politik identitas. Politik identitas terjadi dikarenakan identitas dijadikan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan bagi elit-elit politik.

Terbukti pada pemilukada 2010 di Kabupaten Simalungun terdapat lima pasangan calon bupati dan wakil bupati diantaranya, Syamsuddin

Siregar-Kusdianto, Kabel Saragih-Mulyono, Muknir Damanik-Miko, JR Saragih-Hj Nuriati Damanik, dan incumbet T Zulkarnaen Damanik-Marsiaman Saragih. Berdasarkan lima pasangan calon bupati tersebut terdapat tiga anggota

(18)

4

Sedangkan pasangan calon bupati lainnya berasal dari Punguan Batak lain yang terdapat di Kabupaten Simalungun, selain itu ada juga yang berasal

bukan dari Punguan Batak. Sampai pada akhirnya pasangan JR Saragih dan Hj Nuriati Damanik yang berhasil memenangkan pemilukada di Kabupaten

Simalungun dengan mengantongi 38,96% suara atau 148,977 suara sah yang mengalahkan pasangan calon bupati lainnya sekaligus pasangan incumbent yaitu T. Zulkarnaen Damanik-Marsiaman Saragih. Kemenangan ini terjadi

dikarenakan masyarakat kecewa kepada incumbent atas janji-janji kampanye sebelumnya yang tidak terwujud. Di sisi lain kemenangan JR Saragih - Hj

Nuriati Damanik tidak terlepas dari fenomena identitas Punguan Parna yang pada saat itu secara struktur belum terbentuk namun telah memberikan pengaruh yang besar.

Pemilukada selanjutnya dilaksanakan serentak di seluruh wilayah Indonesia pada 9 Desember tahun 2015. Kabupaten Simalungun termasuk

salah satu daerah yang mengikuti pelaksanaan pemilukada serentak. Namun tiga hari sebelum dilaksanakannya pemilukada, terjadi pencoretan salah satu pasangan calon bupati yang menyebabkan penundaan pelaksanaan pemilukada

di Kabupaten Simalungun. Pada akhirnya KPU Kabupaten Simalungun menetapkan pemilukada akan dilaksanakan tanggal 10 Februari tahun 2016 di

(19)

5

Tabel 1.1 Daftar Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun

Tahun 2016

No Nama Jabatan Punguan

1 Tumpak Siregar - Irwansyah Damanik

Sumber : KPU Kabupaten Simalungun

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa anggota Punguan Parna masih mendominasi pasangan calon bupati yang maju pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Hasilnya pasangan JR Saragih-Amran

Sinaga memenangkan pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016 sekaligus mengalahkan calon bupati Hj Nuriati Damanik yang merupakan

incumbent wakil bupati JR Saragih di tahun 2010. Fenomena ini

mengindikasikan kembali terdapatnya politik identitas Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Munculnya kembali fenomena etnis pada peristiwa politik yaitu pemilukada di Kabupaten Simalungun membuat Punguan Parna terlibat

(20)

6

desentralisasi yang begitu cepat bergulir di Kabupaten Simalungun s ehingga kehidupan politik ikut diwarnai oleh konfigurasi politik identitas Punguan

Parna dalam konstelasi demokrasi. Hal inilah yang menarik untuk diamati, karena setiap kandidat calon bupati berasal dari berbagai Punguan Batak.

Identitas tidak lagi menjadi sesuatu yang tidak penting dan terpinggirkan tetapi hal itu menjadi kekuatan yang ampuh dalam pemilihan khususnya pemilukada. Sikap sebagian masyarakat Indonesia yang masih primordial dan

cenderung kedaerahan tentu akan memberikan pengaruh dalam pemilukada. Seperti dua sisi mata koin yang tidak dapat dipisahkan itulah politik dan adat

budaya dimana kedua aspek tersebut berkaitan sehingga terjadi proses mutualisme yang menimbulkan fenomena saling menguntungkan antara kedua belah pihak bila terjadi proses interaksi. Hal itu dibuktikan dari terdapatnya

anggota Punguan Parna yang maju dalam pemilukada tahun 2016 sebagai pasangan calon bupati di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Sebagai salah satu Punguan Batak dengan jumlah marga terbanyak, Punguan Parna yang berada di Kabupaten Simalungun dapat dipastikan memiliki posisi strategis dalam setiap pemilukada. Dengan demikian menjadi

hal yang relevan untuk menjadikan Punguan Parna sebagai subjek studi kasus dalam penelitian ini. Adapun kasus yang diambil yaitu pengaruh Punguan

Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Penelitian ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana pengaruh Punguan Parna yang masih menjaga eksistensinya sampai saat ini dalam

(21)

7

Parna di pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016, kita dapat melihat sejauh apa Punguan Batak dalam hal ini Punguan Parna mengambil perannya

pada konstelasi demokrasi di tingkat lokal.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah pada latar belakang usulan penelitian di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian yaitu: “Bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun

2016?”

1.3Batasan Masalah

Penelitian ini hanya akan mengkaji tentang politik identitas dengan pendekatan primordialisme Punguan Batak pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016 dimana peneliti membahas Punguan Parna sebagai

studi kasus. Peneliti juga akan membahas mengenai politik identitas dengan pendekatan primordialisme dan pemilukada Kabupaten Simalungun tahun

2016. Berdasarkan tinjauan yang telah dilakukan peneliti juga hanya akan mengkaji tentang pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

1.4Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

(22)

8

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Berguna untuk memperkaya khasanah ilmu politik dan menambah pengetahuan khususnya terkait Punguan Parna pada pemilukada

Kabupaten Simalungun tahun 2016.

2. Menunjukan secara ilmiah mengenai keterkaitan Punguan Parna dalam pemilukada.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait

pengaruh Punguan Batak dalam hal ini Punguan Parna terhadap pemilukada.

2. Memberikan informasi bahwa adat budaya Indonesia, dalam hal ini suku

Batak harus tetap dijaga dan dilestarikan keutuhannya di tengah era globalisasi.

1.6Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, masing-masing bab diuraikan sebagai berikut :

Bab I: PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang pemilihan judul, rumusan

(23)

9

Bab II: TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi kajian pustaka, kerangka konseptual dan kerangka pemikiran.

Penulis menggunakan tiga penelitian serta dua buah buku terkait tema yang penulis bahas dan teori-teori yang mendukung penelitian mengenai pengaruh

Punguan Parna dalam pemilukada. Bab III: METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian

ini. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai jenis penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis

data, teknik penyajian data dan keterbatasan penelitian. Bab IV: PEMBAHASAN

Bab ini membahas tentang bagaimana pengaruh Punguan Parna pada

pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai gambaran umum kabupaten simalungun dengan hasil temuan yaitu

profil Punguan Parna, pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Simalungun tahun 2016, politik identitas Punguan Parna yang kemudian di analisis dari penelitian yang peneliti laksanakan.

Bab V: PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan mengenai penelitian yang telah dilaksanakan

(24)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terkait Punguan Batak telah dikaji oleh beberapa

peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya melihat Punguan Batak sebagai relasi dan eksistensi budaya Batak saja, tetapi dalam penelitian ini penulis ingin lebih

jauh melihat tentang bagaimana pengaruh Punguan Batak pada pemilukada. Penelitian lain yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai acauan maupun

referensi untuk penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian terkait Punguan Batak:

Pertama dalam penelitian Nova (2013) “Corak Gemeinschaft Punguan

Parsahutaon DOS ROHA Dalam Relasi Sosial Masyarakat Batak Perantauan

Di Tegal.” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terbentuknya Punguan Parsahutaon Dos Roha karena adanya keinginan dari masyarakat Batak perantauan di Mejasem. Di sisi lain, Nova menemukan jika punguan dijadikan

sebagai wadah meningkatkan solidaritas sosial antarsesama masyarakat Batak dan untuk memelihara setiap adat istiadat suku Batak. Punguan dalam hal ini

diartikan sebagai paguyuban masyarakat Batak dimana masyarakat Batak berkumpul untuk menjalin tali persaudaraan. Dengan demikian, atas dasar satu wilayah di desa Mejasem sebagai masyarakat Batak yang merantau di Tegal

(25)

