• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian baku tumbuh dan berkembang dilatar belakangi dengan keadaan sosial ekonomi, dimana perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan menyiptakan syarat-syarat tertentu secara sepihak.

Dalam perjanjian baku biasanya pihak lawan mempunyai kedudukan yang lemah, baik karena posisi sosial ekonominya, maupun karena ketidak tahuannya mengenai perbuatan hukum yang akan dibuatnya serta akibat hukumnya.4

Dalam Pasal 1 angka (10) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen) Klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” Pasal 18 ayat (1)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan batasan-batasan pada kontrak baku yang melindungi asas kebebasan berkontrak secara universal. Selengkapnya bunyi Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang memuat atau mencantumkan klausula baku pada seiap dokumen dan atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

4 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.46.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/jasa yang dibeli oleh konsumen; d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;

f. Memberikah hak kepada pelaku usaha yang mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baku, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.

Dari apa yang ditentukan dalam aturan ini, jelas bahwa klausula baku dalam suatu perjanjian diperbolehkan asal tidak melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hal ini dapat diterima apabila dilihat dari efisiensi waktu dan efektifitas klausula baku yang ditawarkan dalam jumlah sangat besar pada ribuan atau bahkan jutaan calon debitur. Hal ini dapat dilakukan karena perjanjian baku tidak dapat diberlakukan berbeda atau melanggar ketentuan yang diberlakukan pada perjanjian pada umumnya. Menurut Sudikno Mertokusumo teori Argumentum Per Analogiam adalah cara penafsiran dengan memperluas isi ketentuan dalam undang-undang dan kemudian menerapkan pada peristiwa konkrit.5

Di dalam suatu perjanjian yang melahirkan suatu perikatan terdapat hak dan kewajiban bagi para pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian. Dengan

membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian, secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna untuk kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki atau akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tesebut.6

Setiap pihak yang melakukan perjanjian tersebut, harus sama-sama mengetahui kapan untuk melaksanakan prestasinya berdasarkan perjanjian tersebut melainkan juga pihak yang berhak atas pemenuhuhan prestasinya, wajib mengetahui secara pasti kapan dan bagaimana suatu perjanjian yang telah dibuatnya tersebut dapat dipaksakan pelaksanaan prestasinya.

Istilah kredit secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani yaitu credere yang berarti kepercayaan. Jika debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu orang yang mendapat kepercayaan dari bank. Hal ini menunjukan bahwa yang menjadi dasar dari pemberian kredit adalah kepercayaan.

Didalam Kamus Besar Indonesia istilah kredit adalah pinjam meminjam uang dengan pembayaran pengembalian secara mengansur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain. Demikian terlihat bahwa hubungan hukum antara pemberi kredit yaitu bank sebagai kreditor dan penerima kredit yaitu nasabah sebagai debitur yang didasarkan pada hukum perjanjian.

6 Kartini Muljadi Dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Rajawali Pers, h.2.

Hukum Perjanjian menurut ketentuannya dapat dilihat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut system terbuka dalam arti hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-Pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum pelengkap (optional law). Hal ini berarti bahwa bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan memuat ketentuanya sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian.7

Didalam Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disingkat dengan Undang-Undang Perbankan) tidak diatur secara tegas dasar hukum perjanjian kredit. Namun demikian dari pengertian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar hukum perjanjian kredit adalah pinjam meminjam yang didasarkan kepada kesepakatan antara bank sebagai kreditur dengan debitur.8

Didalam kegiatan pinjam-meminjam uang yang diistilahkan sebagai perjanjian kredit yang terjadi antara kreditur dan debitur dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan dalam rangka pelunasan hutang debitur terhadap kreditur namun pemberian jaminan dalam perjanjian kredit bukan merupakan unsur utama dari perjanjian kredit. Namun didalam pemberian kredit oleh bank selaku kreditur terhadap debitur harus memenuhi persyaratan yang dikenal sebagai prinsip 5C atau The Five C’s yaitu :

7Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1.

