• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM

PERSPEKTIF UNDANG - UNDANG KESEHATAN

DAN PP NO. 61 TAHUN 2014

MESITES YEREMIA SIMANGUNSONG NIM. 1103005194

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA

PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM

PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN

PP NO. 61 TAHUN 2014

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

MESITES YEREMIA SIMANGUNSONG NIM. 1103005194

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Dinamika kehidupan masyarakat kian hari kian memprihatinkan dengan makin maraknya pemberitaan mengenai aborsi di Indonesia. Pengaturan hukum positif mengenai aborsi dewasa ini dirasa masih kurang tegas. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis tentang aturan hukum yang berlaku mengenai aborsi dan pengaturannya di masa yang akan datang dalam RUUKUHP Nasional. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, dengan terjadinya konflik norma dalam beberapa pasal dalam aturan KUHP, Undang-Undang Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi, di dalam penulisan ini meneliti prinsip-prinsip hukum serta mengkaji dan meneliti peraturan-peraturan tertulis. Mengenai pengaturan tentang aborsi di Indonesia terdapat dalam KUHP dan Undang-Undang Kesehatan dan dalam PP Kesehatan Reproduksi. Pertanggungjawaban pidana bagi tenaga medis diatur menjadi sanksi administratif, sanksi hukum pidana dan ganti kerugian dalam hukum perdata.

(7)

ABSTRACT

The dynamics of the life of the community is becoming more and more days are increasingly concerned with more outbreaks of preaching about abortion in Indonesia. The rule of law about abortion today deemed still less firm. The purpose of this paper is to analyze about the rule of law on abortion and assists in the future will come in The draft law of the Criminal Code. The research method used in this research is a type of legal research nomative juridical, with a conflict of norms in several articles in the rules of the Criminal Code, Health Laws and The government regulation on reproductive health, in this writing examines the principles of law and examine and examine the regulations written. Regarding the regulation of abortion in Indonesia is found in the Criminal Code and the Health Laws and in The government regulation on reproductive health. Criminal liability for medical workers is set to become the administrative sanctions, sanctions criminal law and replace the loss in the civil law.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yesus Kristus, karena berkat

kasih karunia yang begitu besar penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014”. Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan

berupa dukungan moril, motivasi baik secara langsung maupun tidak dari berbagai

pihak. Karena itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan

ucapan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

(9)

5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH., MH., Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH., Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan petunjuk dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam

menyusun skripsi ini;

7. Ibu Sagung Putri M.E Purwani, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang dengan

penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan skripsi

ini.

8. Bapak A.A Gde Agung Darma Kusuma, SH., MH., Pembimbing Akademik

yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk selama mengikuti

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

9. Bapak Putu Rasmadi, Bapak Gede Artha, Bapak Martana, Bapak Keneng,

Apdila Wirawan serta seluruh kawan-kawan Tim Rekam Sidang Tipikor

Denpasar.

10. Bapak, Ibu Dosen serta seluruh pegawai kampus Fakultas Hukum Udayana

yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang berjasa dalam kehidupan

perkuliahan hingga penulisan skripsi.

11. Kedua Orang Tua, Mangasi Simangunsong dan Denniana Pasaribu yang

selalu mendoakan dan mendukung study di Fakultas Hukum Udayana.

12. Naomi Hatoguan Simangunsong, adik tercinta yang selalu medukung dalam

(10)

13. Saudara-saudara Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas Hukum Universitas

Udayana yang telah memberikan semangat, dukungan doa dari awal sampai

skripsi ini selesai.

14. Kawan-kawan penulis Zainal Abidin, Edy Kurniawan, Bima Kumara, Ngurah

Indra, Agus Fahmi, Ari Sujaneka, Khrisna Kompeni, Mirah Mahardani,

Widya Indah Sari, Asri Mas Lestari dan seluruh mahasiswa angkatan 2011

Fakultas Hukum Udayana yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

15. Segenap organisasi maupun komunitas mahasiswa yang telah memberi

banyak pelajaran, pengalaman, pengetahuan hingga akhir perkuliahan. Forum

diskusi mahasiswa hukum, Udayana Moot Court Community, Badan

Eksekutif Mahasiswa-Pemerintahan Mahasiswa Udayana, Dewan Perwakilan

Mahasiswa- Pemerintahan Mahasiswa Udayana, Criminal Law Society

16. RHKBP Denpasar yang telah memberikan banyak pengetahuan mengelola

talenta yang Tuhan berikan dan NHKBP Denpasar sebagai wadah pemuda di

Gereja yang selalu mendukung dalam penyelesaikan skripsi ini.

17. Sahabat Terkasih Friska Ester Naibaho yang selalu menjadi tempat sharing

dan semangat hingga terselesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, sehingga

melalui kesempatan yang baik ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari

berbagai elemen masayarakat.

Akhir dari segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih serta

berharap agar skripsi ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca.

(11)

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 12

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 13

1.4 Tujuan Penulisan ... 13

1.4.1 Tujuan Umum ... 13

(12)

1.5 Manfaat Penelitian ... 14

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 14

1.5.2 Manfaat Praktis ... 14

1.6 Landasan Teoritis ... 15

1.7 Metode Penelitian ... 23

1.7.1 Jenis Penelitian ... 23

1.7.2 Jenis Pendekatan ... 23

1.7.3 Sumber Bahan Hukum ... 24

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 26

1.7.5 Teknik Analisis ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENGUGURAN KANDUNGAN (ABORSI), UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014 2.1 Pengertian Tindak Pidana ... 28

2.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Aborsi ... 31

2.3 Lahirnya PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi ... 41

BAB III TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA 3.1 Pengaturan Aborsi Berdasarkan KUHP ... 42

(13)

BAB IV REGULASI TINDAK PIDANA ABORSI DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

4.1 Kebijakan Hukum Pidana Mengenai Aborsi ... 61

4.2 Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Aborsi ... 65

4.3 Aborsi Dalam RUU KUHP Nasional ... 69

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai,

karena dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan

manusia. Kehidupan yang dberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi

Manusia yang hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara

mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi

erat kaitannya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita.

Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik

dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran,

hukum maupun disiplin ilmu lain.1 Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan,

karna sejauh ini prilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek

negatif baik untuk diri pelaku maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan

karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa

ditambah lagi dengan kebutuhan hidup manusia tak ada habisnya dan tentu

sangatlah beragam.

Aborsi telah dikenal sejak lama, aborsi memiliki sejarah panjang dan

telah dilakukan oleh berbagai metode baik itu natural atau herbal, penggunaan

alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Zaman kontemporer

(15)

memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam

melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi

secara substansial berbeda diseluruh negara. Banyak negara di dunia isu aborsi

adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika

dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi

menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali

melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi

di seluruh dunia. Menggugurkan kandungan sama halnya dengan membunuh atau

merampas hak hidup seseorang, hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum

yang memiliki sanksi tegas.

Menurut Soebakti dalam bukunya Abdul Djamali menyatakan, bahwa

hukum itu terdiri dari norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum

yang disebut dengan norma sosial.2 Norma sosial merupakan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu

dalam kehidupan sosial. Yang penting dan perlu diperhatikan dalam hal ini

adalah kegiatan individu dalam kaitannya dengan kehidupan sosial yang

memiliki norma sosial.

Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hak aborsi dibenarkan

secara hukum jika dilakukan karena adanya alasan atau pertimbangan medis atan

kedaruratan medis. Tenaga medis mempunyai hak untuk melakukan aborsi bila

dan pertimbangan media atau kedaruratan media dilakukan untuk menyelamatkan

nyawa ibu hamil. Pada kehamilan yang tidak diinginkan aborsi yang dilakukan

(16)

umumnya adalah Abortus Provocatus Criminalis dengan beberapa alasan seperti;

Kehamilan di luar nikah, masalah beban ekonomi, ibu sendiri sudah tidak ingin

punya anak lagi akibat incest, alasan kesehatan dan sebagainya.

Berdasarkan sumber berita online yang ditulis oleh Chilmi Ardiantofani,

terhitung sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus aborsi di Jawa Timur mengalami

peningkatan sebesar 5 persen setiap tahunnya dan 30 persen pelaku aborsi adalah

usia remaja. Sejak 2012 hingga 2014 bulan Juli, kasus aborsi di Indonesia

mencapai 2,5 juta orang. Fenomena melakukan aborsi dikarenakan akibat

perkosaan dan hubungan suka sama suka.3 Data tersebut menerangkan betapa buruknya sistem pola kehidupan yang sedang terjadi berkaitan dengan aborsi.

Keberadaan norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat telah pudar seiring

dengan tidak diberlakukannya hukuman yang tegas, adil dan berkemanfaatan

bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana aborsi.

Bila diperhatikan dari segi istilahnya, aborsi adalah menggugurkan

kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah abortus yang

artinya pengeluaran hasil konspesi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum

janin dapat hidup di luar kandungan.4 Dikatakan bahwa aborsi merupakan suatu terminasi kehidupan dari janin sebelum diberi kesempatan hidup dan

berkembang dengan cara yang disengaja.5

3Chilmi Ardiantofani, 30 Persen Kasus Aborsi di Jatim Pelakunya Remaja,

http://surabayanews.co.id/2014/08/18/3745/30-persen-kasus-aborsi-di-jatim-pelakunya-remaja.html, diakses tanggal 5 Desember 2015.

4Namora Lumongga Lubis, 2013, Psikologi Kespro “Wanita & Perkembangan Reproduksinya” Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologinya, Kencana, Jakarta, h. 83.

(17)

Menurut Gordon E. Maxwell dalam bukunya Daniel Rumondor, bagi

ahli kandungan istilah aborsi mempunyai definisi yang khusus, yaitu gangguan

kehamilan sebelum fetus bisa hidup sendiri secara independen, dan fetus dianggap

mampu berdiri sendiri setelah 26-28 minggu usianya.6

Menurut Buku Etika Profesi Kebidanan, aborsi adalah keluarnya hasil

konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar rahim, yaitu sebelum 20 minggu.

Aborsi juga berarti penghentian kematian setelah tertanamnya ovum yang telah

dibuahi dalam rahim sebelum usia janin mencapai 20 minggu.7

Aborsi adalah menggugurkan kandungan, yang dimaksud dengan

perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang

bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan yang

menimbulkan akibat lahirnya bayi atau janin dari dalam rahim perempuan tersebut

sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Perbuatan memaksa kelahiran bayi

atau janin belum waktunya ini sering disebut dengan abortus provocatus.8

Perbuatan abortus provocatus juga sering dilakukan oleh wanita yang

menjadi korban perkosaan, alasan para korban perkosaan tersebut adalah

mengandung anak hasil perkosaan menambah derita batinnya, karena anak itu

akan mengingat peristiwa perkosaan yang dialaminya. Bagi kalangan yang tidak

setuju dilakukannya aborsi bagi korban perkosaan mereka berpendapat setiap

6Daniel Rumondor, 1900, Jangan Membunuh! Tinjauan Etis Terhadap Beberapa Praktek Kedokteran, Yayasan Andi, Yogyakarta, h. 56

7Heni Puji Wahyuningsih et al., 2005, Etika Profesi Kebidanan, Fitramaya, Yogyakarta, h. 85

8Adami Chazawi, 2010, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Grapindo Persada,

(18)

orang berhak untuk hidup, janin yang ada dalam kandungan perempuan akibat

perkosaan itu adalah ciptaan Tuhan yang berhak menikmati kehidupan. Bagi

kalangan yang setuju dapat dilakukanya aborsi bagi korban perkosaan, kehamilan

itu timbul bukan dari atas kemauan korban jadi dapat mengurangi penderitaan

korban baik secara psikis maupun sosial, maka diberi hak bagi korban perkosaan

untuk dapat melakukan aborsi.

Membahas persoalan aborsi bukan merupakan rahasia umum dan

bukanlah hal yang tabu lagi untuk diperbincangkan. Hal ini dikarenakan aborsi

yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat

terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan secara ilegal. Ketika memandang

bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu untuk melihat

kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,

persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat

sebagai suatu tindak pidana.

