i
SKRIPSI
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN
SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA
PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA
NIM. 1203005050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN
SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA
PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
PERLINDUNGAN ANAK
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I GUSTI NGURAH BIMA PRASTAMA
NIM. 1203005050
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atas segala rahmat dan karunia-Nya penulisan skripsi yang berjudul
“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI
BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK” ini,
dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna akibat dari
keterbatasan kemampuan penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi
kriteria salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
Penulisan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dari berbagai pihak baik
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, melalui kesempatan yang baik
ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H., Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, S.H., M.H., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
vi
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana;
5. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH., Dosen Pembimbing I yang telah
sabar memberikan bimbingan, petunjuk, saran dan motivasi kepada penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;
6. Bapak A.A. Ngurah Wirasila, SH.,MH., Dosen Pembimbing II yang telah
sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis menyelesaikan
penulisan skripsi ini;
7. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukeni, SH., M.Si., yang telah memasuki masa pensiun
kemudian digantikan oleh Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH., Pembimbing
Akademik yang telah menuntun dan membimbing penulis dari awal kuliah di
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
8. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;
9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah
memberikan ilmu pengetahuan selama kuliah kepada penulis;
10. Bapak dan Ibu Staf Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
11. Kepada kedua orang tua saya, I Gusti Ngurah Aria Utama SH dan I Gusti
Ayu Ngurah Aryani, yang telah memberikan doa dan dukungan kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
12. Kepada I Gusti Agung Istri Cintya Saraswati yang selalu sabar menemani
vii
memberikan bantuan dan dukungan Teman-teman seperti Arista, Jayak, Gek
In, Cibo, Boldes, Ayu Pasek, dan teman-teman Kelas A Fakultas Hukum
Universitas Udayana lainnya yang telah menemani mulai dari awal kuliah
hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini;
13. Kepada sahabat-sahabat penulis lainnya seperti Diska, Aik, Cida, Noving,
Adel, Shah, Jerry, Dewa Arie, Ardi, Catur, Sabo, teman-teman Cenggolove
dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
memberikan bantuan dan dukungan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Semoga segala bantuan, budi baik dan petunjuk yang telah diberikan
kepada penulis mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penulis
menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan dalam penulisan hasil penelitian
ini. Dengan kerendahan hati, penulis menghargai dan menerima kritik dan saran
demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, baik sebagai
bahan bacaan maupun untuk pengetahuan bagi yang memerlukan.
Denpasar, 20 April 2016
viii DAFTAR ISI
Isi Halaman
HALAMAN SAMPUL... i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI ... viii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN... xi
ABSTRAK ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah... 10
1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 10
1.4.Orisinalitas Penelitian ... 11
1.5. Tujuan Penelitian ... 11
a. Tujuan Umum ... 11
b. Tujuan Khusus ... 11
1.6. Manfaat Penelitian ... 13
a. Manfaat Teoritis ... 13
b. Manfaat Praktis ... 13
ix
1.8. Metode Penelitian ... 22
a. Jenis Penelitian ... 22
b. Jenis Pendekatan ... 22
c. Bahan Hukum ... 23
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 25
e. Teknik Analisis ... 26
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1.Pengertian Korban ... 28
2.2.Pengertian Anak ... 30
2.3.Hak-Hak Anak ... 32
2.4.Pengertian Kejahatan Seksual ... 34
BAB III SISTEM PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL 3.1. Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam KUHP ... 39
3.2.Dasar Hukum Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 48
BAB IV PERLINDUNGAN KHUSUS BERDASARKAN PERDA PROVINSI BALI NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
4.1.Pengaturan Perlindungan Khusus terhadap Anak Korban
x
Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak …………... 57
4.2.Perlindungan Khusus terhadap Anak yang Tereksploitasi
secara Ekonomi dan/atau Seksual Berdasarkan Perda Provinsi
Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 64
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ... 73
5.2. Saran ... 74
xii
ABSTRACT
Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection is felt not to run effectively, especially in giving special protection to children so that the Government of the Republic of Indonesia took the initiative to renew by establishing Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. Legal Protection of children as victims of sexual crimes specifically regulated in Article 59 on Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection and obliges local governments to implement special protection to children. In local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection still refers to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection in relation to giving special protection to children victims of sexual crimes only regulates children exploited economically and / or sexually referred to in Article 21 paragraph (1) letter b local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection.
