• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Landasan Teoritis

gadai terhadap barang jaminan yang berasal dari hasil kejahatan serta bagaimana upaya penyelesaiannya sehingga pihak-pihak yang terlibat tidak dirugikan.

Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai penyampaian informasi terhadap masyarakat dalam melakukan gadai khususnya di PT. Pegadaian ( Persero ) Cabang Sesetan. Serta untuk memberikan sumbangan pemikiran khususnya dalam pelaksanaan gadai khususnya di PT. Pegadaian ( Persero ) Cabang Sesetan.

1.7 Landasan Teoritis

Ketentuan mengenai gadai ini diatur dalam KUHPerdata Buku II Bab XX, Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160. Sedangkan pengertian gadai itu sendiri dimuat dalam Pasal 1150. Pasal 1150 merumuskan :

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang untuk berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu di gadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Jadi gadai itu adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya, untuk menjamin suatu hutang dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih dulu dari kreditur-kreditur lainnya, kecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya-biaya yang

13

telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.3

Gadai merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang disamping kata sepakat, diperlukan suatu perbuatan nyata (penyerahan kekuasaan atas barang gadai). Dalam hal ini yang bertindak sebagai kreditur ialah Pegadaian. Di dalam perjanjian tersebut, akan ditentukan beberapa klausul-klausul yang memuat kesepakatan mengenai hutang piutang antara debitur dan kreditur. Apabila pinjaman tersebut tidak dapat dilunasi tepat pada waktunya, maka penerima atau pemegang gadai yang bertindak sebagai kreditur berhak untuk menjual barang gadai sebagai pelunasan dari pinjaman kredit tersebut.4

Terjadinya gadai didalam suatu PT. Pegadaian ( Persero ) yaitu apabila barang gadai diserahkan kepada PT. Pegadaian ( Persero ) dan selanjutnya melaksanakan penandatanganan SBK ( Surat Bukti Kredit ). Penyerahan barang tersebut terjadi pada saat yang bersamaan dengan penandatangan SBK.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa saat terjadinya gadai adalah pada saat SBK ditandatangani. Dalam perjanjian kredit di PT. Pegadaian ( Persero ), apabila telah terjadi persetujuan atau ada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pihak debitur menyerahkan barang jaminan dan barang jaminan ada dalam kekuasaan kreditur dan sebagai imbalannya kreditur memberikan pinjaman uang dan

3

H. Hari Saherodji, 1980, Pokok-pokok Hukum perdata, Aksara Baru, Jakarta, hal.19

4

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2010, Seri Hukum Bisinis Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.88.

14

memberikan Surat Bukti Kredit ( SBK ) sebagai bukti adanya perjanjian gadai dan sebagai alat bukti untuk mengambil barang jaminan apabila hutang debitur telah dilunasi.

Perjanjian adalah sumber perikatan, menurut Pasal 1313 KUHPerdata dirumuskan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut dengan perikatan yang didalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yang diatur dalam ketentuan diatas, seperti yang dinyatakan oleh Mariam Darius Badrulzaman (dkk) yaitu :

Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III, perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata buku III kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.5

Beberapa sarjana hukum juga memberikan definisi mengenai perjanjian antara lain sebagai berikut : Menurut Sri Soedewi Masychon Sofyan, perjanjian adalah

5

Mariam Darius Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal.65

15

suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.6

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat consensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dengan yang lainnya. Selain itu juga, perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.7

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.8

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.9

Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk

6

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1982, Hukum Perjanjian, Universitas Gadjah Maja, Yogyakarta, hal.8

7

Abdul Kadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 14 8

M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.6 9

16

melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.10

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dirumuskan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya yang dimaksud kesepakatan disini adalah adanya rasa iklas atau saling memberi dan menerima atau sukarela diantara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, artinya kecakapan disini berarti para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subyek hukum. Sedangkan yang tidak cakap adalah orang-orang yang ditentukan oleh hukum yaitu anak-anak, orang-orang dewasa yang ditempatkan dibawah pengawasan, dan orang sakit jiwa.

3. Suatu hal tertentu, artinya obyek yang diatur kontrak harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Obyek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu. Hal ini

10

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, hal.11

17

penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.

4. Suatu sebab yang halal, artinya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Sebab yang dimaksud disini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian, melainkan tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak.11

Ada beberapa asas yang dapat ditemukan dalam hukum perjanjian, namun ada 3 (tiga) diantaranya yang merupakan asas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:

1. Asas konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Asas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan berkontrak.

2. Asas kebebasan berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan isi dari perjanjian tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Asas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai

11

Salim H.S. dkk, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal. 24.

18

undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengesampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tersebut sifatnya memaksa.12

3. Asas Pacta Sunt Servanda atau asas kepastian hukum

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat

“berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” pada akhir

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.

Untuk sahnya suatu perjanjian gadai, pemberi gadai haruslah seorang yang berwenang menguasai bendanya. Benda itu kemudian bisa dipegang oleh kreditur atau si penerima gadai.Karena benda gadai ada di tangan pemegang gadai, seakan-akan benda gadai ada di dalam genggaman pemegang gadai. Jadi benda gadai pada asasnya ada dalam kekuasaan pemegang gadai.13

Apabila dalam perjanjian gadai tersebut dijanjikan bahwa gadai tetap berada dibawah kekuasaan debitur walaupun atas kemauan kreditur, maka perjanjian gadai tersebut tidak sah dan dianggap batal demi hukum, perjanjian

12

Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4.

13

19

gadai tersebut dianggap tidak pernah ada. Penyerahan ini menjadi syarat mutlak dalam perjanjian gadai. Alasan pengaturan ini sebenarnya demi keamanan hak kreditur atas pelunasan utang – utang debitur. Apabila debitur masih menguasai barang – barang yang menjadi obyek gadai, dikawatirkan debitur dengan mudah dapat mengalihkan dan menyerahkan barang gadainya kepada pihak lain walaupun pihak lain ini memiliki itikad baik yang perlu dilindungi secara hukum.

Di dalam pelaksaan gadai, yang menjadi obyek dalam gadai ini adalah jaminan yang berupa benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud. Mengenai sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok.14 Dalam KUHPerdata, pengaturan mengenai jaminan secara umum terhadap pelunasan hutang dapat dilihat pada Pasal 1131 dan Pasal 1132. Pasal 1131 merumuskan :

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk perikatan perseorangan”.

Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUHPerdata merumuskan :

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi

14

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal.37

20

menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali bila diantara kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.

Dokumen terkait