Seperti salah satu contoh kasus yang dikutip dari kasus posisi Putusan

Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 343/Pid.Sus/2014/PNClp. Peristiwa aborsi

terjadi di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang wanita masih berumur 19 tahun harus

mendekam dipenjara karena telah dengan sengaja melakukan tindakan aborsi

karena tidak sanggup menerima keadaan dirinya yang hamil di luar pernikahan

yang sah dengan kekasihnya. Wanita tersebut melakukan aborsi dengan caranya

sendiri seperti mengkonsumsi buah nanas kemudian meminum minuman bersoda

yang dicampur dengan ragi. Pada akhirnya janin harus keluar dan dibuang

(19)

tetap dengan amar putusan hakim Pengadilan Negeri Cilacap yaitu pidana penjara

1 tahun 8 bulan dengan denda Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 1

bulan kurungan.

Penguguran kandungan atau aborsi dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven).

Hal ini karena aborsi dilakukan secara sengaja menghilangkan nyawa orang lain

atau perbuatan yang mengakibatkan matinya korban. Kejahatan terhadap nyawa

dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 (dua) dasar, yaitu : (1)

atas dasar unsur kesalahannya dan (2) atas dasar obyeknya (nyawa).9 Kejahatan pengguguran terhadap kandungan sendiri termasuk dalam kelompok kejahatan

terhadap nyawa atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi).

Pengaturan mengenai aborsi di Indonesia telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan yaitu KUHP khususnya dalam Pasal 346, Pasal 347, Pasal

348, dan Pasal 349, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) khususnya Pasal 75, Pasal 76, dan Pasal

77, dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi khususnya Pasal 31 hingga pada Pasal 37.

Berdasarkan ketentuan KUHP terdapat dua bentuk perbuatan pada aborsi

yakni perbuatan menggugurkan kandungan dan perbuatan mematikan kandungan.

Menurut KUHP, setiap tindakan aborsi dengan motif, indikasi dan cara apa pun

dalam usia kehamilan berapa pun adalah tindak pidana. Tindak pidana aborsi

(20)

dimasukkan ke dalam Bab XII Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa

yaitu pada Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, dan 349 KUHP.

Tindak pidana menyebabkan atau menyuruh menyebabkan gugurnya

kandungan atau matinya janin yang berada dalam kandungan oleh wanita yang

mengandung janin itu sendiri, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam

Pasal 346 KUHP yang menyatakan bahwa: “Seorang wanita yang sengaja

menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk

itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 346 KUHP itu, sama halnya

dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 347 dan Pasal 348

KUHP, pembentuk undang-undang melarang orang melakukan:

(a). suatu pengguguran kandungan atau afdrijving ataupun yang di dalam

ilmu pengetahuan kedokteran juga disebut sebagai suatu abortus.

(b). sesuatu perbuatan yang menyebabkan matinya janin yang berada

dalam kandungan.10

Keberadaan Pasal 346 KUHP memiliki unsur-unsur pasal yaitu bahwa

pelaku aborsi yang dimaksud adalah seorang perempuan yang dengan sengaja

melakukan aborsi atau seorang perempuan yang menyuruh orang lain untuk

melakukan hal itu. Pasal tersebut menerangkan mengenai pelakunya yaitu

seseorang perempuan atau orang lain yang dalam hal ini apabila bidan dan/atau

dokter yang diminta untuk melakukan hal tersebut maka sanksi pidana yang

dikenakan padanya adalah diancam dengan pidana penjara paling lama 4(empat)

(21)

tahun. Bila dikaitkan dengan profesi tersebut di atas, bahwa dokter dan/atau bidan

bukanlah sebagai pelaku tunggal. Pengertian tindakan medis yang dilakukan oleh

seseorang baik itu oleh perempuan yang adalah si ibu dan/atau tenaga medis

tersebut merupakan suatu tindak pidana berdasarkan aturan dalam Pasal 346

KUHP.

Pasal 347 KUHP memiliki unsur yang berbeda dengan pasal sebelumnya

karena di dalam ketentuan Pasal 347 KUHP unsur si pelaku di sini lebih luas

dengan mencantumkan syarat yaitu barangsiapa. Maksudnya adalah bahwa

siapapun setiap orang baik itu seorang perempuan yang mengandung janin atau

seorang laki-laki yang dalam hal ini suami atau kekasih dari si ibu yang sedang

mengandung atau seorang tenaga medis yaitu bidan dan/atau dokter dengan unsur

kesengajaan melakukan aborsi dengan tanpa persetujuan perempuan itu maka

akan dikenakan sanksi yang sangat berat yaitu diancam dengan pidana penjara

paling lama 12 (dua belas) tahun dan bila mengakibatkan matinya wanita maka

ancaman pidana penjara yang lebih tinggi paling lama 15 (lima belas) tahun. Pada

Pasal 347 KUHP sanksi pidananya yang paling berat dibanding dengan ketentuan

pada Pasal lain yang berkaitan dengan aborsi yaitu Pasal 229, 346, dan 348

KUHP.

Unsur Pasal 348 KUHP menjabarkan tentang setiap orang yang dengan

sengaja menggugurkan kandungan wanita dengan persetujuan wanita tersebut

diancam dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun 6(enam) bulan. Pada

(22)

pemberatan pidananya dengan ancaman hukuman penjara paling lama 7(tujuh)

tahun.

Berbeda dengan KUHP yang tidak membenarkan perbuatan aborsi,

Undang-Undang Kesehatan memberikan perlindungan terhadap perempuan

pelaku abortus provocatus yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang

Kesehatan. Ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan menyatakan

larang aborsi dikecualikan berdasarkan :

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

Ketentuan Pasal 75 ayat (2) huruf b merupakan bentuk pengecualian

hukum terhadap perempuan pelaku abortus provocatus yaitu dengan

membenarkan adanya abortus provocatus terhadap perempuan korban perkosaan.