The method used in this thesis is a normative legal research. The issues
raised in this study are: 1. How will the legal protection of children as victims of sexual crimes in terms of the Criminal Code and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection? 2. How will the special protection to children as victims of sexual crimes after the entry into force of the local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection?. The approach used in this study is the approach of legislation and conceptual approaches. As a source of law is the subject of this study is derived from the results of the research literature.
As can be inferred in legal research are as follows: (a) In the Criminal Code, sexual crimes committed against minors under Article 287 paragraph (1) Criminal Code is still a complaint-based offense and Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection set up special protection victims of sexual crimes against children as defined in Article 59 paragraph (2) letter j Regulation Number 53 Year 2014 on Child Protection. (b) Special protection of the rights of children in local government regulation Number 6 Year 2014 on Child Protection provided for in Article 21 paragraph (1), provisions on special protection in relation to sexual crimes only under Article 21 paragraph (1) b of children who are economically exploited sexually and / or because they refer to Regulation Number 23 Year 2002 on Child Protection.
xiii ABSTRAK
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirasakan belum dapat berjalan secara efektif terutama dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk memperbaharui dengan membentuk UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual diatur secara khusus dalam Pasal 59 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan mewajibkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perlindungan khusus terhadap anak. Di dalam Perda Provinsi Bali Tahun 2014 yang masih mengacu pada UU Perlindungan Anak Tahun 2002 dalam kaitannya memberikan perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Adapun permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak? 2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ?. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari hasil penelitian kepustakaan.
Adapun yang dapat disimpulkan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : (a) Di dalam KUHP, kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak dibawah umur diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP yang masih merupakan delik aduan dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 mengatur perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan seksual sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun 2014. (b) Perlindungan khusus terhadap hak-hak anak di dalam Perda Perlindungan Anak Provinsi Bali diatur dalam Pasal 21 ayat (1), Ketentuan mengenai perlindungan khusus dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yaitu anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual karena masih mengacu pada UU Perlindungan Anak tahun 2002.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau tindak kriminal, merupakan salah satu tindakan atau
perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat dalam setiap bentuk
masyarakat. Kejahatan pada masyarakat saat ini telah menempati tempat teratas
yang merupakan permasalahan pokok dalam setiap kehidupan di masyarakat.
Banyak terdapat jenis-jenis kejahatan dalam berbagai bentuk seperti pembunuhan,
pemerkosaan, penganiayaan, perusakan, maupun pencurian dengan kekerasan
merupakan hal yang sering kali terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat.
Sejak awal mulai lahirnya hukum pidana, fokus subyek yang paling
banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dalam suatu kejahatan, kerugian yang
paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit
sekali hukum atau peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang
mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya.1
Masalah hubungan pelaku kejahatan dan korban bukanlah masalah yang
baru, hanya saja selama berabad-abad merupakan salah satu subjek yang
diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan
pidana. Korban tidaklah hanya sebagai sebab dan dasar proses terjadinya
1
2
kriminalitas namun juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari
kebenaran, mengerti masalah kejahatan, dilekuensi, dan deviasi.2
Beberapa tahun terakhir ini kejahatan terhadap orang dewasa maupun
anak-anak semakin meningkat. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan
teknologi dan peradaban manusia, kejahatan yang terjadi tidak hanya
menyangkut kejahatan terhadap nyawa, harta benda akan tetapi kejahatan
terhadap kesusilaan juga semakin meningkat. Sebagai masalah sosial
pelecehan dan tindak pidana kejahatan seksual hingga kini sudah banyak
dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang dilakukan oleh orang dewasa
maupun lanjut usia dan dari kebanyakan korbannya adalah anak-anak. Berbagai
pelecehan seksual akhirnya menjadi perkara kejahatan yang terungkap selama
ini, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang masih ada hubungan dekat atau
sudah kenal baik dengan korban baik hubungan keluarga maupun
tetangga, ataupun hubungan antara pelaku dan korban sudah saling mengenal
sebelumnya.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Agar kelak mampu
bertanggung jawab dalam keberlangsungan Bangsa dan Negara, setiap anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
2
3
perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga, dan orang
tua berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan menjamin terpenuhinya
hak asasi anak sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Perlindungan terhadap
anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi anak untuk
mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam
berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan upaya perlindungan
terhadap hak anak oleh Pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi
manusia yaitu penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak.
Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak
asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan
Hak Anak dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang nasional
maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi
konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang hak-hak anak).
Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, Pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut sebagai
4
beberapa hal antara lain persoalan anak yang sedang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas anak dari korban eksploitasi ekonomi dan seksual,
anak yang diperdagangkan, anak korban kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi
dan anak dalam situasi konflik bersenjata, perlindungan anak yang dilakukan
berdasarkan prinsip nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan
terhadap pendapat anak, hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam
pelaksanaannya Undang tersebut telah sejalan dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjtnya
disebut dengan UUD 1945) terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu anak sebagai
manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
Maraknya tindak kejahatan terhadap anak, khususnya kejahatan seksual di
tahun 2000an mendorong masyarakat memberikan sorotan keras terhadap
fenomena itu tersebut. Kasus-kasus kekerasan seksual seperti perkosaan yang
dilakukan oleh keluarga korban atau orang-orang dekat korban, kasus sodomi,
pedofilia, perdagangan anak untuk dieksploitasi menjadi pekerja seks komersial
hingga pembunuhan yang marak dipublikasikan lewat media masa elektronika
dan cetak membuat masyarakat geram dan meminta negara segera bertindak.3
Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya UU
Perlindungan Anak Tahun 2002 belum dapat berjalan secara maksimal terutama
dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan
seksual sehingga Pemerintah Republik Indonesia berinisiatif untuk
3
5
memperbaharui dengan membentuk Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606, selanjutnya
disebut sebagai UU Perlindungan Anak Tahun 2014). Dalam ketentuan Pasal 1
angka 15 UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dijelaskan bahwa:
“Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak
dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap
ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya”
Perlindungan khusus yang diatur dalam UU Perlindungan Anak Tahun
2014 salah satunya adalah perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban
kejahatan seksual dimana pengaturannya terdapat di dalam Pasal 59 UU
Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjelaskan :
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada anak.
(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada :
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum; c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi; g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan; i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual; k. Anak korban jaringan terorisme; l. Anak penyandang disabilitas;
6
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
Disinilah terlihat jelas bahwa di dalam pengaturan UU Perlindungan Anak
Tahun 2014 yakni Pasal 59 ayat (1) yang telah diperbaharui oleh Pemerintah
Republik Indonesia memberikan kewajiban kepada Pemerintah baik itu
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk memberikan Perlindungan
Khusus salah satunya adalah Perlindungan Khusus terhadap anak korban
kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 59 Ayat (2) huruf j UU
Perlindungan Anak Tahun 2014.
Berdasarkan data Komnas Perlindungan Anak yang dihimpun oleh
vivanews.com, tren kejahatan terhadap anak meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Jumlah Kejahatan terhadap anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 1 : Jumlah Kejahatan terhadap Anak
*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per April 2015, mencatat,
terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka ini meningkat signifikan
dari tahun 2010 yang hanya 171 kasus. Sementara pada tahun 2011, tercatat
sebanyak 2179 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311, dan 2014
No. Tahun Jumlah Kasus
1 2010 171
2 2011 2179
3 2012 3512
4 2013 4311
5 2014 5066
7
sebanyak 5066 kasus. Dari 6006 kasus, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap
anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait
kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan
pornografi.
Tabel 2 : Jenis Kejahatan
No. Jenis Kejahatan Jumlah Kasus s/d April
2015
1 Anak salah pengasuhan 3160
2 Pendidikan 1764
3 Kesehatan dan NAPZA 1366
4 Cyber crime dan Pornografi 1037
Jumlah 6006
*Sumber : http://www.nasional.news.viva.co.id/news/read/655240-kpai--kekerasan-terhadap-anak-meningkat-tajam
Berdasarkan hasil pemantauan Komisi Perlindungan anak Indonesia
(KPAI), rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksual setiap bulannya.4
Sedangkan kasus yang terjadi di Kota Denpasar berdasarkan data dari Pusat
Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang dihimpun
oleh Bali Tribun News, setidaknya ada 69 kasus kejahatan seksual terhadap anak
selama periode Januari hingga September 2015.5
4
lma Sovri Yanti, Ketua Satgas Perlindungan Anak, 2014, URL :
8
Di Provinsi Bali sendiri untuk menanggulangi kasus kejahatan terhadap
anak pada umumnya dan khususnya kasus kejahatan seksual terhadap anak,
Pemerintah Daerah bersama DPRD Provinsi Bali telah menerbitkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014, selanjutnya disebut sebagai Perda
Perlindungan Anak) yang diharapkan mampu menjamin hak-hak anak yang
menjadi korban kejahatan terhadap anak. Perda Perlindungan Anak yang
diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada Tahun 2014 masih mengacu pada
UU Perlindungan Anak Tahun 2002, sehingga apa yang tercantum di dalam UU
Perlindungan Anak Tahun 2014 belum sepenuhnya diakomodir oleh Perda
Perlindungan Anak ini. Salah satunya hal yang tidak diakomodir adalah mengenai