11

hal keanggotaan punguan ini hanya dapat diikuti oleh masyarakat Batak yang tinggal di desa Mejasem saja. Dalam relasi sosial yang terjadi, setiap anggota

saling membantu untuk menyelenggarakan suatu kegiatan yang telah dibuat. Ketika ada seseorang yang meninggal suatu punguan wajib mempersiapkan

segala yang dibutuhkan, selain itu perwakilan dari anggota memberikan ulos kepada keluarga yang berduka. Ulos juga diberikan pada saat ada pernikahan, dimana anggota punguan akan menjadi perwakilan dari Punguan Parsahutaon

Dos Roha untuk memberikan ulos. Ulos dikenal juga sebagai salah satu simbol suku adat Batak dimana juga sering digunakan pada tradisi-tradisi

Suku Batak. Ulos berarti lambang kehormatan dan juga ibarat pemberi kehangatan bagi sesama dikarenakan daerah di Sumatera kerap mengalami cuaca dingin. Punguan Parsahutaon Dos Roha juga berpartisipasi ketika

anggota ada yang sakit dan acara kelahiran anak.

Kedua yakni tesis yang dilakukan oleh Sihombing (2008) “Punguan Parna:

Organisasi Perantau Pada Masyarakat Batak Di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah” mengemukakan bahwa pertemuan antarbudaya adalah realita yang

sering terjadi di dunia kebudayaan. Suasana kondusif yang ditumbuhkan oleh

keragaman budaya bangsa Indonesia dapat melahirkan pertemuan dan interaksi antarbudaya. Perbedaan geografis, sosial dan ekonomi telah memberi

kontribusi bagi kelompok masyarakat yang hanya memiliki potensi kecil. Gejala inilah yang akhirnya memunculkan kelompok masyarakat perantau. Mobilitas masyarakat tersebut mengakibatkan telah terjadi sebuah pertemuan

(26)

12

Salah satu contoh yang menglaminya yaitu keberadaan kebudayaan Batak di Indonesia yang berada di perantauan. Kemajemukan etnis dalam suatu daerah

di tengah pengaruh era globalisasi membuat pelaksanaan adat mengalami pendangkalan sehingga jika tidak ada solusi untuk mempertahankan budaya

ini, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan yang menjadi kebanggaan bagi suku bangsa tersebut lama-kelamaan dapat punah. Punguan Parna dikenal sebagai salah satu komunitas suku Batak yang memiliki keterikatan pada asal

usul, hubungan kekerabatan, marga, adat istiadat dan kesatuan keturunan. Pemahaman punguan tersebut diimplementasikan pada setiap aktivitas yang

dilakukan dalam punguan. Dengan adanya punguan, para anggota dapat lebih mengenal dan lebih akrab antarsesama keturunan Punguan Parna yang memiliki jumlah marga terbanyak agar dapat mengetahui silsilah keturunan

Punguan Parna. Keberadaan suatu punguan sebagai sebuah organisasi etnik di perantauan yang dianggap oleh para ahli sebagai sumber pertahanan untuk

kelangsungan hidup di perantauan, tidak menjadi terbentuknya punguan ini. Eksistensi punguan ini dipengaruhi oleh rasa persaudaraan yang tinggi antarsesama keturunan Punguan Parna.

Ketiga, penelitian Shinta Romaulina Nainggolan (2011) Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak ”Masyarakat Batak Perantauan di Kabupaten Brebes”. Shinta dalam penelitiannya ingin mengkaji

eksistensi adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya.

(27)

13

di Kabupaten Brebes masih menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki mulai dari adat kematian, adat perkawinan, sistem kekerabatan dan

falsafah hidup mereka. Masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes juga masih melaksanakan adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu dalam

setiap kegiatan adat maupun aktivitas sehari-hari. Di sisi lain pada era globalisasi yang semakin maju, keberadaan adat budaya Batak Dalihan Na Tolu di Kabupaten Brebes masih tetap ada, hal ini menunjukkan bahwa

Dalihan Na Tolu memiliki peranan besar sebagai falsafah yang tidak akan pernah dapat diubah walaupun jauh di perantauan.

Penelitian di atas memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan Punguan Batak. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari penelitian di atas, terlihat dari perbedaan punguan yang diteliti

oleh Nova yaitu Punguan Parsahutaon DOS ROHA yang berasal dari berbagai keturunan, berbeda dengan Punguan Parna yang hanya memiliki satu garis

keturunan. Selain itu terdapat perbedaan pemilihan lokasi penelitian dimana Nova meneliti masyarakat Batak perantauan di daerah Tegal sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pengambilan lokasi di Kabupaten

Simalungun, Sumatera Utara.

