• Tidak ada hasil yang ditemukan

Langkah-Langkah ASEAN untuk Memperkuat Fungsi AICHR dalam Memajukan dan Melindungi Hak-Hak Ekosob di Negara-Negara

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 27-37)

Anggotanya

Proses perjalanan dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM pasti akan menemui suatu hambatan atau tantangan yang akan membuat semakin sulit untuk menegakan HAM. Namun tantangan atau hambatan ini seharusnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk mencari solusi penyelesaiannya oleh badan atau komisi yang memang menangani permasalahan HAM. Berikut ini akan dijabarkan tantangan atau hambatan

commit to user

yang ditemui oleh AICHR maupun European Commission for Human Rights pada saat proses pembentukan mekanisme HAM di kawasan regionalnya.

Pada European Commission for Human Rights menghadapi berbagai tantangan dalam pekerjaannya, seperti :

(a) Salah satu hambatan yang terbesar adalah untuk mendapatkan informasi yang dapat diandalkan. Pemerintah biasanya tidak memiliki kepentingan dalam mengungkapkan pelanggaran HAM atau kesenjangan dalam perlindungan HAM. Sehingga komisi harus mengandalkan organisasi non-Pemerintah, media dan pengamatan sendiri untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi HAM di negara tertentu. Hal ini tidaklah mudah, terutama karena informasi yang diterima berasal dari berbagai sumber. Sehingga perlu adanya kepastian lagi agar informasi yang diterima sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

(b) Selain itu, hambatan yang ditemui pada saat merumuskan suatu mekanisme HAM yaitu di satu sisi saat merumuskan harus berdasarkan ketulusan dan keterbukaan untuk menangani isu-isu HAM yang kemudian dijadikan sebagai draft laporan. Kemudian di sisi lain, mekanisme seharusnya ditulis dengan bahasa diplomatik. Pada saat pembuatannya harus jujur, tidak menyinggung pihak manapun sehingga tidak meninggalkan kerjasama yang disepakati dan komunikasi yang terbuka. Pada saat pembuatan mekanisme HAM ini pun jangan sampai menimbulkan anggapan adanya kegiatan advokasi bagi kelompok tertentu atau dianggap tidak melakukan kegiatan promosi HAM oleh pihak-pihak lainnya.

(c) Kemudian hambatan lain yang ditemui adalah mekanisme HAM yang dibuat harus tetap sejajar dengan semua perkembangan di bidang HAM. Standar HAM yang dijadikan sebagai pedoman pada saat penyelesaian kasus pelanggaran HAM oleh European Commission for Human Rights maupun oleh Pengadilan Eropa untuk HAM harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada. Jadi komisi melakukan pekerjaannya

commit to user

selain melakukan penelitian juga harus memastikan bahwa tidak melewatkan perkembangan HAM.

Selanjutnya pada AICHR tantangan atau hambatan yang ditemui adalah (Kementerian Luar Negeri RI Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, 2002 : 55) :

(a) Kendala dalam memajukan dan melindungi HAM oleh AICHR untuk kawasan ASEAN yaitu belum menemukan kesamaan pandangan mengenai visi dan misi dalam penerapan HAM di kawasan regionalnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang tiap negara anggota dan heterogenitas yang tinggi menyebabkan sulitnya menemukan titik temu untuk merumuskan suatu peraturan-peraturan yang dapat memenuhi kebutuhan HAM.

(b) Kendala lain adalah negara-negara anggota masih berpandangan bahwa masalah HAM merupakan masalah dalam negeri masing-masing. Meskipun beberapa negara anggota mengakui bahwa masalah HAM bersifat universal, namun terdapat perbedaan substansial antara norma-norma internasional yang berlaku dengan masalah yang dihadapi di tingkat regional seperti kawasan Asia Tenggara.

(c) Kurangnya tindak lanjut implementasi pelaksanaan dari kesepakatan atau persetujuan yang telah dicapai dalam kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang HAM ASEAN. Hanya sebagian kecil kelompok saja yang paham mengenai HAM ASEAN.