bentuk perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi korban kejahatan
seksual dimana perlindungan khusus terhadap anak di dalam Peraturan Daerah ini
diatur dalam Pasal 21 yang menjelaskan :
(1) Pemenuhan hak anak atas Perlindungan Khusus meliputi : a. Anak yang berhadapan dengan hukum;
b. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; c. Anak korban trafiking;
d. Anak korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya;
e. Anak korban penularan HIV/AIDS; f. Anak korban penculikan;
g. Anak terlantar dan anak jalanan; h. Anak korban kekerasan;
i. Anak korban bencana alam atau bencana sosial;
5
9
j. Anak penyandang cacat/disabilitas; k. Anak korban perlakuan salah; dan
l. Anak dari kelompok minoritas yang terisolasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak anak atas perlindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Terdapat rumusan pasal yang belum diatur di dalam penerapan Peraturan
Daerah ini yaitu tentang perlindungan khusus terhadap anak korban kejahatan
seksual, padahal berkaca pada pengaturan di dalam UU Perlindungan Anak Tahun
2014 Pasal 59 ayat (1) yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk memberikan
perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j UU Perlindungan Anak Tahun
2014. Di dalam Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
dalam kaitannya dengan kejahatan seksual hanya mengatur tentang anak yang
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 21 Ayat (1) huruf b Perda Perlindungan Anak. Tidak dijelaskan di dalam
Peraturan Daerah ini tentang apa yang dimaksud dengan eksploitasi anak baik itu
secara ekonomi dan/atau seksual, sehingga terlihat kurang jelas pengaturannya di
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak ini. Padahal Perda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak ini merupakan
payung hukum (Umbrella Act) unuk menjadi pedoman perlindungan terhadap
hak-hak anak yang menjadi korban kejahatan seksual di Provinsi Bali.
Kebijakan Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali
dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan peranan semua pihak yang
terkait untuk keberadaan perlindungan khusus terhadap anak ini sangatlah
10
Perlindungan Anak yang disinyalir dapat menyebabkan terganggunya penegakan
hukum dengan semakin maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak yang
terjadi di Provinsi Bali sehingga penulis tertarik mengangkat judul
“PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL SETELAH BERLAKUNYA PERDA PROVINSI BALI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN
ANAK”.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diamati beberapa
permasalahan, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban
kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak?
2. Bagaimana pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban
kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali No. 6 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak ?
1.3Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memudahkan dalam menelaah
permasalahan dan tidak melebar ke masalah lain, maka perlu diadakan
pembatasan masalah. Adapun yang dibahas dalam tulisan ini antara lain
11
pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual
ditinjau dari KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2014 dan yang kedua yaitu
membahas tentang bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap anak
sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda Provinsi Bali Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak.
1.4Orisinalitas Penelitian
Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini, penulis melakukan
pemeriksaan perpustakaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disampaikan
bahwa ada penelitian terdahulu yang sejenis namun dari segi substansi berbeda
dengan penelitian ini.
Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini adalah sebagai
12
Anak (UPPA) Polres Bantul Tahun 2012-2014? 2. Apa yang
menghambat dalam penanganan tindak pidana kekerasan terhadap
perempuan oleh UPPA Polres Bantul?
1.5Tujuan Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah haruslah mempunyai tujuan tertentu yang
hendak dicapai. Adapun tujuan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut :
a. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah
untuk memberikan perkembangan bagi hukum pidana, khususnya terkait urgensi
pengaturan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban kejahatan
seksual.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisa bagaimana pengaturan perlindungan hukum
terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual ditinjau dari KUHP dan
13
2. Untuk menganalisa bagaimana pengatuan perlindungan khusus terhadap
anak sebagai korban kejahatan seksual setelah berlakunya Perda
Provinsi Bali Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
1.6Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sebuah sumbangan
dan manfaat bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana
sehingga dapat mempekaya bahan-bahan terutama guna
pengembangan dunia peradilan pidana pada khususnya dan ilmu
hukum pada umumnya.
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan atau pedoman
referensi untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada anak
sebagai korban suatu tindak pidana kejahatan seksual dengan lebih
optimal dimasa mendatang.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Masyarakat sebagai bahan untuk acuan dalam pelaksanaan
kehidupan keluarga berbangsa dan bernegara guna lebih
memperhatikan dan memberikan perlindungan terhadap anak agar
tidak menjadi korban suatu kejahatan seksual.
