• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7. Landasan Teoritis

menegakkan fungsi dengan benar dan adil dalam upaya penerapan Peraturan Perundang-undangan.

1.7Landasan Teoritis

1. Konsep Negara Hukum

Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M

Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance

and culture interact”.6

Terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal

substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal

culture).

Secara konseptual istilah negara hukum di indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing, yaitu :

a. Rechsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum

yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menuju tipe negara hukum dari negara Anglo

Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.7

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep

rechsstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa

Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechsstaat yang

6

Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Prespective, Rusell Sage Foundation, New York, h.4.

7

I Dewa Gede Atmaja, 2010, Hukum Konstitusi : Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157.

15

pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodesasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia tidak seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep

rechsstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada

dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu

konsep “Negara Hukum Pancasila”.

Menurut Bagir Manan unsur-unsur terpenting dari negara hukum, dikemukakan terdiri dari :

1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.

2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreading van de

staatsmacht).

4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.

5. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan

atas hukum (undang-undang).9

2. Teori Perlindungan Hukum

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari teori hukum alam. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Plato dan Aristoteles.

8

Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon I), h.66-67.

9

Bagir Manan, 1994, Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.35.

16

Kaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa :

Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.10

Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang perlu dikaitkan dengan adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M. Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :

1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif sangan besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif terdorong untuk bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.11

10

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon II), h.205.

17

Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.12 Perlindungan hukum memberikan jaminan setiap orang untuk memperoleh hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana perlindungan hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

3. Teori Victimologi

Victimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat dari penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.13 Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,

sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the aprevention of

Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,

September 1985, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu

12

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54.

13

18

deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power.14

Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan :

“Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where

appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of

the victimization, the provision of service and the restoration of rights”.15

(Terjemahan bebas penulis : Pelaku atau mereka yang bertanggung jawab atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban. Restitusi terebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderit oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.16 Adapun bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu :

1. Acces to justice and fair treatment (pemberian kesempatan terlibat

dalam sistem peradilan pidana dan peradilan yang wajar) menentukan bahwa perlindungan korban harus dilakukan dengan jalan memberikan

14

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.

15

Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind Hill Co, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Arif Gosita II), h.77.

16

19

perhatian (respect and recognition) terhadap keberadaan mereka dalam sistem peradilan pidana, peradilan pidana dan mekanismenya harus dipastikan dan diperkuat agar dapat memenuhi kebutuhan korban untuk memperoleh penggantian kerugian baik melalui prosedur formal maupun informal secara cepat, wajar, tidak mahal dan mudah dilakukan, serta harus difasilitasi dengan jalan :

(a) Memberikan informasi perkembangan kasusnya;

(b) Memperhatikan keinginan korban terkait dengan kehadirannya di sidang pengadilan, memberikan masukan dalam pengambilan keputusan tanpa menimbuklan prasangka dari terdakwa dan sesuai dengan sistem yang berlaku;

(c) Memberikan bantuan pada korban dalam proses hukum;

(d) Melindungi privasi korban dan memberikan rasa aman pada korban dan keluarganya dan saksi yang mereka perlukan harus terbebas dari intimidasi dan balas dendam;

(e) Menghindari terjadi keterlambatan penyelesaian kasusnya, eksekusi dari keputusan dan menjamin adanya hadiah untuk korban.

2. Restitusi berupa upaya untuk mengganti kerugian dari perilaku kejahatan terhadap korban, dan keluarganya. Restitusi termasuk pengembalian harta benda, membayar biaya pengobatan, mengembalikan biaya-biaya yang harus ditanggung korban sebagai

20

akibat terjadinya korban. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkaitkannya dengan pemidanaan pada pelaku kejahatan.17

3. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara bilamana ganti kerugian tidak diperoleh atau tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku kejahatan.18

4. Bantuan baik materi, medis, psikologis, maupun bantuan hukum.

4. Teori Perjenjangan Norma

Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre

mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.19 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar, yaitu :

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara) Kelompok II : Staatgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok

Negara)

17

Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, h.43.

18Ibid, h.42.

19

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h.44.

21

Kelompok III : Formell Gesetz ( undang-undang formal)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan aturan otonom).

Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) dinyatakan tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental

negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma hukum yang berisi sanksi.

Batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatgerundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupakan

garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari norma hukumnya masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal, belum dilekati oleh norma hukum sanksi. Undang-Undang dikategorikan

22

dalam Formell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome Satzung.

Dokumen terkait