Sihombing dalam penelitiannya memang sama-sama meneliti Punguan

Parna, tetapi Sihombing memilih meneliti Punguan Parna pada masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mengambil lokasi di Kabupaten Simalungun,

(28)

14

banyak membahas mengenai Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes

serta pelaksanaannya.

Penulis juga menggunakan dua buah buku terkait dengan politik identitas.

Dua buku ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka, yaitu: pertama buku yang berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, dari Abdilah (2002). Buku ini memuat tetang pijakan dasar analisis pluralisme,

post-modernitas dan globalisasi. Buku ini juga mendeskripsikan lebih jauh tentang politik identitas dalam tahap perkembangannya mulai dari tahap

modern sampai tahap post-modern. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai realitas keragaman etnis dan pola politik sepanjang sejarah secara umum dalam kajian politik etnis, serta peran etnis untuk menjaga identitasnya di saat

terjadi kegoncangan diri secara global dan post-modernisme. Kedua, yakni buku dari Buchari (2014) yang berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik

Identitas. Buku ini menemukan munculnya faktor-faktor politik identitas Etnis Dayak pada pelaksanaan pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007 dan sebuah konsep baru. Konsep itu menjelaskan marginalisasi dan diskriminasi

yang dialami oleh suatu etnis sehingga memunculkan politik identitas. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk menentukan arah

pemikiran terhadap politik identitas.

Setelah melihat pembahasan dari tiga penelitian dan dua buku dalam kajian pustaka di atas, dapat diketahui bahwa penelitian semacam ini sudah

(29)

15

beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga penelitian di atas hanya membahas keterkaitan Punguan Batak terhadap keadaan lingkungan, berbeda

halnya dengan penelitian ini yang mencoba ingin mengetahui pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.

Sementara di Indonesia penelitian mengenai Punguan Batak masih jarang diteliti dan jika dikaitkan dengan pemilukada hal ini menjadikan penelitian penulis memiliki nilai tambah dalam orisinalitas.

2.2Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang

digunakan, maka dari itu perlu adanya pemahaman terhadap konsep yang akan dikaji pada penelitian ini. Konsep dalam penelitian ini tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari para ahli, oleh karena itu peneliti

hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang memiliki poin terkait dalam penelitian ini. Konsep yang terdapat dalam penelitian ini yakni:

Punguan Batak, pemilukada, dan demokrasi. 2.2.1 Punguan Parna

Perkembangan sosial budaya yang terus bergerak cepat di Indonesia

menimbulkan kembalinya muncul fenomena etnis di tingkat lokal. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya fenomena identitas dalam masyarakat Batak

(30)

16

Di dalam hubungan relasi sosial orang Batak, kehadiran marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan (keturunan), hubungan

persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang yang memiliki marga lain. Terdapat fungsi lain dari marga yaitu untuk

menentukan kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar dari Dalihan Na Tolu. Punguan Batak terbentuk karena adanya kesamaan marga, asal-usul keturunan Raja atau juga didasari oleh

ikatan emosional sesama orang Batak sebagai masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi menurut Abdilah (2002:18), yaitu orang atau kelompok

yang mengklaim diri sebagai penduduk asli suatu daerah dan wilayah tertentu.

Orang Batak menyadari bahwa Punguan Batak dibutuhkan demi

mendapatkan interaksi sosial dengan saudara yang ber-marga sama. Sehubungan dengan hal itu, Punguan Batak berfungsi untuk tetap dapat

memelihara identitas dan akar budaya di tengah perkembangan zaman. Punguan Parna merupakan salah satu Punguan Batak yang terbesar dikarenakan terdapat 48 marga di dalamnya.