2. Bagi penegak hukum agar dapat menegakkan fungsinya dengan baik
14
menegakkan fungsi dengan benar dan adil dalam upaya penerapan
Peraturan Perundang-undangan.
1.7Landasan Teoritis
1. Konsep Negara Hukum
Berdasarkan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M
Friedman “a legal system in actual is a complex in wich structure, substance
and culture interact”.6 Terdiri dari 3 komponen, yaitu substansi hukum (legal
substance), struktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal
culture).
Secara konseptual istilah negara hukum di indonesia dipadankan dengan
dua istilah dalam bahasa asing, yaitu :
a. Rechsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum
yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental atau civil law system.
b. Rule of law (Inggris), menuju tipe negara hukum dari negara Anglo
Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.7
Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep
rechsstaat dan konsep the rule of law. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa
Indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechsstaat yang
6
Lawrence M Friedman, 1975, The Legal System, A Social Science Prespective, Rusell Sage Foundation, New York, h.4.
7
15
pernah diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada
perkembangan selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa
yang dalam periodesasi politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama
negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.8 Indonesia tidak
seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep
rechsstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada
dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu
konsep “Negara Hukum Pancasila”.
Menurut Bagir Manan unsur-unsur terpenting dari negara hukum,
dikemukakan terdiri dari :
1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya.
2. Ada pembagian kekuasaan (machtenscheiding) yang secara khusus menjamin suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka.
3. Ada pemencaran kekuasaan negara atau pemerintah (spreading van de
staatsmacht).
4. Ada jaminan terhadap hak asasi manusia.
5. Ada jaminan persamaan dimuka hukum dan jaminan perlindungan hukum. 6. Ada asas legalitas, pelaksanaan kekuasaan pemerintah harus didasarkan
atas hukum (undang-undang).9
2. Teori Perlindungan Hukum
Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum bersumber dari teori
hukum alam. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Plato dan Aristoteles.
8
Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Philipus M Hadjon I), h.66-67.
9
16
Kaitan dengan perlindungan hukum, Philipus M. Hadjon berpendapat
bahwa :
Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.10
Istilah perlindungan hukum merupakan istilah yang perlu dikaitkan dengan
adanya pencederaan terhadap hak-hak anggota masyarakat baik yang
dilakukan oleh sesama masyarakat, maupun oleh penguasa. Philipus M.
Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni :
1. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. Dengan demikian perlindungan preventif merupakan bentuk perlindungan hukum yang diarahkan lagi bagi terlindunginya hak seseorang dari kemungkinan terjadinya pelanggaran oleh orang lain atau pihak ketiga secara melawan hukum. Perlindungan hukum preventif sangan besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif terdorong untuk bersikap hati-hati untuk mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
2. Perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.11
10
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon II), h.205.
11Ibid
17
Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya berjudul Ilmu Hukum,
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum.12 Perlindungan hukum memberikan jaminan setiap orang untuk
memperoleh hak-haknya untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi, dimana
perlindungan hukum berfungsi juga untuk memberikan keadilan serta dapat
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
3. Teori Victimologi
Victimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari
masalah korban, penimbul korban, serta akibat-akibat dari penimbulan korban,
yang merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.13
Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius,
dapat dilihat dari dibentuknya Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa,
sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the aprevention of
Crime and the Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia,
September 1985, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban
kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu
12
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.54.
13
18
deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power.14
Dalam salah satu rekomendasinya disebutkan :
“Offenders or third parties responsible for their behaviour should, where
appropriate, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of
the victimization, the provision of service and the restoration of rights”.15
(Terjemahan bebas penulis : Pelaku atau mereka yang bertanggung jawab atas suatu perbuatan melawan hukum, harus memberi restitusi kepada korban. Restitusi terebut berupa pengembalian hak milik atau mengganti kerugian yang diderita korban, kerugian biaya atas kelalaian yang telah dilakukannya sehingga menimbulkan korban, yang merupakan suatu penetapan Undang-Undang sebagai bentuk pelayanan dan pemenuhan atas hak).
Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat
diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang
diderit oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis
tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai
apabila tidak disertai dengan upaya pemulihan mental korban.16 Adapun
bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu :
1. Acces to justice and fair treatment (pemberian kesempatan terlibat
dalam sistem peradilan pidana dan peradilan yang wajar) menentukan
bahwa perlindungan korban harus dilakukan dengan jalan memberikan
14
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisarris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.
