• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Bank dan Perkembangannya

Menurut Undang-Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998, disebutkan pengertian bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.Pengertian yang lebih tehnis dapat dilihat dari PSAK nomor 31 dalam Standar Akuntansi Keuangan yang mengatakan bahwa bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Dalam perkembangannya perbankan telah beberapa kali mengalami pasang surut.Dewasa ini dunia usaha berada dalam lingkungan persaingan yang berubah cepat. Menurut Basel Committee on Banking Supervision (1999), akhir akhir ini sistem keuangan dunia telah menunjukkan adanya turbulensi ekonomi. Dalam lingkungan yang makin turbulen, sistem dan subsistem organisasi menjadi makin terbuka dan tingkat persaingan semakin ketat dan tajam, bahkan semakin tidak menentu arah perubahannya. Secara eksplisit turbulensi dalam sistem keuangan dapat

menciptakan berbagai ancaman yang dapat melemahkan daya saing bank. Bahkan, mungkin dapat menyingkirkannya dari industri perbankan.

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam sistem keuangan yang turbulen, sebuah bank harus dapat berkompetisi dengan bank-bank kompetitor dan financial intermediary unit lainnya yang juga memberikan layanan jasa keuangan. Suatu bank dikatakan berhasil memenangkan kompetisi bisnisnya jika ia mampu memberikan jasa layanan keuangan bank lebih baik daripada kompetitornya, sekaligus mampu mengadaptasikan diri dengan setiap perubahan lingkungan.

Dengan kemampuan manajerial yang dimiliki, bagaimana para manajer bank dapat mengubah ancaman lingkungan yang turbulen menjadi berbagai peluang usaha yang menguntungkan. Manajemen bank yang kreatif dan inovatif selalu berusaha menciptakan berbagai produk layanan bank yang prospektif dan menguntungkan tanpa mengabaikan prinsip asset liability management (ALMA), yaitu menyelaraskan antara profitabilitas dan risiko.

2.1.2 Rasio-Rasio Keuangan Perbankan

Menurut Altman (1968: 34) dalam Sianipar (2005) rasio keuangan perbankan dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu :

1. Rasio Likuiditas adalah untuk mengukur kemampuan bank dalam memelihara kebutuhan likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas.Rasio ini terdiri dari, cash ratio, quick ratio, investing policy ratio, loan to debt ratio, loan to asset ratio dan reserve requirement.

2. Rasio Profitabilitas adalah untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba selama periode tertentu.Rasio ini terdiri dari, return on asset, return on equity, net interest margin, gross profit margin on earning asset, interest margin on loan,return on investment dan earning per share. 3 Rasio Resiko Usaha Bank (Bank Liability Management) adalah rasio yang

mengukur tingkat resiko yang dihadapi perbankan.Beberapa rasio yang termasuk dalam kelompok ini adalah, capital risk ratio, deposit risk ratio dan interest rate ratio.

4 Rasio Permodalan adalah rasio yang mengukur besarnya kemampuan bank dalam menopang resiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman dana dalam aktiva produktif yang mengandung resiko. Rasio ini terdiri dari, Primary Ratio, capital ratio, capital adequacy ratio, current liabilities to equity ratio.

5 RasioEfisiensi Usaha atau sering disebut dengan Bank Asset management adalah rasio yang mengukur kinerja manajemen suatu bank apakah telah menggunakan semua faktor produksinya dengan tepat. Beberapa rasio yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah, leverage multiplier ratio, asset utilization ratio, fixed asset turnover ratio, interest expens ratio, cost of fund, cost of money, cost of loanable fund, cost of borrowing fund, cost of efficiency ratio dan operating ratio.

2.1.3 Jenis – Jenis Saham

Saham adalah adalah tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan.Saham tersebut mengandung hak atas dividen dan dapat diperjualbelikan. Dipandang dari sudut hak bagi pemegangnya saham dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Saham biasa (Common Stock)

Di antara surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal, saham biasa adalah yang paling dikenal masyarakat.di antara emiten atau perusahaan yang menerbitkan surat berharga, saham biasa juga merupakan yang paling banyak digunakan untuk menarik dana dari masyarakat. Jadi saham biasa merupakan instrumen yang sangat menarik, baik bagi investor maupun bagi emiten sendiri.

