• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7. Landasan Teoritis

Landasan teori atau kerangka teori adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma hukum dan lain-lain yang

akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran yang teoritis, Oleh karena itu ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa, serta kontruksi data.5

Perjanjian kredit bank adalah merupakan kontrak antara pihak debitur dan kreditur.Perjanjian atau kontraktual tidak lepas dalam hubungannya dengan Teori keadilan. Teori keadilan menurut Aristoteles adalah berbuat kebijakan atau dengan kata lain, keadilan adalah kebijakan yang utama.6Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil.Oleh karena itu, sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang asas proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan kontrak. Dalam melakukan suatu perjanjian atau kontraktual para pihak bertitik tolak pada keadilan.Selain teori keadilan adapun teori kepercayaan yang diperlukan dalam melakukan suatu perjanjian atau berkontrak. Menurut teori kepercayaan, Suatau pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwa hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertentu (normal) yang menimbulkan perjanjian.7Lebih lanjut menurut teori kepercayaan, terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang mmuncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan.8

5

Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 64.

6

Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, hal.36.

7

Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidag Kenotariatan, Citra Aditya, Bandung, hal.80

8

Dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dimaksud dengan perjanjian disebutkan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah perbuatan dimana satu

orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian

mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu.9 Sebuah perjanjian dapat menimbulkan perikatan, yang dalam bentuknya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.10

Perikatan merupakan suatu hubungan hukum antaradua pihak, dimana salah satu pihak berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang menuntut dinamakan kreditur atau si berpiutang sedangkan yang diwajibkan memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Unsur-unsur dari perikatan adalah merupakan hubungan hukum di lapangan harta kekayaan, ada kata sepakat, ada dua orang/pihak atau lebih, ada hak dan kewajiban atas suatu prestasi.11Hubungan hukum tersebut berarti hak si berpiutang dijamin oleh hukum.Jadi hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah perjanjian menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting.

Perikatan diatur dalam Buku ke III KUHPerdata yang menyebutkan perikatan adalah

“suatu hubunngan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak

kepada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, Sedangkan orang yang

9

Artadi I Ketut, Rai Asmara Putra I Dewa Nyoman, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.28.

10

Subekti, 2010, Hukum Perjanjian, , PT. Intermasa, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Subekti I) , hal. 1.

11

Rudyanti Dorotea Tobing, 2014, Hukum Perjanjian Kredit Konsep Perjanjian Kredit Sindikasi yang Berdasarkan Demokrasi Ekonomi, Laksbang Grafika, Yoyakarta, hal. 77.

lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.” Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut

dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang; 2. Melakukan suatu perbuatan;

3. Tidak melakukan suatu perbuatan.12

Pada pasal 1320 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian harus memenuhi empat syarat untuk dapat terpenuhi yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Pemberian kreditpada dasarnya merupakan salah satu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam pasal 1754-1769 KUHPerdata. Perjanjian pinjam uang menurut bab XIII Buku III KUHPerdata mempunyai sifat riil. Hal tersebut terlihat dalam kalimat “pihak kesatu menyerahkan uang kepada pihak lain” dan bukan “ mengikatkan diri” untuk menyerahkan. Bila kedua belah pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam mengganti, bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti itu telah terjadi .

Setiap kredit yang telah disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap dijadikan pedoman yaitu bahwa perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus

12

memperhatikan, keabsahan dan persayaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu dan tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit.13Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.Selanjutnya asas konsensualisme ini terjadi pada saat penandatanganan perjanjian kredit bank.

Pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, yaitu : “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.”

Dari pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa kredit dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya dapat dikubur dengan uang. Kemudian ada kespakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima kredit (debitur) bahwa mereka sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.14

Dalam kegiatan pemberian kredit oleh bank dapat diperhatikan bahwa umumnya dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan.Hukum jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan peminjaman dalam rangka utang

13Muhamad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 385.

14

piutang (pinjaman uang) yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku saat ini.15

Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan, dalam KUHPerdata telah diatur tentang kedudukan harta pihak peminjam. Dalam pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Ketentuan pasal 1131 KUHPerdata tersebut merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan pasal 1131 KUHPerdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam di kemudian hari.