15
Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind Hill Co, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Arif Gosita II), h.77.
16
19
perhatian (respect and recognition) terhadap keberadaan mereka dalam
sistem peradilan pidana, peradilan pidana dan mekanismenya harus
dipastikan dan diperkuat agar dapat memenuhi kebutuhan korban
untuk memperoleh penggantian kerugian baik melalui prosedur formal
maupun informal secara cepat, wajar, tidak mahal dan mudah
dilakukan, serta harus difasilitasi dengan jalan :
(a) Memberikan informasi perkembangan kasusnya;
(b) Memperhatikan keinginan korban terkait dengan kehadirannya di
sidang pengadilan, memberikan masukan dalam pengambilan
keputusan tanpa menimbuklan prasangka dari terdakwa dan sesuai
dengan sistem yang berlaku;
(c) Memberikan bantuan pada korban dalam proses hukum;
(d) Melindungi privasi korban dan memberikan rasa aman pada korban
dan keluarganya dan saksi yang mereka perlukan harus terbebas
dari intimidasi dan balas dendam;
(e) Menghindari terjadi keterlambatan penyelesaian kasusnya,
eksekusi dari keputusan dan menjamin adanya hadiah untuk
korban.
2. Restitusi berupa upaya untuk mengganti kerugian dari perilaku
kejahatan terhadap korban, dan keluarganya. Restitusi termasuk
pengembalian harta benda, membayar biaya pengobatan,
20
akibat terjadinya korban. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengkaitkannya dengan pemidanaan pada pelaku kejahatan.17
3. Kompensasi adalah ganti kerugian dari negara bilamana ganti kerugian
tidak diperoleh atau tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku
kejahatan.18
4. Bantuan baik materi, medis, psikologis, maupun bantuan hukum.
4. Teori Perjenjangan Norma
Hans Nawiasky dalam bukunya yang berjudul “Algemeine rechtslehre”
mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen maka suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang
norma yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma
dasar.19 Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga
berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri
atas empat kelompok besar, yaitu :
Kelompok I : Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara)
Kelompok II : Staatgerundgesetz (aturan dasar Negara/aturan Pokok
Negara)
17
Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, h.43.
18Ibid
, h.42.
19
21
Kelompok III : Formell Gesetz ( undang-undang formal)
Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana dan
aturan otonom).
Berdasarkan rumusan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82) dinyatakan tentang jenis dan
hirarki peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sebagai berikut :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Norma fundamental
negara ini merupakan norma hukum tertinggi yang merupakan landasan dasar
bagi pengaturan negara itu lebih lanjut. Sifat norma hukumnya masih secara garis
besar dan merupakan norma hukum tunggal, dalam arti belum dilekati oleh norma
hukum yang berisi sanksi.
Batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
Staatgerundgesetz atau aturan dasar negara/aturan pokok negara yang merupakan
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan tata
cara membentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat umum. Sifat dari
norma hukumnya masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum
22
dalam Formell Gesetz sementara Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, serta
Peraturan Daerah digolongkan dalam Verordnung & Autonome Satzung.
1.8Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metedologi dan
sistematis. Metodologi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah
sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk
karya ilmiah.20
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum normatif ini juga disebut
penelitian terhadap kaidah atau hukumnya itu sendiri dan asas-asas hukum.
b. Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Untuk pengkajian permasalahannya dilihat dari segi
20
23
hukumnya dan mengenai sumbernya berasal dari peraturan
perundang-undangan serta teori-teori yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaannya.21
c. Bahan Hukum
Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini adalah berasal dari
hasil penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan terkait dengan
pokok permasalahan yang pada dasarnya dapat diklarifikasikan menjadi 2
(dua) jenis bahan hukum, yakni bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Sebagai bahan hukum primer dari hasil penelitian ini berasal
dari penelitian terhadap aturan-aturan hukum termasuk peraturan
perundang-undangan, yaitu :
- Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945
- Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4235);
21
24
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5606);
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 293, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6602);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3886);
- Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4419);
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
25
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4860);
- Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2014
Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 6
Tahun 2014).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder penelitian ini antara lain diperoleh dari
literature, majalah, makalah maupun hasil-hasil penelitian Hukum yang
berkaitan dengan pengaturan perlindungan khusus terhadap anak.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pemenuhan bahan
hukum adalah teknik studi kepustakaan (study document) yang dilakukan
terhadap bahan-bahan hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada
dengan menggunakan teknik membaca serta mencatat dengan sistem kartu
(card system) sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami. Sistem ini
dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis
telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan
pustaka yang diketahuinya.