3. Saham Preferen (Preffered Stock)

Saham preferen ini merupakan jenis saham yang memiliki hak terlebih dahulu untuk menerima laba dan memiliki hak laba kumulatif. Hak laba kumulatif adalah hak untuk mendapatkan laba yang tidak dibagikan pada suatu tahun yang mengalami kerugian , tetapi akan dibayarkan pada tahun yang mengalami keuntungan , sehingga pemegang saham preferen akan menerima laba 2 kali.Hak istimewa diberikan kepada pemegang saham preferen karena merekalah yang memasok dana ke perusahaan sewaktu mengalami kesulitan keuangan.

Pada dasarnya ada 2 keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli atau memiliki saham yaitu :

1. Dividen

Dividen adalah pembagian keuntungan yang diberikan atas keuntungan yang dihasilkan oleh emiten.Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari para pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang investor ingin mendapatkan dividen, maka investor harus memiliki atau memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan dividen.

2. Capital Gain

Capital Gain merupakan selisih lebih antara harga jual dengan harga beli.Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder.Dan pada umumnya investor yang berorientasi jangka pendek akan mengejar keuntungan melalui capital gain.

Saham biasa merupakan instrument yang paling popular di pasar modal. Pembicaraan seputar saham selalu mengacu kepada saham biasa, kecuali jika disebutkan preferen.Bila dilihat dari kinerja perdagangan, saham dapat dikategorikan atas :

1. Blue-Chips Stock yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar dividen.

2. Income Stock yaitu saham dari suatu emiten yang mempunyai kemampuan membayar dividen yang dibayarkan pada tahun sebelumnya.Emiten seperti ini biasanya mampu menciptakan pendapatan yang lebih tinggi dan secara teratur membagikan dividen tunai.Emiten ini tidak suka menahan laba dan tidak mementingkan potensi pertumbuhan harga saham

3. Growth Stock yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang mempunyai reputasi yang tinggi.

4. Speculative Stock yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi di masa mendatang, merskipun belum pasti.

5. Counter Cylical Stock yaitu saham yang tidak begitu berpengaruh oleh kondisi ekonomi makro secara umum. Pada saat resesi ekonomi, harga saham ini sangat tinggi, dimana emitennya mampu memberikan dividen yang tinggi sebagai akibat dari kemampuan emiten dalam memperoleh penghasilan yang tinggi pada masa resesi.Emiten seperti ini biasanya bergerak dalam produk yang selalu dibutuhkan masyarakat seperti consumer goods.

2.1.4 Model Penilaian Saham

Ada banyak model penilaian yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian dan menemukan saham-saham yang masih undervalued.

2.1.4.1 Free Cash Flow to Equity model (FCFE)

Tidak semua arus kas yang dihasilkan perusahaan di akhir tahun dibayarkan untuk dividen. Salah satu alasan utamanya adalah perusahaan ingin mengiventasikan kembali sebagian dari arus kas tersebut untuk kepentingan perluasan usaha. FCFE adalah sisa dari arus kas yang tertinggal setelah memenuhi pembayaran bunga dan pokok pokok pinjaman, digunakan untuk pengeluaran modal baik untuk menjaga asset yang ada sekarang maupun untuk membeli asset baru guna pertumbuhan di masa yang akan datang. Besarnya FCFE dapat dihitung sebagai berikut (Damodaran, 2002, :352)

FCFE = Net Income + Depresiasi – Pengeluaran modal - modal kerja non kas + (Hutang baru - pembayaran pokok pinjaman)

Itu merupakan arus kas yang tersedia untuk dibayarkan sebagai dividen. Perhitungan tersebut dapat disederhanakan jika kita mengasumsikan pengeluaran modal bersih dan perubahan modal kerja dibiayai menggunakan komposisi yang tetap antara hutang dan modal saham. Jika adalah proporsi dari pengeluaran modal bersih dan perubahan modal kerja yang diperoleh dari pembiayaan hutang, efek dari arus kas untuk ekuitas bisa disajikan sebagai berikut (Damodaran, 2002, :352):

FCFE = Net income + (1- ) (Pengeluaran modal-depresiasi) - (1- ) ( modal kerja)

Jika investor menggunakan asumsi pertumbuhan yang stabil terhadap suatu perusahaan, besarnya nilai intrisik dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut berikut (Damodaran, 2002, :359):

FCFE1 Po = --- ke - gn

Keterangan ;