Kedua penjabaran Undang-Undang yang mengatur mengenai aborsi yaitu

pada Pasal 346-348 KUHP dengan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan

memiliki kesamaan klausul dan unsur pasal yang mengatakan bahwa setiap orang

dilarang melakukan aborsi. Larangan tersebut berlaku bagi seorang perempuan

yang sedang mengandung, bagi suaminya atau kekasihnya dan bagi para tenaga

medis yaitu bidan dan/atau dokter. Namun bila diteruskan lagi, pada Pasal 75 ayat

(2) Undang-Undang Kesehatan terjadilah pengecualian terhadap tindakan aborsi.

(23)

aborsi pada ayat (1) dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang

dideteksi sejak usia dini dan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan. Dicermati

di dalam ketentuan Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan terdapat perbedaan yang

signifikan terhadap tindakan aborsi dibanding dengan ketentuan Pasal 346-348

KUHP yang secara tegas melarang aborsi dalam bentuk dan alasan apapun.

Beranjak kepada ketentuan pidana atau sanksi pidana yang diancam

kepada pelaku aborsi. Ketentuan Pasal 346-348 KUHP, sanksi yang tergolong

paling rendah terdapat pada Pasal 346 KUHP yaitu ancaman pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun dan ancaman paling tingginya terdapat pada

ketentuan Pasal 347 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 (dua

belas) tahun. Bila kemudian dibandingan dengan sanksi pidana yang diatur oleh

Undang-Undang Kesehatan yaitu pada Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan

diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Berdasarkan perbandingan ini

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dalam kaitannya dengan sanksi

pidana yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan ini antara lex

spesialist derogat legi generalist.

Sebagai pelaksana dari beberapa pasal yang terdapat pada Undang-Undang

Kesehatan, kini pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kesehatan

Reproduksi). PP Kesehatan Reproduksi ini muncul dengan tujuan untuk

melaksanakan ketentuan dari beberapa pasal yaitu Pasal 74 ayat (3) tentang

(24)

ayat (4) tentang kesehatan ibu, bayi dan anak, dan Pasal 127 ayat (2) tentang

upaya kehamilan di luar cara alamiah Undang-Undang Kesehatan. Ketentuan

mengenai pembenaran abortus provocatus perempuan korban perkosaan dalam

Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP Kesehatan Reproduksi yang antara lain mengatakan

bahwa:

(1). Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau

b. kehamilan akibat perkosaan.

(2). Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

PP Kesehatan Reproduksi muncul dengan tujuan untuk mengatur

Penyelenggaran Kesehatan Reproduksi yang dituangkan dalam bentuk Peraturan

Pemerintah. PP Kesehatan Reproduksi tidak memiliki aturan pidananya atau

sanksi pidana di dalam ketentuan isi pasal-pasalnya. Hanya mengatur mengenai

tanggungjawab pemerintah dan Pemerintah daerah berkaitan dengan Kesehatan

Reproduksi masyarakat, mengenai pelayanan kesehatan ibu, indikasi kedaruratan

medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi, reproduksi

dengan bantuan, pendanaan dan di bidang pembinaan serta pengawasan

Kesehatan Reproduksi.

Penjabaran mengenai pengaturan terhadap tindak pidana aborsi telah

diatur dalam beberapa instrumen yang telah diundangkan menjadai suatu

(25)

pertanyaan yang mengakibatkan timbulnya suatu benturan antar norma hukum

atau istilahnya adalah konflik norma.

Konflik norma yang terjadi adalah konflik norma pada Pasal 346, 347,

348 KUHP yang secara tegas melarang tindakan aborsi dalam bentuk apapun

dalam keadaan apapun, kemudian munculah Undang-Undang Kesehatan sebagai

suatu lex spesialis dalam hukum pidana yang melarang aborsi namun dengan

pengecualian dan dengan persyaratan tertentu yang terdapat pada Pasal 75-76

Undang-Undang Kesehatan yaitu seperti adanya indikasi kedaruratan medis

kemudian pada Pasal 31 PP Kesehatan Reproduksi sebagai aturan pelaksana

Undang-Undang Kesehatan memperbolehkan dilakukannya aborsi berdasarkan

indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan

aborsi serta mengatur penyelenggaraan aborsi. Keadaan tersebut menimbulkan

ketidakharmonisan dalam perundang-undangan yang berimplikasi pada

implementasi hukum oleh praktisi hukum.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, menarik untuk dianalisis dan

disajikan menjadi sebuah penelitian ilmiah berupa skripsi dengan judul ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGUGURAN KANDUNGAN (ABORTUS) DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KESEHATAN DAN PP NO. 61 TAHUN 2014”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka

(26)

1. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ?

2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari pembahasan yang menyimpang dan keluar dari

permasalahan yang dibahas maka perlu terdapat pembatasan dalam ruang lingkup

masalah, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Membahas tentang Pengaturan Mengenai Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia yaitu di dalam

ketentuan Pasal 346, 347, dan 348 KUHP kemudian pada Pasal 75-76,

Pasal 194 Undang-Undang Kesehatan dan pada Pasal 31 PP Kesehatan

Reproduksi.

2. Membahas tentang Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia yaitu yang terdapat

pada konsep hukum pidana nasional dan RUU KUHP.

1.4Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.

Adapun tujuan tersebut antara lain:

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami

mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap Pengaturan

(27)

juga terdapat konflik norma antara Peraturan Pemerintah dengan

Undang-Undang.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui Pengaturan Pengaturan Mengenai Tindak Pidana

Aborsi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana pada masa yang akan

datang terhadap Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum di bidang hukum pidana, khususnya

pemahaman teoritis mengenai kebijakan hukum pidana Indonesia terhadap aborsi

dan pengaturannya yang bertentangan antara hukum yang khusus dengan hukum

yang umum, termasuk di dalamnya pengkajian terhadap peraturan

perundang-undangan terkait yang berlaku saat ini serta pembaruan hukum pidana nasional

pada masa yang akan datang sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan

aborsi di Indonesia.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran, serta dapat memberikan kontribusi bagi

lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebagai

(28)

penanggulangan aborsi di Indonesia. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat

menjadi bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang terkait dengan

larangan terhadap pelegalan aborsi yang perlu mendapat perhatian khusus dalam

rangka penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik dalam suatu cita hukum

(ius constituendum).