2.2.2 Pemilukada

Perjalanan demokrasi tingkat lokal selalu mengalami perubahan yang

cukup signifikan baik itu dari segi hukum, mekanisme ataupun lainnya. Sejarah mencatat penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal pernah bersifat sentralistis pada proses pemilihan kepala daerah, dimana pilihan ditentukan

(31)

17

rakyat masih belum berdaulat atas konstelasi demokrasi di tingkat lokal untuk memilih kepala daerahnya sebab sistem yang berjalan masih bersifat

oligarki. Sementara itu terjadi sebuah pergeseran yang signifikan, hal ini dapat dilihat sebagai satu langkah lebih maju dalam proses demokratisasi

yaitu bentuk desentralisasi. Kekuasaan (otonomi daerah) dikenal hasil langsung dari era reformasi, dimana rakyat memiliki hak politiknya secara penuh.

Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah

menegaskan bahwa penyerahan urusan oleh pemerintahan pusat diserahkan kepada pemerintahan daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sistem ini telah menunjukan bahwa pemilihan kepala daerah menuju ke arah yang

lebih demokratis dimana rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya. Sejarah mencatat pilkada pertama kali diselenggarakan pada

bulan Juni 2005.

Pelaksanaan pilkada secara langsung juga menjadi momentum yang penting bagi rakyat Indonesia dalam proses demokratisasi politik di tingkat

lokal. Hal ini membuat kedua aspek yaitu rakyat dan lembaga daerah terlibat langsung dalam mengelola pemilihan kepala daerah di masing-masing

tempat. Pilkada juga bukan proses yang hanya berdiri sendiri, namun ada subjek yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan atau kegagalan pilkada, baik secara prosedural maupun substansial, tidak lepas

(32)

18

yaitu KPUD, Panwas, pemantau dan pemerintah, (c) lembaga stakeholders lainnya.

Dalam prosesnya pilkada kemudian dimasukan ke dalam rezim pemilu, hal ini dibuktikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilukada DKI Jakarta 2007 menjadi pemilihan

kepala daerah pertama kali yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang ini. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang digunakan sebagai

aturan yang berlaku pada pemilukada di Indonesia saat ini.

Pemilukada memiliki asas-asas dalam penyelenggaraannya yaitu :

a. "Langsung" berarti rakyat sebagai pemilih menggunakan hak politiknya tanpa diwakilkan oleh siapapun.

b. "Umum" berarti setiap warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan dalam pemilihan umum dapat mengikuti tanpa diskriminasi berdasarkan SARA dan lain-lain.

c. "Bebas" berarti pemilih berhak bebas dalam memberikan hak suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

d. "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya

(33)

19

e. “Jujur” berarti dalam penyelenggaraan pemilihan umum semua pihak yang terlibat bersikap jujur sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

f. “Adil” berarti pemilih dalam menggunakan hak politiknya dan calon

peserta memiliki perlakuan yang sama sesuai aturan yang berlaku.

Demokrasi sebagai pilar utama negara harus menjadi cerminan bagi suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk membentuk

pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur di dalam masyarakat yang pluralistik. Dengan begitu, pemilihan para

pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dijadikan sebagai prosedur yang utama.

2.2.3Demokrasi

Demokrasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang surut, terbukti sejak Indonesia merdeka masih terdapat masalah pokok yang

kita hadapi. Di dalam keanekaragaman pola budaya yang berbeda demokrasi harus menjamin hak politik setiap masyarakat, selain itu dapat memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi demi membina suatu kehidupan sosial politik

untuk sebuah kemajuan demokrasi. Demokrasi mengambil posisi yang penting dalam penelitian ini, peneliti mencoba memposisikan pengaruh

(34)

20

dapat dilihat dari unsur yang terdapat dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat.

Pada era demokrasi, persamaan dan kesederajatan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki setiap individu dan kelompok dalam

mengekspresikan identitas serta aspirasinya. Hal inilah yang melandasi dasar pemikiran politik identitas dalam penelitian ini.

Dalam pandangan Dahl (1985:25), negara demokrasi yang maju adalah

suatu negara yang dinamakannya MDP (modern, dynamic, pluralist). Dia mengatakan bahwa tujuan utama negara demokrasi yang maju ialah

memusatkan perhatian dalam mencari cara-cara untuk mengurangi sumber ketidaksamaan dalam masyarakat itu sendiri daripada melaksanakan persamaan melalui sumber daya ekonomi, posisi dan kesempatan.

Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan juga hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).