Po = Nilai saham saat ini

FCFE1 = FCFE per lembar saham akhir tahun yang diharapkan ke = cost of equity dari perusahaan

gn = tingkat pertumbuhan FCFE perusahaan

Tingkat pertumbuhan yang diambil harus wajar, relatif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan industri dimana perusahaan berada. Besarnya tingkat pertumbuhan itu sebaiknya tidak melebihi tingkat pertumbuhan ekonomi atau paling tinggi sekitar satu atau dua persen di atas pertumbuhan ekonomi.Model ini akan lebih cocok untuk perusahaan yang memiliki tingkat pertumbuhan sama atau lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan nominal dari perekonomian di suatu negara. Oleh karena itu model ini dapat digunakan untuk perusahaan yang stabil dengan memiliki rasio pembayaran dividen yang tidak selalu tinggi atau dalam jumlah yang jauh di bawah FCFE. Penting untuk diperhatikan, jika perusahaan stabil dan membayar dividen sebesar FCFE, maka besarnya nilai intrinsik perusahaan adalah sama dengan

nilai yang diperoleh dengan menggunakan Dividend Discount Model (DDM). Ada juga kondisi dimana suatu perusahaan pada awalnya dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan rata-rata perusahaan sejenis dan kemudian pada tahap berikutnya dikuti dengan pertumbuhan yang stabil. Hal ini bisa terjadi pada perusahaan yang mulai berkembang pesat setelah itu produknya memasuki tahapan maturity serta adanya pesaing lain yang memproduksi barang yang sama sehingga pertumbuhan perusahaan mulai melambat. Di dalam kondisi ini dapat digunakan model FCFE dua tahap untuk menghitung besarnya nilai intrisik, digunakan rumus sebagai berikut (Damodaran, 2002, : 363):

Value (nilai Intrisik) = PV of FCFE + PV of terminal pricE = FCFEt/(1+Ke, hg)t + Pn/(1+ke, hg)n Keterangan :

FCFEt = Free cash Flow to Equity dalam tahun t

Pn = Harga pada akhir dari periode pertumbuhan yang ekstraordinari ke = Cost of equity pada tingkat pertumbuhan yang tinggi (hg) dan

pertumbuhan yang stabil (st)

Sementara itu harga akhir tahun (Pn) dihitung dengan cara

FCFEn+1 Pn = --- ke – gn

keterangan :

gn = tingkat pertumbuhan setelah akhit periode pertumbuhan yang tinggi ke = required rate of return yang diharapkan investor pada saat

pertumbuhan stabil.

Pada model tersebut karena tingginya pertumbuhan simpanan yang diterima dan kredit yang diberikan yang akan memberikan dampak tingginya pertumbuhan pendapatan perusahaan pada awal-awalnya dan sejalan dengan semakin meningkatnya persaingan, maka pertumbuhan ini akan stabil pada suatu level tertentu.

2.1.4.2Relative Valuation

Model relative valuatio bertujuan untuk menilai suatu aset berdasarkan kemiripan dengan aset-aset yang ada dipasar. Ada dua komponen didalam relative valuation. Pertama, menilai suatu aset atas basis perbandingan, harga-harga distandardisasi, biasanya dengan mengubah harga menjadi pengganda dari pendapatan, nilai buku atau penjualan. Kedua, adalah menemukan perusahaan-perusahaan yang mirip, yang mana hal ini sulit dilakukan karena tidak ada dua perusahaan yang identik sama dan perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri yang sama masih dapat berbeda dalam hal risiko, pertumbuhan dan arus kas yang dimilikinya. Penggunaan relative valuation dalam menentukan pilihan suatu investasi relatif lebih banyak dipergunakan.

Alasan yang mendasarinya adalah :

1. Penilaian yang didasarkan atas perbandingan (multiple) dan perusahaan yang dapat dibandingkan dapat dilakukan dengan menggunakan asumsi yang jauh lebih sedikit dan jauh lebih cepat dilakukan dari pada menggunakan konsep FCFE. 2. Relative valuation lebih sederhana untuk dimengerti dan lebih mudah untuk

disajikan kepada klien daripada dengan menggunakan konsep FCFE.

3. Relative valuation lebih menunjukkan mood saat ini di pasar. Sehingga relative valuation akan menghasilkan hasil yang mendekati harga pasar daripada dengan menggunakan konsep FCFE

Dibalik keunggulan itu tersembunyi pula kelemahannya. Kelemahan dari relative valuation ini meliputi :

1. Kemudahan dengan menggunakan multiple atau perusahaan yang dapat diperbandingkan menghasilkan ketidakkonsistenan dari nilai yang diestimasi dimana variable-variabel kunci seperti risiko, pertumbuhan dan arus kas diabaikan.

2. Fakta yang menyebutkan bahwa multiple menunjukkan mood dari pasar menunjukkan bahwa penggunaan relative valuation untuk mengestimasi harga suatu asset akan menghasilkan nilai yang terlalu tinggi ketika pasar menilai tinggi perusahaan pembanding, atau terlalu rendah ketika pasar menilai rendah perusahaan pembanding.