1.6Landasan Teoritis Teori Tindak Pidana

Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari

terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Beberapa perkataan yang

digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia

antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam

berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah, antara lain: peristiwa

pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang

diancam dengan hukum, dan tindak pidana. Tidak ada batasan yuridis tentang

tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori/pendapat para

sarjana.11

Pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.12 Unsur-unsur

11Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 40-41.

(29)

tindak pidana dalam rumusan pasal peraturan perundang-undangan terdiri atas

unsur subjektif dan unsur objektif. Lamintang mengemukakan bahwa:

Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si

pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya

segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan

unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan,

yaitu dalam keadaan ketika tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan.13 Menurut teori monistis, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur

perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat yang

lazimnya dinamakan unsur subjektif. Dicampurnya unsur perbuatan dan unsur

pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama

dengan syarat-syarat penjatuhan pidana.14 Teori dualistis sebaliknya ingin memisahkan (mengeluarkan) schuld itu dari pengertian tindak pidana.15 Teori dualistis adalah teori yang memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban

pidana.16

13Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 11.

14Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana

Prenada Media Group, Jakarta, h. 63.

15Chairul Huda, 2011, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 9.

(30)

Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulan kejahatan atau politik kriminal (criminal policy)

adalah suatu kebijakan atau usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan.

Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti

luas (law enforcement policy), yang seluruhnya merupakan bagian dari politik

sosial (social policy), yaitu suatu usaha dari masyarakat atau negara untuk

meningkatkan kesejahteraan warganya.17

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

kejahatan termasuk bidang ”kebijakan kriminal” (criminal policy). Kebijakan

kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu ”kebijakan

sosial” (social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk

kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk

perlindungan masyarakat (social defence policy).18

Marc Ancel dalam bukunya Barda Nawawi Arief merumuskan criminal

policy sebagai “rational organization of the control of crime by

society”.19Sementara itu, G. Peter Hoefnagels dikutip dalam buku yang sama mengemukakan bahwa “Criminal policyis the rational organization of the social

17Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,

(selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief I), h. 1.

18Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I), h. 77.

(31)

reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter

Hoefnagels ialah:

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;

d. Criminal policy is a rational total of the responses to crime.20

Terdapat tiga arti mengenai kebijakan kriminal. Menurut Sudarto, yaitu

sebagai berikut:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi

dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana;

b. Dalam arti luas, adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak

hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang

dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang

bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.21

Kebijakan kriminal meliputi ruang lingkup yang cukup luas, menurut G.

Peter Hoefnagels dalam bukunya Trini Handayani upaya penanggulangan

kejahatan dapat ditempuh dengan:

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

20Ibid., h. 2.

21Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat

(32)

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime

and punishment/mass media).22

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan

kebijakan, dalam arti:

a. Ada keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;

b. Ada keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan

dengan “penal” dan “non penal”.23

Pelaksanakan kebijakan kriminal harus menunjang tujuan kesejahteraan

masyarakat dan perlindungan masyarakat, serta harus dilakukan dengan

pendekatan integral melalui keseimbangan sarana penal dan non penal untuk

mencegah dan menanggulangi kejahatan.

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian daripada politik kriminal

(criminal policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana

yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan

kejahatan. Dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik

dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

22Trini Handayani, 2002, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perbuatan, Jakarta, h. 48,

dikutip dari G, Peter Hoefnagels, 1973, The Other Side of Criminology, Kluwer-Denver, Holland, h. 56.

(33)

pidana). Dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian

pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).24

Politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana adalah bagaimana

mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan

pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik,

dalam artian memenuhi syarat keadilan dan daya guna.25 Sama halnya dengan pendapat Marc Ancel yang dikutip dalam bukunya Barda Nawawi Arief II bahwa

kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik.26

Menurut A. Mulder, dalam bukunya Barda Nawawi Arief II

strafrechtspolitiek atau kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk

menentukan:

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

atau diperbarui;

b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

24Barda Nawawi Arief II, op.cit., h. 24.

25Sudarto, 2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat

Sudarto II), h. 153.

(34)

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.27

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal

merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi

atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1) Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2) Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3) Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).28

Melalui tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan

kejahatan bukan hanya tugas aparatur penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas

aparat pembuat hukum (aparat legislatif), bahkan kebijakan legislatif merupakan

tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu, kesalahan/kelemahan

kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi

penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi

dan eksekusi.29

Menurut Stanley Benn, pemidanaan diartikan sebagai akibat yang diderita

karena melakukan pelanggaran diterapkan secra sengaja, bukan merupakan

konsekuensi alamiah dari perbuatan seseorang (seperti mabuk akibat alkohol) dan,

27Barda Nawawi Arief II, loc.cit.

28Barda Nawawi Arief I, op.cit., h. 78.

(35)

ketidaknyamanan tersebut harus esensial, bukan secara kebetulan menyertai

perlakuan lainnya (seperti sakit yang ditimbulkan dari mata bor dokter gigi).30 Pembaruan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan hukum

pidana. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar

belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pada

hakikatnya pembaruan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum

di Indonesia.31 Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah: a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi

masalah-masalah sosial (termasuk masalah-masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan

hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya

30Stanly Benn I., 1967, Punishment, The Encyclopedia of Philosophy, Macmillan Publishing Co., Vol. 7&8, h. 29.

(36)

memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka

mengefektifkan penegakan hukum.32 b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang

melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum

pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,

apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP

Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah

(KUHP Lama atau Wetboek van Strafrecht).33

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.34 Penelitian hukum normatif digunakan dalam penulisan ini beranjak dari

adanya persoalan dalam aspek norma hukum, yaitu norma yang konflik

(Geschijld Van Normen) yang ada dalam peraturan perundang-undangan terkait

pengaturan tindak pidana aborsi dalam perspektif beberapa jenis aturan hukum

32Barda Nawawi Arief II, op.cit., h.. 26.

