• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Landasan Teori

1. Bahasa dan Fungsi Bahasa

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri serta dalam fungsinya sebagai alat kominukasi verbal (Kridalaksana, 2001:21). Bahasa dalam dua fungsi tersebut mampu mengubah konsep abstrak menjadi lambang bunyi yang bersistem. Selanjutnya, bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunikasi verbal.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif untuk kepentingan komunikasi antara sesama manusia. Hal tersebut tidak terlepas dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang pada dasarnya selalu menginginkan kontak dengan manusia lain. Oleh sebab itu, bahasa tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Sehubungan dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam hubungannya dengan masyarakat, maka para ahli bahasa mulai melakukan berbagai kajian mengenai hal tersebut. Salah satu diantaranya adalah bidang kajian pragmatik.

Ada tiga metafungsi bahasa yang disampaikan oleh Halliday (dalam Sumarlam, 2003:3-4)

a. Fungsi ideasional berkaitan dengan peran bahasa untuk mengungkapkan ide, gagasan, dan isi pikiran, serta untuk mereflesikan realitas pengalaman partisipannya.

b. Fungsi interpersonal berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk mengungkapkan peranan-peranan sosial dan peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri.

c. Fungsi tekstual berkaitan dengan peranan bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsur situasi yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya baik secara lisan maupun tertulis.

Bahasa memiliki tujuh fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday (dalam Sumarlam, 2003:1-3).

a. Fungsi instrumental (the instrumental function) berfungsi menghasilkan kondisi-kondisi tertentu dan menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu.

b. Fungsi regulasi (the regulation function) berfungsi sebagai pengawas, pengendali, atau pengatur peristiwa, atau berfungsi untuk mengendalikan serta mengatur orang lain.

c. Fungsi pemerian atau fungsi representasi (the representasional

function) berfungsi untuk membentuk pernyataan-pernyataan, penyampaian fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan, atau melaporkan realita dan sebenarnya sebagaimana yang dilihat atau dialami orang

d. Fungsi interaksi (the interecsional function) berfungsi menjamin dan memantapkan ketahanan dan keberlangsungan komunikasi serta menjalin interaksi sosial.

e. Fungsi perorangan (the personal function) fungsi ini memberi kesempatan kepada pembicara untuk mengekspresikan peranan, emosi pribadi, serta reaksi-reaksi yang mendalam.

f. Fungsi heuristik (the heuristic function) fungsi ini melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya dan mempelajari seluk-beluk lingkungannya.

g. Fungsi imajinatif (the imaginatife function) berfungsi sebagai pencipta sistem, gagasan, atau kisah yang imajinatif.

2. Pragmatik

Kridalaksana (2001:176) mengidefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkondifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya Levinson (dalam Rahardi, 2007:48).

Parker (dalam Rahardi, 2007: 48) mengemukakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupi di luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks.

3. Situasi Tutur

Dalam hubungannya dengan banyaknya maksud yang disampaikan oleh penutur dalam sebuah tuturan, Leech (dalam Wijana,2009:14-16)

harus selalu dipertimbangkan dalam studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut.

a. Penutur dan lawan tutur

Mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

b. Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan yang bersangkutan.

c. Tujuan tuturan

Bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan. Dalam hal itu bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannnya.

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan sebagaimana dalam kriteria empat merupakan wujud dari tindak verbal dalam pragmatik.

Kelima aspek tersebut Leech harus selalu diperhatikan dalam mengkaji setiap tuturan karena dalam setia tuturan akan selalu terikat pada konteks yang melingkupinya. Jadi, aspek-apek di atas tidak dapat lepas dari bagian suatu tuturan.

4. Peristiwa Tuturan

Peristiwa tutur (speech event) merupakan kegiatan sosial, yang di dalamnya terdapat interaksi antarpenutur dalam situasi tertentu. Suwito (1996:36) menyatakan bahwa peristiwa tuturan adalah serangkaian tindak tutur yang terorganisasi untuk mencapai suatu. Peristiwa tuturan merupakan rentetan tindak tutur dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu tema atau topik tuturan pada waktu, tempat, dan situasi tertentu serta tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek yang melingkupi tuturan dalam suatu komunikasi antara penutur dan lawan tutur atau antara komunikan dengan komunikator.