3. Ada area dimana terjadi bias dalam penilaian, kurangnya transparasi sehubungan dengan asumsi yang mendasari dari relative valuation membuat relative valuation rawan terhadap manipulasi.Alat ukurnya yang sering digunakan yaitu ::

1. Earning Multiple

Earning multiple masih menjadi alat ukur yang sering digunakan dalam relative valuation. Price earning ratio (PER) adalah rasio dari harga saham dibagi dengan laba per sahamnya yaitu :

PER = Market price per share / Earning per share

Pendekatan yang paling umum untuk mengestimasi price earning rasio untuk suatu perusahaan adalah memilih perusahaan-perusahaan yang dapat dibandingkan, untuk menghitung nilai rata-rata dari perusahaan-perusahaan tersebut, dan secara subjektif melakukan penyesuaian terhadap nilai rata-rata tersebut untuk perbedaan antara perusahaan yang sedang dinilai dan perusahaan-perusahaan pembanding. Ada beberapa permasalahan dengan konsep ini. Pertama,

definisi dari perusahaan-perusahaan pembanding adalah ukuran subjektif. Penggunaan perusahaan-perusahaan lain dalam suatu industri sering bukan merupakan solusi sebab perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bisa memiliki risiko, pertumbuhan dan bussines mixes yang berbeda. Kedua, meskipun bisa diperoleh perusahaan-perusahaan yang sejenis, perbedaan masih ada pada fundamental antara perusahaan yang dinilai dengan industrinya.

2 Book Value Multiples

Hubungan antara harga dan nilai buku selalu menarik perhatian investor. Penjualan saham – saham dibawah nilai buku biasanya dipandang sebagai calon portfolio yang dinilai rendah (undervalued). Sedangkan penjualan saham lebih besar dari nilai bukunya dipandang sebagai portfolio yang dinilai terlalu tinggi (overvalued). Price to Book Value (PBV) dihitung dengan membagi harga pasar per saham dengan nilai sekarang dari ekuitas per saham atau

Price to book value ratio = PBV = Price per share / book value of equity per share

Saat ini konsep PBV sudah cukup dikenal beberapa kali terdengar pernyataan bahwa harga divestasi suatu bank mengacu kepada konsep PBV, tetapi tanpa menjelaskan kapan angka buku itu digunakan. Seiring dengan membaiknya laba perbankan, maka metode PER yang mulai dipakai kembali seperti sebelum krisis tahun 1998.

2.1.5 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Harga Saham

Penilaian harga saham bertujuan untuk menilai saham-saham mana yang paling menguntungkan bagi investor. Dengan kata lain saham-saham yang harga pasarnya lebih rendah dari nilai intrinsiknya (undervalue) layak untuk dibeli, sedangkan saham yang harga pasarnya lebih tinggi dari nilai intrinsiknya (overvalue) lebih menguntungkan untuk dijual.Dengan begitu perlu diadakan analisis terhadap harga saham.Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa

dalam menganalisis harga saham dapat digunakan analisis fundamental.Analisis fundamental secara umum dapat diartikan sebagai factor internal perusahaan yang digambarkan sebagai kinerja keuangan perusahaan yang dituangkan dalam laporan keuangan. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain penjualan, pertumbuhan penjualan, kebijakan dividen dan lain-lain..Untuk mengukur kinerja perusahaan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan analisa rasio.Rasio keuangan yang sering digunakan untuk memprediksi harga saham dikelompokkan dalam 5 jenis yaitu, rasio likuiditas, rasio aktivitas, rasio profitabilitas /rentabilitas,rasio solvabilitas / leverage dan rasio pasar.Dari sudut pandang calon investor, indikator penting untuk menilai prospek perusahaan di masa yang akan datang adalah dengan melihat sejauhmana pertumbuhan profitabilitas perusahaan.Indikator ini sangat sering diperhatikan untuk mengetahui sampai sejauhmana investasi yang ditanamkan investor di suatu perusahaan mampu memberikan return yang sesuai dengan tingkat yang disyaratkan investor.Sesuai dengan judul penelitian ini maka akan diuraikan rasio profitabilitas di dalam perusahaan perbankan yang diwakili oleh return on equity (ROE), net interest margin (NIM), dari rasio permodalan diwakili oleh capital adequacy ratio (CAR) dan satu dividen payout ratio (DPR

2.1.5.1 Return On Equity

Return On Equity (ROE) yaitu rasio untuk mengukur kemampuan bank dalam menghasilkan laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran dividen. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

Earnings After Tax

ROE = --- X 100 % Total Equity

Keterangan :

Earnings After Tax adalah laba setelah pajak Total Equity adalah total modal sendiri

Semakin besar rasio ROE menunjukkan kenaikan laba bersih dari bank yang bersangkutan.Higgins (1990:59) menjelaskan bahwa ada hubungan yang positif antara ROE dengan harga saham perusahaan yang dapat meningkatkan nilai buku saham perusahaan.

