• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK."

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN

SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA

PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA

NIM. 1203005050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN

SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA

PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA

NIM. 1203005050

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa

atas segala rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi yang berjudul

“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN

KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI

BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” ini,

dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk

dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Udayana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna akibat dari

keterbatasan kemampuan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi

kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

Penulisan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak baik

langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik

ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

(6)

vi

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH., Dosen Pembimbing I yang telah

sabar memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan motivasi kepada penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

6. Bapak A.A. Ngurah Wirasila, SH.,MH., Dosen Pembimbing II yang telah

sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis menyelesaikan

penulisan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH., M.Si., yang telah memasuki masa pensiun

kemudian digantikan oleh Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., Pembimbing

Akademik yang telah menuntun dan membimbing penulis dari awal kuliah di

Fakultas Hukum Universitas Udayana;

8. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah kepada penulis;

10. Bapak dan Ibu Staf Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha

Fakultas Hukum Universitas Udayana;

11. Kepada kedua orang tua saya, I Gusti Ngurah Aria Utama SH dan I Gusti

Ayu Ngurah Aryani, yang telah memberikan doa dan dukungan kepada

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

12. Kepada I Gusti Agung Istri Cintya Saraswati yang selalu sabar menemani

(7)

vii

memberikan bantuan dan dukungan Teman-teman seperti Arista, Jayak, Gek

In, Cibo, Boldes, Ayu Pasek, dan teman-teman Kelas A Fakultas Hukum

Universitas Udayana lainnya yang telah menemani mulai dari awal kuliah

hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini;

13. Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya seperti Diska, Aik, Cida, Noving,

Adel, Shah, Jerry, Dewa Arie, Ardi, Catur, Sabo, teman-teman Cenggolove

dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak

memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

Semoga segala bantuan, budi baik dan petunjuk yang telah diberikan

kepada penulis mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis

menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian

ini. Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran

demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai

bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.

Denpasar, 20 April 2016

(8)

viii DAFTAR ISI

Isi Halaman

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... viii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... xi

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 10

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4.Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5. Tujuan Penelitian ... 11

a. Tujuan Umum ... 11

b. Tujuan Khusus ... 11

1.6. Manfaat Penelitian ... 13

a. Manfaat Teoritis ... 13

b. Manfaat Praktis ... 13

(9)

ix

1.8. Metode Penelitian ... 22

a. Jenis Penelitian ... 22

b. Jenis Pendekatan ... 22

c. Bahan Hukum ... 23

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 25

e. Teknik Analisis ... 26

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1.Pengertian Korban ... 28

2.2.Pengertian Anak ... 30

2.3.Hak-Hak Anak ... 32

2.4.Pengertian Kejahatan Seksual ... 34

BAB III SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL 3.1. Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam KUHP ... 39

3.2.Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 48

BAB IV PERLINDUNGAN KHUSUS BERDASARKAN PERDA PROVINSI BALI NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

4.1.Pengaturan Perlindungan Khusus terhadap Anak Korban

(10)

x

Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak …………... 57

4.2.Perlindungan Khusus terhadap Anak yang Tereksploitasi

secara Ekonomi dan/atau Seksual Berdasarkan Perda Provinsi

Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 64

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan ... 73

5.2. Saran ... 74

(11)
(12)

xii

ABSTRACT

Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection is felt not to run effectively, especially in giving special protection to children so that the Government of the Republic of Indonesia took the initiative to renew by establishing Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. Legal Protection of children as victims of sexual crimes specifically regulated in Article 59 on Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection and obliges local governments to implement special protection to children. In local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection still refers to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection in relation to giving special protection to children victims of sexual crimes only regulates children exploited economically and / or sexually referred to in Article 21 paragraph (1) letter b local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection.

The method used in this thesis is a normative legal research. The issues

raised in this study are: 1. How will the legal protection of children as victims of sexual crimes in terms of the Criminal Code and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection? 2. How will the special protection to children as victims of sexual crimes after the entry into force of the local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection?. The approach used in this study is the approach of legislation and conceptual approaches. As a source of law is the subject of this study is derived from the results of the research literature.

As can be inferred in legal research are as follows: (a) In the Criminal Code, sexual crimes committed against minors under Article 287 paragraph (1) Criminal Code is still a complaint-based offense and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection set up special protection victims of sexual crimes against children as defined in Article 59 paragraph (2) letter j Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. (b) Special protection of the rights of children in local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection provided for in Article 21 paragraph (1), provisions on special protection in relation to sexual crimes only under Article 21 paragraph (1) b of children who are economically exploited sexually and / or because they refer to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection.