Bank dalam memberikan kredit kepada pengusaha/nasabah wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan, krena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanannya bank harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.16

Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya merupakan faktor penting yang

15

M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 3.

16

Suharnoko, 2007, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 1.

harus diperhatikan oleh bank.Sehingga secara umum, bank wajib memberikan kredit dengan menggunakan prinsip pemberian kredit didasarkan pada 5C yaitu:

1. Character (watak);

Bank melakukan analisis terhadap karakter nasabah untuk meyakini bahwa nasabah mau membayar kembali pembiayaan yang diterima hingga lunas.

2. Capacity (kemampuan);

Hal ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan keuangan nasabah dalam memenuhi kewajibannya sesuai jangka waktu pembiayaan.

3. Capital (modal);

Analisis terhadap modal yang dimiliki calon nasabah yang akan disertai dalam proyek yang dibiayai.

4. Condition of Economic (kondisi ekonomi)

Bank perlu mempertimbangkan mempertimbangkan sektor usaha calon nasabah dikaitkan dengan kondisi ekonominya.

5. Collateral (jaminan/agunan)

Merupakan agunan yang diberikan oleh calon nasabah atas pembiayaan kredit yang diajukan.17

Prinsip 5C dapat digunakan untuk mengantisipasi dalam pemberian kredit debitur tidak melanggar dan melakukan wanprestasi. jikalau debitur ada melakukan wanprestasi maka itu bukan semata kesalah pihak bank dalam pemberian kredit.

17

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur.18Apabila hal tersebut digolongkan ke dalam kredit macet, maka ada 3 macam perbuatan yang tergolong wanprestasi, sebagai berikut :

1. Nasabah sama sekali tidak membayar angsuran kredit (beserta bunganya).

2. Nasabah membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya. Walaupun nasabah kurang membayar satu kali angsuran tetap tergolong kreditnya sebagai kredit macet. 3. Nasabah membayar lunas kredit (beserta bunganya) setelah jangka waktu yang

diperjanjikan berakhir. Hal ini tidak termasuk nasabah membayar lunas setelah perpanjangan jangka waktu kredit yang telah disetujui bank atas permohonan nasabah, karena telah terjadi perubahan poerjanjian yang disepakati bersama. Keadaan tersebut dapat terjadi setelah bank mengambil langkah untuk menyelesaikannya ke pengadilan, nasabah bersangkuan bersedia membayar lunas kreditnya, karena nasaah merasa khawatir apabilasampa dihukum secara perdata di pengadilan akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat keapdanya akan berkurang, dan mengakibatkan kesulitan dalam memperoleh kepercayaan kembali dalam menjalankan perusahaan.19

Dalam dunia usaha acapkali dijumpai seorang debitur mengalami kesulitan untuk membayar utang-utangnya atau mengembalikan kreditnya yang mengakibatkan terjadinya kredit macet, sehingga hal inilah yang menjadi sengketa dalam perjanjian kredit. Untuk itu maka diperlukan jalan keluar untuk penyelesaian wanprestasi tersebut. Penyelesaian wanprestasi pada umumnya selain melalui pengadilan (litigasi) dapat juga diselesaikan diluar pengadilan (non

18

Salim HS, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 180.

19

Gatot Supramono,Perbankan Dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Cet. II, Djambatan, Jakarta, hal 131-132.

litigasi) yakni penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase, mediasi, konsultasi, negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.20 Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bagi kredit macet (dan telah diupayakan penagihannya/penyelesaiannya secara kekeluargaan, tetapi tidak berhasil) yang menyangkut bank milik Negara,maka bank akan menyerahkan penyelesaiannya melalui Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), sebab apabila bank telah memperoleh “kuasa menjual” maka ia dapat menjual harta jaminan tersebut secara dibawah tangan.21

Kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi. Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan yang diberikan oleh debitur dapat kita lihat dalam KUHPerdata serta beberapa peraturan perundang-undangan berikut ini:

1. Pasal 1155 KUHPerdata: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.

2. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

20

Artadi I Ketut dan Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 10.

21

3. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

Dokumen terkait