(d) Hambatan selanjutnya yang ditemui adalah kurangnya usaha untuk mempromosikan program-program HAM, baik ditingkat lokal masing-masing negara ASEAN maupun di tingkat regional. Hal ini karena masing-masing negara anggota masih memprioritaskan untuk meningkatkan citra pemerintah negara-negara ASEAN.

Selain itu hambatan yang memperlama berkembangnya HAM di ASEAN adalah karena promosi yang dilakukan masih kurang sehingga

commit to user

pengetahuan masyarakat ASEAN mengenai pemahaman mekanisme HAM ASEAN masih sangat terbatas. Pemahaman tersebut hanya diketahui oleh sebagian kecil interest group atau kelompok yang berkepentingan di tingkat ASEAN (Cicilia Rusdiharini. 2002 : 57).

Dengan pemaparan tantangan dan hambatan yang ditemui dalam proses pemajuan dan perlindungan oleh AICHR maupun European

Commission for Human Rights diatas, maka seharusnya ASEAN dapat

mengidentifikasi langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar dapat mengembangkan AICHR sebagai Komisi HAM di Asia Tenggara.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan yang juga telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, dapat dilihat bahwa antara European Commission for

Human Rights dengan AICHR memiliki perbedaan yang sangat signifikan.

Perbedaan tersebut dikarenakan memang AICHR baru terbentuk dan masih dalam proses untuk mempromosikan terkait pemajuan dan perlindungan HAM khususnya di negara-negara anggota ASEAN.

Perbandingan yang telah diuraikan diatas pun dapat memperlihatkan kelemahan yang dimiliki oleh AICHR sebagai komisi yang menangani permasalahan HAM secara regional. AICHR sebagai komisi HAM belum memiliki standar mekanisme HAM yang sesuai dengan standar HAM internasional. Selain itu AICHR belum dapat melakukan langkah perlindungan HAM karena masih terfokus pada langkah pemajuan HAM saja. Lalu pada AICHR terdapat ketidakseimbangan mandat yang dimiliki karena fungsi untuk melindungi tidak dapat memenuhi kebutuhan HAM, mandat yang dimiliki justru lebih banyak yang bersifat untuk promosi. Kemudian kelemahan AICHR selanjutnya karena memang masih baru sampai tahap pemajuan maka AICHR mengalami ketertinggalan dengan belum dapat membentuk pengadilan HAM yang memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran HAM.

AICHR juga belum dapat mengimplementasikan peraturan yang telah dibuatnya sehingga belum dapat melakukan perlindungan terhadap individu yang terkena kasus pelanggaran HAM. Dengan masih banyaknya kelemahan

commit to user

yang dimiliki, maka AICHR belum dapat menjawab kebutuhan HAM di regional ASEAN. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi yang menaungi regional Asia Tenggara harus dapat berperan untuk memperkuat fungsi dari AICHR yang tujuannya adalah sebagai komisi pemajuan dan perlindungan HAM. Berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat ASEAN lakukan agar dapat memperkuat fungsi AICHR sebagai komisi HAM :

1. ToR AICHR yang dijadikan sebagai dasar aturan hukum untuk pemajuan dan perlindungan HAM perlu untuk lebih disempurnakan lagi isinya secara keseluruhan. Penyempurnaan pada mandat AICHR yang tidak seimbang akan fungsinya, penyempurnaan juga harus dilakukan untuk Komisi AICHR ini agar kedepannya semakin jelas terkait fungsi dan kewenangannya. Seperti yang sudah dilakukan oleh Komisi HAM Afrika yang telah menambahkan Protokol Piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Bangsa mengenai pendirian Pengadilan Afrika tentang HAM dan Bangsa (1998/2004) Protokol ini mulai berlaku pada Januari 2004 dan proses pembentukan Pengadilan mulai berjalan. Lalu pada Juli 2004 Komisi Afrika memutuskan untuk melebur Pengadilan HAM Afrika dan Pengadilan Afrika untuk keadilan (Pelatihan Advokasi Hukum Asia Tenggara : 62). Kualitas dari ToR AICHR sendiri masih jauh di bawah standar instrumen HAM internasional, Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Kualitas disini dapat dilihat pada mandat yang tercantum di dalam ToR AICHR poin 4. Tidak ada secara khusus dan detail mengenai fungsi untuk perlindungan HAM (http://www.article19.org/index.php diakses pada tanggal 10 Desember 2013 pukul 09.15). Dalam menjalankan kerjanya, AICHR wajib berpedoman pada prinsip-prinsip menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan tidak campur tangan urusan dalam negeri negara-negara anggota ASEAN. Prinsip-prinsip ini justru tidak selaras dengan standart HAM internasional (Prasetyo Hadi Purwandoko dan Sasmini, 2011 : 6). Seperti pada poin 4.9 ToR AICHR “Berkonsultasi, bilamana diperlukan, dengan institusi nasional, regional,