(13)

xiii ABSTRAK

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasakan belum dapat berjalan secara efektif terutama dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk memperbaharui dengan membentuk UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual diatur secara khusus dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perlindungan khusus terhadap anak. Di dalam Perda Provinsi Bali Tahun 2014 yang masih mengacu pada UU Perlindungan Anak Tahun 2002 dalam kaitannya memberikan perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak? 2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari hasil penelitian kepustakaan.

Adapun yang dapat disimpulkan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : (a) Di dalam KUHP, kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak dibawah umur diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang masih merupakan delik aduan dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 mengatur perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. (b) Perlindungan khusus terhadap hak-hak anak di dalam Perda Perlindungan Anak Provinsi Bali diatur dalam Pasal 21 ayat (1), Ketentuan mengenai perlindungan khusus dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yaitu anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual karena masih mengacu pada UU Perlindungan Anak tahun 2002.

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kejahatan atau tindak kriminal, merupakan salah satu tindakan atau

perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat dalam setiap bentuk

masyarakat. Kejahatan pada masyarakat saat ini telah menempati tempat teratas

yang merupakan permasalahan pokok dalam setiap kehidupan di masyarakat.

Banyak terdapat jenis-jenis kejahatan dalam berbagai bentuk seperti pembunuhan,

pemerkosaan, penganiayaan, perusakan, maupun pencurian dengan kekerasan

merupakan hal yang sering kali terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat.

Sejak awal mulai lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang paling

banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dalam suatu kejahatan, kerugian yang

paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit

sekali hukum atau peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang

mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.1

Masalah hubungan pelaku kejahatan dan korban bukanlah masalah yang

baru, hanya saja selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang

diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan

pidana. Korban tidaklah hanya sebagai sebab dan dasar proses terjadinya

1

(15)

2

kriminalitas namun juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari

kebenaran, mengerti masalah kejahatan, dilekuensi, dan deviasi.2

Beberapa tahun terakhir ini kejahatan terhadap orang dewasa maupun

anak-anak semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan

teknologi dan peradaban manusia, kejahatan yang terjadi tidak hanya

menyangkut kejahatan terhadap nyawa, harta benda akan tetapi kejahatan

terhadap kesusilaan juga semakin meningkat. Sebagai masalah sosial

pelecehan dan tindak pidana kejahatan seksual hingga kini sudah banyak

dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang dilakukan oleh orang dewasa

maupun lanjut usia dan dari kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Berbagai

pelecehan seksual akhirnya menjadi perkara kejahatan yang terungkap selama

ini, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat atau

sudah kenal baik dengan korban baik hubungan keluarga maupun

tetangga, ataupun hubungan antara pelaku dan korban sudah saling mengenal

sebelumnya.

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Agar kelak mampu

bertanggung jawab dalam keberlangsungan Bangsa dan Negara, setiap anak perlu

mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya

2

(16)

3

perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan

terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, dan orang

tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya

hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap

anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk

mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam

berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan

terhadap hak anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi

manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak

asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan

Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang nasional

maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi

konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak

melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang hak-hak anak).

Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut sebagai

(17)

4

beberapa hal antara lain persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum,

anak dari kelompok minoritas anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual,

anak yang diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi

dan anak dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan

berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan

terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam

pelaksanaannya Undang tersebut telah sejalan dengan amanat

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjtnya

disebut dengan UUD 1945) terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu anak sebagai

manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

Maraknya tindak kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual di

tahun 2000an mendorong masyarakat memberikan sorotan keras terhadap

fenomena itu tersebut. Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang

dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi,

pedofilia, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersial

hingga pembunuhan yang marak dipublikasikan lewat media masa elektronika

dan cetak membuat masyarakat geram dan meminta negara segera bertindak.3

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya UU

Perlindungan Anak Tahun 2002 belum dapat berjalan secara maksimal terutama

dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan

seksual sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk

3

(18)

5

memperbaharui dengan membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor

297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606, selanjutnya

disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2014). Dalam ketentuan Pasal 1

angka 15 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dijelaskan bahwa:

“Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak

dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap

ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya”

Perlindungan khusus yang diatur dalam UU Perlindungan Anak Tahun

2014 salah satunya adalah perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual dimana pengaturannya terdapat di dalam Pasal 59 UU

Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjelaskan :

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada anak.

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;

(19)

6

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.

