BAB I PENDAHULUAN
1.7. Landasan Teoritis
Pengangkutan merupakan kegiatan memindahkan barang atau commodity of
goods dan penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga pengangkut
menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-barangnya.6 Pengangkutan berasal dari suatu perjanjian pengangkutan. Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil antara pengangkut dan penumpang dan memiliki timbal balik antara pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Pengangkut berjanji untuk mengangkut penumpang serta barang-barang bawaannya ke tempat tujuan dan penumpang berkewajiban untuk membayar biaya-biaya pengangkutan.
Konsep dari pengangkutan meliputi tiga aspek, yaitu sebagai berikut. 1. Pengangkutan sebagai usaha (business),
2. Pengangkutan sebagai perjanjian (agreement), dan
3. Pengangkutan sebagai proses penerapan (applying process).
Ketiga aspek pengangkutan tersebut menyatakan kegiatan yang berakhir dengan pencapaian tujuan pengangkutan. Tujuan kegiatan usaha pengangkutan adalah memperoleh keuntungan dan/atau laba, tujuan kegiatan perjanjian pengangkutan adalah memperoleh hasil realisasi yang diinginkan oleh pihak-pihak, dan tujuan kegiatan pelaksanaan pengangkutan adalah memperoleh keuntungan dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.7
6
Soegijatna Tjakranegara, 1995, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, Rineka Cipta, Jakarta, h.1.
7
10
Kegiatan memindahkan tersebut dapat dibedakan ke dalam dua pengertian, yaitu :
1. dalam arti luas, menyangkut :
a. memuat penumpang ataupun barang ke dalam alat pengangkut b. membawa apa yang diangkut ke tempat tujuan
c. menurunkan penumpang atau membongkar barang di tempat tujuan. 2. sedangkan dalam arti sempit meliputi pemindahan barang atau
penumpang dari terminal (apabila melalui jalur darat), dari pelabuhan (apabila menggunakan jalur laut), dan bandara (apabila menggunakan jalur udara) ke tempat tujuan.8
Subjek hukum dari pengangkutan terdiri dari pengangkut, pengirim, penumpang, penerima, ekspeditur, pengatur muatan, pengusaha pergudangan. Penumpang selalu berupa manusia pribadi dapat berfungsi ganda yaitu sebagai subjek sekaligus objek pengangkutan. Sedangkan objek perjanjian pengangkutan adalah apa yang diangkut (muatan barang dan penumpang), biaya pengangkutan dan alat pengangkutan.
Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal. Berdasarkan Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 Pasal 6, bahwa Jenis-jenis angkutan di Perairan terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu :
1. angkutan laut
8
Lestari Ningrum, 2004, Usaha Perjalanan Wisata Dalam Perspektif Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 134.
11
angkutan laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya melayani kegiatan angkutan laut.
2. angkutan sungai dan danau
angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, banjir kanal, dan terusan untuk mengangkut penumpang dan /atau barang yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau.
3. angkutan penyeberangan
Angkutan Penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
Jenis Angkutan Laut, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang angkutan perairan, terdiri atas 4 jenis yaitu sebagai berikut.
1. Angkutan laut dalam negeri 2. Angkutan laut luar negeri 3. Angkutan laut khusus
4. Angkutan laut pelayaran rakyat
Dalam penyelenggaraan pengangkutan sebelumnya harus ada perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan penumpang. Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Perjanjian
12
merupakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan di mana untuk terjadinya atau lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh perbuatan orang atau orang-orang itu.9 Istilah perjanjian ini sama dengan kontrak. Subekti mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.10
Suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.
1. Adanya kata sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.11 Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.12
2. Kecakapan untuk membuat perikatan
Dalam pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan
9
Purwahid, 1994, Pengertian Perjanjian, Rineka Cipta, Jakarta, h. 47. 10
Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h. 36. 11
Sudargo Gautama, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76. 12
J. Satrio, 1955, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 164.
13
bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu orang yang belum dewasa (persons under 21 years of age), mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or
conservatorship) dan perempuan yang sudah menikah. Berdasarkan
Pasal 1330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah.