33Ibid.

34Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

(37)

yaitu yang terdapat pada Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, Pasal 75-76,dan 194

Undang-Undang Kesehatan dan Pasal 31 PP Tentang Kesehatan Reproduksi.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah jenis pendekatan perundang-undangan

(The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The

Conseptual Approach).

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti

adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam

penelitian ini.35 Pendekatan perundang-undangan digunakan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, norma-norma hukum yang berhubungan dengan

tindak pidana pengguguran kandungan.

Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), yang oleh Peter

Mahmud Marzuki disebut pendekatan Undang-undang (The Statue Approach)

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.36 Pendekatan ini menggunakan ketentuan KUHP, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

dengan Peraturan Pemerintah No. 61 Tentang Kesehatan Reproduksi.

Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The Conseptual

Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami dan

35Ibrahim Johnny, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 302.

36Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Prenada Media Group,

(38)

menemukan konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan

permasalahan tindak pidana penguguran kandungan atau abortus berdasarkan PP

Kesehatan Reproduksi agar tidak ada kekaburan norma dan penentuan norma

yang akan digunakan dalam penerapaan hukum bagi para pelaku aborsi.

1.7.3 Sumber Bahan hukum

Pada penelitian hukum ini menggunakan beberapa sumber bahan hukum,

yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

1. Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang bersifat

mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang

bersifat mengikat.37 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah : - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

- Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063).

- PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5559).

2. Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literature,

37Soerjono Soekanto dan Sri Mahmmudji, 1988, Penulisan Hukum Normatif, Rajawali Press,

(39)

makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur yang relevan dengan tindak pidana

pengguguran kandungan (abortus), pembaharuan hukum pidana Indonesia, baik

literatur-literatur hukum yang berupa buku-buku hukum (textbook) yang ditulis

para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana (doktrin), skripsi

atau makalah hukum yang berkaitan dengan kesehatan, hukum pidana, aborsi

maupun literatur non hukum dan artikel atau berita yang diperoleh via internet

dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum yang diperlukan.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar

bahasa Indonesia dan kamus hukum.39 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang

diperlukan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (study document).40 Mengumpulkan semua peraturan perundang-undangan yang beraitan dengan

tndak pidana aborsi. Telaah kepustakaan yaitu dengan cara mencatat dan

memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum

38Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141

39Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo

Persada, Jakarta, h. 119.

(40)

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang relevan, kemudian

dikelompokkan secara sistematis sesuai dengan permasalahan.

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah ketika telah

mengumpulkan semua bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

ditambah dengan bahan hukum tersier sebagai tambahan, selanjutnya diolah dan

dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan dengan

menggunakan teknik argumentatif, yaitu dengan menguraikan serta

menghubungkan dengan teori-teori dan literatur-literatur yang berkaitan dengan

pengaturan tindak pidana pengguguran kandungan (abortus) dan cita hukum ke

depan terkait pengaturan hukum tentang aborsi di Indonesia. Kemudian

melakukan penafsiran sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan dalam bentuk

argumentasi hukum untuk mendapatkan hasil yang akurat. Karena suatu

undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem undang-

perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang

(41)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENGGUGURAN

KANDUNGAN (ABORSI), PP NO. 61 TAHUN 2014 dan

UNDANG-UNDANG KESEHATAN

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaar feit dan

dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering menggunakan istilah delik,

sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang dengan

menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana atau perbuatan pidana.

Strafbaar feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat

tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai

perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan

sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.

Menurut Moeljatno pengertian tindak pidana atau yang dikatakan

sebagai perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa yang melanggar larangan tersebut.1 Simons dalam bukunya Moeljatno,

menjelaskan tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam

dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan

(42)

dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.2 Van Hamel

merumuskan bahwa kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan

dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan.3 Menurut Vos dalam bukunya C.S.T. Kansil menjelaskan

bahwa peristiwa pidana atau tindak pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan

dapat dipidana oleh Undang-Undang (Een strafbaar feit is een door de wet

strafbaar gesteld feit).4

Moeljatno juga mengatakan bahwa perbuatan yang dilarang itu harus

pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang

dicita-citakan masyarakat. Menurut Moeljatno yang dikutip dalam bukunya

Erdianto Effendi, dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

1. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia.

2. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum). 4. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. 5. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat.5

Sedangkan menurut EY. Kanter dan SR. Sianturi yang dikutip dalam

bukunya Erdianto Effendi, unsur-unsur tindak pidana adalah :

1. Subjek. 2. Kesalahan.

2Ibid, h. 61. 3Ibid.

4 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana

Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 39.

(43)

3. Bersifat melawan hukum (dan tindakan).

4. Suatu tindakan yang dilarang ataupun diharuskan oleh undang-undang. 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).6

Maka dari itu, Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak pidana

merupakan suatu tindakan pada tempat, waktu, keadaan tertentu yang dilarang

atau diharuskan dan diancam pidana oleh undang-undang, bersifat melawan

hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu

bertanggungjawab).7

Rumusan unsur-unsur tindak pidana tidak sepenuhnya bergantung pada

perumusan undang-undang semata, sebagai konsekuensi asas legalitas yang dianut

oleh hukum pidana di Negara Indonesia. Terdapat tiga kemungkina dalam

perumusan suatu tindak pidana, yaitu : Pertama, tindak pidana dirumuskan baik

namaataupun unsur-unsurnya. Kedua, tindak pidana yang dirumuskan hanyalah

unsurnya saja. Ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa

menyebutkan unsurnya. Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan

unsur-unsurnyan maupun tidak menyebutkan namanya, maka nama serta unsur tindak

pidana dapat diketahui melalui doktrin.

Berdasarkan pengertian tindak pidana tersebut, maka dapat diketahui

bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana dapat disebut sebagai suatu perbuatan

yang melanggar perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang ada dengan

disertai sanksi pidana, sedangkan ancaman atau sanksi pidananya ditujukan kepda

orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian pidana, terhadap

(44)

setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku dapat dikatakan

sebagai pelaku tindak pidana.