Disinilah terlihat jelas bahwa di dalam pengaturan UU Perlindungan Anak

Tahun 2014 yakni Pasal 59 ayat (1) yang telah diperbaharui oleh Pemerintah

Republik Indonesia memberikan kewajiban kepada Pemerintah baik itu

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk memberikan Perlindungan

Khusus salah satunya adalah Perlindungan Khusus terhadap anak korban

kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (2) huruf j UU

Perlindungan Anak Tahun 2014.

Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak yang dihimpun oleh

vivanews.com, tren kejahatan terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun.

Jumlah Kejahatan terhadap anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Jumlah Kejahatan terhadap Anak

*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per April 2015, mencatat,

terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan

dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus. Sementara pada tahun 2011, tercatat

sebanyak 2179 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311, dan 2014

No. Tahun Jumlah Kasus

1 2010 171

2 2011 2179

3 2012 3512

4 2013 4311

5 2014 5066

(20)

7

sebanyak 5066 kasus. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap

anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait

kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan

pornografi.

Tabel 2 : Jenis Kejahatan

No. Jenis Kejahatan Jumlah Kasus s/d April

2015

1 Anak salah pengasuhan 3160

2 Pendidikan 1764

3 Kesehatan dan NAPZA 1366

4 Cyber crime dan Pornografi 1037

Jumlah 6006

*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam

Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Perlindungan anak Indonesia

(KPAI), rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.4

Sedangkan kasus yang terjadi di Kota Denpasar berdasarkan data dari Pusat

Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dihimpun

oleh Bali Tribun News, setidaknya ada 69 kasus kejahatan seksual terhadap anak

selama periode Januari hingga September 2015.5

4

lma Sovri Yanti, Ketua Satgas Perlindungan Anak, 2014, URL :

(21)

8

Di Provinsi Bali sendiri untuk menanggulangi kasus kejahatan terhadap

anak pada umumnya dan khususnya kasus kejahatan seksual terhadap anak,

Pemerintah Daerah bersama DPRD Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan

Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran

Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014, selanjutnya disebut sebagai Perda

Perlindungan Anak) yang diharapkan mampu menjamin hak-hak anak yang

menjadi korban kejahatan terhadap anak. Perda Perlindungan Anak yang

diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada Tahun 2014 masih mengacu pada

UU Perlindungan Anak Tahun 2002, sehingga apa yang tercantum di dalam UU

Perlindungan Anak Tahun 2014 belum sepenuhnya diakomodir oleh Perda

Perlindungan Anak ini. Salah satunya hal yang tidak diakomodir adalah mengenai

bentuk perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kejahatan

seksual dimana perlindungan khusus terhadap anak di dalam Peraturan Daerah ini

diatur dalam Pasal 21 yang menjelaskan :

(1) Pemenuhan hak anak atas Perlindungan Khusus meliputi : a. Anak yang berhadapan dengan hukum;

b. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; c. Anak korban trafiking;

d. Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;

e. Anak korban penularan HIV/AIDS; f. Anak korban penculikan;

g. Anak terlantar dan anak jalanan; h. Anak korban kekerasan;

i. Anak korban bencana alam atau bencana sosial;

5

(22)

9

j. Anak penyandang cacat/disabilitas; k. Anak korban perlakuan salah; dan

l. Anak dari kelompok minoritas yang terisolasi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak anak atas perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.

Terdapat rumusan pasal yang belum diatur di dalam penerapan Peraturan

Daerah ini yaitu tentang perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan

seksual, padahal berkaca pada pengaturan di dalam UU Perlindungan Anak Tahun

2014 Pasal 59 ayat (1) yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memberikan

perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual

sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun

2014. Di dalam Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang

tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam

Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Perlindungan Anak. Tidak dijelaskan di dalam

Peraturan Daerah ini tentang apa yang dimaksud dengan eksploitasi anak baik itu

secara ekonomi dan/atau seksual, sehingga terlihat kurang jelas pengaturannya di

dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak ini. Padahal Perda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak ini merupakan

payung hukum (Umbrella Act) unuk menjadi pedoman perlindungan terhadap

hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan seksual di Provinsi Bali.

Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali

dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan peranan semua pihak yang

terkait untuk keberadaan perlindungan khusus terhadap anak ini sangatlah

(23)

10

Perlindungan Anak yang disinyalir dapat menyebabkan terganggunya penegakan

hukum dengan semakin maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang

terjadi di Provinsi Bali sehingga penulis tertarik mengangkat judul

“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK”.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diamati beberapa

permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak?

2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban

kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak ?