1. Character (Watak)

Kepribadian dari calon debitur seperti sifat-sifat pribadinya, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga maupun hobinya. Kegunaan dari penilaian tersebut untuk mengetahui sampai sejauh mana itikad atau kemauan calon debitur untuk memenuhi kewajibannya (wiilingness to pay) sesuai dengan janji yang telah ditetapkan. Pemberian kredit didasari atas kepercayaan, sedangkan yang mendasari suatu kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon debitur memiliki moral, watak dan sifat-sifat pribadi yang positif dan koperatif. Disamping itu mempunyai tanggung jawab, baik dalam kehidupan pribadi sebagai manusia, kehidupan sebagai anggota masyarakat, maupun dalam menjalankan usahanya. Karakter merupakan faktor yang dominan, sebab walaupun calon debitur tersebut cukup mampu untuk menyelesaikan hutangnya, jika tidak mempunyai itikad yang baik tentu akan membawa kesulitan bagi bank dikemudian hari. Oleh karena itu, biasanya bank akan melakukan pengecekan debitur melalui Sistem Informasi Debitur (SID) yang disediakan oleh Bank Indonesia. 2. Capacity (Kemampuan Debitur)

Suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit perbank. Untuk menilai sampai sejauh mana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut akan mampu melunasi hutang tersebut tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah

disepakati. Pengukuran kemampuan dari calon debitur dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan antara lain pengalaman mengelola usaha (business record) nya, sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity merupakan ukuran dari ability to pay atau kemampuan dalam membayar. 3. Capital (Modal)

Bank juga akan melakukan penilaian terhadap kekuatan keuangan calon debitur. Untuk itu, biasanya bank meminta calon debitur tersebut untuk membuat laporan mengenai asset aktiva dan pasiva calon debiturnya, serta meminta salinan (fotocopy) berkas lalu lintas rekening calon debitur selama tiga tahun terakhir.

4. Collateral (Jaminan)

Dalam menerima suatu jaminan kredit, ada dua pertimbangan yang dilakukan oleh bank sebagai kreteria jaminan tersebut, yaitu :

a. Marketable

Pada saat dieksekusi, jaminan tersebut mudah untuk dijual atau diuangkan untuk pelunasan utang debitur.

b. Secured

Benda jaminan kredit dapat diikat secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika kemudian hari debitur melakukan wanprestasi, bank mempunyai kekuatan secara yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi.

5. Condition of Economy (Kondisi Ekonomi Debitur)

Untuk mengetahui kondisi ekonomi calon debitur, biasanya bank melihat kondisi internal dan eksternal calon debitur yang dapat mempengaruhinya didalam mengembalikan kewajiban kredit kepada bank. Bank akan melakukan kunjungan ke kantor calon debitur dan atau calon ke lokasi-lokasi yang dianggap penting serta terkait langsung dengan calon debitur, terutama dari segi kepemilikan, sehubungan dengan permohonan yang diajukan oleh calon debitur tersebut.9

Pelaksanaan pemberian kredit menurut Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perbankan, dalam melaksanakan kegiatan usaha yang berupa pemberian kredit, bank antara lain :

1. Wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

2. Memilik dan menerapkan pedoman perkereditan sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh Bank Indonesia.

Sehubungan dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan pemberian kredit tersebut diatas maka bank umum wajib melakukan analisi kredit yang mendalam atas permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitur dan memiliki menerapkan pedoman perkreditan dalam melaksanakan perkreditannya. Oleh karena itu setiap analisis kredit harus memuat penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan

peraturan interen bank dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban bank memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Perbankan lebih lanjut diatur dengan SK Direksi BI No. 27/162/KE/DIR.10

Kredit Umum Pedesaan merupakan kredit/ pembiayaan kepada usaha kecil menengah dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif yang diberikan kepada calon nasabah debitur yang memiliki feasible baik yang sudah bankable maupun yang belum bankable. Kredit umum pedesaan dengan bunga bersaing yang bersifat umum untuk semua sektor ekonomi, ditujukan untuk individual (badan usaha maupun perorangan) yang memenuhi persyaratan dan dilayani di seluruh Bank Rakyat Indonesia Unit dan Teras Bank Rakyat Indonesia. Kredit umum pedesaan merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk pembangunan usaha desa namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank.11

Agunan terdapat pada Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitr kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.

Agunan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu :

1. Agunan utama artinya barang agunan dan atau piutang maupun jaminan-jaminan lain yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai oleh

10M. Bahsan, Op.cit, h.81.