2.2 Pengertian dan Jenis-Jenis Aborsi

Aborsi atau lebih sering disebut dengan istilah “pengguguran janin”

merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan.

Keprihatinan itu bukan tanpa asalan, karena sejauh ini perilaku aborsi banyak

menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku juga terhadap masyarakat luas.

Tindakan yang dilakukan oleh si ibu dapat menyebabkan kematian melalui

pendarahan (septis), infeksi dan eklampsia (kejang-kejang).

Peristilahan aborsi sesungguhnya tidak dapat ditemukan pengutipannya

dalam KUHP. Hanya mengenal istilah pengguguran kandungan. Secara

terminologi atau tata bahsa, aborsi atau abortus berasal dari kata bahasa latin yaitu

abortio yang artinya pengeluaran hasil konsepsi dari uretus secara prematur pada

umur di mana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu.

Secara medis aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu

dan mengakibatkan kematian, sedangkan apabila pengeluaran janin sesudah 24

minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi (infanticide).8

Menurut Ensikolpedia Indonesia, dijelaskan bahwa aborsi diartikan

sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum

8Kusumaryanto, 2005, Tolak Aborsi Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian, Kanisius,

(45)

janin mencapai beraat 1.000 gram.9 Menurut Saifullah, pakar Hukum Islam dalam

bukunya Mien Rukmini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aborsi adalah

suatu perbuatan untuk mengakhiri masa kehamilan atau hasil konsepsi

(pembuahan) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.10

Terjadinya aborsi bisa secara alami dan tidak disengaja, bisa juga karena

suatu kesengajaan. Pengguguran kandungan atau aborsi yang sengaja dilakukan

dengan menggunakan obat-obatan dan cara-cara medis tertentu atau dengan cara

tradisional. Pengguguran kandungan pada umumnya dikategorikan sebagai tindak

pidana pembunuhan dan pembunuhan merupakan perbuatan amoral, tidak

berperikemanusiaan dan jelas melanggar hukum.11

Pengertian aborsi menurut ilmu hukum adalah lahirnya buah kandungan

sebelum waktunya oleh suatu perbuatan seseorang yang bersifat sebagai

perbuatan pidana. Menurut literatur ilmu hukum telah terdapat kesatuan pendapat

sebagai doktrin bahwa pengertian daripada aborsi mempunyai arti umum tanpa

dipersoalkan janin yang mengakhiri kandungan sebelum waktunya karena

perbutan yang dilakukan oleh seseorang.

Secara umum, aborsi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu aborsi

spontan dan aborsi buatan atau disengaja, meskipun secara terminologi banyak

9Anonim, 1980, “Aborsi”, Ensiclopedi Indonesia I, Ikhtisar Baru van Hoeve, Jakarta, h. 60. 10Mien Rukmini, 2004, Penelitian Tentang Aspek Hukum Pelaksanaan Aborsi Akibat

Perkosaan, Jakarta, h.19.

(46)

macam aborsi yang bisa dijelaskan. Krismaryanto dalam bukunya Mien Rukmini,

menguraikan berbagai macam aborsi yaitu :

1. Aborsi / Pengguguran / Procured Abortion / Aborsi Provocatus / Induced

Abortion, yaitu penghentian hasil kehamilan dari rahim sebelum janin bisa

hidup di luar kandungan (viabiliti)

2. Miscarriage/keguguran, yaitu berhentinya kehamilan sebelum bayi bisa

hidup di luar kandungan tanpa campur yangan manusia

3. Aborsi Therapeutic / Medicalis, adalah penghentian kehamilan dengan

indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu, atau menghindarkan si

ibu dari kerusakan fatal pada kesehatan/tubuhnya yang tidak bisa

dikembalikan (irriversible) lagi.

4. Aborsi Kriminalis, adalah penghentian kehamilan sebelum janin bisa

hidup di luar kandungan dengan lasan-alasan lain, selain therapeutik, dan

dilarang oleh hukum.

5. Aborsi eugenetik, adalah penghentian kehamilan untuk menghindari

kelahiran bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis.

Eugenisme adalah ideologi yang diterapkan untuk mendapatkan keturuan

hanya yang unggul saja.

6. Aborsi langsung – tak langsung. Aborsi langsung adalah tindakan

(intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin

yang ada daklam rahin sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung ialah

(47)

aborsninya sendiri tidak dimasuksudkan dan bukan menjadi tujuan dalam

tindakan itu.

7. Selective abortion, adalah penghentian kehamilan karena janin yang

dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. Aborsi ini banyak

dilakukan wanita yang mangadakan “Pre natal diagnosis” yakni diagnosis

janin ketika ia masih ada dil dalam kandungan.

8. Embryo reduction (pengurangan enbryo). Pengguguran janin dengan

menyisakan satu atau dua janin saja, karena dikhawatirkan mengalami

hambatan perkembangan, atau bahkan tidak sehat perkembangannya.

9. Partil Birth Abortion, merupakan istilah politis/hukum yang dalam istilah

medis dikenal dengan nama dilation and extraction. Cara ini pertama-tama

adalah dengan cara memberikan obat-obatan kepada wanita hamil, tujuan

agar cervix (leher rahim) terbuka secara prematur. Tindakan selanjutnya

adalah menggunakan alat khusus, dokter memutar posisi bayi, sehingga

yang keluar lebih dahulu ialah kakinya. Lalu bayi itu ditarik ke luar, tetapi

tidak seluruhnya, agar kepala bayi tersebut tetap berada dalam tubuh

ibunya. Ketika di dalam itulah dokter menusuk kepala bayi tersebut

dengan alat yang tajam. Dan menghisap otak dibayi sehingga sibayi meti.