commit to user

dan internasional serta entitas yang terkait dengan pemajuan dan perlindungan HAM”, maka jelas pada poin ini bahwa AICHR tidak dapat melakukan intervensi jika terjadi pelanggaran HAM. Hal seperti dapat memberikan kesempatan kepada negara-negara untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan secara sewenang-wenang tanpa bisa dikontrol oleh AICHR. Seharusnya AICHR membandingkan lebih terperinci lagi dengan Komisi HAM regional di kawasan lainnya. Banyak peraturan yang belum dapat memenuhi kebutuhan HAM yaitu untuk melindungi, bahkan justru memungkinan adanya celah untuk terjadinya pelanggaran di negara-negara anggota karena kurangnya penerapan prinsip-prinsip perlindungan HAM. Misalnya kasus Myanmar dan Kamboja. Myanmar dalam bentuk kekerasan politik dan penindasan etnis minoritas seperti Rohingya (yang tak diakui sebagai warganegara Myanmar hingga kini) dan Kamboja (dalam bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada era Pol Pot 1975-1979) adalah suatu pelanggaran berat HAM dan kejahatan internasional yang patut menjadi perhatian bersama yang tidak cukup diserahkan melalui mekanisme nasional saja. Padahal di antara negara anggota ASEAN sendiri tidak semuanya memiliki lembaga HAM nasional. Hanya negara Indonesia, Philipina, Malaysia dan Thailand (Prasetyo Hadi Purwandoko dan Sasmini, 2011 : 6). Berbeda pada European Commission for Human Rights yang dapat melakukan intervensi dengan memberikan masukan dan saran terhadap pelanggaran HAM yang terjadi bahkan dapat mendorong untuk terbentuknya lembaga HAM di negara yang bersangkutan. Seperti yang tercantum pada article 3 Resolution 99 (50) “Memberikan saran dan informasi tentang perlindungan HAM dan pencegahan pelanggaran HAM. Ketika berhadapan dengan publik, apabila memungkinkan, anggota komisi memanfaatkan dan bekerja sama dengan struktur HAM di negara-negara anggota. Apabila struktur (lembaga) tersebut tidak ada, anggota komisi akan mendorong pembentukan mereka”. Di dalam Konvensi HAM Eropa juga dikatakan bahwa Pengadilan HAM Eropa

commit to user

memiliki yurisdiksi atas pengaduan-pengaduan terhadap 47 Negara Anggota Dewan Eropa, pihak-pihak utama pada Konvensi HAM Eropa. Jika dibandingkan dengan badan-badan HAM regional lainnya sebagai instrumen yang efektif untuk mempromosikan dan menegakkan HAM, kekuasaan penegakkan ECHR memiliki efek yang jauh lebih besar pada HAM daripada ketentuan dalam AICHR. Kombinasi IACHR tentang Komisi dan Pengadilan memiliki banyak efek yang sama (John Arendshorst, 2009 : 8).

