• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Landasan Teoritis

Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Tidak ada batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori/pendapat para sarjana.11

Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.12 Unsur-unsur

11Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40-41.

tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang mengemukakan bahwa:

Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan.13

Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur subjektif. Dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana.14 Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana.15 Teori dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana.16

13Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 11.

14Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 63.

15Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9.

Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy) adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.17

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).18

Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief merumuskan criminal policy sebagai “rational organization of the control of crime by society”.19Sementara itu, G. Peter Hoefnagels dikutip dalam buku yang sama mengemukakan bahwa “Criminal policyis the rational organization of the social

17Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 1.

18Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 77.

19Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II), h. 1, dikutip dari Marc Ancel, 1965, Social Defence, h. 209.

reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:

a. Criminal policy is the science of responses; b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime; d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.20

Terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal. Menurut Sudarto, yaitu sebagai berikut:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.21

Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G. Peter Hoefnagels dalam bukunya Trini Handayani upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

20Ibid., h. 2.

21Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto I), h. 113-114.

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).22

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial; b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”.23

Pelaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan.

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal (criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

22Trini Handayani, 2002, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan, Jakarta, h. 48, dikutip dari G, Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer-Denver, Holland, h. 56.

pidana). Dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).24

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.25 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel yang dikutip dalam bukunya Barda Nawawi Arief II bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.26

Menurut A. Mulder, dalam bukunya Barda Nawawi Arief II strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

24Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 24.

25Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Sudarto II), h. 153.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.27

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).28

Melalui tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.29

Menurut Stanley Benn, pemidanaan diartikan sebagai akibat yang diderita karena melakukan pelanggaran diterapkan secra sengaja, bukan merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatan seseorang (seperti mabuk akibat alkohol) dan,

27Barda Nawawi Arief II, loc.cit.

28Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 78.

ketidaknyamanan tersebut harus esensial, bukan secara kebetulan menyertai perlakuan lainnya (seperti sakit yang ditimbulkan dari mata bor dokter gigi).30

Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia.31 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah-masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

30Stanly Benn I., 1967, Punishment, The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Vol. 7&8, h. 29.

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.32

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP Lama atau Wetboek van Strafrecht).33

1.7 Metode Penelitian

Dokumen terkait