Sesudah bayi itu mati baru bayi itu dikeluarkan semuanya. Proses macam

ini dilakukan unutk menghindari masalah hukum, sebab apabila bayi itu

dibunuh sesudah lahir, maka pelakunya akan dihukum. Akan tetapi karena

(48)

sudah dalam keadaan mati, maka sang pelaku bebas dari hukuman

pembunuhan.12

Secara klinis di bidang medis dikenal istilah-istilah abortus sebagai

berikut :

1. Abortus Imminens atau keguguran mengancam.

2. Abortus Insipiens atau keguguran berlangsung atau proses keguguran yang

tidak dapat dicegah lagi.

3. Abortus Incomplet atau keguguran tidak lengkap, misalnya ari-arinya

masih tertinggal.

4. Abortus Complet atau keguguran lengkap, seluruh buah kehamilan telah

dilahirkan secara lengkap.

5. Missed Abortion atau keguguran tertunda, keadaan janin telah mati

sebelum minggu ke-22 kemudian tertahan di dalam selama 2 bulan atau

lebih

6. Abortus Habitualis atau keguguran berulang, berulang dan terjadi tiga kali

berturut-turut.13

Abortus adalah pengeluaran hasil hasil konsepsi sebelum janin mampu

hidup di luar kandungan dengan berat badan kurang dari 500 gram atau umur

kehamilan kurang dari 28 minggu. Terdapat 2 (dua) macam abortus, yaitu

abortus spontan dan abortus provocatus.

12Mien Rukmini, Op.cit, h. 20.

(49)

1. Abortus Spontan

Abortus spontan didefinisikan sebagai aborsi yang yang terjadi tanpa

tindakan mekanis atau medis yang dikenal lebih luas dengan istilah

keguguran.14 Adapun penyebab dari abortus spontan, yaitu:

a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi (pembuahan) yang dapat

menimbulkan kematian janin dan cacat yang menyebabkan hasil

konsepsi dikeluarkan. Gangguan pertumbuhan hasil konsepsi dapat

terjadi karena faktor gangguan kromosom terjadi sejak semula

pertemuan kromosom, faktor lingkungan, selain itu juga karena gizi

ibu yang kurang karena anemia atau terlalu pendeknya jarak

kehamilan. Hal lain yang ikut mempengaruhi, yaitu: pengaruh luar,

infeksi endometrium, hasil konsepsi yang dipengaruhi oleh cacat dan

radiasi, faktor psikologis, kebiasaan ibu (merokok, alkohol, dan

kecanduan obat).

b. Kelainan plasenta, ada banyak hal yang mempengaruhi yaitu: infeksi

pada plasenta, gangguan pembuluh darah dan hipertensi.

c. Penyakit Ibu, penyakit infeksi seperti tifus abdominalis, malaria,

pnemonia, sifilis dan penyakit menahun sperti hipertensi, penyakit

ginjal, dan penyakit hati.

d. Kelainan rahim.15

2. Abortus Provocatus

14 Soekidjo Notoatmodjo, loc.cit.

(50)

Abortus provocatus merupakan jenis abortus yang sengaja dilakukan,

yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di

luar tubuh ibu. Abortus provocatus dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Abortus provocatus medicinalis

Aborsi ini merupakan aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena

alasan medis yang sangat darurat atau jika ada indikasi bahwa

kehamilan dapat membahayakan atau mengancam ibu bila kehamilan

berlanjut. Dengan kata lain, demi menyelamatkan jiwa ibu hamil dan

atau janinnya boleh dilakukan tindakan medis tertentu yang dapat saja

berupa menggugurkan atau mematikan kandungan. Namun untuk

melakukan aborsi harus memenuhi berbagai syarat untuk melakukan

tindakan medis. Adapun syarat lainnya, yaitu:

(a).harus dengan indikasi medis;

(b).dilakukan oleh tenaga kesehatan keahlian dan wewenang untuk

itu;

(c).harus berdasarkan pertimbangan tim ahli;

(d).harus dengan persetujuan ibu hamil, suaminya, atau

keluarganya (informed consent); dan dilakukan pada sarana

kesehatan tertentu

2. Abortus provocatus criminalis

Aborsi ini merupakan pengguguran kandungan yang dilakukan dengan

sengaja tanpa mempunyai alasan kesehatan (medis), didorong oleh

(51)

aborsi ini adalah wanita dan pria yang telah melakukan hubungan

diluar perkawinan yang mengakibatkan kehamilan yang tidak

diinginkan

3. Unsafe Abortion

Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan

tersebut tidak mempunyai cukup keahlian dan prosedurstandar yang

aman sehingga dapat membahayakan keselamatan jiwa pasien.16

2.3 Lahirnya PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

Pada tanggal 21 Juli 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

menerbitkan sebuah Peraturan Perundang-Undangan baru berupa Peraturan

Pemerintah (PP) yang mengatur mengenai pelaksanaan kesehatan yaitu PP No.

61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. PP Kesehatan Reproduksi

tersebut diantaranya mengatur masalah aborsi bagi perempuan hamil yang

diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat pemerkosaan.

PP Kesehatan Reproduksi ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, khususnya Pasal 75 Ayat (1) Undang-Undang

Kesehatan yang ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi,

terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat

pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban

pemerkosaan.

Menurut PP Kesehatan Reproduksi, tindakan aborsi hanya dapat

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada K1 mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi, sedangkan pada K2, CL tidak langsung regresi setelah

Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar konstruktivisme.

Sebagai organ negara atau lembaga yang diberi kedudukan tertinggi sehingga presiden sebagai penyelenggara kekuasaan negara diharuskan tunduk dan bertanggung jawab,

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau Femerintah Daerah yang telah berrugas sebagaimana dimalsud pada ayat (1) berhak pindah' tugas setelah tersedia Guru pengganti. Dalam

Bila tumor ini timbul di telinga tengah, gejala awal paling sering adalah nyeri, kehilangan pendengaran, otore kronis atau massa di telinga, perluasan tumor

Selain itu, penelitian yang dilaksanakan oleh Sukerti (2013) tentang penggunaan media gambar beseri pada pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu keterampilan menulis narasi

Kebijakan untuk menjadikan daerah-daerah di Jawa sebagai daerah kotapraja yang dimulai dari kota Batavia lalu kemudian Magelang didasarkan pada tiga faktor yang biasanya