2. ASEAN seharusnya rutin melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap negara-negara anggota untuk terus meningkatkan fungsi dari AICHR sebagai komisi HAM. Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya terlihat bahwa antara Negara-Negara anggota ASEAN, yaitu :

a) Kendala dalam memajukan dan melindungi HAM oleh AICHR untuk kawasan ASEAN yaitu belum menemukan kesamaan pandangan mengenai visi dan misi.

b) Negara-Negara anggota masih berpandangan bahwa masalah HAM merupakan masalah dalam negeri masing-masing.

c) Kurangnya tindak lanjut implementasi pelaksanaan dari kesepakatan atau persetujuan yang telah dicapai dalam kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN.

d) Kurangnya usaha untuk mempromosikan program-program HAM, baik ditingkat lokal masing-masing negara ASEAN maupun di tingkat regional

Maka jelas bahwa dibutuhkan untuk melakukan pengontrolan dan pengawasan secara rutin oleh ASEAN agar pengertian tentang HAM dapat tersampaikan dengan baik di Negara-Negara anggota, maka akan dapat mempercepat AICHR untuk memasuki tahapan melindungi Negara-Negara anggota ASEAN yang terjadi pelanggaran HAM. Dengan melakukan pengawasan dan pengontrolan tersebut juga dapat

commit to user

terbentuknya komunikasi dengan Negara-Negara anggota terkait perkembangan pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN. ASEAN sebagai organisasi yang menaungi kawasan Asia Tenggara harus dapat menyadarkan negara-negara anggota bahwa permasalahan HAM bukan hanya sekedar masalah nasional tetapi permasalahan universal. Dengan secara rutin melakukan dialog terkait HAM bersama perwakilan dari Negara anggota. Menurut Malvin Aldy staff di Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri, ASEAN Ministerial

Meeting (AMM) merupakan salah satu forum dialog yang dapat

berfungsi sebagai langkah pengawasan dan pengontrolan. Dengan pertemuan AMM yang dapat dilakukan setiap tahunnya ini, perwakilan Negara anggota harus menyampaikan perkembangan HAM di negaranya masing-masing sehingga akan terlihat sejauh mana Negara-Negara anggota telah mengimplementasikan mandat untuk pemajuan dan perlindungan HAM yang tercantum dalam Piagam ASEAN. Kemudian pertemuan yang lebih tinggi lagi adalah pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN) yang diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pertemuan Kepala Negara yang menjadi perwakilan dapat membuat sebuah kebijakan sebagai bentuk sanksi dari pengawasan dan pengontrolan ketika ada Negara anggota yang tidak melakukan pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Selain itu juga semakin aktif dan gencar untuk melakukan promosi ke Negara-Negara anggota. Sehingga negara-negara anggota dapat merasa dengan keberadaan AICHR di regional ASEAN dapat membantu permasalahan HAM nasional mereka. Maka ketika negara-negara anggota sudah merasa membutuhkan keberadaan AICHR, mereka akan lebih mudah untuk menyatukan visi misi dari masing-masing negara.

3. ASEAN disarankan lebih realistis dalam penentuan sasaran, fleksibel dalam cara penyampaian kepada masyarakat di kawasan Asia Tenggara serta berorientasi ke masa depan dalam perspektif politik. Dalam hal ini diperlukan komitmen politik yang kuat dari negara-negara ASEAN untuk

commit to user

menjadikan AICHR ini menjadi suatu institusi yang berjalan optimal dalam tugas dan fungsinya. Komitmen seluruh negara-negara anggota ASEAN diperlukan untuk mendukung peran AICHR dalam melaksanakan fungsi pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Maka dari itu penyatuan visi misi tiap negara anggota ASEAN dibutuhkan agar pada saat Pertemuan Menteri ASEAN untuk membicarakan permasalahan HAM di kawasan, setiap negara anggota dapat menyatukan suara untuk berkontribusi memajukan dan melindungi HAM di ASEAN.

4. Agar perlindungan di regional ASEAN lebih terjamin keadilan dan kepastiannya maka ASEAN harus segera membentuk sebuah Pengadilan seperti pada regional Eropa yang telah memiliki sebuah Pengadilan permanen khusus HAM Eropa yang memiliki yurisdiksi untuk memutuskan setiap perkara HAM. Namun, karena ASEAN sampai saat ini masih dalam tahapan pemajuan, maka ASEAN secara rutin melakukan penelitian terkait apa saja yang menghambat proses pemajuan dan perlindungan HAM sehingga AICHR dapat menaggulangi permasalahan yang dapat memperlama proses pemajuan HAM. Untuk mengatasi kelemahan dalam pendekatan historis keterlibatan konstruktif, ASEAN dapat memodifikasi perihal AICHR untuk menyertakan Pengadilan HAM dengan kekuasaan untuk mengeluarkan keputusan yang mengikat. Pengadilan semacam itu akan memberikan Pengadilan, badan yang berisi untuk menentukan apakah State Peace and Development