11 Richard Sipondang, 2014, “Peran kredit usaha pedesaan dalam meningkatkan ekonomi

nasional”, URL : http://www.epository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45336/4/. diakses tanggal 30 September 2015

bank berdasarkan perjanjian kredit yang didapat dalam pembiayaan kredit tersebut.

2. Agunan tambahan artinya barang agunan dan atau piutang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai bank berdasarkan perjanjian kredit maupun jaminan-jaminan lain diluar agunan tetapi tidak terbatas pada jaminan perorangan/pribadi (borgtoch) yang dapat diesekusi sebelum dilakukannya eksekusi atas agunan utama.

Kredit umum pedesaan bertujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan percepatan pengembangan sektor riil dan pemberdayaan usaha kecil menengah pemerintah telah mencanangkan upaya peningkatan akses usaha kecil menegah pada sumber pembiayaan guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Walaupun bank sudah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengucurkan kredit kepada nasabah debitur, tidak tertutup kemungkinan debitur tidak mampu mengembalikan kreditnya sesuai waktu yang diperjanjikan, karena adanya sebab-sebab tertentu baik disengaja maupun diluar kemampuan debitur. Sebab-sebab tertentu meliputi :

a. Prospek usaha debitur berupa adanya kegagalan usaha debitur yang dipengaruhi oleh berbagai fakta yang terdapat dalam lingkungan kegiatan usaha debitur berupa :

1. Kegagalan produksi 2. Kegagalan distribusi 3. Kegagalan pemasaran

c. Kurang pengetahuan dan pengalaman

d. Ketidakmampuan karena overmacht atau force majeure e. Penutupan asuransi

f. Menurunya kegiatan ekonomi dan suku bunga.

g. Musibah yang terjadi pada debitur atau kegiatan usahanya, seperti kebakaran, meninggal dunia, sementara debitur tidak melakukan pengamanan melalui penutupan asuransi.

h. Penggunaan dana oleh debitur untuk tujuan yang spekulatif. i. Itikad buruk dari debitur untuk tidak membayar kredit (on will)12

Suatu kredit yang dikucurkan pasti akan memiliki resiko yang sangat besar, jika investasi yang dibiayai mengalami kegagalan atau tidak sesuai dengan perhitungan semula. Bagaimanapun cermatnya pihak bank didalam meneliti dan memberikan penilaian terhadap nasabah debiturnya, tetapi tidak tertutup kemungkinan kredit tersebut bisa bermasalah ataupun macet, yang disebabkan munculnya keadaan tertentu yang bersifat merugikan debitur di tengah-tengah usaha yang sedang berjalan. Sehingga upaya bank untuk mengantisipasi kredit macet bisa dengan melakukan penyelamatan kredit dilakukan sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah melalui alternative penanganan sebagai berikut :

1. Rescheduling (penjadwalan kembali), yaitu upaya hukum untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan jadwal pembayaran kembali/jangka waktu kredit

termasuk tenggang (grace period), termasuk perubahan jumlah angsuran. Bila perlu dengan penambahan kredit.

2. Reconditioning (persyaratan kembali), yaitu melakukan perubahan atau sebagian atau keseluruhan persyaratan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran dan atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan kredit tersebut tanpa memberikan tambahan kredit atau tanpa melakukan konversi atas seluruh atau sebagian dari kredit menjadi equity perusahaan.

3. Restructuring (penataan kembali), yaitu upaya berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atau seluruh atau sebagian kredit mejadi perusahaan yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling dan/atau reconcitioning.13

Adapun mengenai penyelesaian kredit bermasalah bisa dikatakan merupakan langkah terakhir yang dapat dilakukan setelah langkah-langkah penyelamatan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP yang berupa rekstrukturisasi yang tidak efektif lagi. Dikatakan sebagai langkah terakhir karena penyelesaian kredit bermasalah memalui lembaga hukum memang memerlukan waktu yang relative lama. Penyelesaian kredit bermasalah melalui hukum itu dapat berupa penyelesaian melalui Lembaga Penjamin Kredit (LPK), Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Direktorat Jenderal Piutang dan

13 Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Kedua, Kencana,

Lelang Negara (DJPLN) melalui badan peradilan, dan melalui arbritase atau badan alternative penyelesaian sengketa.14

1.8 Metode Penelitian

Dokumen terkait