• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Landasan Teoritis

Suatu landasan teoritis dalam pembahasan yang bersifat ilmiah memiliki kegunaan lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. Disamping itu suatu landasan teoritis dapat memberikan petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada suatu pengetahuan penelitian.4

Berdasarkan buku III KUHPerdata Bab II Pasal 1313 perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pengertian perjanjian menurut KUHPdt masih terlalu luas, menurut pendapat ahli Sudikno Mertokusumo yang memandang suatu perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat yang dapat menimbulkan akibat hukum.5

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapat yang berbeda, perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara keua belah pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan suatu hal, seangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.6

Suatu perjanjian yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut

4 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hal 12.

5 Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal 98.

pemenuhan prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya. Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan saling bertukar namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul pristiwa yang disebut wanprestasi. Zul Afdi dan Chandrawulan menyatakan wanprestasi yaitu seseorang (debitur) dikatakan ingkar janji (wanprestasi) apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena suatu keadaan memaksa.7

Pertanggungjawaban berasal dari kata “tanggung jawab” yang berarti

keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.8 Jika dikaitkan dengan kata pertanggung jawaban berarti kesiapan untuk menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Setiap orang yang menimbulkan akibat dari sikap sendiri maupun pihak lain harus melakukan tanggung jawab yang sesuai dengan perjanjian yang kedua belah pihak sepakati.

Dalam hal ini teori yang digunakan adalah pertanggung jawaban perdata, pada Pasal 1365 KUHPerdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam ilmu hukum dikenal

3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :

7 Zul Afdi dan Chandrawulan, 1998, Hukum Perdata dan Dagang, CV Armico, Bandung, hal 43.

8 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal 1139.

a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Dari tiga ketegori tersebut terdapat model tanggung jawab hukum adalah :

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal1367 KUHPerdata.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), merupakan salah satu usaha menuju sistem yang lebih adil bagi konsumen, terutama dari segi perlindungan hukumnya. Dalam UUPK ketentuan tentang product liability diatur untuk semakin memperkuat perlindungan terhadap konsumen. Bagi pihak produsen sendiri, dengan adanya peraturan tersebut, memberikan keuntungan berupa bisa mendapatkan kepercayaan dari konsumen sehingga produknya memiliki daya saing tinggi ditengah serbuan masuknya produk-produk asing.

Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak; merupakan prinsip tanggung jawab di mana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang mennetukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan

antara subyek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan atas produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi dasar untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan tanpa harus membuktikan kesalahan pelaku usaha atau produsennya. Pelaku usaha dan atau produsen bisa terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya; sebaliknya ia akan dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen itu. UUPK mengatur hal ini dalam pasal 19 ayat 5, pasal 27 dan pasal 28.9

Prinsip tanggung jawab ini penting untuk diterapkan karena :

1. Konsumen tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, mengingat terbatasnya informasi dan kemampuan lainnya seperti modal.

2. Asumsinya produsen lebih dapat mengantisispasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya.

3. Asas ini dapat memaksa pelaku usaha untuk lebih berhati-hati.

Dalam setiap perjanjian tentu ada suatu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, baik bagi konsumen dan pelaku usaha.

9 Mumu Muhajir, 2007, Penerapan Prinsip Product Liability,

http://kataloghukum.blogspot.co.id/2008/01/penerapan-prinsip-product-liability.html di akses pada tanggal 1 November 2015

hak konsumen dapat dilihat pada Pasal 4 UUPK dijelaskan mengenai kewajiban dari pelaku usaha.

Adapun hak-hak konsumen yang dijelaskan dalam Pasal 4 UUPK, antara lain :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila baranng dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-ak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya juga perlu memperhatikan kewajiban-kewajiban yang harus diembannya. Dalam Pasal 7 UUPK menjelaskan kewajiban-kewajiban pelaku usaha, yaitu :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencova barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Penyelesaian sengketa terdapat melalui litigasi dan non-litigasi, dalam kasus ini penyelesaian menggunakan non-litigasi. Adapula beberapa penyelesaian melalui non-litigasi sebagai berikut :10

a) Negosiasi

Suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.

b) Mediasi

Cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

c) Konsiliasi

Penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima.

Dalam penelitian ini,lebih merujuk kepada penyelesaian melalui mediasi. Terdapat dasar dan prosedur mediasi yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Hal ini

10

Frans Hendra Winarta, 2012, Hukum Penyelesaian sengketa¸Jakarta, Sinar Grafika, hal. 7

digunakan sebagai dasar hukum untuk menjawab permasalahan mengenai upaya-upaya penyelesaian apa saja yang dapat ditempuh konsumen apabila mengalami kerugian akan barang-barang hasil produksi dari konveksi yang dibelinya.

Dokumen terkait