Rumusan konsep demokrasi menurut Joseph Schumpeter (1942) dalam Samuel P. Hutington (1995;4-5) mengemukakan bahwa teori klasik dengan istilah kehendak rakyat (the will of the people) dan kebaikan bersama (the

common good). Lalu lahir metode demokratis dimana prosedur kelembagaan

dalam mencapai keputusan memberikan hak individu untuk dapat

(35)

21

Demokrasi erat kaitannya dengan kebebasan individu sehingga secara keseluruhan toleransi antara eksistensi demokrasi dan kebebasan individu

sangat tinggi. Arus gelombang demokrasi menandai adanya reformasi di segala bidang sebagai pemantik utama bagi kelahiran kembali suatu identitas

budaya dalam eksistensi gerak dinamika budaya lokal. Dialog internal dan interaksi sosial membangun sebuah ikatan antarindividu di dalam masyarakat berdasarkan budaya dan psikologis seseorang dalam suatu

komunitas sosial budayanya untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai tujuan yang diperjuangkannya. Menguatnya politik identitas berbasis simbol

adat, kesukuan, agama dan nilai-nilai kultural merupakan hasil dari suatu proses sosial yang secara kultural melekat sebagai suatu gerakan sosial yang normal dalam dinamika suatu etnis.

Identitas kelompok atau identitas etnis yang telah muncul dengan baik merupakan dasar untuk mengangkat kepentingan dan perjuangan

kelompoknya masing-masing, tetapi dalam suatu bangunan dan tatanan kebudayaan yang memegang prinsip multikultur, perjuangan politik identitas harus diletakan pada suatau kerangka kesatuan di setiap

keberagaman yang artinya bahwa semua manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan kesetaraan.

2.3Landasan Teori

Pada bagian ini peneliti mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan teori-teori ini didasari dari konsep yang digunakan

(36)

22

pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis menggunakan teori politik identitas yang terkonstruksi berdasarkan beberapa

konsep yang relevan dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Manuel Castells dan Clifford Geertz mengenai pembangunan identitas dan primordialisme. Berikut

penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 2.3.1 Teori Politik Identitas

Secara empiris, politik identitas merupakan aktulisasi partisipasi politik

yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus. Politik identitas Punguan Parna

bermula dari proses pembentukan pembangunan identitas masyarakat Batak. Hubungan politik dan kekuasaan dari identitas dalam politik identitas, dikontruksikan pada pembentukan pembangunan identitas oleh seseorang

atau sekelompok orang. Konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan.

Castells (2010:8) menyebutkan tiga bentukan pembangunan identitas, yaitu:

a. Identitas legitimasi (legitimizing identity) yaitu identitas yang

diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya

terhadap aktor-aktor sosial.

b. Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial dalam kondisi tertekan dengan adanya

(37)

23

resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok

dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas.

c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru pada masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat

secara keseluruhan.

Heller maupun Morowitz memperlihatkan sebuah keterkaitan yang

sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik perbedaan. Konsep ini juga yang mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional diselenggarakan di Wina pada 1994. Selain itu pertemuan Wina

memunculkan lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Di sisi lain menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah

Kesukuan, mengemukakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh setiap pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka untuk setiap “orang pendatang” harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas

hanya digunakan sebagai alat memanipulasi demi untuk menggalang politik

agar memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”.

Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Heller dan Morowitz (1998) sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik

(38)

24

sebagai alat memanipulasi dalam menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, argumen Kemala mengalami kemunduran

penafsiran pada bagian yang lain dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi

simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik.

Clifford Geertz (1992) mengatakan kemerdekaan yang baru dialami

oleh negara-negara berkembang sering dihadapkan pada sentimen-sentimen primordial. Hal ini membuat bergesernya konsepsional tentang

pengertian-pengertian bangsa (nation), kebangsaan (nationality) dan nasionalisme

(nationalism) yang sering dibahas dalam setiap karya yang mencoba

menelaah masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik.

Primordial juga sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis

massa suatu kelompok yang dapat digerakkan.

Identitas etnis terafiliasi oleh setiap unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya dan

warisan-warisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002:79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis yaitu

(39)

25

Pendekatan primordialisme ini berfungsi untuk menjelaskan pengaruh ikatan primordial dalam Punguan Parna terhadap pemilukada Kabupaten

Simalungun tahun 2016. Melalui teori politik identitas peneliti akan melihat ikatan-ikatan primordial Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten

Simalungun tahun 2016.