Sehubungan dengan konsep peristiwa tutur dan situasi pemakaian bahasa, maka unsur-unsur situasi tutur yang dikemukakan oleh Dell Hymes (dalam Suwito,1996:39) dalam bentuk akronim bahasa Inggris

Speaking yang pemeriaanya sebagai berikut:

Setting dan scene, yaitu tempat dan suasana bicara

Participant, yaitu pembicara, lawan bicara, dan pendengar End, yaitu tujuan

Act sequance, yaitu suatu peristiwa dimana seseorang

menggunakan kesempatan bicara

Key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan Instrumen, yaitu alat untuk menyampaikan pendapatnya Norm of interaction, yaitu aturan permainan yang mesti

ditaati

Genre, yaitu jenis kegiatan yang mempunyai sifat lain dari

yang lain. 5. Tindak tutur

Tindak tutur adalah produk atau hasil dari kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan satuan terkecil dari komunikasi linguistik.

Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (Locutionary Act), tindak ilokusi (Ilocutionary Act), dan tindak perlokusi (Perlocutionary Act) (Wijana, 2009: 20).

a. Tindak lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur itu disebut sebagai The Act of Saying Something. Contoh tindak lokusi adalah sebagai berikut.

(3) Rumah Dian besar.

(4) Ibu sedang memasak di dapur.

Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata hanya untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi adalah tindakan yang paling mudah diidentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tanpa memperhitungkan konteks tuturannya.

b. Tindak ilokusi

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya digunakan untuk menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara seksama. Contoh tindak Ilokusi adalah:

(5) Saya haus. (6) Gulanya habis.

Tuturan tersebut bukan sekedar menginformasikan rasa haus dan gula habis tetapi dimaksudkan untuk minta minum dan menyuruh membeli gula, hal inilah contoh tindak ilokusioner atau ilokusi.

c. Tindak perlokusi

Tindak perlokusi menurut Searle (dalam Wijana, 2009:23) adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Contoh tindak tutur perlokusi:

(7) Rumahnya jauh (8) Televisinya 20 inchi

Tuturan ke (7) bila diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Kalimat (8) bila diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan diselenggarakan siaran langsung kejuaraan piala dunia, kalimat ini tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan untuk menonton ditempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur menyetujui ajakannya.

6. Jenis-jenis Tindak Tutur

Jenis-jenis tindak tutur dibagi menjadi tiga: a. Tidak tutur langsung dan tak langsung

1) Tindak Tutur Langsung

Tindak tutur dilihat dari penggunaan kalimat secara konvensional, maksudnya jika kalimat berita difungsikan untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya (Wijana, 2009:28).

(9) X: Din, perutku kok lapar, ya Y:Ada makanan di almari X: Baik, kuambil semua, ya?

Tuturan di atas menjelaskan bahwa ia mengetahui tuturan yang diutarakan oleh lawan tuturnya bukanlah sekedar menginformasikan sesuatu, tetapi menyuruh orang yang diajak berbicara.

2) Tindak Tutur Tak Langsung

Tindak tutur tak langsung adalah tindak tutur yang diutarakan secara tidak langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya. Tindak tutur tidak langsung ini digunakan agar pembicaraan lebih dan jika hal itu merupakan perintah maka dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya, agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misal:

(10) X: Saya kemarin tidak dapat hadir

Y: Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan

Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab secara langsung tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya.

b. Tindak tutur literal dan tindak tutur tak literal 1) Tindak Tutur langsung Literal

Yaitu tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengarangnya, maksudnya adalah penggunaan kalimat sesuai dengan fungsinya misalnya bertanya dengan kalimat tanya, memberi tahu dengan kalimat berita, dan sebagainya. Contoh tindak tutur langsung literal:

(11) Jam berapa sekarang?

Tuturan di atas menanyakan pukul berapa ketika itu dan maksud bertanya dengan kalimat tanya.

2) Tindak Tutur Langsung Tidak Literal

Yaitu tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang dipakai tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Contohnya adalah:

(12) Lantainya kotor

Tuturan di atas tidak hanya memberikan informasi tetapi terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita.