1.3Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memudahkan dalam menelaah

permasalahan dan tidak melebar ke masalah lain, maka perlu diadakan

pembatasan masalah. Adapun yang dibahas dalam tulisan ini antara lain

(24)

11

pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual

ditinjau dari KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan yang kedua yaitu

membahas tentang bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap anak

sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak.

1.4Orisinalitas Penelitian

Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini, penulis melakukan

pemeriksaan perpustakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disampaikan

bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis namun dari segi substansi berbeda

dengan penelitian ini.

Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai

(25)

12

Anak (UPPA) Polres Bantul Tahun 2012-2014? 2. Apa yang

menghambat dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap

perempuan oleh UPPA Polres Bantul?

1.5Tujuan Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah haruslah mempunyai tujuan tertentu yang

hendak dicapai. Adapun tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai

berikut :

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah

untuk memberikan perkembangan bagi hukum pidana, khususnya terkait urgensi

pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan

seksual.

b. Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisa bagaimana pengaturan perlindungan hukum

terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan

(26)

13

2. Untuk menganalisa bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap

anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda

Provinsi Bali Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

1.6Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangan

dan manfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana

sehingga dapat mempekaya bahan-bahan terutama guna

pengembangan dunia peradilan pidana pada khususnya dan ilmu

hukum pada umumnya.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan atau pedoman

referensi untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada anak

sebagai korban suatu tindak pidana kejahatan seksual dengan lebih

optimal dimasa mendatang.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Masyarakat sebagai bahan untuk acuan dalam pelaksanaan

kehidupan keluarga berbangsa dan bernegara guna lebih

memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap anak agar

tidak menjadi korban suatu kejahatan seksual.

2. Bagi penegak hukum agar dapat menegakkan fungsinya dengan baik

(27)

14

menegakkan fungsi dengan benar dan adil dalam upaya penerapan

Peraturan Perundang-undangan.

1.7Landasan Teoritis

1. Konsep Negara Hukum

Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M

Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance

and culture interact”.6 Terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal

substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal

culture).

Secara konseptual istilah negara hukum di indonesia dipadankan dengan

dua istilah dalam bahasa asing, yaitu :

a. Rechsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum

yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa

Kontinental atau civil law system.

b. Rule of law (Inggris), menuju tipe negara hukum dari negara Anglo

Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.7

Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep

rechsstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa

Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechsstaat yang

6

Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Prespective, Rusell Sage Foundation, New York, h.4.

7

(28)

15

pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada

perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa

yang dalam periodesasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama

negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia tidak

seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep

rechsstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada

dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu

konsep “Negara Hukum Pancasila”.

Menurut Bagir Manan unsur-unsur terpenting dari negara hukum,

dikemukakan terdiri dari :

1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.

2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.

3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreading van de

staatsmacht).

4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.

5. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan

atas hukum (undang-undang).9

2. Teori Perlindungan Hukum

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari teori

hukum alam. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Plato dan Aristoteles.

8

Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon I), h.66-67.

9

(29)

16

Kaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon berpendapat

bahwa :

Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.10

Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang perlu dikaitkan dengan

adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang

dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M.

Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :

1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif sangan besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif terdorong untuk bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.11

10

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon II), h.205.

11Ibid

(30)

17

Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum,

perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi

manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan

kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.12 Perlindungan hukum memberikan jaminan setiap orang untuk

memperoleh hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana

perlindungan hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat

menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

3. Teori Victimologi

Victimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari

masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat dari penimbulan korban,

yang merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.13

Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,

dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,

sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the aprevention of

Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,

September 1985, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban

kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu

12

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54.

13

(31)

18

deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power.14

Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan :

“Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where

appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of

the victimization, the provision of service and the restoration of rights”.15

(Terjemahan bebas penulis : Pelaku atau mereka yang bertanggung jawab atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban. Restitusi terebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat

diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang

diderit oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis

tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai

apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.16 Adapun

bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu :

1. Acces to justice and fair treatment (pemberian kesempatan terlibat

dalam sistem peradilan pidana dan peradilan yang wajar) menentukan

bahwa perlindungan korban harus dilakukan dengan jalan memberikan

14

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.

15

Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind Hill Co, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Arif Gosita II), h.77.