Ikatan primordial mengacu pada beberapa sebab yang biasanya muncul bersama dan berlawanan tujuan secara deskriptif meliputi masalah-masalah

yang timbul dalam beberapa hal, yaitu: a. Hubungan darah

Kekeluargaan menjadi hal yang penting dalam hal ini karena hubungan yang nyata akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh

karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis seperti kesukuan.

b. Ras

Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etno-biologis. Jika ditelaah lebih dalam terdapat perbedaan diantara

keduanya. Ciri utamanya yaitu bentuk-bentuk fisik yang fenotipe terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan dan bentuk rambut.

(40)

26

c. Bahasa

Linguistik merupakan sesuatu hal yang belum dapat diterangkan

secara memuaskan, sehingga muncul permasalahan di India dan Malaya secara sporadis juga terjadi dibeberapa tempat di dunia. Bahasa

seringkali dipandang sebagai pijakan essensi konflik-konflik nasional, secara tegas dalam hal ini linguistik bukanlah suatu akibat yang berawal dari keanekaragaman bahasa. Perbedaan bahasa tidak selalu menuju

pada awal perpecahan atau menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul ketidakpahaman mengenai penggunaan bahasa.

Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang mencolok, seperti di Libanon. d. Daerah

Hal ini menjadi faktor yang terjadi di hampir setiap belahan dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah

geografis yang heterogen. Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi justru yang paling menentukan, ini

diakibatkan karena secara teritorial negara itu tidak bersambungan. e. Agama

Agama menjadi kasus yang terkemuka di Partisi India. Di sisi lain, Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang Sikh

(41)

27

keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas.

f. Kebiasaan

Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering menjadi salah

satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama memliki peran penting dalam hal dimana satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah

penduduk lain yang dianggap kasar karena berpedoman pada golongan yang mendominasi. Perlu diketahui bahwa golongan yang berbeda

dengan yang lain dapat menjalankan gaya hidup umum yang sama. Menurut Sjamsuddin (1993) dalam bukunya Dinamika Sistem Politik Indonesia menyatakan primordialisme dimiliki seseorang sejak dilahirkan

hal ini dikarenakan oleh perasaan-perasaan yang telah mengkiat seseorang. Faktor-faktor primordial ini tidak dapat ditentukan sendiri sebab kondisi

tersebut harus diterima untuk selama-lamanya seperti tempat kelahiran, suku, ikatan darah, daerah, ras, agama dan rasa.

Berdasarkan teori politik identitas Castells di atas, penulis mencoba

menggunakan konsep pembangunan identitas dan konsep pendekatan primordialisme Punguan Parna. Lebih jauh teori ini digunakan untuk

(42)

28

2.4Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1 Bagan pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016

Politik Identitas (Identitas Legitimasi)

Paslon Bupati

JR Saragih – Amran Sinaga

Partai Politik Punguan Parna

Gambar

Tabel 1.1 Daftar Paslon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Simalungun
Gambar 2.1 Bagan pengaruh Punguan Parna pada pemilukada

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kode etik guru di Indonesia adalah: (1) guru membimbing anak didik seutuhnya sehingga menjadi manusia Indonesia yang ber-Pancasila; (2) guru memiliki

Dengan menggunakan histogram warna pada komponen R dan G dalam sistem RGB, sistem pendeteksian akan melakukan learning terhadap distribusi warna bagian tubuh objek

Mulsa daun kering yang diletakkan disekitar tanaman akan berfungsi minimal tiga hal yaitu (a) menekan gulma sehingga tanaman pokok tidak bersaing dengan gulma (b) mulsa daun

1 Januari 2017 26 Hasil uji analisa data menggunakan uji Nonparametrik Kruskall-Wallis dengan p < 0.05 menunjukkan signifikasi 0.001 yang berarti terdapat

Oleh karena itu untuk dapat bersaing dengan sejumlah rumah sakit tersebut yang salah satunya adalah dalam hal mutu pelayanan kepada masyarakat, oleh karena itu Rumah

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Silalahi (2012) yang menjelaskan bahwa Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daearah berpengaruh terhadap Penilaian

Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji hanya bagi Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap terhadap infertilitas antara mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan jurusan Ilmu Kelautan dan