Yaitu tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Contoh tindak tutur langsung tidak literal:

(13) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu! Tuturan di atas menjelaskan bahwa penutur menyuruh lawan tuturnya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan.

4) Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal

Yaitu tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Contohnya:

(14) Lantainya bersih sekali

Tuturan di atas untuk menyuruh seseorang untuk mengepel lantai yang kotor.

7. Prinsip Kerjasama

Grice (dalam Wijana,2009:42) mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerjasama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim sebagai berikut:

a. Maksim kuantitas (maxsim of quantity)

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyaknya yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Misalnya:

(15) X : Siapa namamu? Y: Melia

X: Di mana rumahmu? Y: Pacitan

Jawaban (Y) atas pertanyaan (X) pada percakapan di atas memenuhi maksim kuantitas, karena memberikan kontribusi yang memadai, dan mencukupi pada setiap tahapan komunikasi. Kuantitas jawaban (Y) adalah Melia dan Pacitan.

b. Maksim kualitas (maxsim of quality)

Maksim percakapan ini mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya : (16) Guru : Coba kamu Andi, apa ibu kota Jawa Tengah?

Andi : Surabaya, Pak Guru.

Guru: Pintar, kalau begitu ibukota Jawa Timur Semarang, ya?

Contoh tersebut menunjukkan bahwa seorang guru bertanya kepada salah satu muridnya yang bernama Andi tentang ibukota Jawa Tengah namun jawaban Andi salah, karena yang benar adalah Semarang bukan Surabaya. Jadi jawaban tersebut tidak memenuhi maksim kualitas karena tidak memenuhi jawaban yang diharapkan. c. Maksim relevansi (maxim of relevance)

Maksim relevansi ialah aturan pertuturan yang menuntut adanya relevansi dalam tuturan antara pembicaraan dengan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya:

(17) X : pak ada tabrakan bus lawan kereta api di Rangkas Bitung.

Dialog di atas adalah percakapan antara seorang ayah dengan anaknya. Bila sang ayah sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak selayaknya ia mempersamakan peristiwa kecelakaan yang diceritakan anaknya itu dengan sebuah pertandingan atau kejuaraan. Di dalam kecelakaan tidak ada pemenang, dan tidak ada pula pihak yang akan menerima hadiah. Semua pihak akan menderita kerugian, bahkan mungkin akan memakan korban jiwa. Jadi kontribusi yang dibeikan oleh (Y) melanggar maksim relevansi, yaitu penyimpangan jawaban yang diberikan oleh seorang ayah terhadap pernyataan sang anak. d. Maksim pelaksanaan (maxim of manner)

Maksim pelaksanaan ialah aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur untuk memberikan kontribusi tuturan yang runtuh, tidak ambigu, tidak taksa, dan tidak berlebihan. Misalnya:

(18) X : Sepeda saya ringsek tertabrak mobil. Dapatkah anda

memperbaiki sehingga kembali seperti semula? Y : bisa tapi waktunya setengah abad.

Jawaban (Y) yang menyatakan bisa tapi waktunya setengah abad bersifat melebih-lebihkan. Hal itu memang disengaja karena untuk menciptakan sausana humor.

8. Prinsip Kesopanan

Berkaitan dengan pembagian maksim, Leech (dalam Wijana, 2004:51) berpendapat bahwa selain keempat maksim di atas, dalam prinsip kerja sama masih diperlukan prinsip kesopanan yang dibagi dalam enam maksim.

a. Maksim kebijaksanaan

Adalah aturan dalam pertuturan dengan cara meminimalkan kerugian terhadap lawan tutur dan memaksimalkan keuntungan bagi lawan bicara. Contoh:

(19) Silahkan (anda) datang kerumah saya.

(20) Silahkan kiranya (anda) datang ke rumah saya.

(21) kalau tidak keberatan, sudilah (anda) datang ke rumah saya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutamakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. b. Maksim penerimaan

Maksim penerimaan adalah aturan pertuturan yang meminimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain. Perhatikan contoh kalimat berikut.

(22) Anda harus meminjami saya mobil. (23) Saya akan meminjami anda mobil.