2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis
tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namum penulis
26
3. Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek
adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu
bahan, dari subjek ini penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang
ataupun judul dari suatu bahan pustaka.22
Sistem yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah mempergunakan
kartu judul karena penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang,
namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari.
e. Teknik Analisis
Bahan hukum maupun informasi penunjang yang telah terkumpulkan
berkenaan dengan perlindungan khusus terhadap anak sebagai korban
kejahatan selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi,
sistematisasi dan eksplanasi. Dalam deskripsi dilakukan kegiatan untuk
menentukan isi atau makna dari suatu aturan hukum. Pada tahapan ini
dilakukan pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang
terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak sebagai korban kejahatan seksual baik berupa
Undang-Undang maupun Peraturan Daerah.
Pada tahap sistematisasi dilakukan pemaparan terhadap hubungan hirarkis
antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam
penelitian ini. Pada tahapan ini juga dilakukan koherensi antara aturan hukum
yang berhubungan agar dapat dipahami dengan baik. Selanjutnya pada tahap
22
27
eksplanasi dilakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam
aturan-aturan hukum sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling
28
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1Pengertian Korban
Menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang berjudul Victimologi
Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
“orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian
harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran
ringan dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang
dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah
korban dari pelanggaran atau tindak pidana.23
Sedangkan menurut Arif Gosita, menyatakan yang dimaksud dengan
korban adalah “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”.24
Pada tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja orang
perorangan, tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak hanya banyaknya
jumlah korban (orang), namun juga korporasi, institusi, pemerintah, bangsa, dan
negara. Mengenai korban perseorangan, institusi, lingkungan hidup, masyarakat,
bangsa, dan negara, dapat dijabarkan sebagai berikut :
23
Bambang Waluyo, op.cit, h.9.
29
1. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun nonmateriil;
2. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta maupun bencana alam;
3. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan perbuatan manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab;
4. Korban masyarakat, bangsa, dan negara adalah masyarakat yang diperlakukan diskriminatif tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil pembangunan serta hak sipil, hal politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.25
Pengertian korban menurut beberapa peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (3) tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana”.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (3) tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”.
25Ibid
30
3. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (5) tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan
baik fisik, mental ataupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami
pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai
akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk
korban adalah juga ahli warisnya”.
2.2Pengertian Anak
Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
karena anak adalah bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi
muda ada yang disebut dengan remaja dan dewasa. Menurut Shanty Dellyana
yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi
dewasa karena peraturan tertentu (mental fisik belum dewasa).26
Menurut Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih di bawah usia
tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Sedangkan menurut Soejono anak
menurut hukum adat adalah mereka yang masih muda usia dan muda dalam
jiwanya, sehingga mudah terpengaruh lingkungan sekitar.27
Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadi kita harus bersifat
responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang
26
Shanty Dellyana, 1990, Wanita dan Anak Dimata Hukum, Liberti, Yogyakarta, h. 50.
27
31
berlaku. Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangangan yang
berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai berikut :
1. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1) tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (3) tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Anak yang berkonflik dengan hukum yang
selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua
belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana”.
3. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang
Hak Asasi Manusia.
Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Anak adalah setiap
manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila tersebut
demi kepentingannya”.
4. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang
32
Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin.
5. Menurut Perda Provinsi Bali Tahun 2014 Pasal 1 ayat (6) tentang
Perlindungan Anak.
Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi “Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.
Dari pengertian anak yang telah dikemukakan diatas, dapat penulis
simpulkan bahwa Undang-Undang menjamin dan melindungi hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
2.3Hak-Hak Anak
Dengan diratifikasinya Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of
The Child (Konvensi Hak-Hak Anak), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia
terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam
Konvensi Hak-Hak Anak.
Menurut Erna Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah
meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak) wajib menerapkan dengan melakukan
harmonisasi hukum :
a. Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih dalam proses perencanaan/pembentukannya;
33
c. Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelarasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia;
d. Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan
e. Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia. 28
Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di
Indonesia telah diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), juga dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, salah satu yang diatur adalah
mengenai Hak anak untuk mendapatkan perlindungan (Protection Rights) yaitu
hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari
diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai
keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 kategori, yaitu :
1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat;
2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana
28
34
mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena. 29
2.4Pengertian Kejahatan Seksual
Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut
penggunaannya masing-masing, yaitu:
1. Pengertian secara praktis
Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik yang berupa hukuman maupun pengecualian.