16

(32)

19

perhatian (respect and recognition) terhadap keberadaan mereka dalam

sistem peradilan pidana, peradilan pidana dan mekanismenya harus

dipastikan dan diperkuat agar dapat memenuhi kebutuhan korban

untuk memperoleh penggantian kerugian baik melalui prosedur formal

maupun informal secara cepat, wajar, tidak mahal dan mudah

dilakukan, serta harus difasilitasi dengan jalan :

(a) Memberikan informasi perkembangan kasusnya;

(b) Memperhatikan keinginan korban terkait dengan kehadirannya di

sidang pengadilan, memberikan masukan dalam pengambilan

keputusan tanpa menimbuklan prasangka dari terdakwa dan sesuai

dengan sistem yang berlaku;

(c) Memberikan bantuan pada korban dalam proses hukum;

(d) Melindungi privasi korban dan memberikan rasa aman pada korban

dan keluarganya dan saksi yang mereka perlukan harus terbebas

dari intimidasi dan balas dendam;

(e) Menghindari terjadi keterlambatan penyelesaian kasusnya,

eksekusi dari keputusan dan menjamin adanya hadiah untuk

korban.

2. Restitusi berupa upaya untuk mengganti kerugian dari perilaku

kejahatan terhadap korban, dan keluarganya. Restitusi termasuk

pengembalian harta benda, membayar biaya pengobatan,

(33)

20

akibat terjadinya korban. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengkaitkannya dengan pemidanaan pada pelaku kejahatan.17

3. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara bilamana ganti kerugian

tidak diperoleh atau tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku

kejahatan.18

4. Bantuan baik materi, medis, psikologis, maupun bantuan hukum.

4. Teori Perjenjangan Norma

Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre

mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma

hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang

norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma

dasar.19 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu

berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga

berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri

atas empat kelompok besar, yaitu :

Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok II : Staatgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok

Negara)

17

Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, h.43.

18Ibid

, h.42.

19

(34)

21

Kelompok III : Formell Gesetz ( undang-undang formal)

Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan

aturan otonom).

Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) dinyatakan tentang jenis dan

hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental

negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar

bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis

besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma

hukum yang berisi sanksi.

Batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan

Staatgerundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupakan

garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata

cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari

norma hukumnya masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum

(35)

22

dalam Formell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta

Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome Satzung.

1.8Metode Penelitian

Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan

menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metedologi dan

sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah

sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk

karya ilmiah.20

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif ini juga disebut

penelitian terhadap kaidah atau hukumnya itu sendiri dan asas-asas hukum.

b. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Untuk pengkajian permasalahannya dilihat dari segi

20

(36)

23

hukumnya dan mengenai sumbernya berasal dari peraturan

perundang-undangan serta teori-teori yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaannya.21

c. Bahan Hukum

Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari

hasil penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap

peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan terkait dengan

pokok permasalahan yang pada dasarnya dapat diklarifikasikan menjadi 2

(dua) jenis bahan hukum, yakni bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Sebagai bahan hukum primer dari hasil penelitian ini berasal

dari penelitian terhadap aturan-aturan hukum termasuk peraturan

perundang-undangan, yaitu :

- Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945

- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4235);

21

(37)

24

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5606);

- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 6602);

- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999

Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3886);

- Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara);

- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4419);

- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian

(38)

25

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4860);

- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014

Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6

Tahun 2014).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder penelitian ini antara lain diperoleh dari

literature, majalah, makalah maupun hasil-hasil penelitian Hukum yang

berkaitan dengan pengaturan perlindungan khusus terhadap anak.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pemenuhan bahan

hukum adalah teknik studi kepustakaan (study document) yang dilakukan

terhadap bahan-bahan hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada

dengan menggunakan teknik membaca serta mencatat dengan sistem kartu

(card system) sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Sistem ini

dilakukan dengan tiga cara, yaitu :

1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis

telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan

pustaka yang diketahuinya.

2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis

tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namum penulis

(39)

26

3. Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek

adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu

bahan, dari subjek ini penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang

ataupun judul dari suatu bahan pustaka.22

Sistem yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah mempergunakan

kartu judul karena penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang,

namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.

e. Teknik Analisis

Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpulkan

berkenaan dengan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban

kejahatan selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi,

sistematisasi dan eksplanasi. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk

menentukan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Pada tahapan ini

dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang

terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perlindungan anak sebagai korban kejahatan seksual baik berupa

Undang-Undang maupun Peraturan Daerah.

Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hirarkis

antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam

penelitian ini. Pada tahapan ini juga dilakukan koherensi antara aturan hukum

yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Selanjutnya pada tahap

22

(40)

27

eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam

aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling

(41)

28

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1Pengertian Korban

Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi

Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

“orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian

harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran

ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang

dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah

korban dari pelanggaran atau tindak pidana.23

Sedangkan menurut Arif Gosita, menyatakan yang dimaksud dengan

korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat

tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.24

Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang

perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya

jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan

negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat,

bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut :

23

Bambang Waluyo, op.cit, h.9.