Council (SPDC) melanggar HAM dan ketentuan Piagam hukum

humaniter internasional. Pengadilan HAM regional yang paling menonjol saat ini adalah ECHR. ECHR yang menyediakan untuk kedua petisi individu dan keluhan antarnegara, merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari Konvensi Eropa. Sebuah Piagam regional yang luas disusun untuk mempromosikan perdamaian multinasional di bangun dari Perang Dunia II. ECHR dirancang tidak untuk menggantikan undang-undang HAM dalam negeri, melainkan untuk melayani setelah

commit to user

pemulihan domestik. Konvensi Eropa menyatakan preferensi yang jelas untuk resolusi keluhan domestik, mandat konsultasi penuh pemerintah dalam pemeriksaan keluhan. Jika Konvensi Eropa dan ECHR digunakan sebagai contoh untuk pembentukan Pengadilan HAM ASEAN, ketentuan tersebut akan meredakan kekhawatiran negara-negara anggota atas ancaman terhadap kedaulatan nasional dan keramahtamahan regional (John Arendshorst, 2009 : 10).

Struktur lain yang mungkin untuk Pengadilan HAM ASEAN dicontohkan oleh Komisi Inter-Amerika tentang HAM (IACHR). IACHR sedikit memiliki kemiripan dengan ECHR dalam hal ini terdiri dari Komisi dengan kekuatan investigasi dan penasehat dan Pengadilan dengan yurisdiksi perdebatan dan konsultasi. Namun, proses IACHR menangani pelanggaran HAM yang potensial terfokus lebih banyak pada investigasi Komisi daripada penuntutan di Pengadilan. Jika IACHR digunakan sebagai model untuk Pengadilan HAM ASEAN, pendekatan Komisi pertama akan membantu menjawab kekhawatiran anggota tentang kedaulatan nasional (John Arendshorst, 2009 : 10).

5. Kemudian untuk membantu agar AICHR mencapai langkah perlindungan, maka AICHR dapat melakukan kerjasama melalui bergabung dengan pertumbuhan populasi regional lainnya (sebagai lawan global) sistem HAM. Karena badan HAM regional dapat menikmati beberapa keuntungan yang berbeda dengan badan global seperti PBB. Badan HAM regional dapat memanfaatkan obligasi geografis, sejarah dan budaya di antara negara-negara tetangga, rekomendasi, seringnya bertemu dengan resistensi kurang dari yang dikeluarkan oleh badan global. Badan HAM regional juga dapat mempublikasikan informasi tentang HAM lebih mudah dan efektif dan mereka kurang rentan terhadap kompromi umum yang berasal dari kecurangan politik. Sistem seperti ini menggunakan berbagai metode untuk mencapai tujuan mereka dalam mempromosikan HAM dalam wilayah geografis mereka diberikan. Sebagai contoh, sistem Eropa difokuskan pada Pengadilan HAM Eropa (ECHR) dan yang telah

commit to user

dihasilkan dari keputusan telah membantu meringankan penambahan anggota baru dan beragam kepada masyarakat Eropa. Sebaliknya, meskipun sistem Inter-Amerika termasuk Pengadilan, komponen utamanya adalah Komisi pada HAM (IACHR), sebuah badan HAM yang tidak memiliki paralel dalam sistem Eropa. Sistem Afrika lebih instruktif sebagai dasar untuk perbandingan dimasa depan. Tetapi Pengadilan Afrika saat ini dalam proses pengembangan sebagai lembaga (John Arendshorst, 2009 : 8).

Dengan melakukan kerjasama dengan badan HAM regional lainnya, maka ASEAN dapat mengambilnya sebagai contoh untuk pelaksanaannya di kawasan ASEAN ini. Dengan melihat pelaksanaan badan HAM regional lain diharapkan ASEAN tidak hanya selalu terfokus pada melakukan pemajuan tetapi mulai untuk melakukan tahap perlindungan.

Dalam dokumen BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 27-37)

Dokumen terkait