2.1.5.2 Capital Adequacy Ratio (CAR)

Rasio ini mengukur kekuatan modal sendiri dibandingkan dengan aktiva tertimbang menurut resiko.Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

Modal

CAR = --- X 100 % ATMR

Keterangan :

Modal adalah penjumlahan modal inti dan modal pelengkap

ATMR adalah aktiva tertimbang menurut resiko yang diperoleh dari perkalian antara butir-butir neraca dengan bobot resiko yang ditetapkan Bank Indonesia. Jika dihubungkan dengan harga saham, kecenderungan yang terjadi adalah investor akan berminat apabila suatu bank mempunyai CAR yang tinggi.

2.1.5.3 Net Interest Margin (NIM)

Net interest margin (NIM) adalah salah satu rasio untuk mengukur kemampuan dari aktiva produktif dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih.

.Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

Pendapatan bersih

NIM = --- X 100 %

Aktiva produktif Keterangan :

Pendapatan bersih adalah pendapatan bunga dikurangi beban bunga Aktiva produktif adalah aktiva yang menghasilkan bunga

Semakin besar rasio NIM menunjukkan semakin besar kemampuan bank dalam mengcover kerugian – kerugian pinjaman, kerugian sekuritas dan pajak untuk dijadikan profit

2.1.5.4 Dividen Payout Ratio (DPR)

Dividen adalah pembagian laba kepada para pemegang saham perusahaan sebanding dengan jumlah saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik.Dividen payout ratio adalah merupakan rasio yang menunjukkan besarnya tingkat pembayaran dividen atas perolehan laba perusahaan. Besarnya dividen payout ratio sangat tergantung dari berbagai hal baik keuangan maupun non keuangan, intern maupun ekstern perusahaan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya dividen payout ratio adalah :

a. Cash position (posisi kas) yang merupakan tingkat yang menunjukkan besarnya saldo kas pada akhir periode pembukuan terhadap besarnya laba bersih yang diperoleh pada periode tersebut.Posisi kas merupakan factor yang penting yang harus dipertimbangkan sebelum membuat keputusan untuk menentukan besarnya dividen payout ratio

b. Growth (pertumbuhan) yang merupakan besaran yang menunjukkan peningkatan.Pertumbuhan dibatasi dengan pengukuran peningkatan penjualan dari satu periode ke periode berikutnya. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan suatu perusahaan akan semakin besar kebutuhan perusahaan di masa yang akan datang, diasumsikan semakin memungkinkan perusahaan menahan keuntungan dan dan tidak membayarkannya sebagai dividen.

c. Firm Size (ukuran perusahan) yang diukur melalui kepemilikan aktiva. Semakin besar ukuran perusahaan maka akan semakin besar dividen payout ratio.

d. Profitability (kemampuan memperoleh laba) adalah merupakan kemampuan perusahaan dalam mendayagunakan aktivanya dalam memperoleh laba. Besarnya dividen payout ratio ditentukan dengan mengacu kepada laba bersih yang diperoleh perusahaan.

Menurut Lintner (1956) dalam Amsarai (1993) pada umumnya perusahaan menetapkan target dividen payout ratio untuk setiap periode didasarkan pada target keuntungan.Namun pada prinsipnya dividen payout ratio terjadi akibat adanya perolehan laba tahun lalu serta dividen payout ratio tersebut bernilai lebih besar dari 0

(nol) dan lebih kecil atau sama dengan 1 (satu).Tetapi dapat dijumpai bahwa pada tahun lalu perusahaan mengalami kerugian tetapi pada tahun ini perusahaan membayar dividen. Hal ini adalah akibat adanya akumulasi laba yang masih bersaldo walaupun tahun lalu mengalami kerugian. Jadi pembayaran dividen karena adanya akumulasi laba tahun lalu bukan karena kinerja perusahaan tahun lalu.Disamping itu ada juga dividen payout ratio yang bernilai lebih besar daripada 1 (satu) karena pembayaran dividen lebih besar dari perolehan laba tahun sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena pembayaran dividen didasarkan atas saldo akumulasi laba dan bukan karena berdasarkan perolehan laba tahun lalu.

Dokumen terkait