2. Pengertian secara religius
Kejahatan dalam arti religius ini mengindentikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.
3. Pengertian secara yuridis
Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat , misalnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.30
Pendapat Bawengan itupun memandang kejahatan tidak semata-mata dari
sudut hukum, tetapi juga dari sudut keagamaan dan religius. Dari sudut
keagamaan, kejahatan diartikan sebgai suatu bentuk perilaku yang melanggar
norma-norma, diantaranya norma agama, sedangkan dari sudut religius, kejahatan
disebutnya sebagai perbuatan dosa pada Tuhan yang akan mendapatkan siksa di
35
Bagi Hari Saherodji, kejahatan diartikan sebagai berikut :
1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.
2. Perbuatan yang dilakukan secara sengaja.
3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh negara.31
Pendapat Hari Saherodji itu mempertegas mengenai perbuatan yang
merugikan kepentingan sosial dan ditentukan secara hukum sebagai kejahatan.
Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan,
sedangkan di satu sisi harus pula ada perundang-undangan yang mengaturnya.
Berdasarkan Kamus Hukum, “sex dalam Bahasa Inggris diartikan dengan
jenis kelamin”. Jenis Kelamin disini lebih dipahami sebagai persoalan hubungan
(persetubuhan) antara laki-laki dengan perempuan. Marzuki Umar Sa’abah
memgingatkan, ”membahas masalah seksualitas manusia ternyata tidak sederhana
yang dibayangkan, atau tidak seperti yang dipahami masyarakat kebanyakan.
Pembahasan seksualitas telah dikebiri pada masalah nafsu dan keturunan. Seolah
hanya ada dua kategori dari seksualitas manusia, yaitu a) seksualitas yang
bermoral, sebagai seksualitas yang sehat dan baik, b) seksualitas imoral, sebagai
seksualitas yang sakit dan jahat”.32
Ada yang mengasumsi bahwa khusus kata “kejahatan” dan “seksual”
tersebut dapat diringkas menjadi dua kata saja, yakni “kejahatan seksual” namun
36
unsur-unsur kekerasan atau apakah tidak setiap tindakan kekerasan itu dapat
dikatakan sebagai komponen kejahatan.
Perlu diketahui misalnya dalam perspektif masyarakat pada lazimnya
bahwa kejahatan seksual itu bermacam-macam, seperti perzinahan, homo seksual,
samen leven (kumpul kebo), lesbian, prostitusi (pelacuran), pencabulan,
perkosaan promiskuitas (hubungan seksual yang dilakukan diluar ikatan
perkawinan dengan cara berganti-ganti pasangan).
Namun demikian di antara kejahatan seksual itu ada diantaranya yang
tidak berbentuk atau dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Ada di antara
kejahatan seksual (sexual crime) atau kejahatan kesusilaan itu yang dilakukan
dengan suka sama suka dan melalui transaksi (imbalan uang atau barang untuk
melayani kebutuhan seksual seseorang atas dasar perjanjian) seperti pelacuran.
Meskipun demikian, kejahatan kesusilaan ini dapat juga berefek pada terjadinya
kekerasan bilamana kejahatan itu bersifat terorganisir, atau pihak yang merasa
memiliki uang banyak dan menguasai transaksi mengidap kelainan seksual dan
baru terpenuhi kebutuhan seksualnya jika dilayani dengan cara-cara kekerasan.33
Sehingga Penulis dapat simpulkan bahwa tidak setiap bentuk kejahatan
seksual mengandung unsur-unsur kekerasan dan setiap tindakan kekerasan seksual
yang dapat merugikan anak sebagai korban merupakan suatu komponen dari
tindak kejahatan.
33Ibid
37
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengertian dari
kekerasan seksual dapat ditemui di dalam Pasal 285 dan Pasal 289. Di dalam
Pasal 285 ditentukan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan
dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12
tahun.34
Sedangkan di dalam Pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena
merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
tahun.35
Menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP, adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan
nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul. Persetubuhan juga
masuk dalam pengertian ini.36
Salah satu praktik seks yang dinilai menyimpang adalah bentuk kekerasan
seksual (sexual violence). Artinya praktik hubungan seksual yang dilakukan
34
Ismantoro Dwi Yuwono, 2015, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h.1.
35Ibid.
36Ibid,
38
dengan cara-cara kekerasan, di luar ikatan perkawinan yang sah dan bertentangan
dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya
memiliki kekerasan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk
memperlancar usaha-usaha jahatnya.
Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku
seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak
korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual
yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang
membutuhkan perhatian.37
37