3. Suatu hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu
(een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan
jenisnya (determinable).13 4. Kausa hukum yang halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.14
Ada asas-asas hukum perjanjian yang penting untuk diketahui dalam rangka memahami hukum perjanjian pada umumnya. Dari asas-asas perjanjian tersebut, terdapat asas-asas yang berlaku pada saat mengadakan perjanjian dan ada yang berlaku pada saat setelah mengadakan perjanjian sebagai akibat dari perjanjian
13
Sudargo Gautama, op.cit, h. 79. 14
14
yang telah diadakan. Berikut ini ada 10 (sepuluh) asas hukum perjanjian yang akan diuraikan, yaitu 15
1. asas kebebasan berkontrak, asas ini mengatur kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri kehendaknya dalam perjanjian.
2. asas konsensualisme (persesuaian kehendak), asas ini tercermin dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu harus dipenuhi. Grotius mencari dasar konsensus di dalam hukum kodrat, yaitu pada prinsip pacta sunt servanda (janji itu mengikat), dan selanjutnya dia juga menyatakan lagi “promissorum implentidorum
obligato” (kita harus memenuhi janji kita), sehingga asas ini
mempunyai pengertian yang sama dengan Pasal 1338 KUHPerdata
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
3. asas kepercayaan, dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain, akan menimbulkan kepercayaan di antara kedua belah pihak, di mana satu dengan yang lain akan saling memegang janji, dan para pihak akan saling memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian tidak mungkin terjadi.
4. asas kekuatan mengikat, terikatnya para pihak tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, tetapi para pihak juga terikat
15
15
terhadap unsur-unsur lain yang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatuhan, serta moral.
5. asas persamaan hukum, tidak membedakan warna kulit, bangsa, jabatan maupun kekuasaan, mereka para pihak dalam perjanjian harus saling menghormati.
6. asas keseimbangan, asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan, di mana meskipun kreditur mempunyai kedudukan yang lebih kuat, namun kreditur dibebani untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik sehingga kedudukan kedua pihak seimbang.
7. asas kepastian hukum, asas ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu sebagai undang-undang yang harus ditaati.
8. asas moral, orang melakukan perbuatan hukum harus didasari kesusilaan atau moral yang merupakan panggilan hati nuraninya.
9. asas kepatuhan, berkaitan dengan isi perjanjian yang dihubungkan dengan rasa keadilan dalam masyarakat.
10. asas kebiasaan, merupakan bagian dari perjanjian, sebab perjanjian tidak hanya mengikat pada hal-hal yang nyata diperjanjikan, tetapi juga terikat pada hal-hal yang dalam keadaan atau kebiasaan yang lazim diikuti. Artinya, perjanjian itu juga mengikat segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan, dan undang-undang.
16
Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu : a. perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan
hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
b. perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja.
c. perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja.
d. perjanjian konsensuil, riil dan formil.
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
e. perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
17
secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian Leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.16
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau sering disebut dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract / laissez faire). Konarz Zwiegert dan
Hein Kotz berpendapat “freedom of contract has always had many meaning : freedom to select and enter contract of any amaginable type, the freedom to decide whether to contract or not, and the freedom of Beach contractor to fix
terms of his own promise, subject to the agreement of the other party ”.17
(Kebebasan berkontrak memiliki banyak makna : kebebasan untuk memilih atau bergabung dalam segala jenis perjanjian, kebebasan dalam memilih untuk menerima perjanjian atau tidak, dan kebebasan para pihak dalam menentukan isi kontrak).
Kebebasan berkontrak tetap memiliki pembatasan. Batasannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan suatu sebab terlarang apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Selain itu dibatasi juga oleh Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana tiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi tanpa adanya itikad baik perjanjian dapat batal demi hukum.
Pengangkutan perairan dengan kapal diadakan berdasarkan perjanjian antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang.18 Karcis penumpang dan dokumen pengangkutan merupakan tanda bukti telah terjadi
16
Sutarno, 2003, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, h. 82. 17
Konarz Zwiegert and Hein Kotz, 1987, Introduction to Comparative Law, Clarendon Press, Oxford, h. 13.
