• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ilmiah ini berpedoman pada kaidah dan norma hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum internasional adalah ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.6

Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum kordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional (yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional) tidak terdapat lembaga-lembaga yang bersangkutpaut dengan hukum dan pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif, tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial), dan tidak terdapat lembaga kepolisian.7

Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:

1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam

Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa -bangsa. Negara-negara tunduk dan terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar negara mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian

dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “ hukum alam”.

6

Kontribusi terbesar ajaran mazhab hukum lama bagi hukum internasional bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mahzab hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.

2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif

Ada beberapa mahzab yang termasuk ke dalam kelompok Mahzab atau Ajaran Hukum Positif, yaitu:

a. Mazhab/Teori Kehendak Negara8

Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara umum inti dari ajaran atau mahzab ini adalah sebagai berikut: oleh karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau mengikatkan diri kepada hukum internasional.

Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari hukum nasional (c.q hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar suatu negara (auszeres Staatsrecht).

b. Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-negara9

Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena kehendak masing-maisng negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama masing-masing negara itu dimana kehendak bersama ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri. Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik.

c. Mazhab Wina10

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara (yang kerap juga disebut sebagai aliaran voluntaris) melahirkan pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap disebut sebagai aliran objektivist).

Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian

seterusnya hingga sampai pada puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotessa asal (urpsungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pact sunt servanda.

3. Mazhab Perancis11

Suatu mahzab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan kontruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua mahzab sebelumnya (Mahzab Hukum Alam dan Mahzab Hukum Positif) muncul di Perancis. Karena itu, Mahzab ini dikenal sebagai Mahzab Perancis.

Dalam garis besarnya. Mahzab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor

yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa memiliki harsat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mahzab ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat.

Perbahasan persoalan tempat dan kedudukan hukum internasional dalam rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidnag hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagian suatu perangkat ketentuan-ketentuan ada asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan efektif pula dengan ketentuan-ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum nasional.

Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang dinamakanVoluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.12

Disamping itu terdpaat juga Teori Efektifitas Hukum, untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini akan dipergunakan teori efektifitas pelaksanaan hukum dari Soejono Soekanto bahwa efektifitas hukum yang dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) Faktor petugas/penegakan hukum; (3) Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum; (4) Faktor masyarakat atau Faktor kebudayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari Soejono Soekanto masing-masing faktor:13

a. Faktor Hukum

Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawatahan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapan sebagai berikut:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori

13

kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.14

Kalau dikaji lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas, sebab apabila tidak: (1) Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius contituendum).

Berdasarkan penjelasan diatas, tampak betapa rumitnya persoalan efektifitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah disebutkan.

b. Faktor Penegak Hukum

Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena

mancakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam hal penegakan hukum. Menurut Soeono Soekanto bahwa:

Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan pemasyarakatan.15

Oleh karena itu yang dimaksud penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas strata atas, menegah dan bawah. Artinya didalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Didalam hal penegakkan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal sebagai berikut:

a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?

b) Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan kebijakan?

c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat?

d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya?16

c. Faktor Sarana/Fasilitas

15

Ibid, h.13.

16

Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu. Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralat-alatan dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting. Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula bertujuan untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadi kemacetan. Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti, (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.

d. Faktor Masyarakat

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat. Yang dimaksud ini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat

terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Adanya asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum seperti agama dan adat istiadat, semakin kecil peran hukum, seperti hanya peraturan yang mengatur tentang spesies langka mempunyai peran yang sangat besar terhadap pelanggaran/perdagangan spesies langka. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya didalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Terkait dengan hal tersebut perlu diungkapan hal-hal yang berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1) Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian teladan yang baik dari petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum; (3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.

e. Faktor Kebudayaan

Masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah atau bentuk dari sistem tersebut. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya

merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperannan dalam hukum adalah sebagai berikut:

1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman

2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan

3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovasitisme

Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Hal ini berarti bahwa didalam hukum publik nilai ketentraman boleh diabaikan, sedangkan didalam hukum perdata nilai ketertiban sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman, merupakan pasangannilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut keadaan masing-masing kebudayaan, dimana pasangan nilai tadi diterapkan.

Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang melibatkan antar negara di dunia saling bertemu, menembus lintas batas negara masing-masing untuk membuat suatu jalur serta jaringan-jaringan di bidang perdagangan yang ada.

Selain itu perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemersatu negara-negara di dunia, disebut demikian karena adanya fakor perbedaan yang menjadi latar belakang dari masing-masing negara. Perbedaan disini dalam arti bahwa setiap negara mempunyai karakteristik berbeda-beda yang menjadi unsur dari suatu negara tersebut, misalnya perbedaan dari segi sumber daya alam, iklim,

geografi, demografi, struktur ekonomi dan juga struktur sosial. Masing-masing karakteristik tersebut tentunya menyebabkan adanya suatu keunggulan tertentu, serta disisi lain juga memiliki kekurangan.17

Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum perdagangan internsional oleh sarjana hukum perdagangan internasional, yaitu Profesor Aleksander Goldstajn, diantaranya adalah:

a. Prinsip dasar kebebasan berkontrak

Merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional. Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas, meliputi kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati, termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa dagangnya, serta kebebasan untuk memillih hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dan lain.

Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentang dengan UU, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

b. PrinsipPact Sunt Servanda

Adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum didunia menghormati prinsip ini.

c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

17

Arbitrase dalam perdagangan internasionala adalah forum penyelesaian sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah, prinsip ketiga ini memang relevan. Goldstajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa penggunakaan arbitrase ini dijadikan prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional adalah sebagai berikut:

moreover to the extent that the settlement of differences is referred to arbritration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals often apply criteria other that those applied in courts. Arbitrations appear more ready to interpret rules freely taking into account customs, usage and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign arbitral awards is generally more easy that the enforcement of foreign court decisions is conducive to apreference for arbitrations.”

d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional, yaitu prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Perusakan

atau tidak langsung terhadap fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku lingkungan hidup.” Perdagangan hewan juga

merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia sebagai bagian dari perusakan lingkungan hidup.

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan “Satwa Liar adalah

semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.”18

Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi adalah:19

“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum

internasional.”

Demikian pula dari bagian hukum perjanjian internasional Konvensi Wina 1969 Pasal 2b menyatakan20: Aksesi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu aksesi tidak berlaku surut melainkan baru mengikat sejak penandatanganan aksesi. Indonesia merupakan

18

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

19

I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju, Bandung, h. 12.

salah satu negara didunia yang mengaksesi Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah atau CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Aksesi tersebut terwujud dengan membentuk UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melalui Keppres No. 43 Tahun 1978 tentang aksesi CITES.

Mengingat negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum maka untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang dilindungi perlu dilakukan penegakkan hukum secara tegas dengan membentuk tim terpadu yang terdiri dari instansi terkait. Selain penegakkan hukum secara nasional Indonesia juga bisa berpartisipasi dalam penegakkan hukum secara internasional. Salah satunya sumber hukum internasional adalah perjanjian internasional.

Dokumen terkait