(24) Saya akan datang ke rumahmu untuk makan siang.

(25) Saya akan mengundangmu ke rumah untuk makan malam. Tuturan (22) dan (23) dirasa kurang sopan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan dirinya dengan menyusahkan orang lain. Sebaliknya (24) dan (25) penutur berusaha memaksimalkan kerugian mengenai dengan memaksimalkan kerugian diri sendiri. c. Maksim kemurahan

Adalah pertuturan dengan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini

dinyatakan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif dan asertif ini jelaslah tidak hanya dalam menyuruh dan menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berlaku sopan. Contohnya:

(26) + Permainanmu sangat bagus. - Tidak saya kira biasa-biasa saja.

Tokoh (+) bersikap sopan karena berusaha memaksimalkan keuntungan (-) lawan tuturnya. Lawan tuturnya atau (-) menerapkan paradox pragmatik dengan berusaha meminimalkan penghargaaan diri sendiri.

d. Maksim kerendahan hati

Maksim kerendahan hati adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan ketidak hormatan terhadap diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. Perhatikan contoh kalimat berikut:

(27) + Betapa pandainya orang itu. - Betul di memang pandai. (28) + Kau sangat pandai. - Ya, saya memang pandai.

Agar jawaban yang (-) dalam (27) terasa sopan, (-) dapat menjawab seperti (28) di bawah ini sehingga ia terkesan meminimalkan rasa hormat bagi dirinya sendiri.

e. Maksim kecocokan

Maksim kecocokan tuturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidak cocokan di antara mereka. Perhatikan contoh berikut: (29) + Bahasa Inggris sukar, ya?

- Ya.

(30) + Bahasa Inggris sukar, ya? - ( siapa bilang), mudah sekali.

Kontribusi (-) dalam (29) lebih sopan dibandingkan dengan dalam (30) karena dalam (30) (-) memaksimalkan ketidak cocokannya dengan pernyataan (+). Dalam hal ini tidak berarti orang harus senantiasa setuju dengan pendapat atau peryataan lawan tuturnya. Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketik setujuan atau ketidak cocokan partial atau (partial agreement). f. Maksim kesimpatian

Adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan rasa simpati kepada orang lain, dan meminimalkan rasa antipati kepada orang lain. Maksim ini dinyatakan dalam kalimat ekspresif dan asertif. Sebagai contoh adalah:

(31) + Bibiku meninggal dunia minggu kemarin. - Oh, aku turut berduka cita.

Wacan (31) memenuhi maksim kesimpatian karena memaksimalkan rasa simpati kepada lawan tuturnya yang mendapatkan kedukaan.

Brown dan Levinson (dalam Wijana, 2007:60-61) menunjukkan secara meyakinkan bahwa penutur mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Dalam hal ini Brown dan Levinson mengidentifikasikan tiga strategi dasar.

a. Tingkat jarak sosial (distance rating)

Antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural.

b. Tingkat status sosial ( power rating)

Yang didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks pertuturan.

c. Tingkat peringkat tindak tutur (rank rating)

Yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain.

9. Komponen Tindak Tutur

Pada waktu seorang hendak berbicara, terlebih dahulu terbentuklah suatu pesan di dalam kepala orang itu yang merupakan kehendaknya atau ungkapan perasaannya. Jika saatnya telah tiba, maka pesan (message) itu akan dilontarkan menjadi ujaran (utterance) yang kemudian dapat didengar oleh orang yang diajak bicara atau orang yang kebetulan dekat dengannya. Terjadinya lontaran ujaran dipengaruhi oleh banyak hal, tergantung pada macam dan kualitas butir-butir yang telah mempengaruhinya. Butir-butir penentu ini disebut komponen tutur, karena butir-butir ini menjadi variabel penentu ujud bentuk ujaran yang terlontarkan oleh seorang penutur.

Adapun komponen tersebut adalah pribadi penutur, warna emosi penutur, maksud penutur, asal penutur, anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan mitra tutur, hadirnya orang ketiga, mitra tutur, peristiwa tutur, suasana bicara, ekologi percakapan, bentuk wacana, dan norma kebahasaan lain (Paina Partana, 2005:51-53).

Dokumen terkait