18
18
perjanjian pengangkutan antara perusahaan pengangkutan perairan dan penumpang atau pemilik barang dengan pembayaran biaya pengangkutan.19
Keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab pengangkut. Pengangkut perlu juga mencantumkan pada dokumen pengangkutan atau dalam perjanjian pengangkutan bahwa pengangkut wajib :
a. menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak penerimaan sampai saat penyerahannya
b. menjaga keselamatan penumpang sejak saat naik ke kapal sampai saat turun dari kapal.20
Mengenai kewajiban pengangkut untuk menjaga keselamatan dan keamanan
dari penumpang diatur dalam Pasal 522 KUHD ayat (1) “perjanjian untuk mengangkut mewajibkan pengangkut untuk menjaga keamanan penumpang dari
saat naik sampai saat turun dari kapal”. Dalam ayat (2) juga disebutkan “pengangkut wajib mengganti kerugian yang disebabkan oleh cedera yang
menimpa penumpang berkenaan dengan pengangkutan, kecuali ia dapat membuktikan, bahwa cedera itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang layaknya
tidak dapat dicegah atau dihindari atau akibat kesalahan penumpang sendiri.” Tanggung Jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai
19
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 183. 20
19
akibat sikapnya oleh pihak lain.21 Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.22
Ganti rugi sendiri merupakan bentuk pemenuhan hak kepada pihak yang telah dirugikan oleh pihak lainnya yang telah melakukan kesalahan atau pun kelalaian sehingga menyebabkan kerugian pada pihak tersebut. Ganti rugi sendiri timbul karena ada sebab, sebab-sebab tersebut antara lain adalah :
a. ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi macam ini disimpulkan dari Pasal 1365 KUHPerdata yang membebankan ganti rugi kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikan. Ganti rugi ini muncul karena adanya kesalahan.
b. ganti rugi yang disebabkan karena wanprestasi. Di mana dalam hal ini salah satu pihak telah melakukan wanprestasi atau tidak melakukan hal yang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Pembebanan ganti rugi ini harus melalui proses somasi. Ganti rugi ini muncul karena adanya perjanjian dan didasarkan pada Pasal 1243 KUHPerdata.
Hukum pengangkutan mengenal tiga prinsip tanggung jawab, yaitu tanggung jawab karena kesalahan (fault liability), tanggung jawab karena praduga
(presumption liability), dan tanggung jawab mutlak (absolut liability).
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006.
22
20
Hukum pengangkutan Indonesia umumnya menganut prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga. Tanggung jawab karena kesalahan di mana setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar segala kerugian yang timbul akibat kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum (general rule).23
Menurut prinsip tanggung jawab praduga pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Akan tetapi, jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti kerugian itu. Tidak bersalah artinya tidak melakukan kelalaian, telah berupaya melakukan tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan pengangkut.24
Prinsip ini dapat dijumpai dalam Undang-Undang Pelayaran Indonesia. Perusahaan pengangkutan perairan bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapalnya berupa :
23
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 49. 24
21
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal dan/atau kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
b. musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut sesuai dengan perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. keterlambatan pengangkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut meliputi antara lain, memberikan pelayanan dalam batas-batas kelayakan sesuai dengan kemampuan perusahaan perairan kepada penumpang selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan keberangkatan karena kelalaian perusahaan pengangkutan tersebut mengingat perusahaan pengangkutan perairan yang masih tergolong usaha ekonomi lemah.
d. kerugian pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.25
Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability), yaitu menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut.26
25
Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 52. 26
Wiradipraja Saefullah, 1989, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum Pengangkut Udara Internasional Dan Nasional, Liberty, Yogyakarta, h. 19.
22
Cara membedakan prinsip-prinsip tanggung jawab tersebut di atas pada dasarnya diletakkan pada masalah pembuktian, yaitu mengenai ada tidaknya kewajiban pembuktian, dan kepada siapa beban pembuktian diletakkan dalam proses penuntutan.27