(42)

29

1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil;

2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam;

3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab;

4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.25

Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di

Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan

oleh suatu tindak pidana”.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami

kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.

25Ibid

(43)

30

3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah

orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan

baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami

pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai

akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk

korban adalah juga ahli warisnya”.

2.2Pengertian Anak

Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,

karena anak adalah bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi

muda ada yang disebut dengan remaja dan dewasa. Menurut Shanty Dellyana

yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi

dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa).26

Menurut Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih di bawah usia

tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak

menurut hukum adat adalah mereka yang masih muda usia dan muda dalam

jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar.27

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadi kita harus bersifat

responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang

26

Shanty Dellyana, 1990, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Liberti, Yogyakarta, h. 50.

27

(44)

31

berlaku. Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangangan yang

berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan”.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3) tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana”.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang

Hak Asasi Manusia.

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum

menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila tersebut

demi kepentingannya”.

4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang

(45)

32

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan

belum pernah kawin.

5. Menurut Perda Provinsi Bali Tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) tentang

Perlindungan Anak.

Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi “Anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.

Dari pengertian anak yang telah dikemukakan diatas, dapat penulis

simpulkan bahwa Undang-Undang menjamin dan melindungi hak-hak anak agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan.

2.3Hak-Hak Anak

Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan

Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of

The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia

terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam

Konvensi Hak-Hak Anak.

Menurut Erna Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah

meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak) wajib menerapkan dengan melakukan

harmonisasi hukum :

a. Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih dalam proses perencanaan/pembentukannya;

(46)

33

c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia;

d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan

e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia. 28

Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di

Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah

mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu

hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari

diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai

keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu :

1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat;

2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana

28

(47)

34

mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29

2.4Pengertian Kejahatan Seksual

Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut

penggunaannya masing-masing, yaitu:

1. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian.

2. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.

3. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat , misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.30

Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari

sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut

keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar

norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan

disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di

(48)

35

Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut :

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja.

3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.31

Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang

merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan.

Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan,

sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya.

Berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan

jenis kelamin”. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan

(persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa’abah

memgingatkan, ”membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana

yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan.

Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah

hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang

bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai

seksualitas yang sakit dan jahat”.32

Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata “kejahatan” dan “seksual”

tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni “kejahatan seksual” namun

(49)

36

unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat

dikatakan sebagai komponen kejahatan.

Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya

bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual,

samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan,

perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan

perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan).

Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang

tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara

kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan

dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk

melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran.

Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya

kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa

memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan

baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan.33

Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan

seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual

yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari

tindak kejahatan.

33Ibid

(50)

37

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari

kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam

Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan

dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12

tahun.34

Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau

membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena

merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan

tahun.35

Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana

disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan

nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,

meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga

masuk dalam pengertian ini.36

Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan

seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan

34

Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1.

35Ibid.

36Ibid,

(51)

38

dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan

dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya

memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk

memperlancar usaha-usaha jahatnya.

Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku

seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak

korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual

yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang

membutuhkan perhatian.37

37

Gambar

Tabel 1 : Jumlah Kejahatan terhadap Anak
Tabel 2 : Jenis Kejahatan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian maka menjaga kebersihan pesantren merupakan hal yang sangat penting dan sebagai upaya hidup sehat sekaligus penanaman karakter peduli terhadap lingkungan

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Anak diharapkan kelak dapat memikul tanggung jawab dalam hidupnya, maka ia perlu

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai suatu bentuk konstribusi dalam pengembangan ilmu Matematika terapan, khususnya aplikasi metode beda hingga eksplisit

Untuk program software /non fisik, yang termasuk dalam entitas kawasan antara

Peningkatan Kualitas Telur Itik Pitalah dengan Pemberian Pakan Tepung Daun Lamtoro ( Leucaena leucochepala ) yang Difermentasi dengan Bacillus laterosporus dan..

Ekstrak etanol mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak n -heksan dan etil asetat, hal ini diduga karena adanya kandungan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran make a match dapat meningkatkan keaktifan siswa selama pembelajaran

Proses penggabungan Geometri Fraktal dengan Batik Sendang dimulai de- ngan melakukan transformasi geometri pada Segitiga Sierpinski, Koch Snowflake dan Kurva Hilbert yang menjadi